Sabtu, 15 September 2007

SOROT
Rumpun Bambu Komunis

Oleh Domuara Ambarita
PELAJARAN sejarah nonkurikulum pendidikan formal banyak beredar di tengah masyarakat. Mungkin jumlahnya tak sebanding dengan pelajaran di sekolah. Sebagian tidak lebih dari mitos, paparan kata-kata 'konon'.

Namun banyak juga yang sesuai fakta. Menurut kesaksian, pengalaman pribadi berbagai elemen warga bangsa. Seputar komunis atau Gerakan 30 September/PKI, misalnya. Hingga sewindu silam, sejarah versi pemerintah banyak dipublikasi. Film dokumenter G 30 S/PKI menjadi tontonan wajib saban malam 30 September.

Kita dapat menyaksikan keganasan gerombolan bersenjata yang dicitrakan pasukan Partai Komunis Indonesia, menghabisi para perwira tinggi tentara. Tujuh orang jenderal tewas. Film yang sama mempertontonkan fase awal kontra G 30 S/PKI. Versi masyarakat juga banyak. Sebagai kalangan bawah, yang jauh dari elite penguasa, sejarah yang mereka saksikan pun tentu yang terjadi di lapangan.


Beberapa kesaksian istri atau pewaris korban dalam penumpasan sisa-sisa PKI pasca pembunuhan Pelda Sujono, prajurit TNI AD yang dikaryakan di PT PPN Karet IV, di Bandar Betsi, Pematang Siantar (Sumut), 14 Mei 1965, menyebutkan pembalasan bagi tewasnya Pelda Sujono, lebih dahsyat.

Penumpasan bergerak cepat dan terbuka. Mereka menyisir desa lepas desa, mencari anggota PKI dan simpatisan. Mati sanksinya. Tidak ada data yang mencatat angka korban.

Jangankan menemukan prasasti, kuburan pun tak diketahui. Namun cerita orang tua menyebut ada tanda pembantaian, yakni rumpun pohon bambu yang tumbuh di bawah jembatan, di tepi jalan raya, adalah kuburan massal korban anti-PKI. Korban biasanya dilempar ke lubang, lalu pusaranya ditanami bambu.

Di Blitar, Jawa Timur, Operasi Trisula, 6 Juli 1968, yang menumpas sisa-sisa PKI meringkus 850 orang aktivis PKI. Tahun lalu, sejumlah keluarga korban menuntut pemerintah agar meluruskan sejarah, sambil mengusut tuntas penembakan ratusan orang di gua-gua di kawasan Blitar Selatan.

Di era reformasi ini, banyak analisis yang menyebut G 30 S/PKI adalah peristiwa perebutan kekuasan RI yang disponsori asing, di antaranya Amerika.

Kebencian terhdap komunis tidak hanya berlangsung di Indonesia. Bekas provinsi ke 27 RI, Timor Timur, contoh lain. Hari-hari terakhir, negara muda itu bekecamuk. Perang saudara. Baku tembak, saling bunuh. Belakangan mencuat analisis yang menyebut pihak asing di antaranya Amerika dan Australia tidak suka terhadap sosok Perdana Menteri, Mari Alkatiri. Ia dituding berhaluan komunis, so segera diamputasi.

Amerika mencitrakan komunis dengan seterunya saat Perang Dingin yakni Rusia (plus Cina). Kalau kita menuduh komunis sebgai pembunuh, tak beradab, tak ber-Tuhan, mari kita bandingkan kekejaman liberal-kapitalis.

Berapa orang yang telah dibunuh regim negara komunis China dan Rusia. Rasanya tidak banyak jika dibandingkan dengan korban keserakahan liberalis-kapitalis di Abepura dan Timika terkait pertambangan Freeport. Juga penindasan di Irak dan Afganistan, dan sebentar lagi mungkin Iran. Amerika pintar membiaskan isu, termasuk ideologi, padahal tujuan akhirnya mengeruk keuntungan, seperti melimpahnya minyak dari Timur Tengah.

Dalam persaingan ekonomi-teknologi global, terbersit betapa ketatnya persaingan bangsa-bangsa. Diramalkan terjadi pergeseran hegemoni Amerika dan Eropa ke Asia, yakni Cina dan India. Hal inilah yang ditakutkan Amerika selama ini. Memusuhi Cina dengan stigma komunis, lebih kental muatan ekonomi. Kalau bagitu, masihkah layak kita memperdebatkan ideologi Komunis atau Pancasila. Masihkah ada bahaya laten komunis?

Rasanya tidak. Kita musti lebih waspada terhadap bahaya yang ditebar orang-orang ambisius politik dan kekuasan. Terbukti dalam banyak peristiwa, pergolakan di masyarakat adalah ulah segelintir elite politik atau penguasa yang bersaing merebut kue kekuasaan. (*)

* Tribun Jabar (5/06/2006)


Tidak ada komentar: