Jumat, 28 September 2007

Kadal Kok Dikadali




Fotoscreen Pulau Samosir, dan headshot Irawady Joenoes by Persda Network/Bian harnansa



SEMBILAN tahun silam, saya coba menguji Inang (bahasa toba), emak. "Inang, boru Dayak bagak-bagak hian do daba. Uli hian ma tahe. Bontar-bontar songon Sina. Boha do molo membuat boru Dayak au, boido? Molo adong parumaenmu naso halak hita kan asa ibotohamu annon mar mabahasa Indonesia."


(Emak, gadis suku Dayak sangat cantik-cantik. lho. Ayu tenann. Putih mulus seperti kebanyakan orang Cina. Andai saya mempersunting gadis Dayak boleh nggak? Hitung-hitung supaya emak juga bisa berbahasa Indonesia, kalau ada menantu orang asing kan mau nggak mau, emak jadi bisa juga)


Saat itu saya sudah setahun tamat dari Administrasi Niaga, Fisip, Unlam, dan sudah jadi jurnalis di Banjarmasin Post. Memang banyak teman sekampus yang berasal dari Dayak Kalteng atau Kaltim. Face mereka, kemulusan kulitnya, keramahtamahannua sungguh molek dan menggoda. Tentu fair enak membandingkan, dan bukan maksud merendahkan saudara-saudaraku di tanah gersang di Pulau Samosir.
img src="http://us.i1.yimg.com/us.yimg.com/i/mesg/emoticons7/51.gif" width=21 height=18 border=0>


Saat itu, bukan karena saya sedang memiliki teman wanita dari gadis Dayak. Saya memang sengaja hendak menguji sejauh mana ketradisionalan Inang, sebagai orang tua di desa terpencil. Inang saya, Porti Napitu, lahi tahun 1928. Selisih delapan tahun dengan amang (ayah), Yahya Ambarita yang duluan menghadap illahi, 13 Maret 1989.

Dia tidak tahu tanggal dan bulan. Inang tidak ditinggalkan oppung selembar akta kelahiran, buku rapor atau apalagi ijazah. Inang memang lahir pada tempat dan waktu yang tidak tepat. Lahir di hutan, tepatnya ladang berpindah, dan di zaman penjajahan lagi. Dia tidak pernah mengenyam pendidikan. Kalaupun di KTP tertulis 31 Desember 1928, itu hanya tanggal rekaan. Dia buta huruf.

Ibu saya kawin muda, sekitar 18 tahun. Cukup lama, Inang dan Amang menunggu momongan. Dalam penantian itu, cerita Inang dan Amang, mereka selalu rajin berdoa. Terutama Amang, memang saya akui dia sebagai orang yang mempunyai tingkat keimanan luar biasa. Sufi. Firasatnya tajam, doanya sangat manzur, kalau tidak boleh menyebut mengandung mukjizat.

Sedari menikah, baru berselang empat tahun, saudara pertama kami lahir. Dalam masa penantian itulah, cetia Inang dan orang lain, ayah sering kali berdoa khusuk, saking khusuknya sampai menangis. Dia bermohon kepada Mula Jadi Nabolon, Debata, atau sebutan untuk Tuhan, agar dikaruniai anak yang banyak.

Tuhan mendengar doanya. Akhirnya, mereka dikarunia 14 anak, empat perempuan dan 10 laki. Saya anak keselusin. maklum, saat itu belum ada KB, Keluarga Berencana, yang ada Keluarga Besar.

Bukti kemanjuran doa Amang, menurut cerita banyak orang, termasuk saudara yang baru saya temukan di Bandung, tahun 2006 ketika Inang saya berkunjung, abang nomor enam lahir dengan cacat. Maaf, kakinya tidak normal, kedua telapak kaki tidak sempurna, maka punggung kaki hingga ke matahari kaki luar menyetuh tanah. Ayah terus berdua untuk kesembuhan cacat anaknya, sampai suatu ketika di pagi-pagi, menjelang abang saya masuk SD, dia berjalan normal sehabis bangun tidur. Tidak yang tahu, sampai seorang kerabat terheran-heran meyaksikan kaki abangku sudah berjalan layaknya anak-anak lain, tanpa ke dokter, tanpa operasi.

Kembali ke Inang. Jawabannya tentang kemungkinan jodoh saya saat itu di luar dugaan. "Terserah kamu. Kan yang mau menikah buka saya, tapi kamu. Pesan saya, mengingat karena kamu sudah mendapat pendidikan, tidak seperti Inangmu ini yang buta huruf, ya pintar-pintarlah mencari jodoh. Tidak mesti satu suku, tetapi yang bisa mengerti, memahami, dan cocok dengan keluarga. Saya tidak minta menantu mesti orang kaya, sebab kalo dia kaya, pasti tidak akan mau ke kampung-kampung di tengah hutan begini. Kalau nanti dia pun datang pasti menimbulkan masalah. Menghina kampu kita lah, menghina Inangmu inilah. Kalau sudah begitu, hubungan kekeluargaan dan kekerabatan pasti buruk. Sebaiknya jangan begitu."

Saya terdiam. Termangu. Jawaban sederhana namun sata makna. Pernyataan yang mengatakan, pikirlah matang-matang, supaya tidak menyesal kemudian. Lalu segera menggapai tangannya, dan mencium pipi ibu, sembari menggelayut manja. "Nggak kok. Saya akan coba usahakan, makanya berdoa juga, supaya Tuhan memberi jodohku, perempuan baik-baik dan bisa diajak menderita."

***


Saya kembali ke Banjarmasin. Menemui kekasihku, memang bukan orang Dayak. Kalaupun banyak teman-teman perempuan dari penduduk asli Kalimantan, mereka sebatas sahabt dan rekan sepergerakan di PMKRI Cabang Santo Agustinus Banjarmasin. Saya melanjutkan pacaran dengan perempuan yang sekarang jadi ibunya anak-anak.

Dia perempuan yang lahir dan besar Jakarta. Saya coba meyakinkan dia, bahwa saya betul-betul orang desa, dan miskin. Saya memang beragama dan sesekali mengikuti ritual liturgis, tapi keluargakami pun masih mengikuti tradisi leluhur batak. Ini soal keimanan dan kepercayaan, jadi jangan dipertentangkan, dan jangan dibeturkan, apalagi yang satu meniadakan yang lain. Itu permintaan utama saya. kalau soal kemiskinan, pasti teratasi kalau kita seiya sekata.

Saya mencoba jujur dari titik nol. Tidak ada yang ditutup-tutupi, maupun yang direkayasa. Dan untunglah. Saya takut karma seperti kata orang, kadal kok dikadali. Dalam konteks ini, saya kaitkan dengan upaya penyelidikan yang dilakukan Koordinator Pengawasan Keluhuran, Kehormatan Martabat, dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial (KY) Irawady Joenoes, Rabu (26/9/07).

Andai betul pengakuan dia, setelah mendapat mandat dari Ketua KY Busyro Muqodas, hendak mengawasi dan menginvestigasi dugaan 'main duit' di bagian Setjen dalam pengadaan lembaga baru, itu sehingga dia berniat menjebak pihak-pihak yang terlibat, eh malah dia sendiri yang terjebak. Irawady pun ditangkap basah KPK dengan Rp 600 juta di dalam tas dan 300 ribu dolar di kantong, pemberian Freddy Santosa, penjual tanah 5.720 meter kepada KY.

Jika Irawady hanya memainkan dua mata untu mengintai orang yang hendak dijebak, rupanya pihak yang diintai memasang banyak mata dan telinga. Kasihan Irawady, Kadal kok Dikadali. Itu bila asumsi tiu betul Entah dia juga berdusta, entahlah. Semoga saya masih mampu menuruti nasihat Inang, jangan mengejar kekayaan semata, apalagi menghalalkan segala cara.

"Dang adong jolma tubu pintor mamboan arta. Molo pe mamora, dang adong jolma memboan hamoraon i tu toru tano. Sudanai tadingkonon do i atas tanoon." (Tak ada seorang pun yang lahir membawa harta benda, dan kalaupun ada orang kaya raya, dia tidak akan membawa kekayaannya ke liah lahat. Semua itu akan ditinggalkan di bumi."

Tidak ada komentar: