Jumat, 21 September 2007





Uli dan Dorthy, adiknya. Uli bersama kawan-kawannya di Jalan Bima, Pondok Tirta Maldala Depok mengisi acara Tujuhbelasan 2007


Salahkah Membandingkan Anak?


Jakarta, 21/09/2007
SENIN hingga Rabu (17-19/09/2007), putri bungsu kami, Dorthy, nama lengkapnya Felisita Dorothy Ambarita demam. Saat itu, usianya belum genap 5 bulan, kurang 10 hari. Senin malam, sekitar pukul 02.00, saya mendengar rintihannya. Dorthy mengerang kesakitan, sementara ibunya mendengkur.

Adapun kakaknya, Elizabeth Uli Ovelya Ambarita (2 tahun 11 bulan, 1 minggu) tidur di kamar sebelah bersama oppungnya. Uli memang anak oppungnya, karena dia lebih dekat ke kakek- neneknya, yang memang mengasuh sedaru usi 6 bulan di Depok. Sementara kami, ayah-budanya berkutat mencari rupiah di Bandung.

Padahal Minggu siang hingga senja, kami berempat plus kedua oppungnya, yakni mertua saya, Dorthy masih sehat bugar. Dia masih tertawa terbahak-bahak digodai oppung doli (kakek), saat saya asyik bertukang di gubuk yang belum siap huni di kompleks Deppen Jalan Raya Bogor.

Kendati baru terlelap satu jam lebih, karena tiba di rumah kurang lebih jam 24.00, Saya segera terbangun mendengar ada sesuatu yang beda dari tidurnya anak kami. Belakang tangan coba saya sentuhkan ke dahi sang putri, betapa kagetnya saya. Wah... panas sekali. "Mah, mah, oo mamah, bangun. Dede panas," kataku. Kami terbiasa menyapa si bungsu dengan panggilan dede, dan kakak untuk si sulung.

"Ayo ambilkan air hangat dan kain, biar kita kompres," ajakku. Istri bergegas ke dapur. Sebelum kami kompres, sebatang termometer digital saya selipkan ke ketika kanan Dorthy. Angka 38,9 tertera di sana. "Aduh alamat bahaya ini. Jangann.... jangan ya Tuhan..." kataku bergumam.

Saya punya pengalaman buruk dengan panas. Punya pengalaman traumatis. Setahun lalu, ya persis setahun telah berlalu, ketika membawa si kakak ke dokter spesialis anak di RS Immanuel, Jalan Kopo Bandung.

Saat pergi kami menumpang taksi. Saya berpikir, biarlah keluar biaya sedikit daripada anak kenak terik dan angin. Saya dan Uli, kami berdua saja pergi ke dokter. Sedangkan ibunya tidak dapat meninggalkan pekerjaan.

Saya yang selalu masuk siang, memang lebih sering membawa Uli ke dokter, kadang-kadang sampai risih rasanya dipelototi orang-orang karena terkesan curiga atau heran menyaksikan saya dengan pembantu yang merawat anak pergi berboncengan membawa Uli ke Dokter. hari itu kebetulan, Lae Prins, tulang atau paman Uli, menyusul naik sepeda motor.

Kurang lebih jam 11.30 tiba giliran putriku ke ruang periksa dokter. Lazimnya Uli tidak begitu gelisah apalagi menagis kalau dibawa ke dokter. Namun hari itu dia agak cengeng dan sempat menangis bahkan meronta, menolak saat dinaikkan ke meja pemeriksaan. Tangisnya menjai-jadi ketika dokter membuka mulut Uli sambil mengarahkan sinar senter, dan ketika stetoskop meraba-raba dadanya.

"Tidak apa-apa, cuma panas biasa," kata dokter sembari memberi resep. Hati saya lega. Kami ke luar ruang periksa di lantai satu, menyusuri tangga, walau ada lift menuju kantin di lantai dasar. Berjarak sekira 15 meter, di bangunan Diagnostik.

Uli terbilang bayi gendut. Ketika itu usianya belum genap dua tahun, berat badan sudah 15 kg. Gemuk tapi lincah, lasak. Suka main, sampai pinggang mau patah rasanya saking capeknya merawat dia. Siang itu selera makannya rendah. Saya sedikit khawatir akan mempengaruhi metabolisme serta ketahan fisiknya. Saya coba tawarjan aneka ragam menu di kantin, selain nasi juga kue-kuean, tapi hanya dua suap yang masuk. Tak lama, kami ke apotek.

Kami pulang. Keluar dari rumah sakit, saya membonceng. Uli di tengah, sedangkan Lae Prins memegang stang motor. Mencari taksi untuk pulang, agak sulit. Tak yang ngetem di depan rumah sakit adalah angkutan tanpa argo, saya malas tawar-menawar. Jadi saya memilih bergerak agak jauhan, mencari tempat ngetem Blue Bird. Sekitar 200 meter ke arah Pasir Koja, bru ada taksi. Begitu sampai di sana, Uli tidak mau turun dari motor. Alhasil kami lanjutkan, pulang menumpang motor dalam terik matahari yang tidak begitu menyengat.

Itulah rupanya sumber petaka. Baru saja berbelok dari pertigaan Kopo-Pasir Koja menujua Jalan Soekarno Hatta, Uli kejang-kejang. Dengan sigap saya masukkan ibu jari kanan ke mulut, mengganjal agar lidah tidak putus tergigit. Dia menggigil, kejang, sambil seperti meronta. Wah paniknya luar biasa. Saya memang sudah sempat membaca beberapa file dowluad dari internet tentang penyakit demam kejang atau stip. Uli pernah sekali stip, menurut cerita oppungnya. Lae Prins yang pegang kemudi pun panik, sampai menepikan motor ke kanan jalan, melawan arus kendaraan.

Seketika warga mengerubungi kami. Saya tak dengar apalagi pertanyaan warga, saya hanya bergumam. "Uli.. Uli, ini bapak sayang. Dengar, ini bapak. Bangun, sadar...." tanpa terasa air meleleh dari sudut kelopak mata. Anak saya masih tegang, lalu saya siramkan sisam air mineral. Seorang ibu berteiak, step ya. Kasih kecap-kasih kecap, masukkan ke mulutnya biar muntah.

Seorang ibu pemilik warung kaki lima mengambil kecap manis dan menumpahkan ke mulut Uli. Di langsung menangis. Syukur, sudah sadar. tapi matanya masih terbelalak, terbalik ke arah, sambil menggigil. Tak saya sadari,.seorang warga mengambil alih Uli dari gendongan saya, bergegas menuju Puskesmas. Tapi saya segera memutar otak, daripada dokternya taidak siap, Uli malah telantar. Saya putuskan segera mengambil alih kendali, Uli saya gendong dan seger amengajak Lae Prins putar haluan dan kembali ke RS Immanuel. Pengaman tarumatis yang tak terlupakan.

***
KUAT

SENIN pagi, Dorhty dibawa ibunya dan oppungnya ke dokter. Kata dokter ada radang di tenggorokan. Dia memang sering batuk sejak Senin, sehabis mandi pagi. Sehabis dari Dokter, kesehatannya tidak langsung baik. Masih panas. Suhunya kadang mendekati 29 sekali lebih 39. Dan yang paling panas pada kepala. Kendati dikompres, sukar turun. Meski begitu Dorthy tetap kalam, tidak begitu cengeng.

"Dede memang kuat, tidak seperti kakak." Atau, "Dede jangan sakit ya, yang kuat ya, jangan seperti kakak ya (maksudnya step)." Saat dia bangun, tak sadar saya ngomong begini, "Dedek sehat ya, dan pintar nanti ya, lebih pintar dari kakak." Kakaknya memang kami anggap pintar dan cerdas. Bukan hanya kami, banyak orang kengatakan seperti itu. Dan semoga tidak tidak takabur.

"Eh, jangan gitu," kat istri menyela. "Dede juga pintar nanti. Dede pintranya tersendiri yah. Kakak Uli juga pintar, tapi dede juga pintar. Tapi mungkin bede-beda," kata istri saya sambil memainkan sesendok biskuit ke bibir Dorthy.

Saya tersadar kembali, mengingat beberapa kali nasihat psikolog dalam rubrik konsultasi beberapa koran yang menyebut, sebaiknya tidak membanding-bandingkan anak. Jika kebetulan satu anak membuat salah, janganlah mengatakan dia nakal, lalu membandingkan, "tirulah kakakmu". "Kamu bodoh, tidak seperti kakaknya atau adiknya juara, dapat beasiswa". "Kamu sakit-sakitan, sedangkan kakakmu tidak".

Padahal saya pernah protes karena saudara amat sering membanding-bandingkan anak-anaknya. Saya berpikir, masing-masing individu punya karakter berdea. Sifat yang unik. Bukankah Tuhan meniupkan roh kepada masing-masing manusia secara individu atau perseorangan? Tidak ada yang kolektif. Saya bertekad, tidak akan membanding-bandingkan Uli dan Dorthy lagi. Semoga mereka tumbuh kembang dari fisik, mental, pengetahuan, budi pekerti dan cinta kasih. Cinta kepada makhluk, cinta kepada sesama manusia dan cinta kepada Tuhannya. (Domuara Ambarita)

Tidak ada komentar: