Rabu, 12 November 2008

Keluarga Kaya Raya yang Tidak Bahagia
* Paradoksal Sejahtera dan Bahagia

KEMISKINAN tidak menghalangi niat satu semangat keluarga pemula ini. Mereka betul- betuk bernagkat dari nol besar, untuk membentuk keluarga: bukan keluarga kaya, tanpa kado rumah dan mobil dari orangtua, juga kolega dan pejabat.

Si suami adalah pegawai rendahan, dengan gaji paspasan. Si istri pun seorang pekerja bawahan. Walau pekerja bawahan, beruntunglah mereka karena masih memiliki pikirna, nalar, dna budi perketi yang baik. Iman menguatkan mereka dalam menghadapi hari-hari sulit di awal keluarga.

Mengontrak kamar, kemudian mengontrak satu rumah di gang sempit, kumuh. Saban hari mereka tun berdoa, "Ya, Allah limpahkanlah rezeki dan kesehatan pada keluarga kami." Demikian setiap mau makan, mau tidur, mau bekerja. Kelurga beriman yang tak pernah lepas dari doa.
Ya, Allah. Semoga Keluargaku Engkau berikan dan jaga selalu untuk sejahtera sekaligus bahagia.


Lima tahun pertama, hal itu dilalui dengan suasana baik, bahagia. Gaji kecil dikumpulkan terus dan dikelola dengan semangat hemat. "Sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit," itulah prinsip mereka.

Bulan berganti bulan, tahun pun berlalu. Pendek cerita, Tuhan mengabulkan doa mereka. Sepuluh tahun berkeluarga, si suami mendapat kepercayaan luar biasa dari pimpinan. Dia diangkat menjdai Kepala Cabang pada salah satu kantor di daerah.

Sebagai pimpinan, si suami pun mendapat fasiltias berkecukupan: mobil, rumah, gaji besar dan bonus tahunan. Lain lagi kalau target terlampaui, maka insentif menjadi durian runtuh. Saat bersamaan, karier si istri tak kalah melonjak. Dia menjadi manajer kebanggaan di perusahaan.

Kini doa keluarga ini menjadi orang berkecukupan dan sejahtera telah terapai. Rumah di komplek elit, mobil tiga mewah tiga: untuk menunjang kerja suami, satu untuk mengantar istri arisan dan segala kegiatannya, dan satu khusus untuk anak-anak. Deposito pun menggunung.

Sudah menjadi tabiat manusia. Hidup berkecukupan, mata silau pada hal-hal duniawi. Kebersamaan, keakraban dan kesalingpercayaan di awal pernikahan dulu, kini menjadi sejarah tak tercatat. Jika dulu hidup solider betul, bersosial dengan baik, bekerluarga sangat santun, selalu bersama-sama berdoa dalam keluarga atau ke gereja, kini hidup mereka menggenapi perilaku orang kantoran: sibuk, individualistis dan tidak peduli: kamu ya kamu, saya ya saya.


Di tengah kesibukan dan kepenatan, kenalan sang suami mulai bertambah dan asalnya dari berbagai kelas. Kalau dulu alim dan saleh, sekarang mulai sering menikmati hiburan malam, yang akrab dengan alkohol, narkoba dan 'selibut hidup'. Sang suami akhirnya tergiur dan terpikat dengan wanita lain, dan hidup serupah tanpa ikatan perkawinan yang sah.

Tak kalah gentingnya, si istri pun hidup dengan gaya wanita karier metropolitan. Pergi ke kantor pagi, dan pulang malam. Di balik itu, dia juga ternyata menjalin affair dengan laki-laki lain, relasi bisnis.

Al hasil, dari satu keluarga yang awalnya utuh dan bahagia di saat miskin, namun di masa sejahtera justru membangun dua keluarga bayangan yang illegal. Mereka selingkuh masing- masing. Saat itulah, perhatian terhadap anak-anak menjadi sangat kurang. Kalaupun ada bersama-sama dai rumah pada akhir pekan, hanya badanlah yang bersama sedangkang pikiran ibu dan ayah, justru ada pada istri dan suami yang lain.

Apa yang mau disajikan di sini adalah, tentang doa. Apa yang ktia doakan selau terkabul, walaupun dalam waktu panjang. Tidak instan. Segala sesuaatu indah pada waktunya. Butuh kesabaran.

Karena itu pulalah, sahabat saya, Dynno Cresbon menasihati, berdoa pun harus pintar, pakai strategi dan spesisik. (Seperti kata bos kami di kantor, berita jangan probelatik terus, tetapi dengan angle yang menarik dan mikro, spesiifik dan peolpe hahahah). Kalau doanya itu-itu saja, ya yang di dapat pun itu-itu saja.

Dari itu, berdoa selain meminta kesehatan, rezeki dan kecukupan/kesejahteraan, jangan lupa menyisipkan permohonan kebahagiaan. Sebab seperti pada awal tadi, keluarga pemula jauh dari bahagia (lebih karen amenderita secara ekonomi) karena kektidaaan uang. Pada titik lain, ada keseimbangan antara kesejahteraan dan kebahagiaan, namun banyak pula, kebahagiana menjdai rusak karena serba berkecukupan.

Harta yang melimpat menutup cinta, kesetiaan, kerukunan, dan keterbukaan. Dengan harta berlimpah, semuanya penyertaan orang lain dan bahkan penyelenggaraan Illahi pun seakan dienyahkan dari dalam pikiran. Seoalh-olah, uanglah yang enjadi Tuhan, orang yang menghamba pada uang atau mempertuhankan perut: money is the second God.

Fenomena kegagalan manajemen kapitalimen gobal di Amerika dan dunia saat ini yang ditandai krisis finansial menjadi pintu masuk kita bermenung, bahwa menghamba pada uang/perut tidak abadi. Saatnya bersadar, melakukan gerakan kembali pada nurani dengan menyeimbangkan relasi manusia sesamanya, manusia dengan lingkungannya termasuk benda mati dan makhluk lainnya , serta hubungan manusia dengan Tuhannya.

Tulisan sekadar membagi meluapkan gagas sukma yang terpendam, semoga terkabul dan tidak takabur. (Domuara Damianus Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Apa Betul Kaum Pendoa Harus Kaya?

SAYA berasal dari keluarga besar. Dari satu rahim dan satu penabur bibit: lahir 14 anak, datu di antaranya meninggal semasa anak-anak, seusia kelas 1 SD, selainnya memiliki keturunan. Ibu saya, janda tua, 80 tahun, saat ini punya cucu 37 cucu, dua cicit.

Mayoritas anaknya petani, dan tinggal di pegunungan Bukit Barisan. Hanya dua orang kami di pulau Jawa. Semua anaknya berada pada kelas bawah, miskin. Untunglag ibu masih mewarisi penghasilan ayah kami almarhum, dari gaji veteran sebagai bekas TKRI.

Kakak saya nomor lima, pertengahan bulan Oktober lalu berkunjung ke Jakarta, menghadiri wisuda putrinya. Kami tak sempat lama bicara tentang banyak hal, termsuk mengabsensi satu-satu saudara di kampung sana, berikut keluarganya.

Mungkin ini yang menonjol dalam ingatan dia adalah, Abang Sulung saya, yang sudah punya dua cucu dari emapt anaknya. Si Abang belakangan sering uring-uringan gara-gara kondisi perekonomiannya tak kunjung membaik setelah mengalami krisis akibat kerugian saat berdagang, tepatnya pedagang pengumpul komoditas pertanian cepat busuk semacam jahe, dan cabai.

Menurut cerita kakakku, Si Abang, akalu sudha emosi, dia sepertinya ngambek, dan ingin secepatnya hengkang, meninggalkan kampung. Alasan dia sangat fundamental (bagi sebagian orang). Dia adalah tetua adat, dan semacam kepala suku. Kalau ada acara ritual adat, doa maupun ritual, dialah yang memimpin.

Dari sudut ini, rupanya dia berpikir (dan juga mungkin banyak orang), selaku pemimpin, tetua dan apalagi sering berdoa (entah secara adat maupun keyakinan agama masing-masing), dia mestinya mendapat nilai lebih di hadapan Tuhan dan manusia. Sebagai bukti nyata, setidaknya perekonomian lebih baik, kesejahtarean lebih menonjol. Kasarnya kayalah, atau setidaknya berkecukupan.

Ya, saya, mungkin juga sebagain besar rakyat Indonesia masih terperangkap pola pikir seperti si Abang tadi. pada titik tertentu mengidentikkan doa dengan kesehatan, kesejahteraan dan kecukupan. Dan oleh karenanya, menilai remeh orang yang kendati pun saleh dan beriman, tetapi kehidupan ekonominya melarat, miskin.

Susah memang. Tidak mudah memahami kehendak Illahi yang menyebut, lebih susah seekor Onta masuk lobang jarum daripada seorang kaya masuk kerajaan Allah.

Cerita yang saya angkat dari kemiskinan keluarga, dan sikap putus asa tadi, mungkin pula diperlihatkan saudara-saudara kita di Flores tau pedalaman Pontianak, seperti disebut mas Haryo.

Mereka sering menghukum, atau menagih pada Tuhan hanya dengan mengingat investasi doa, dan pujian, tetapi nyaris melupkan sebera besar kerja keras, keringat menetes untuk bercocok tanam, bekerja dan berbakti untuk keluarga. Doa sangat cukup menjawab kebutuhan rohaniah, dan kernanya kita kuat menghadapi keadaan sesulit dan semiskin apa pun.

Tapi dia taidak akan pernah secara nalar, bisa menyelamatkan kita dari kemiskinan, dari kelaparana, jika kita pun tak menggunakan tenaga dalam artian fisik, dan pikiran untuk mencari sesuatu yang bernilai ekonomi. Singkatnya, andaipun kita berdoa selama tujuh hari dalam seminggu, makanan dan uang tidak akan datang ke hadapan kita.

Ini pula yang saya sampaikan kepada kakak saya untuk disampikan ke Abang sulung kami, agar sembari berdoa secara tekun, dia beserta istri pun jangan lupa bekerja kerat, ulet dan tak mengenal lelah: bertani kek, berdagang kek, dan sebagainya.

Perlu ada keseimbangan antara rohaniah dan batiniah. Untuk mencapai kebutuhan batin, maka urusan spiritual seperti berdoa dan beribadatlah jawabnya. Jika ingin juga mencapai kepuasan jasmaniah, tidak cukup berdoa saja melainkan harus pula mengerahkan segenap tenaga, pikiran dan alak untuk bekerja untuk menghasilkan uang.

Menjadi celaka, kalau hanya tekun dan ulet berdoa dan beribadat, tetapi malah berkarya maka ujung-ujungnya akan lahir aliran-aliran sesat yang menyalahkan Tuhan.

Dalam konteks gereja, yang saya, tahu membatasi lembaga untuk tidak terjerumus dalam hal-hal duniawi: bisnis, politik dan kekuasaan. Namun juga, sudah tidak saatnya lagi terlalu apriori terhadap kehidupan duniawi, yang antara lain dapat dilakukan dengan mendorong umat lebih cerdas melihat tanda-tanda zaman.

Saatnya para pastor lewat kotbahnya setiap ekaristi, memberi contoh-contoh konkret dalam kehidupan saat ini, tidak melulu kutipan Alkitabiah. Boleh mengutip ayat-ayat Suci, tetapi dikaitkan dalam konteks kekinian.

Dan bagi kaum awam, seperti kita semua, kita harus peduli basis Katolik yang miskin. Kalau tidak, mungkin hanya menunggu waktu: daerah basis itu hanya tinggal sejarah.

Kemiskinan di sini dalam konteks harta benda. Haruskah orang beriman, yang rajin mendoa menyukuri dan menerima apa adanya kemiskinan dengan alasan, toh Yesus juga menjadi Nabi bukan karena kaya-raya melainkan karena penyerahan totalitas. Akankah pula menjadi perdebatan, dan lalu menghukum seorang kaya tidak boleh jadi pengikut Yesus Kristus. (Domuara Damianus Ambarita)


[+/-] Selengkapnya...