Sabtu, 15 September 2007

SOROT
Produk Unggulan


Domuara Ambarita
PENGUSAHA perkebunan dan petani jeruk frustasi. Jika lazimnya mereka bersemangat menyongsong rupiah berlimpah hasil panen raya, kali ini justru merana. Seperti terjadi di sentra pertanian jeruk di Berastagi, Sumatera Utara, pekan lalu. Petani memetik buah terpaksa sekadar mencegah tanaman agar tidak rusak. Buah jeruk panen pun dibuang begitu saja ke jurang, atau pinggir lahan kebun.

Membuang buah dilakukan karena harga jual sangat rendah. Harga di kebun hanya Rp 500 per kilogram, harga yang menurut petani sangat di bawah harga produksi. Sudah harga murah, pembeli langka pula.
Kasus serupa pernah dialami petani tomat di Boyolali, Jawa Tengah beberapa tahun lalu. Bersamaan dengan panen raya, harga komoditas tomat anjlok. Akibatnya petani terpaksa memanen tanamannya menjaga agar tanaman tomat tidak rusak, dan berharap setidaknya saat panen kedua harga sudah beranjak naik.

Dalam persaingan sempurna, kejadian semacam ini dianggap wajar. Hukum pasar. Tarik-menarik antara penawaran dan permintaan (supply and demand). Saat pasokan (supply) melimpah sedangkan permintaan (demand) tetap apalagi turun, maka lazimnya harga turun. Celakanya, mau tidak mau, siap tidak siap, kita dihadapkan pada persaingan sempurna itu. Petani dari desa dan buta huruf sekalipun harus bersaing dengan petani maju, yang telah mengaplikasi mekanisasi.

Persaingan sedemikian ketat dari pemasok hingga ke penjual terakhir, antara pasar tradisional versus pasar modern, atan antarpasar modern sendiri. Sejauh ini, ada beberapa hipermarket menggempur pasaran ritel Indonesia. Di antaranya Carrefour asal Prancis, Giant (patungan Indonesia- Malaysia), Hypermart (kelompok supermarket Matahari), Makro (Belanda), Indogrosir (keluarga Salim), Alfa Gudang Rabat (HM Sampoerna).

Kecuali mempunyai sisi gelap, mematikan pasar rakyat, kehadiran hipermarket ini sebetulnya mengusung banyak manfaat. Di antaranya, menyerap produk lokal. Tidak tanggung-tanggung, satu hipermarket mensyaratkan minimum 30 ribu item komoditas terpajang di gerainya. Barang-barang itu tentu saja dibutuhkan dan dicari langsung dari produsen-
petani, untuk menekan harga serendah-rendahnya, demi dan atas nama persaingan tadi. Apakah pengecer di pasar tradisional ataukah pasar modern tentu saja senang medapat produk lokal. Salah satu alasannya, harganya lebih murah.

Bulan Juli lalu, Carrefour membuka gerai keduanya di Bandung, setelah tiga tahun lebih toko bertama beroperasi di Jalan Peta. Carrefour bersedia menampung barang dari petani atau pengusaha kecil. Ini tentu saja peluang buat supply. Namun tidak gampang. Banyak persyaratan yang sulit dijangkau pengusaha kecil apalagi petani.

Sekeratis Asosiasi Pengusaha Retail Jabar, Hendri Hendarta mencontohkan, pisang impor Kapendis sangat banyak dijual hipermarket. Padahal rasanya jauh di bawah produk lokal semacam pisang Ambon, pisang lumut, bahkan pisang kepok sekalipun. Meski tidak berasa, kapendis tetap menarik dari segi tampilan. Bersih, mulus, mengilap, menawan, tidak seperti pisang lokal yang dekil. Kapendis yang impor jadi produk unggulan hanya gara-gara menang kemasan, menyisihkan produk lokal yang lebih enak.

Ia menceritakan pemantauannya pada pertanian di luar negeri, perlakuan petani di sana terhadap buah pertaniannya seperti merawat anak kesayangan sendiri. Misalnya, saat memanen pisang, buahnya dijaga sedemikian rupa sehingga tidak langsung jatuh ke tanah, di peluk seperti bayi. Kalau petani kita, bas.. bas.., tebas, buahnya dan tersungkur ke kubangan. Rusak dan kotor. Jangankan masuk ke hipermarket, dijual dipinggir jalan saja tidak laku.

Inilah salah satu kekalahan produk lokal, di samping minimnya proteksi dan fasilitas yang didapat petani dari negara. Padahal petani adalah warga yang kebanyakan. Petani mungkin juga berdaya jika 'kaum tani' betul-betul menikmati dan terjun di ladang atau sawah. Bukan ribut-ribu di politik, merebut PNS, teknokrat/birokrat. Siapa itu, yah petani pemikir dari Institut Pertanian Bogor, atau Fakultas Pertanian di seluruh Indonesia, dan sejenisnya. Rasanya, selama mereka yang seharusnya menularkan kemampuannya untuk mengangkat keahlian petani menyimpang dari jalurnya, maka menjadikan komoditas lokal sebagai produk unggulan, dan cita-cita mewujudkan peroduk lokal sebagai tuan di rumah sendiri, hanya impian semata. (*)

* Tribun Jabar (4/09/2006)


Tidak ada komentar: