Jumat, 13 Juni 2008

Presenter Terbaik?

"PRESENTASI Anda luar biasa. Seperti menghipnotis audiens. Kalau pada presentasi yang lain, masih banyak yang ngobrol sendiri-sendiri, tetapi saat Anda presentasi, semua terdiam, seperti dihipnotis. Mengapa bisa begitu. Mohon sharing di sini apak trik yang anda lakukan, apakah Anda sudah sering presentasi seperti ini sehingga bisa begitu meyakinkan di hadapan audiens?" ujar seorang perempuan, pasa sesi tanya jawab.

"Luar biasa. Kami seperti dihipnotis memang. Sayangnya Anda selalu memasukkan tangan kiri ke dalam saku, sepertinya berlagak bos," ujar audiens lainnya yang duduk di kursi paling depan.

"Materi dan penampilan presenter memang excellent, tapi kurang bisa mengatur waktu," kata Mas Joni, panitia sekaligus juri sembari mengacungkan jempol.

"Luar biasa, sayang, Anda tidak bisa mengatur waktu. Materi belum selesai, tapi waktu sudah habis. Sayang," ujar Masri Sareb Putra, sang mentor yang didatangkan dari Universitas Multimedia Nusantara Jakarta.

Demikianlah dalam Workshop Presentation Skill yang digelar Direktorat Diklat KOMPAS Gramedia berkumpul di Lantai 8 Gedung Gramedia Majalah di Jalan Panjang, Kebun Jeruk, Selasa (11-12 Juni 2008).

Saya mewakili kawan-kawan, yakni Budi Hermawan (dari Percetakan Gramedia), Isnu Hardoyo (SDM Majalah), Michael (Direktorat Pengawasan), Pudjo (Direktorat Pengawasan), Desi (Direktorat Pengawasan), Adi (Direktorat Pengawasan). Kami ditetapkan sebagai pemenang atas presentasi dengan materi SOBM&WCS (selanjutnya dirahasiakan... karena ide lolos tahap selanjutnya hahaha....). Kelompok 10 meraih nilai tertinggi, 81,3.

Hari itu kurang-lebih 200 orang karyawan KOMPAS Gramedia berkumpul di Lantai 8 Gedung Gramedia Majalah di Jalan Panjang, Kebun Jeruk, Selasa (11-12 Juni 2008). Mereka berasal dari berbagai divisi, dari berbagai daerah, dari aneka jabatan yang berbeda, pegawai rendahan seperti saya hingga petinggi di bidangnya.

Dua hari itu Direktorat Pendidikan dan Latihan KOMPAS Gramedia, yakni Workshop Presentation Skill. Pesertanya adalah karyawan/karyawati KG yang mengirimkan ide-ide untuk disertakan dalam Lomba Ide Inovasi yang digelar Panitia Win The Heart 2008 KG.

Peserta perseorangan dan tim. Ada sejumlah 329 ide yang masuk ke tangan panitia. Satu orang boleh mengirimkan beberapa gagasan, dan sebaliknya, satu gagasan dapat 'dikeroyok' beberapa orang.

Nah, orang-orang yang mengirimkan ide itu, diundang untuk mengikuti workshop yang intinya bagaimana presentasi yang baik sehingga berhasil meyakinkan audiens. Selain secara terori, ratusan otang itu dikelompokkan pada 18 kelompok.

Kemudian masing-masing orang dalam kelompok mengajukan idenya, selanjutnya kelompok mengajukan satu judul untuk dikerjakan bersama-sama dan dipresentasikan di hadapan kelompok yang lain.

Masing-masing kelompok mengisi kertas skor untuk setiap kelompok lainnya. Kelompok yang bersangkutan tidak menilai kelompoknya sendiri.

Sepeti kontes Mama Mia, Penialain juga diberikan panitia. Sedangkan dalam tanya jawab, audiens diberi kesempatan 5-6 orang untuk menilai penampilan presenter, hanya sedikit menilai materi/conten yang dibawakan. Penilaian juga diberikan mentor Presenter dalam hal ini mas Masri Sareb (Dosen UMN), dan mas Joni (Diklat KG).

Entahlah apa sebabnya saya mereka nilai bisa mempresentasi, padahal saya sendiri menilai bukan yang terbaik saat itu. Masih banyak yang lebih memukau, lebih bergurau dan membuat suasana hidup, riang. Sedangkan saya cenderung serius, dan 'vakum'.

Tapi biarlah, kelompok lain dan panitia yang menilai, ya syukurlah. Bangga pada kelompok, bangga (beda dengan sombong) pada diri sendiri, ternyata saya bisa. Ini kedua kali tampil di depan udiens dalam sebulan ini. Sebelumnya 3 Juni 2008 membawakan materi peta Pers Daerah di hadapan para petinggi Kantor Wilayah BNI seluruh Indonesia.

BERBICARA DAPAT DILATIH
SAYA sependapat dengan Masri Sareb Putra, Dosen Public Speaking Universitas Multimedia Nusantara, bahwa kecakapan berbicara dan berorasi di depan umum dapat dilatih. Bung Karno, orator ulung Indonesia yang belum ada tandingannya, misalnya, beliau sering berlatih di depan cermin.

Seingat saya, saya sosok bukan tipe orang yang Pd-PD amat. Kalau pun berani tampil setelah melalui banyak pertimbangan dana proses yang panjang.

Saya jadi teringat dengan Pak Guru Siregar, walikelas VI SDN Panombean Balata, tempat saya menuntut ilmu di SD. Saat itu, kira-kira tahun 1985 atau 1986, pernah marah besar pada saya. Kira-kira begini pak Guru katakan. "Pakai Bahasa Batak saja, nggak usah Bahasa Indonesia."

Dia menegur sya karena menjawab dengan bahasa Indonesia saat berbincang di luar pelajaran. Ketika itu, Ito (kakak perempuan saya) yang satu kelas dengan anaknya di SMP Negeri 1 Balata, rupanya mengalami kecelakaan ringan. Peristiwa itu diceritakan anaknya ke Pak Guru, kemudian pak Guru menginformasikan kepada saya, dengan maksud selanjutnya memberitahukan kepada ortu saya.

Jarak rumah kami di Lumban Ambarita Sihaporas tidak begitu jauh ke Balata, kira-kira 21 km. Tetapi saat itu, sarana transportasi belum selancar sekarang, dan kendaraan bermotor yang dimiliki warga kampung pun masih lebih sedikit dari jumlah jari-jari sebelah tangan.

Padahal, saya menggunakan Bahasa Indonesia bukan karena sombong. Bukan pula karena mengucapkan kata-kata lingua franca. Segan, hormat dan sopan lah yang saya dahulukan kepada setiap guru.

Dua tahun kemudian. Saya melanjut ke SMP Negeri 1 Tiga Balata, setelah pindah dari SMP Negeri 2 Tiga Balata. Saban pagi, dari kos menuju sekolah, saya selalu berpapasan dengan ibu Guru Sijabat. Dia mengajar matematika ketika kelas III-IV. Setiap berpapasan, dari ara h berbeda tentunya, saya selalu menutupu wajah dengan buku atau tas sambil berlari kecil.

Ya, saya memang semasa kecil sangat pemalu. Betul, malu. Menatap wajah orang lain pun malu, sehingga harus menutupi wajah. Hingga kuliah, saya masih relatif pendiam. Namun dalam perjalanan diperantauan, pergaulan dan sosialisasi di kampus dan organisasi PMKRI Banjarmasin, mengantarkan saya pada kesimpulan perlu keberanian.

Sejak itulah setiap seminar, saya hadiri dan berusaha menjadi penanya pertama, lalu setiap ada pelatihan public speaking atau pelatihan kepemimpinan, senantiasa saya ikuti. Dan sistem belajar pun, yang setiap dosen menondisikan mahasiswa sering-ering berdiskusi, berdialog bahkan berdebat kusir.

Selama kuliah pula, saya sempat mengikuti banyak organisasi, termasuk hingga Ketua Umum DPD PMKRI St Agustinus Banjarmasin (1995-1997), Komisaris Daerah Wilayah VIII/Kalimantan PP PMKRI (1997-1998), kemudian Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kalsel tahun 1999.

Organisasi PMKRI inilah yang banyak mendidik saya, termasuk bagaimana menyampaikan pendapat, menyampaikan usul atau gagasan yang efektif, tidak prematur. Melatih teknik-teknik menginterupsi (di antranya point of information, point of clearence, dll) serta menyela pendapat orang lain tanpa menyinggung perasaan yang bersangkutan, mengkritik yang lain dengan didahului pujian dan sebagainya.

Betul, saya memang pemalu. Tapi tidak lalu rasa malu itu mengubur hidup saya, saya mesti berjuang sekeras tenaga memupuk kepercayaan diri. Saya memang orang desa dan miskin harta, tapi tidak lalu latar belakang demikian membuat mental saya runtuh di antara orang-orang berkecukupan secara finansial.

Saya juga manusia, mereka juga manusia. Toh kita sama-sama ciptaan Tuhan yang Satu dan Sama. Kita sama-sama makan nasi, sama-sama tidur di kolong langit dan beralas bumi, karena itu, pd sya tidak boleh remuk hanya karena perbedaan sosial. Domu Damians Ambarita, tiga suku kata, yang nama lengkap saya sengaja saya pakai akhir-akhir ini, karena menuruti saran pakar metafisik dari Yogyakarta, mas Arkan, saya cocok dengan suku tiga kata. maka semoga nasib pun bertambah baik... (domuara damians ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 09 Juni 2008

Minyak Tanah Bersubsidi Dihapus 2010

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/06/09/13220613/minyak.tanah.bersubsidi.dihapus.2010

JAKARTA, SENIN- Penerapan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia selama ini betul-betul keliru. Orang kaya yang memiliki mobil mewah pun menikmati subsidi harga yang ditanggung pemerintah, sedangkan orang miskin tidak kebagian.

Di tengah kondisi keuangan negara yang tipis, maka subsidi tidak dapat diteruskan dan subsidi harus dikurangi bertahap, dan tahun 2010 akan dihapuskan total ketika konversi ke elpiji dianggap tuntas.

"Subsidi minyak selama ini tidak adil. Subsidi pada harga membuat orang kaya menikmati subsidi, seharusnya orang miskin. Sebanyak 40 persen masyarakat teratas menikmati 70 persen subsidi harga, sedangkan masyarakat bawah justru menerima sedikit subsidi," ujar Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro.

Purnomo menrangkan, dana subsidi BBM mencapai Rp 120
triliun per tahun, dan subsidi listrik 70 triliun per tahun. "Kalau subsidi harga dialihkan menjadi subsidi langsung kepada rakyat, maka dana untuk subsidi dapat digunakan langsung untuk dana pendidikan, BLT, kesehatan dan lain-lain. Memang ini tidak gampang, karena kental politik. Kalau unsur politik maka tentu mempertimbangkan aspek sosial," kata dia.

Dalam jangka pendek, upaya penurunan subsidi dilakukan
dengan penyesuaian harga BBM, yakni menaikkan harga
rata-rata 28,7 persen pada 24 Mei silam. Kemudian program konversi minyak tanah menjadi liquid petroleum gas (elpiji).

Di sektor pembangkit listrik, PLN akan terlah mengurangi penggunaan mesin berbahan bakar solar, diganti minyak bakar atau marine fuel oil (MFO) yang harganya jauh lebih murha dibandingkan solar. Sebagai perbandingan, kalau harga solar nonsubsidi Juni 2008 sebesar Rp 11.520/liter, maka harga minyak bakan baru Rp 6.701/liter. Di sisi konsumen, PLN menerapkan tarif non-subsidi bagi pelanggan katagori di atas 6.600 Volt Amphere.

"Adapun upaya jangka panjang, penyesuaian harga BBM
secara bertahan sampao pada harga keenonomiannya. Direncanakan, tahun 2010 minyak tanah bersubsidi tidak
beredar lagi, dan konversi elpiji sudah tuntas," kata Purnomo.

Dia mengungkapkan, realisasi konversi minyak tanah ke
elpiji pada tahun 2007 mencapai 163.182 kiloliter dengan 33.426 matric ton gas pada 3,83 juta keluarga dan 141 ribu usaha kecil. Sampai Mei 2008 realisasi konversi adalah 420.420 kiloliter minyak tanah dengan 93.299 matric ton gas.

Pasokan minyak tanah pun terus dikurangi. Tahun 2007 masih 9,85 juta kiloliter, tahun ini menjadi 7,83 juta kiloliter, dan tahun 2009, volume minyak tanah yang masih ada di seluruh Indonesia tinggal 3,08 juta kiloliter.

"Tahun 2010 diharapkan minyak tanah yang terkonversi diperkirakan mencapai 9,75 juta liter, dan volume minyak tanah yang disalurkan tidak ada lagi dengan asumsi pembagian paket perdana konversi minyak tanah ke elpiji selesai tahun 2009," tandas Purnomo. (Persda Network/domu damians ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Gas Metana Batu Bara Energi Masa Depan

JAKARTA, SENIN - Cadangan minyak dan gas bumi semakin menipis. Saat bersamaan, harga bahan bakar minyak terus melonjak. Mengatasi kesulitan itu, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral akan mengembangkan energi baru, yakni coal bed methane atau gas metana batu bara.


Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro,
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
"Era minyak sudah surut, sekarang kita ganti dengan batu bara dan gas. Batu bara dan gas menjadi energi primadona dan paling murah yang berlimpah di negara kita. Saat ini kita mulai eksplorasi gas alam, coal bed methane," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro.

CBM, kata Purnomo, sumbernya melimpah di Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Selatan. "Cadangan CBM secara nasional mencapai 453 triliun standar kaki kubik atau trillion
standard cubic feet (TSCF)," ujarnya.

Berdasarkan data Bank Dunia, konsentrasi potensi terbesar terletak di Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimantan Timur, antara lain tersebar di Kabupaten Berau dengan kandungan sekitar 8,4 TSCF, Pasir/Asem (3 TSCF), Tarakan (17,5 TSCF), dan Kutai (80,4 TSCF). Kabupaten Barito, Kalimantan Tengah (101,6 TSCF). Sementara itu di Sumatera Tengah (52,5 TSCF), Sumatera Selatan (183 TSCF), dan Bengkulu 3,6 TSCF, sisanya terletak di Jatibarang, Jawa Barat (0,8 TSCF) dan Sulawesi (2 TSCF).

Di tempat serupa, Sekretaris Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen ESDM Teguh Pamuji menerangkan, kontrak untuk eksplorasi CBM telah ditandatangi antara PT Emdco Energy dengan PT Ephindo untuk lahan di Blok Sekayu di Kabupaten Musi Banyu Asin (Muba), Sumatera Selatan. "Diharapkan tiga tahun ke depan, atau tahun 2011, CBM sudah dapat dipasarkan," ujar Teguh.

Sebelumnya, PT Petro Muba, Sekayu, Musi banyuasin (Muba), dan PT Epjhindo sepakat bekerja sama mengeksplorasi CBM. Kemudian PT Elnusa Drilling Service, anak perusahaan PT Elnusa, memenangi tender pengerjaan tiga sumur uji coal bed methane (CBM) di lapangan Rambutan SSE Blok Sumatera Selatan. Elnusa
dinyatakan menang dalam pelelangan yang diadakan PPPTMGB Lemigas. PT Perusahaan Gas Negara (PGN) akan
mengembangkan Coal Bed Methane (CBM) untuk menggantikan gas bumi.

Bentuk CBM sama halnya dengan gas alam lainnya. Dapat dimanfaatkan rumah tangga, industri kecil, hingga industri besar. CBM biasanya didapati pada tambang batu bara non-tradisional, yang posisinya di bawah tanah, di antara rekahan-rekahan batu bara. Agar lebih mengunutngkan, CBM lazimnya dieksplorasi setelah batu baranya habis ditambang.

Sejauh ini, biaya eksplorasi CBM masih lebih tinggi dibandingkan mengekplorasi minyak bumi. Namun, kata teguh, pada satu waktu nanti, biaya akan lebih murah sehingga CBM menjadi energi alternatif baru yang dapat dimanfaatkan masyarakat.

Saat ini, ada 20 perusahaan antre mendapatkan izin eksplorasi CBM, di antaranya perusahaan swasta pemilik kuasa pertambangan batu bara. Pengembangan teknologi untuk mengekstrak sumber energi ini pertama kali dilakukan di Amerika Serikat, yakni Alabama dan Colorado Selatan pada akhir tahun 1980. Di Amerika, gas alam jenis CBM mencapai 7 persen dari total produksi. Negara lain yang sudah mengembangkan CBM antara lain Afrika Selatan, Australia, dan Kanada. (Persda Network/domu damians ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Apakah CBM Itu?

BATUBARA merupakan salah satu sumber energi tak terbarukan yang banyak terdapat di dunia, termasuk Indonesia. Batubara memiliki lapisan-lapisan berisi gas alam dengan kandungan utamanya metana atau methane (CH4) yang disebut CBM. CBM tidak berbau, tidak berwarna dan sangat mudah terbakar.

CBM terbentuk bersama air, nitrogen dan karbondioksida ketika material tumbuhan tertimbun dan berubah menjadi batubara karena panas dan proses kimia selama waktu geologi yang sering disebut dengan coalification.

Jumlah kandungan CBM dalam lapisan batubara sangat tergantung pada kedalaman dan kualitas batubaranya. Semakin dalam lapisan batubara terbenam dari permukaan tanah, sebagai hasil dari tekanan formasi batuan di atasnya, semakin tinggi nilai energi dari batubara tersebut, dan semakin banyak pula kandungan CBM. Secara umum, lapisan batubara bisa menyimpan gas metana sebesar 6 - 7 kali lebih banyak daripada jenis batuan lain dari reservoir gas.

Gas CBM yang dilepaskan ke udara, dari penambangan batubara, merupakan gas penyerap radiasi infra merah yang kuat dan merupakan gas penyebab efek rumah kaca (Green House Gas). Gas CBM ini ikut berperan dalam menambah kekuatan radiasi infra merah, yang saat ini telah bertambah sekitar 15 persen pada atmosfer bumi.

Dengan berat yang sama, gas metana, sebagai komponen utama CBM, yaitu sekitar 95 persen, merupakan molekul yang memberikan radiasi 70 kali lebih besar dibandingkan karbondioksida, tetapi efek yang ditimbulkannya relatif lebih pendek yaitu sekitar 8-12 tahun di atmosfir (sekitar 5 persen dari efek radiasi dari karbondioksida). Dengan kata lain, pengurangan emisi gas metana akan mempunyai manfaat dalam jangka waktu yang lebih pendek.

Cadangan CBM, berdasarkan Data Bank Dunia, diperkirakan mencapai 453 TSCF dengan konsentrasi potensi terbesar terletak pada dua pulau yaitu Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimanan antara lain di Kalimantan Timur (Berau 8,4 TSCF , Pasir/Asem 3 TSCF, Tarakan 17,5 TSCF, dan Kutai 80,4 TSCF), Kalimantan Tengah Kabupaten Barito 101,6 TSCF, dan Sumatera Tengah 52,5 TSCF, Sumatera Selatan 183 TSCF; dan Bengkulu 3,6 TSCF, sisanya terletak di Jatibarang (Jawa Barat) 0,8 TSCF dan Sulawesi 2 TSCF.

Besarnya perkiraan cadangan CBM telah mendorong beberapa pihak terkait untuk mengembangkannya sebagai bahan bakar alternatif, melalui pemboran sumur pertama, yang dilakukan pada tahun 2005, pada kedalaman 600 meter di Lapangan Rambutan, Pendopo, Sumatera Selatan.

Pengeboran itu merupakan kelanjutan kerjasama Balitbang ESDM yang diwakili oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas (Lemigas) dengan Medco Eksplorasi dan Produksi Indonesia (MEPI). Berikutnya, tahun 2006 dilakukan pemboran 3 sumur dan pada tahun 2007 direncanakan pemboran sebanyak 5 sumur untuk mengetahui cadangan pasti CBM di Lapangan Rambutan.

Keseriusan pemerintah dalam pengembangan CBM ini terlihat dari usahanya mendorong PGN untuk bekerjasama dengan Sojitz Corporation dalam pengembangan CBM di areal pertambangan batubara Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dengan kerjasama komersialisasi antara PGN dengan Sojitz, diharapkan PGN dapat memenuhi kebutuhan gas domestik dengan CBM di Sumatera Selatan yang dialirkan melalui pipa South Sumatra-West Java (SSWJ).

Pada saat ini Indonesia belum pernah memproduksi CBM, sehingga belum bisa dipastikan berapa biaya produksinya. Sementara itu, CBM telah banyak dikembangkan, umumnya digunakan untuk menggerakan turbin pembangkit listrik. Beberapa negara telah memanfaatkan CBM seperti Amerika, Rusia, China dan Australia.

Pengembangan teknologi untuk mengekstrak sumber energi ini, pertama kali dilakukan di Alabama dan Colorado Selatan pada akhir tahun 1980. Berdasarkan pengalaman yang telah mereka peroleh, banyak hal yang bisa kita pelajari dan persiapkan baik secara teknik, biaya hingga dampak yang ditimbulkan, terutama terhadap lingkungan, jika sumber energi ini akan dikembangkan lebih jauh lagi di Indonesia. (persda network/domuara damians ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 05 Juni 2008

Cara Sederhana Menyemangati Anak



BARU-baru ini, kawan saya di kantor, minta pulang agak lebih cepata dari biasanya. Alasannya, dua hari lagi, anaknya akan mengikuti ujian nasional (UN) SD.

Inang, Porti Napitu, seorang ibu yang luar biasa kuat. Empat belas (14) kali melahirkan, 36 cucu dan satu cicit, kini di usia senja (85 tahun) masih tetap saja produktif. Misalnya memanen kopi 'Ateng' (kanan), menjinjing kopi yang baru dipanen (kiri). I love you mum...

"Saya sudah dipesani anak, agar menemani dia belajar. Katanya supaya tidak takut dan tidak ngantuk. Saya pikir, betul juga, sudah lama kami berjauhan, saya bekerja di luar kota, sedangkan keluarga tinggal di Jakarta. Setidaknya saat menjelang UN, saya mendampingi
untuk memberi semangat," ucap
kawan tadi.

Ya, saat itu murid-murid SD sedang memasuki masa-masa ujian nasional. Ujian tiga hari untuk menentukan perjuangan selama enam tahun. Kalau si murid dengan usaha keras, belajar tekut, konsentrasi penuh dan dapat menjawab soal-soal ujian
dengan sempurna sehingga nilai bagus melampaui ambang batas UN, maka dia akan lulus. tamat dari SD, yang sudah
dilakoninya rutin selama enam tahun.

Andai sial, entah karena keliru menjawab, atau karena otak tak mampu, atau karena tertekan menghadpi bebratnya beban ekonomi dalam keluarga sehingga sepulang sekolah harus mengamen, negloper koran, atau melakukan pekerjaan berat yang seharusnya tidak dilakukan orang seusianya, tidak ada ampun baginya. Gagal, tidak lulus. Maka mengulanglah setahun lagi.

Saat seperti itu, ingatanku memutar ke 25 tahun silam, ketika masih duduk di bangku SD. Bagaimana perjuanganku sekolah setiap pagi. Huta (Toba = kampung) berada di tenggara Danau Toba. Namanya Lumban Ambarita Sihaporas, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun, Sumut. Kemudian berubah jadi bagian dari kecamatan Sidamanik, dan setelah era reformasi, masuk Desa Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik.

Kampung daerah pegunungan dengan sistem pertanian huma, ladang, bukan sawah. Jagung, singkong, dan padi darat ketika itu menjadi seumber penghidupan warga. Penghasilan utam hasil hutan, seperti bekerja di panglong atau perusahaan penebangan hutan, mengambil getah pinus atau berburu.

Saat itu, jumlah rumah atau kepala keluarga tidak lebih dari 50 rumah. Lama kelamana, desa berkembang dan makin padat berkat adanya primadona pertanian komoditas ekspor semacam cabai, jahe dan kopi. Kemudaian tomat, dan sayur-mayur untuk pasaran lokal.

Sihaporas berada di dataran tinggi, gugus pegunungan Bukit Barisan. Dinginnya luar biasa ampun. Kala tidur, selimut dan sarung membungkus tubuh bak pocong. Tidak ada kasur, tidak ada tailam, apalagi springbed. Yang ada adalah amak, rere atau tikar dari bayon, semacam tanaman bakau. Ada juga tikar dari pandan, alias raso.

Tikar langsung berlapis dengan papan. Kala kemarau, dinginnya malam menusuk tulang-tulang, karena angin berembus dari bawah kolong rumah panggung, dari celah-celah atau jarak antarpapan. Tubuh meringkik, menggigil.

Domu kecil, dengan susah payah, saban pagi berangkat ke sekolah. Saking dinginnya, kadang kala tidak sempat mandi. Jujur saja, bahkan lebih sering tidak mandi. Di atas 75 persen, murid- murid terutama baoa (laki-laki) dapat dipastikan tidak mandi sebelum berangkat ke sekolah. Selain karena dingin yang kelewat amat, ketiadaan air sumur apalagi PAM pun jadi alasan tersendiri. Susah mendapatkan air, kecuali sore harinya mangutti, manjujung atau menjinjing seember air dari binanga (sungai).

Murid-murid lazimnya, cukup segayung air untuk cuci muka, sekaligus mengelus rambur hingga setengah basah, sekana mandi. Sebagian orang bahkan mengelabui diri dan orang lain dengan mengoleskan minyak makan --yang sering membeku saking dinginnya- ke rambut atau ke kaki. Kalau minyak makan/goreng lagi kritis, bahkan ada yang menggunakan jelantah. Untuk ini saya jujur, rasanya taidak pernah.

Alasan lain, tidak sempat mandi. Ke sungai perlu waktu sekitar 10 menit. Padahal murid-murid harus berpacu dengan waktu. Kebetulan, pada pagi hari, matahari agak terlambat terbit di Sihaporas. Pukul 06.30 masih gelap, seperti pukul 05.00 di Jakarta, sebaliknya kalau sore, matahari seakan malas menuju peraduan. Pukul 17.00 masih terlihat seperti sore.

Jarak dari Lumban Ambarita Sihaporas ke sekolah cukup membuat anak-anak sekarang geleng kepala. Sekolahan terletak di perkebunan Teh Bahbutong yakni di Kampung Pondok, tempat perkampungan orang-orang Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma) pekerja kebun the. Jaraknya enam kilometer. Jadi saban hari, saya dan puluhan anak Sihaporas menempuh jalan kaki 12 kilometer pulang pergi.

Ke sekolah, jangan harap naik angkot atau mobil jemputan. Jalan kaki. Demi mengerjar waktu, serapan pun sering tidak teratur. Kalau tidak sempat memask, nasi tadi malam tinggal disirami air panas, lalu dengan terburu-buru menyantap dengan lauk-pauk seadanya, seperti gulamo na tinutung (ikan asin bakar), atau sekadar membubuhi garam.

Jalan dapat dilalui mobil. Tapi namanya jalan desa, kala hujan berlumpur, kala kemarau berdebu. Menghindari sepatu kotor, sampai pertengahan menuju sekolah baru ditemukan jalan yang lumayan baik di perkampungan B-8, atau kebun teh, murid- murid menjinjing sepatu. Kaki ayamlah.

Selama perjalanan, tidak pernah melengak-lenggok bak peragawati di kanvas. Murid-murid terus berlari-dan berlari, secara berkelompok. Maka karena tidak cukup waktu, takran makan pun dijaga dengan cermat, sebab kalau kekenyangan, maka si orang itu akan tertinggal.Orang kenyang biasanya sakit perut kalau langsung berjalan jauh, apalagi berlari.

Sesampai di sekolah, guru-guru seperti Ibu Guru Boru Gultom (wali kelas I-III), Ibu Boru Sijabat (wali kelas IV), Bapak Siregar (walikelas V) dan Pak Sinaga (Kelas VI, merangkap Kepala Sekolah) dengan telaten, dan sabar mendidik murid-murid. Guru-guru juga menempuh perjalanan jauh, sebagian bermukim di Balata, sektiar 21 kilometer ke sekolah.

Kalau murid terlambat, guru menjewer kuping . Lebih sakit lagi kalau rambut antara telinga dan kulit pipi yang ditarik ke atas. Sesekali guru memukul pakai belebas/penggaris kayu, lidi, atau bahkan kalau lagi kalap menghadapi murid bandal, kayu pasak penghalang daun pintu yang dipukulkan, menimpa kepala..... Amang oi amang, hansitnai.....

Untuk kelas I, jam sekolah berankhir sekitar jam 10. Tetapi untuk kelas lainnya, jam sekolah rata-rata berakhir sebelum pukul 12.00. Selama sekolah, belum tentu dapat uang jajan. Kalaupun ada, seadanya untuk embeli opag, atau kerupuk. Tidak cukup untuk sepiring lontong.

lalu saat pulang murid-murid sering sekali kelaparan. karena terik dan lapar, dalam perjalanan tentu tidak berlari, melainkan banyak berlindung di pohon the atau pepohonan di pinggir jalan. Sedangkau kalau musim hujan, berbasah-basah. Maka tiba di ladang, jarang sekali langsung ke rumah, sekitar pukul 14.00 atau lebih. Dapat dibayangkan bagaimana laparnya..

Tiba di ladang hidangan yang ditemui singkong atau ubi rambat rebus, jarang makan nasi, kecuali malam dan pagi. Lauk-pauknya adalah, terong, tomat, daun singkong, ranti/leutu, sejenis rumput merambat berasa pahit. Cukup segitu. Setelah itu membantu ito atau abang berladang, mangombak.

***
Walau jalan berliku dan jauh, anak-anak dari Lumban Ambarita Sihaporas jarang drop-out. Rata- rata melanjut sampai ke seklah yang lebih tinggi, bahkan sampai kuliah. Saya termasuk sedikit orang sepantaran saya yang dapat menyelesaikan kuliah, dan merantau.

Bukan karena keluarga berada, melainkan semata-mata mengandalkan pertolongan Mula Jadi Nabolon, yang adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Hingga SMP kelas III, amang, Jahia Ambarita, mantan Kepala Desa dan Pejuang Veteran RI, masih hidup. Uang pensiunan sebagai tunjangan veteran didapatkan Amang, setelah dia pergi ke liang lahat. Sekarang, inanglah yang menikmatinya.

Beliau bersama Inang, Porti Boru Saragi Napitu, selalu memberi dorongan kepada kami untuk maju terus. Bukan dengan paksaan, tidak harus disertai lidi, melainkan dengan cara-cara yang terselubung menyemangati kami.

Mereka misalnya, selalu menyuguhkan indahan hunik atau nasi kuning berikut telur ayam kampung rebus disertai bunga-bunga (bunga mekar warna merah). Menu itu dihidangkan dengan nuansa ritual, lalu menyuruh setiap anaknya untuk berdoa menurut keyakinan tradisional barak. Sebagian orang menyebut Parmalim. Walau keluarga kami termasuk penganut Katolik taat, tetap tidak melupakan ajaran leluhur dan adat istiadat.

Suguhan seperti itu lazim diberikan Amang-Dainang menjelang ujian, entah ujian naik kelas maupun Ebtanas. Dorongan tersembunyi yang diberikan Amang adalah, dia akan selalu menyuruh Domu kecil, atau abang saya Baren, kakak saya Donna atau Adik bungsu kami Jonny untuk mencari gadong martusuk ri atau ubi/singkong yang ditembus tusukan ilalang.

Singkong itu dibakar, dibenang di bawah purunan, tanah panas di bawah arang-tungku. Setelah ubi dikeringkan oleh panah arang, singkong dibenam. Jadi membakarnya tidak di atas api membara atau arang panas. Setelah masak, Amang mengambil singkong lalu marmilmil atau membaca mantera dan menyebut "supaya kalian pintar".

Mantera itu, bagi anda barangkali tidak betul, atau jangan-jangan jadi berhala, sehingga tabu. Namun Domu kecil sangat yakin, hal itu memang membuat pintar. Saat ini, dengan nalar yang ditambahkan kepada saya, setidaknya saya dapat mengambil makna di balik itu adalah:

  • Amang memberi sugesti kepada anak-anaknya, bahwa makan singkong pun, manusia dapat bertahan hidup, bahkan menjadi pandai. Ini sepadan seperti firman Tuhan, bahwa hidup tidak hanya dari ragi/roti.

  • Amang tahu, makanan pokok lain yang lebih llezat dan jumlahnya tersedia selain singkong, tidak ada lagi. Yang ada beras, jumlah terbatas, dan mahal untuk ukuran desa, Maka beras hanya dikonsumsi malam dan pagi, atau pada acara-acara tiual dan pesata besar saat panen raya.

  • Amang coba menanamkan nilai-nilai moral, memanfaatkan sumber-sumber terbatas pun, anak-anaknya harus terus mempunyai motivasi, tujuan dan obsesi yakni menjadi orang pintar. Kalau pintar kan, konotasinya berhasil.

Seingat saya, Inang dan Amang tidak pernah memukuli kami dengan kasar, seperti sering diperlihatkan orang tua lain kepada naknya, yang sampai kejar-kejaran di halaman luas untuk melakukan suaatu hal saja, misalnya unutk mandi atau agar anaknya turut ke ladang, atau agar anaknya bersekolah. Tidak. Amang dan Inang bukan tipe itu.

Rumah kami adalah rumah adat.Rumah bolon. Ruma gorga. Rumah balai eprtemuan Marga Amabrita dari perantauan maupun ada acara-acara besar. Rumah ukuran besar, yang dpat menampung kurang lebih 150 orang.

Sekali waktu, saat ada gondang, atau pesat adat dengan alatmusik giondang, acara ini rutin sebagai acara tahunan atau dwitahunan, saya memohon izin kepada Inang agar tidak usah kesekolah.

Inang tidak mecubit saya. Juga tidak memukul. Membentak pun tidak. Malah dengan nada sangat lunak, seakan merasa berterima kasih dan meminta saya libur atau tak usah sekolah sekalin. "Olo, nauli mai. Baenma, unang pola sikkola. Alai lao maho du balian, parmahan horbo. Unang sampe male, unang sampe mardando"

Padahal nadanya mengejek, dan bahkan memberi beban yang sebenarnya lebih berat daripada pergi ke sekolah. Saya disuruh menggebla kerbau, dengan catatan, ternak tidak boleh lapar dan lepas sehingga merusak tanaman orang lain. Diberi pilihan semacam itu, saya berpikir, keputusan saya lebih baik sekolah. Saya minta diberi relaksasi atau refreshing dari rutinitas sekolah, kok malah diperintah menggembala. Wah repot ini...

Itulah cara-cara kecil, contoh sederhana, tapi menurut saya sangat arif dan bijak, dengan kearifan lokal, Amang dan Inang membina kami anak-anaknya. Kami keluarga besar. 14 orang anak lahir dari rahim seroang ibu, satu ayah.

"Berkat melimpa bari Janda," firman Tuhan. Setelah ayah meninggal, kami anak-anaknya malah menyelesaikan sekolah sampai sarjana. Domu, Abang Baren dan Ito Donna bisa jadi sarjana. Ada pun Jonni, karena bandal, tidak merampungkan kuliahnya, kendati sempat memasuki tahun keempat.

Saya bangga,orang desa, bahkan suku anak dalam yang terasing, saat ini dapat hidup di kota besar, setelah berpindah-pindah dan mennyinggahi banyak kota seperti Lampung, Semarang, Banjarmasin, Balikpapan, Palangkaraya, Pontianak, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan saata ini di Jakarta. Saya bangga pada diri saya dan latar belakang saya, keluarga saya, asal susul saya, walaupun saat ini masih berstatus kuli-kuli, dan rasanya akan tetap jadi kuli. Mauliate Oppung Debata, Terima Kasih Tuhan (Domuara Damians Ambarita)




[+/-] Selengkapnya...

KORAN LOKAL BEREBUT KUE OTONOMI DAERAH


Oleh Domu Damians Ambarita
A. PERS DARI MASA KE MASA

Kolonial: Komunikasi Antarpenjajah

1676: Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa), memuat berita perkembangan terkini dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark dicetak di Batavia.
{Dr De Haan dalam buku "Oud Batavia" (G. Kolf Batavia 1923)}

1744: Bataviasche Nouvelles memuat berita tentang acara resepsi pejabat, pengumuman kedatangan kapal, stok barang dagangan, atau berita dukacita.

Masa Perjuangan: Kemerdekaan 1903: Surat kabar pertama yang dikelola pribumi di Bandung, Medan Prijaji .
- Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra).
- Pemimpin redaksinya R M Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat.
- Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan.
- Lahirnya Kebangkitan Nasional
- Mengumandang Sumpah Pemuda
- Terbitnya kebebasan, Kemerdekaan 17 Agustus 1945

Soekarno (17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967)
- Di awal pemerintahannya menjanjikan keterbukaan pers, berbeda dari zaman kolonialDalam perjalanannya, pers berhadapan dengan rezim penguasa: revolusi belum selesai.
- Kritik pedas dianggap berseberangan dengan revolusi, dan dicap kontra revolusioner.
- Tahun 1954, Persbreidel Ordonantie dihapus, tapi SOB (Staat van Oorlog en Beleg)
- SOB peninggalan penjajah berisi pasal pasal karet untuk mengontrol pers
- Belum berusia lima tahun pemerintahan, lebih dari 10 suratkabar dibredel seperti Pedoman, Bintang Timur, dan Indonesia Raya.
- Tekanan politik semakin besar ketika Demokrasi Terpimpin
- Pers harus berada dalam landas pacu sosialisme, atau dianggap musuh revolusi.
- Pers pada akhirnya tak lebih dari alat propaganda negara untuk keperluan penyebar luasan manifestasi politik rezim penguasa dalam menyikapi perang dingin.
Soeharto (12 Maret 1967 – 21 Mei 1998)
- Deppen, Laksus & Kokamtib lembaga superbody, hantu pencabut nyawa pers Bredel senjata ampuh mengerangkeng pers dan wartawan11 kali membredel 33 penerbitan
- Merumuskan sistem pers Indonesia yakni Pers Pancasila.
- Pers menjadi corong pemerintahCampur tangan birokrasi dan militer sangat jauh ke dapur redaksi
- Hanya mengeluarkan 241 perizinan selama 32 tahun berkuasaaDalam 28 tahun, hanya satu organisasi wartawan, PWI. (Deklarasi Sirna Galih, AJI, 7 Agustus 1994 atas pembredelan Tempo, Detik, dan Editor).

BJ Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999)
- Pemicu pembredelan Tempo (ketika menjabat Wapres)Era Reformasi tibaEuforia sosial & politik
- Membuka celah kebebasan pers dengan menerbitkan UU Pers No 40 tahu 1999
- Pers mulai bebas dan terbuka.
- Permenpen No 01/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), dicabut pada 5 Juni 1998
- Setahun kemudian diberlakukan UU No.40/1999 tentang Pers September 1999.
- Lebih dari 1.600 SIUPP baru dikeluarkan Mei 1998-Agustus 1999

Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001)
- Giliran Deppen yang dibredel, Oktober 1999
- Pembubaran Deppen menandai hilangnya kontrol negara terhadap pers
- Selanjutnya kontrol pers beralih ke tangan masyarakat
- Presiden menghilangkan birokrasi terhadap wartawan di istana
- Jumpa pers setiap Jumat
- Kebebasan pers banyak dikecam “kelewat batas” dan chaotic. Lalu KEWI disepakati dan ditandatangani wakil dari 26 organisasi wartawan
- Jawa Pos diduduki massa Banser NU 6 Mei 2000. SCTV dipaksa FPI menghentikan penayangan opera sabun, Esmeralda, 4 Mei 2000.
- Kembalinya media partisan, antara lain Amanat milik PAN, Duta Masyarakat (PKB), Demokrat (PDI-P), Abadi (PBB) dan Siaga (Golkar).

Megawati Soekarnoputri (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004) - Di awal berkuasa malau-malu dan tertutup di muka pers
- Pers tak terkontrol, kebablasan
- Di akhir kekuasaan, saat Kampanye Pilpres 2004 merasa ditinggalkan dan dianaktirikan pers
Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 – ...)
- Kritik pers terhadap pemerintah tetap menguat
- Presiden dinilai banyak mengingkari janji kampanye
- Presiden dinilai Tebar Pesona
- Pemerintahan SBY-Kalla tidak coba mengurangi kebebasan pers, misalnya meminta pers secara cermat dan adil memberitakan kebijakan pemerintah dan mengumpulkan para pemimpin redakti dan pemilik media massa

B. PERUBAHAN SUDAH DATANG
John Naisbitt: Global Paradox (tahun 1994) - "Dalam jaringan ekonomi global abad ke-21, teknologi informasi akan menjadi motor perubahan seperti dahsyatnya perubahan yang diusung mekaniasi dalam era industri"

- Digitalisasi akan membuat komunikasi serba real time… persoalan bisnis yang lazimnya baru dapat diselesaikan setelah berbulan-bulan, ke depan akan segera dapat diselesaikan bersama pihak-pihak terkait berdasarkan data base yang ada, dan segera disebar ke internet

- Ekonomi dunia memang akan lebih beasr, tetapi hanya sekelompok orang kecil yang akan berkuasa penuh

John Naisbitt: Mind Set! Reset Your Thingking and See the Future (2006)
Tentang perubahan: Resistensi terhadap perubahan berhenti jika ada manfaat nyata. Jelasnya, orang ingin maju biasanya tak menolak perubahan karena tidak tahan terhadap perubahan tapi karena melihat perubahan itu menawarkan manfaat

Tentang Teknologi:
Jangan lupakan ekologi teknologi. Sebab kemajuan di bidang teknologi seringkali membawa konsekuensi yang tak terelakkan. Menurut naisbitt, budaya visual akan mengambil alih dunia. Pengambilalihan itu digambarkan dengan kematian novel (setelah diadaptasi jadi film), kematian koran (diganti tv atau internet) dan kematian iklan baris.

C. OTONOMI DAERAH
- Desentralisasi pemerintahan hanya 6 Departemen yang kewenangannya masih ada di Jakarta (walaupun menurut Sultan, masih ada 29 depertemen yang dananya dikelola ’kasir’ di Jakarta)
- Demam kebebasan dirayakan masyarakat dengan memunculkan partai-partai politik baru, termasuk partai politik lokal
- ’Cinta’ daerah diiukiti sentimen kedaerahan semakin kentalPemilu legislatif menganut sistem proporsional dengan daftar calon terbuka: memungkinkan berkampanye sendiri-sendiri
- Muncul raja-raja baru di pulau kecil: Gubernur, Bupati, Walikota
- Banyak pemimpin berlatarbelakang dari pegusaha
- Calon perseorangan boleh maju dalam Pilkada
- Semua ini menambah belanja domestik, termasuk untuk iklan di media massa

D. MEDIA CETAK, TV DAN WEBSITE

1. Koran
- Secara nasional oplah produk pers masih rendah, yakni 17,374 juta eksemplar (6,026 juta eksemplar harian), rasio 1:38, sedangkan standar UNESCO 1:10. Rasio pembaca koran di Malaysia 1:20, Singapura 1:8, di Jepang satu orang membaca 3- 4 koran atau 3:1.

- Direktor Eksekutif Serikat Penerbit Surat Kabar Pusat (SPS) Asmono Wikan (Kompas, 5/12/2007) mengatakan jumlah terbitan secara nasional stagnan pada angka 17 juta eksemplar, khusus surat kabar turun oplah sekitar 1 juta eksemplar. Penambahan terjadi pada majalah-majalah franchise.

- Abdullah Alamudi dari Dewan Pers mengatakan, jumlah perusahaan media cetak data 31 Januari 2008, ada 829 perusahaan, dan hanya 30 persen yang sehat bisnis. Sisanya, separuh sakit parah dan lainnya menunggu ajal (data 31 januari 2008).

- Harga kertas koran naik., 1 April naik lagi menjadi Rp 8.000/kg (termasuk PPN)Penerbit koran menyubsidi pembaca, tetapi karena harga kertas dan bahan baku cetak terus naik, biaya produksi menjadi mahal.

- Menaikkan harga langganan 10 persen, mengakibatkan penurunan oplah lebih dari 10 persen. ”Jika 10 tahun lalu kita mengatakan penurunan oplah akan recover (pulih) kurang lebih satu bulan, saat ini membutuhkan waktu lebih dari satu tahun. Itu sebabnya, rekan-rekan penerbit koran tidak mudah menaikkan harga langganan,” kata CEO Kompas Gramedia/Wakil Pemimpin Umum Kompas, Agung Adiprasetyo.

- Pelanggan koran sebenarnya hanya membayar 16 halaman kertas kosong, belum membayar cetak, ongkos kirim, belum uang makan karyawanMulai muncul koran elektronik (electronik news paper) dengan lembaran plastik

2. TV - Budaya membaca bergeser ke budaya menonton televisi

- Tontonan televisi dianggap lebih menarik karena disajikan dalam bentuk gambar bergerak, sementara surat kabar lebih banyak menampilkan kata-kata yang harus dibaca jika ingin mengetahui isinya.

- 2006: Stasiun televisi yang mengajukan perizinan sebanyak 46 . Siaran televisi berbayar ada 17 perusahaan mengajukan izin, 3 di antaranya sudah diberi izin

- 2007: Tahun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerima pengajuan surat permohonan izin siaran dari 158 stasiun televisi

- Tayangan tanpa parabola dan langganan, lintas benua yakni tv streaming

3. WEBSITE/ INTERNET
Prof Thomas Patterson dari Shorenstein Center on the Press, Harvard University, mengatakan penggunaan online makin meningkat, dan seiring itu, audiens media lama menurun.

- Kurun waktu April 2006-April 2007, oplah koran turun tiga persen sedangkan siaran berita kehilangan sejuta pemirsanya. Jumlah orang yang menggunakan Internet untuk sumber berita telah meningkat, bahkan dalam beberapa kasus, terlihat jelas.

- Digg.com, yang pengunjungnya memilih isi situs, pada April 2006 dibuka dua juta pengunjung, setahun kemudian, jumlah pengunjungnya 15 juta.Berita online rata-rata mengalami pertumbuhan pengunjung sebanyak 14 persen sedangkan pengunjung blog rata-rata bertambah enam persen.

- Situs Google, Yahoo, AOL dan MSN, setiap bulan dibuka 100 juta pengunjung, jauh di atas pengunjung situs web jaringan televisi besar yang hanya 7,4 juta per bulan.

- Situs web harian kondang seperti New York Times dan Washington Post, rata-rata dikunjungi 8,5 juta pengunjung setiap bulannya.

- Namun, situs koran lokal mengalami penurunan atau tidak bertambah pengunjungnya, padahal mereka tadinya adalah pembaca edisi cetak.

- Sejak 1995: Demam internet di Indonesia Kehadiran Apakabar, mailing-list yang dikelola John McDougall dari Amerika.

- Melalui Apakabar berbagai pandangan disebarkan, dari yang paling radikal hingga puritan, dari aktivis pro-demokrasi sampai aparat intel-militer. Selain berisi polemik berbagai pendapat dan pandangan, Apakabar juga menyebarkan informasi dari media massa, dalam dan luar negeri, yang berkaitan dengan situasi terbaru di Indonesia. Sensor yang menjadi kebiasaan rezim Soeharto, tidak bisa diterapkan di internet.

- Teknologi multimedia (website, 3G ponsel, game, dll), berkembang pesat, sebagai sumber informasi alternatifSitus portal menjamur, semua Koran punya portal, bahkan banyak portal baru Tren citizenship journalism: blog, frienster, facebook, website komersial, kamera tangan, PDA, Blackberry/3G, VoIP-Wi-Fi

E. KORAN LOKAL VS KORAN NASIONAL - Dulu ada fatsoen, koran nasional tidak boleh menerbitan koran lokal, bila sudah ada koran di kota itu.

- Sekarang iklim bisnis surat kabar bersaign ketatKoran nasional kini berhadap-hadapan dengan koran lokal. Koran lokal harus memeras otak agar tidak terjebak dalam persaingan yang bisa menjatuhkan pasar yang telah lama direngkuh. Koran nasional disokong kapital besar, jejaring, strategi pemasaran, dan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi lebih baikSolusinya adalah, koran lokal bermitra dengan koran nasional, atau setidaknya membuka jaringan seluas-luasnya.

Peta Koran Lokal
1. Pikiran Rakyat (PR), Jabar-Banten
- Terus melakukan revitalisasi penerbitan surat kabar yang telah dimilikinya, yakni Galamedia, Mitra Bisnis, Galura, Mitra Dialog (Cirebon), Priangan (Tasikmalaya) dan Fajar Banten.

- Strategi lain PR ialah mengembangkan suplemen reguler. Koran ini menerbitkan 11 suplemen reguler yang memiliki jadwal terbit setiap pekan.
- Menggarap wilayah-wilayah potensial Jabodetabek, PR mengeluarkan suplemen khusus kawasan yakni Pakuan (Bogor, Cianjur dan Sukabumi) dan juga Purwasuka (Bekasi, Purwakarta, Karawang dan Subang).

2. Sumatera Ekspres, Palembang
- Strategi lain adalah dengan menerbitkan koran-koran kecil di kota-kota yang terbilang potensial dari sisi pembaca maupun pengiklannya. Konsolidasi dengan menerbitkan koran-koran kecil seperti Linggau, Prabumulih, dan Ogan Komering Ulu.

3. Banjarmasin Post, Kalsel – Kalteng
- Ketika reformasi bergulir, BPost melahirkan produk baru yakni Harian Metro Banjar membidik berita-berita kota dengan SES BC-CD, tabloid BeBas (remaja) dan tabloid Serambi Ummah (Islam)

- Bumper BPost dari sasaran langsung pesaingMemberi 'mainan baru' buat personel BPost sekaligus kaderisasi 4. Bali Post

- Konvergensi dengan TV dan ekspansi ke daerah-daerah lain seprti Bandung TV, Yogya Tv, dllMemelopori free newspaper seperti koran Bisnis Jakarta, Bisnis Bandung, Bisnis Surabaya, dan Bisnis Makasar walaupun dengan edisi terbatas

5. Jawa Pos - Mengembangkan koran baru Radar kota
- Akuisisi koran-koran lama yang sedang bermasalah
- Mebangun TV lokal seperti JTV, Riau TV, Paltv

6. Koran Edisi Regional - Seperti: KOMPAS edisi Jabar, Jateng-DIY, Jatim, Kalimantn, Sumbagut, dll
- Koran koran Persda Network memiliki 14 jaringan koran:
- Tribun Batam | http://www.tribunbatam.co.id
- Tribun Pekanbaru | http://www.tribunpekanbaru.com
- Tribun Jabar | http://www.tribunjabar.co.id
- Tribun Kaltim | http://www.tribunkaltim.com
- Tribun Timur | http://tribun timur.com
- Tribun Pontianak (segera launching)
- Sriwijaya Post | http://www.sripo online.com
- Bangka Pos | http://www.bangkapos.com
- Pos Kupang | http://www.indomedia.com/poskup
- Banjarmasin Post | http://www.banjarmasinpost.co.id
- Serambi Indonesia | http://www.serambinews.com

7. Media Nusantara Citra (MNC)
Sindo dengan grup RCTI, TPI, Global Tv, Indovision, Radio Trijaya, Okezone.com

F. IDEALISME, OPLAH & IKLAN 1. Narasumber, & Pengiklan
- Pers mirip sebuah bank. Erat hubungannya dengan kredibilitas di mata publik. Jika kredibel tinggi, beritanya dapat dipercaya, akurat, berimbang tidak sekadar berita bombastis. Maka media itu akan memiliki banyak pembaca.

- Ada yang ’sangat intim’ dengan mitra seperti narasumber dan pemasang iklan

- Persda Network memilih Friendly Newsaper; Kredibel dan Independen

- Maika Randini, Business Development Manager Nielsen Media Research Indonesia mengatakan belanja iklan 2007 mencapai Rp 35,1 triliun, naik 17 persen dibandingkan sebelumnya, Rp 30 triliun.

- Belanja iklan mencakup 82 koran, 19 stasiun televisi, dan 127 majalah dan tabloidBelanja iklan masuk ke televisi mencapai 66 persen, koran 30 persen, dan majalah serta tabloid 4 persen.

- Lonjakan pertumbuhan koran pemasukan iklannya naik 31%, televisi hanya 12% dan majalah 10%. Rinciannya, belanja iklan TV tahun 2007 Rp 23,12 trilun, atau meningkat 13% Dibandingkan dengan belanja iklan pada jenis media lain, persentase belanja iklan untuk media TV justru merosot, dari 69% (2006) menjadi 66% (2007). (Sumber Indonesia)

- Pemasang iklan pada tahun lalu didominasi perusahaan telekomunikasi yang mengeluarkan biaya iklan Rp 2,7 triliun, naik 40% Pemerintah dan organisasi politik belanja iklannya mencapai Rp 1,3 triliun, melonjak 74% dari Rp 751 jutaPosisi ketiga diisi berbagai organisasi untuk menyosialisasikan kegiatan corporate social responsibility (CSR) dan aktivitas sosialnya senilai Rp 1,3 triliun.

2. Belanja Iklan Politik Meningkat (KOMPAS.com, Jumat, 25 April 2008)

- Belanja iklan parpol masa kampanye Pemilu 2009 diyakini melonjak dibandingkan Pemilu 2004. Ketua Dewan Pertimbangan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) RTS Masli, mengatakan, lonjakan belanja iklan menjelang Pemilu 2009 didorong pengalaman parpol pada kampanye menjelang Pemilu 2004. Partai- partai yang paling banyak beriklan mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan anggota legislatif.

- Survei Nielsen Media Research menunjukkan, selama kampanye Pemilu 2004, belanja iklan PDIP senilai Rp 39,25 miliar, sedangkan Partai Golkar Rp 21,75 miliar. Total belanja iklan kampanye Pemilu 2004 Rp 3 triliun, melonjak 10 kali lipat dibandingkan realisasi belanja iklan Pemilu 1999.

- Belanja iklan pada masa kampanye Pemilu 1999 diperkirakan Rp 35,69 miliar.Lonjakan belanja iklan Pemilu 2009 akan dipicu masa kampanye yang jauh lebih panjang (9 bulan, dari 8 Juli 2008 sampai 1 April 2009) dibandingkan dengan masa kampanye pada pemilu sebelumnya.

- Chairman and World President International Advertising Association (IAA) Indra Abidin mengatakan, iklan untuk kepentingan kampanye pilkada, pemilu legislatif, dan pemilihan presiden merupakan lahan baru bagi perusahaan periklanan.

- Saat ini perusahaan periklanan sedang mengkaji jenis iklan politik sebagai produk baru yang digarapMenurut Indra, pemanfaatan iklan dalam masa kampanye juga akan lebih efektif dan aman bagi masyarakat dibandingkan dengan pengerahan massa.

3. Iklan Media Lokal Diprediksi Melonjak
TEMPO Interaktif, 3 Januari 2008

- Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) memprediksi iklan media lokal tahun ini meningkat tajam.

- Penggunaan media lokal dinilai lebih cocok untuk menyentuh pasar sesuai dengan karakter daerah.

- Sekretaris Jenderal PPPI, Irfan Ramli, menuturkan produsen pengguna jasa layanan biro iklan membidik peluang periklanan di daerah. “Pengusaha berpandangan lebih baik fokus pada daerah yang penjualannya masih kurang,” kata Irfan.

- Apalagi ongkos iklan di media nasional tak sebanding dengan kemampuan media menggaet konsumen di daerah tertentu. Tapi Irfan tak bisa memastikan besaran peningkatan penggunaan media lokal sebagai sarana iklan. Ia mengingatkan, potensi peningkatan iklan lewat media lokal sangat bergantung pada kemampuan media itu menyediakan konten yang menarik pasar. Itu sebabnya, media lokal tetap dituntut kreatif untuk menggaet pengiklan.

- Hasil penelitian AGB Nielsen, (Januari-Juni 2007) di 10 kota besar menunjukkan peningkatan iklan di televisi lokal. Sepuluh kota itu adalah Jakarta, Bandung, Denpasar, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, Palembang, dan Banjarmasin. Kecuali televisi lokal di Bali (Bali TV), rata-rata televisi lokal lainnya naik perolehan iklannya. Jaktv yang semula hanya 29.964 menjadi 35.447 kali tayang, Bandung TV dari 11.019 menjadi 14.704 kali tayang.

- Adapun Cakra (Banten) dari 5.807 menjadi 11.572, Jtv (Surabaya) 35.092 menjadi 39.987 kali tayang, Yogyakarta dari 18.486 menjadi 25.167. Sedangkan Bali TV semula 36.225 turun menjadi 32.428 kali tayang. Direktur Jogja-TV, Dewa Made Budi, mengungkapkan pendapatan iklan di stasiunnya naik 18,5 persen tahun lalu, jika dibandingkan 2006 yang Rp 1,34 miliar.

- Setengahnya pesanan dari Jakarta. “Iklan nasional meningkat seiring kepercayaan pengiklan bahwa televisi lokal sanggup memasarkan,” katanya kepada Tempo. Jogja-TV mentargetkan tahun depan pendapatan iklan naik 30-40 persen. Namun, porsi iklan nasional di Bandung-TV tak beranjak dari 15 persen. Meski secara keseluruhan pendapatan iklan meningkat 40 persen.

G. TIPIKAL WARTAWAN EKONOMI - Pengalaman pada media market leader (Banjarmasin Post) dan new comer (Metro Bandung/Tribun Jabar)

- Tidak mudah menembus akses. Istilah-istilah asing dan baru, angka dan data, harga

- Sence of business filling rendah vs euphoria demokrasi tinggi

- Wartawan politik lebih mudah, talking news, politisi lebih ember Kritik sosial (social control) haram hukumnya pada rubrik ekonomi,

- Menjaga Kredibilitas dan integritas
- Friendly newspaper, friendly people
- Memiliki Kredibel
- Menjaga integritas
- Katakan No amplop.
- Katakan dengan tegas dan jelas kepada narasumber, bahwa tujuan anda mencari berita, bukan tujuan materi atau uang
- Bina kontak dengan narasumber, dengan memberi SMS, email atau menelpon secara konsisten untuk menjaga relasi

H. KESIMPULAN - Budaya baca masyarakat berubah menjadi gemar menonton

- Tayangan tv lebih colorfull dan bergerak, sedangkan koran lebih banyak teks

- Koran nasional (bersaing dengan tv, radio, sehingga agak kelimpunganSolusi adalah koran regional: proximity, ikatan emosional, dan pengiklan

- Otonomi daerah: Pilkada, PAD, dan Pemilu Legislatif yang memungkinkan orang per orang maju berkampanye sendiri-sendiri, juga majunya calon perseorangan

- Menonon tv dan mendengar radio dapat sambil lalu, tetap menekuni pekerjaan

- Sedangkan membaca koran, perlu konsentrasi dan meninggalkan pekerjaan lain (kecuali makan dan di toilet)Isi dan berita tv/situs Internet lebih ringkas, tidak bertele-tele dibandingkan koran

Oleh Domu Damians Ambarita Wakil Kepala Biro Redaksi Persda Jakarta

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 04 Juni 2008

Lepas, Tanpa Beban



* Tips Menaklukkan Rasa Grogi di Hadapan Publik

KOMENTATOR sepakbola di televisi kerap kali kita dengar melontarkan analisisnya terhadap penampilan satu klub underdog tapi tampil memukau dan mengatasi klub perkasa dan ternama pada partai final. Tim ini di pasar taruhan tidak diunggulkan sama sekali. Sang komentator menilai, klub lemah itu mampu tampil kompak, dan kuat saat bertahan, dan efektif menyerang karena tampil lepas, tanpa beban. Nothing to lose.

Bagi para pemain klub ini, misalnya, maju ke babak final pun sudah melampaui taget, jadi andai kalah di final tidak soal, yang penting tampil sekuat tenaga, konsentrasi, dan sebaik mungkin.

Sebaliknya, klub ternama dan diunggulkan memenangi laga, tampil jauh di bawah form. Di luar dugaan pengamat dan penikmat sepakbola, dari yang biasanya pertahanan gerendel, dan kokoh, serangan cepat dan tak kenal lelah, striker setajam silet, namun kali ini grogi dan mandul. Amburadul lah pokoknya.

Untuk klub ini, hebat yang diisi para pemain kelas dunia ini, pengamat mengatakan, mental pemain terlalu terbebani sehingga tertekan dan tak dapat bermain bagus. Sebelum turun ke lapangan hijau, mereka dicekoki target "harus juara".

Strategi tampil lepas, tanpa bebas ini saya coba terapkan, Selasa (3/6/2008). Di Ballroom Teluk Jakarta Hotel Mercure Ancol, sejulah kurang lebih 40 praktisi perbankan dari BNI sedang mengikuti pelatihan kehumasan.

Dalam presentasi, saya bangga, bukan sombong, karena ternyata saya betul-betul bisa. Bisa menundukkan rasa malu saya, menguasai grogi saya, menaklukkan ketakutan saya. Ini terlihat dari banyaknya feedback, berupa pertanyaan-interaksi.

Bahkan saya sedikit kagok, dua jam sudah habis, saat seorang dari meja yang dekat panitia mengacungkan tangan, saya stop pembicaraan dengan asumsi sudah habis waktu. Ternyata dugaan saya meleset.

Orang yang mengacungkan telunjuk bukan menginterupsi waktu, melainkan menambah pertanyaan walaupun jatah waktu sudah lewat. Ini yang paling seri, para Kanwil dan VIP itu mendatangi saya, maaf, bahkan seperti mengerubut untuk bertukar kartu nama.

Saya belakangan mendapat informasi dari kawan saya, Ewa, panitia dan audiens merasa puas, metode saya tidak membosankan, dan materi sesuai fakta, bukan teori, dan lebih-lebih memberi solusi mengatasi wartawan nakal.

Sedikit pun hati saya tidak ada maksud congkak dengan informasi dari mas Ewa di mana panitia dan peserta pelatihan merasa terpuaskan dan berjanji mengundang lagi pada acara lainnya, tetapi setidaknya mebuat saya bangga pada sugesti kata-kata, kalau kita bilang bisa, pasti bisa, perosalnnya bukan tidak bisa tapi tidak mau. "Terima kasih Tuhan."

Berikut adalah beberapa usaha yang saya lakukan mengatasi grogi atau gugup di depan umum, hari itu.
1. MENELADANI NABI 'MUDA'
"Saya bisa. Saya harus mampu. Yesus Kristus saja memimpin sejak usia muda. Dia berdiri di tengah ribuan orang tua muda, laki perempuan, mengotbahi mereka dan menuntun pada para perubahan sikap-paradigma, sebelum Yesus mati di kayu salib pada usi 30 tahun. Dia seorang guru sekaligus gembala yang baik."

Saya kemudian meneladani Nabi Muhammad Saw saja telah memimpin sejak usia 24 tahun dan kemudian menjadi rasul. Saya kutip dari syiar kia Ahmad Mustofa Bisri (http://www.gusmus.net/page.php?mod=dinamis⊂=2&id=334), 'sabda Nabi Muhammad: Yassiruu walaa tu'assiruu (Buat mudahlah dan jangan mempersulit).

Pagi itu saya bangun. hanya sedikit beban. Sehabis mandi, saya serapan bersama Ewa. Sejak dari lift sampai ke meja makan, saya bertemu dengan para VIP BNI. Mereka tampil perlente. Dasi melintang dileher, menggantung di dada, jas, kemeja diseterika rapi, rambut tersisir berminyak, sepatu mengilap dll. Mencleng lah pokoknya.

"Siapa pembicara pertama pagi ini," tanya yang satu kepada yang lain. "Dari Persda, Grup Kompas Gramedia," kata yang lain. Saya dengan kebiasaan 'buruk', menunduk sambil tersipu.

Malam sebelumnya, urusan dalam perut agak kurang berse. Sering ke belakang. Di ruang sarapam hotel, makanan tentu 'lezat-nikmat', seperti ucapan khas putriku, Elisabeth Uli. tapi saya menahan diri, dan hanya menyantap seporsi bubur ayam.

2. TATAP SEISI RUANGAN
Saya cepat-cepat menyelesaikan serapan. Dari basement, segera bergegas ke ruang Teluk Jakarta, ke ruang pelatihan. Saya mengikuti nasihat guru sipirutal dan pengamat inteligen, Grand Dynno Cresbon, yang pernah saya tangkap diucapkan kepada seorang sahabat, "Sebelum tampil berbicara, agar tidak grogi, tinjau lebih dahulu arena siang atau ruang pertemuan. Ruangan dalam keadaan kosong pun tak apa-apa, yang penting agar aura, dan tatapan mata tidak asing. Kemudian sesampainya di depan hadiri, tataplah mata tetamu, secara horizontal 'taklukkan' semua mereka. Itulah kiat atau tips mengatasi grogi saat berbicara apda seminar atau forum besar."

Saran itu 100 persen saya terapkan. Belum ada perserta duduk di kursi, keculai karyawan hotel yang menjagai lokasi pelatihan dan seorang teknisi IT, saya langsung masuk. Dengan pede saya memasuki ruangan, menatap seisi ruang dengan yakin, setelah cukup yakin saya serahkan materi powerpoint.
3. BERNYANYI NYARING
Lalu saya ke kamar 633. Kok ternyata masih agak nervous. Saya pun menggunakan jurus lan, bernyanyi lagu riang dengan suara lepas, teriak sekencangnya. "Jangan ada beban. Ayo, kita bisa," ajakku pada hatiku sendiri untuk menyemangati. Dua lagu berlalgu, kemudian bergabung ke Teluk Jakarta di lantai I, di sana para peserta sudah menunggu.

Betul, saya tampil lepas. Bak presenter ulung, atau motivator yang acapkali dari mimbar ke mimbar berceramah, saya tampil pede. Di podium, sederet meja dengan empat kursi disediakan. Saya tidak duduk di sana, saya ambik corong mikrofon wireless, mengenalkan diri, dan berlenggak-lenggok di hadapan para bos BNI di floor.

3. PEKIK KEMERDEKAAN
Saya berusaha mempengaruhi mental para hadirin dengan melibatkan mereka secara emosional, bahwa mereka sejiwa dengan saya. Mereka satu semangat dengan saya, semangat nasionalisme. Saya cari cara, meneriakkan yel-yel kebangsaan. (Andai saya satu perusahaan dengan mereka, barangkali kultur atau semboyan internal perusahaan dapan dijadikan pekikan yel-yel).

"Berhubung hari ini masih awal Juni, hari lahirnya Pancasila baru kita peringati kemarin, dan hari Kebangkitan Nasional pun lama berlalu, maka masilah kita teriakkan pekik Merdeka. Saya bukan politisi PDIP yang suka memekikkan Merdeka, tapi saya seorang yang cinta bangsa ini," kataku disambut peserta. Bahkan ada yang minta agar pekikan Merdeka diulang dan tangan dikepal dan diayunkan lebih tinggi ke angkasa. Hahahah sungguh menakjubkan..

4.AHLI DI BIDANGNYA
Saya sadar betul, audiens di hadapan saya bukan orang-orang semabarangan. Secara ekonomi dan pengalaman, di bidang perbankan, pasti mereka unggul. Mereka bukan pemula. Melainkan para 'Panglam', Kepala wilayah, asisteant vice president dan manager dari 12 kantor wilayah BNI di seluruh Indonesia. Praktisi perbankan senior, leader, top management. Sisanya dari kantor pusat BNI di Jakarta.

Di antara hadirin adalah Intan Abdams Katoppo, Corporate Secretary BNI Muhammad Safak, Manager Corporate Communication Division , Zulnasri, Asistant Vice President Corporate Communication Division.

Pejabat BNI dari wilayah antara lain, Irwan Gurning, AVP-Penunjang Bisnis & Layanan Kanwil 8 Denpasar, Alsje C Ngantung, Pemimpin Kelompok GSN Kantor Wilayah 10 Jakarta, Giana Suryadarma, Assistant Vice Prisident Kanwil 04 Bandung.

Ada lagi St Subardi, Pemimpin Kelompok Bisnis dan Layanan Kanwil 06 Surabaya, Joppy J. Lamonge, Pemimpin Wilayah Kanwil 11 Manado, Bahfiar Yulianto, Manajer Kanwil 05 Semarang.

Seorang mantan wartawan senior, Aqua Dwipayana, yang melakukan lompatan kwantum menjadi Direktur Image Communication, Building Winning Reputation.

Meski mereka andal di bidangnya, saya tidak kecut. Saya yakin, di bidangan jurnalisitk, saya jauh lebih unggul. Jurnalis hidup saya, wartawan darah pekerjaan saya, menulis berita dan sejenisnya habitat saya, berhubungan dengan nara sumber dari pejabat tinggi negara sampai maling biasa saya lakukan, sekali lagi saya meyakinkan hati, "Hai jiwaku, jangan takut, jangan grogi."

5. TARIK NAPAS DALAM-DALAM
Sebelum melangkah ke hadapan audiwns, saya tarik napas dalam-dalam. Entah karena saya mengidap sedikit asma, dengan menarik napas dalam-dalam, biasanya tenaga langsung jreng, dan badan serasa berotot. Tidak gemetar. Cukup dua atau tiga kali tarik napas, lalu tahan di dalam perut sekitar 10 detik, embuskan. Dan diulang.

Kalau gemetar, biasanya pita suara pun bergetar. Kalau suara bergetar karena suara vibrant di karaoke sih nggak soal, tapi kalau bergetar apalagi gemetaran karena grogi kan jadi nggak asyik. Alih-alih vibrasi, melainkan jadi malu-maluin... Dengan

6. PASTIKAN KONTAK DENGAN AUDIENS
Banyak orang menganggap saya tipe serius. Tidak banyak cakap, tidak banyak omong, bukan ember atau pembual. Itu mungkin kesan mereka yang belum begitu lama beragaul. Sedangkan satu dua rekan dekat, mengatakan tidak pendiam amat. Sesekali bercana, tetapi sering. Tidak bisa membuat orang lain terpingkal-pingkal sampai terkencing-kencing karena tertawa, apalagi se hebat Babe Bolot. Nggak. Tidak sehebat mereka.

Di awal saya sadar betul, pada presentasi kemarin, penampilan saya yang kumal di hadapan orang-orang berdasi akan dianggap sepele. Karena itu saua berusaha, tampil mengesankan. Saya dekati meja ke meja, bahkan sambil berbicara, berdialog saya kasihkan kartu nama, atau perlihatkan kartu pers/karyawan sebagai pertanda bahwa setiap wartawan yang meliput selalu dilengkapi identitas sehingga untuk mencegah rongrongan wartawan bodrex, atau wartawan tanpa surakabar, narasumber wajib menanyakan kartu identitas di awal perjumpaan.

Saya berusaha menatap dan kontak langsung agar audiens tidak mengantuk. Sesekali saya berguyon, walaupun spontas saja, tapi setidaknya mereka tertawa --senyuman yang disertai yang sampai kedenagran suara ngakak) tiga kali selama saya presentasi. Saya kadang heran, karena tidak biasa guyon....

7. KUASAI MATERI
Bahan yang saya bawakan adalah Koran Lokal Berebut Kue Otonomi Daerah." Setelah mendesain kerangka atau bingkai slide, menyangkut kira-kira apa isi materi, kemudain mencarikan konten yakni berita-berita koran maupun website.

Walau mencomot dari sana-sini, saya coba yakinkan diri, bahan-bahan ini sesuai fakta. Bukan teori melulu, tetapi saya break down menjadi hal-hal praktis, sehingga memberi informasi dan permasalahan yang sering dihadapi narasumber.

Saya coba sampaikan bagaiman informasi sejelas mungkin, tanpa ada yang ditutup-tupi terutama dalam hal praktik wartawan nakal yang sering merongrong wibawa profesi.

8. JAWAB DENGAN ILUSTRASI
Satu jam pertama saya lalui dengan 'ceramah'. Selebihnya dialog. Cukup banyak penanya. isi pertanyaan mereka rata-rata praktis, bukan teori. Mereka menanyakan bagaimana menghadapi wartawan nakal, yang datang mencari-cari masalah, bukan mencari berita yang betul. Mau dihadapi secara hukum, dianggap bukan siasat bagus.

Audiens beranggapan, mempolisikan wartawan adalah sia-sia belaka. Alih-alih mendapat keadilan, ujung-ujungnya malah diporoti, karena di mata bankers, wartawan berteman dengan polisi, sehingga bisa saja main mata untuk menguras si banker.

Ada juga pertanyaan tentang, berita yang layak dimuat seperti apakah. Apakah urusan internal perbankan juga harus dijelaskan kepada wartawan, kendati pun itu bukan isu konsumsi publik, namun dengan dalih wartawan berhak mendapat informasi, sang wartawan mengobok-obok sampai isi dapur bank.

Bagaimana pula urusan amplop. Sebaiknya, amplop diberikan ke wartawan atau tidak.

Jawaban saya untuk hal-hal di atas adalah, saat berurusan dengan wartawan lakukan bebrapa hal:
1. Anggaplah wartwan sebagai sahabat, mitra bisnis.
2. Jangan jauhi wartawa.

3. Andai ada kegiatan yang perlu dipublikasi, sering-seringlah menguncang wartawan

4. Setiap wartawan yang datang tanpa diundang, entah mau konfirmasi sendiri atau pada acara, sebaiknya tanyakan kartu pers, ID card dari persuahaan media tempat dia bekerja.

5. Jika ragu, pastikan menelepon ke kantor yang bersangkutan dan menanyakan perihal status si wartawan apakah betul dari media yang bersangkutan.

6. Andai ada media belum terkenal, tanyakanlah company profile perusahaan media dia, dan jangan lupa konfirmasi kepada atasannya di kantor.

7. Apabila tujuan mencurigakan, segera saja tolak, dengan alasan halus, misalnya akan meeting, ada tamu, dan lain-lain. Intinya tidak usah dilayani

8. Dalan kasus tertentu yang tidak berkait dengan aktivitas profesi perbankan, misalnya ada kasus pidana, jangan bersikap kasar apalagi sampai menganiaya wartawan. Jawab saja seadanya, sesuai versi anda. Tugas wartawan memang mesti check and recheck, cover both side.

9. Apabila si wartawan nakal, yang mencari-cari masalah yang ujung-ujungnya duit atau memeras, segera saja tantang ke jalur hukum atau bawa ke pengacara, atau kontak kawan anda yang wartawan betulan sebagai upaya meng-counter.

10. Seperti hukum suap-menyuap, kedua belah pihak dapat dijerat: si pemberi suap dan sipenerima. Karena itu, sekalian untuk pendidikan bangsa dan profesi wartawan hindari memberi amplop (tentu berisi uang) kepada waratawan. Sebab tidak ada jaminan berita dimuat sebagai imbalan imbalan uang yang anda berikan. Cara elegan dan sehat adalah, lebih baik mendatangi pemimpin redaksi atau redaktur, lalu memasang iklan. Saat memasang ikaln, terus terang saja meminta bonusnya berita, sehingga uang yang dikeluarkan perbankan/narasumber secara syah masuk ke perusahaan, bukan merupakan suap. Dengan begitu, ada jaminan bahwa berita (tentu saja berita yang mempunyai nilai jual), akan dimuat. Tidak mengecewakan pemasang iklan.

11. Apabila memberi penjelasan kepada wartawan, jangan beranggapan wartawan orang pintar, jenius sehingga penjelasan apa adanya, dan dangkal. Sebaliknya anggap mereka orang kebanyakan, berpendidikan rendah, sebab yang dia tulis untuk dikonsumsi banyak orang, termauk masyarakat berpendidikan rendah.

***
BLESSING IN DISGUISE
Pertemuan, atau keberadaan saya di hadapan para pemimpin BNI itu di luar dugaan. Boleh dibilang Blessing in disguise. Kawan saya di Persda yang biasa meliput di desk ekonomi, Hendra Gunawan merekomendasi nama saya ketika Zulnasri alias Tachy, Asistant Vice President Corporate Communication Division mencari seorang wartawan ekonomi yang dapat menjadi partner berdiskusi di forum BNI.

Walau masih sangat minim, pengalaman meliput hingga redaktur Desk Ekonomi, Bisnis dan Finance di Banjarmasin Post, Tribun Jabar mapun di Persda menjadi bekal berharga mengisi otak perihal pengetahuan ekonomi buat saya.

Mendapat tawaran semacam itu semula saya ragu. Tidak pede. Merasa nggak mampu, rendah diri, tidak layak menyampaikan materi di hadapan para banker senior. Apalgi ketika menelpon, Tachy mengatakan, saya akan berceramah di hadapan para Pangdam, Kepala Wilayah BNI se- Indonesia.

Walau hati kecut, saya tidak langsung menolak. Saya mengingat nasihat seorang sahabat dan mitra diskusi saya, Achmad Subechi, yang saat ini Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim diagar energi positif terus mengalir ke arah produktivas jangan sesekali memvonis diri sendiri tidak mampu, jangan menuding diri sendiri bodoh, lemah, tidak cakap. Sebaliknya, bilanglah 'Ya, aku bisa!"

Kekuatan kata pula ditekankan Wakil Pemipin Redaksi Kompas, Trias Kuncahyono dalam forum diskusi baru-baru ini. Dia mengutip kekuatan sabda Tuhan, seperti kisah penempaan/penciptaan, "Terjadilah, maka terjadi." Atau, "Kun Faya Kun". Kalangan motivator, dan hipnotis pun menempatkan kata-kata sebagai kekuatan yang amat dahsyat, dapat mengubah seseorang berubah 180 derajat, dari baik menjadi buruk, sebaliknya dari penjahat menjadi teladan.

"Bolehkah saya tahu, kira-kira apa yang dimintakan secara rinci apa yang akan dibutuhkan. Bolehkah saya dikirimi TOR-nya?" Itulah permintaan saya kepada Tachy. "Deal", Tachy pun mengirimi jadwal pelatihan kehumasan BNI yang berlangsung dua hari di Ancol.

Begitu jadwal dan narasumber saya terima, "gilaaaaaaaa......" Saya berterik setengah bergumam. Pada kolom pembicara/narasumber tercantum nama-nama keren, seperti presenter kondang Helmy Yahya, jurnalis senior Metro Tv Desi Anwar, dan Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Ahmad Djauhar.

CERAMAH DUA JAM
Dalam jadwal, jatah berbicara dua jam, pukul 10.00-12.00. Saya ditawari Tachy kemungkinan perubahan jadwaal, jadi pagi, pukul 08.00-10.00, karena Ahmad Djauhar, seperti kabanyakan wartawan, susah bangun pagi. Apalagi saya yang tinggal di Depok, sekitar 60 kilometer dari Ancol, tentu sangat sulit memenuhi permintaan itu. Lalu dicarikanlah solusi, saya menginap di Mercure, hotel berbintang empat di Taman Impian Jaya Ancol.

Setelah itu, saya lupakan hambatan dari dalam jiwa. Saya butuh dua hari menyusun materi untuk disampaikan, yakni tentang Mapping Media Massa Lokal/Regional. Tema yang saya susun akhirnya Koran Lokal berebut Kue Tonomi Daerah.

Bahan makalah seadanya itu, memuat perjalanan pers dari masa ke masa, mulai dari era kolonial, pengekangan hingga pembredelan di era Bung Karno dan Pak Harto, era reformasi dan per keblalasan pada tiga presiden 'seumur jagung' BJ Habibie, Gus Dur dan Megawati. Kemudian, bagaimana trik-trik tersembunyi rezim SBY yang coba menekan pers setidaknya mengingatkan pers dengan mengumpulkan para pemilik maupun pemimpin media.

Di sini saya tekankan, dari masa ke masa, terjadi perubahan. Dan setiap perubahan rejim, diikuti perubahan gaya dan kepemimpinan, termasuk perubahan pers. Bung Karno dan Pak Harto ada kemiripan. Di awal pemerintahan, keduanya menjanjikan kebebasan pers, namun belakangan terjadi penekanan bahkan pembredelan.

Dugaan saya terhadap perubahan sikap itu adalah, terori kepemimpinan yang abslut. Moralis dan Sejarahwan Inggris, Lord Acton, tahun 1887 telah memberi nasihat berharga buat generasi terkini, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely."

Kesimpulan saya, karena keduanya berkuasa terlalu lama dan otoriter, jadilah kekuasaan absolut yang koruptif. Sedangkan Habibie, Gus Dur dan Mega, tidak mempunyai kesempatan itau. SBY, presiden hasil pemilihan langsung pertama, sudah berjalan empat tahun, dan berpotensi untuk mengikuti Soeharto, jika tidak dikontrol ketat sejak dini. (Domuara Damians Ambarita)


[+/-] Selengkapnya...