Sabtu, 15 September 2007

SOROT
Biaya Sosial Tembak Mati

Domuara Ambarita
KOTA Atambua, Maumere, Sikka dan beberapa di Nusa Tenggara Timur rusuh. Masyarakat setempat turun ke jalan, merusak dan membakar bangunan pemerintah seperti kantor kejaksaan dan gedung DPRD sebagai simbol kekecewaan dicabutnya nyawa sahabat mereka secara paksa yakni terpidana mati di Poso, yakni Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva.

Mengomentari munculnya kerusuhan itu, Wakil Ketua DPR RI Zaenal Ma'arif SH menyarankan pemerintah untuk mempercepat pelaksanaan eksekusi 68 terpidana mati yang sudah mempunyai keputusan hukum tetap.

'Saya melihat kerusuhan yang terjadi di Atambua dan Maumere pascapelaksanaan hukuman mati bagi terpidana Tibo dkk karena berbagai sebab. Salah satunya alasan kemanusian yang muncul di masyarakat adalah banyak kasus hukuman mati yang mestinya dilakukan pemerintah terhadap terpidana lain yang lebih dulu dari Tibo dkk ternyata tidak dilaksanakan,' ungkap dia.

Eksekusi lagi, Pak Zaenal? Jangan begitulah. Kan banyak kalangan aktivis hak asasi manusia, dan agamawan menolak penghilangan nyawa manusia dengan sengaja, apa pun kesalahan dan seberat apa pun hukumannya. Bukankah kita yakin kematian merupakan takdir, yang adalah prerogatif Tuhan. Memuntahkan pelor ke tubuh terpidana mati untuk mencabut nyawanya belum tentu efektif. Kendati ada juga yang setuju hukuman mati.

Mari ingat-ingat eksekusi terpidana hukuman mati kasus narkotika asal India, Ayodya Prasad Chaubey yang 5 Agustus 2004 di lapangan golf, Bandara Polonia Medan. Ia dihukum dalam kasus kepemilikan narkotika jenis heroin seberat 12,19 kilogram.

Pemberitaan media dan perbincangan khalayak ramai tertuju kepada eksekusi Ayodya kala itu. Para aparat kejaksaan pun hakul yakin, pascaeksekusi itu, tingkat kejahatan dan penyalahgunaan narkoba akan berkurang. Apakah betul hukuman mati menimbulkan efek jera?
Belum tentu. Nyawa Ayodya sudah melayang, tetapi kejatahan serupa tidak terpupus. bahkan ada kecenderungan tingkat kejahatannya terus meningkat. Akhir Agustus lalu, polisi menyita sabu-
sabu seberat 956 kilogram yang disita di Teluk Naga, Tangerang. Barang haram itu milik Ak Wang cs itu diduga diselundupkan dari Hongkong melalui jalur laut. Tahun 2005, polisi juga menggerebek pabrik ekstasi yang memiliki kapasitas produksi ratusan ribu butir.

Jadi tidak ada bukti yang sangat kuat kalau hukuman mati memberi efek jera bagi orang lain untuk tidak melakukan hal serupa. Barangkali hukuman seumur hidup lebih memiliki efek jera. Seorang mantan terpidana kasus makar di Lampung, mengaku menyeseli perbuatannya justru setelah bertahun-tahun menderita meringkuk di balik jeruji. Juga kesaksian-kesaksian mantan penjahat semacam Anton Medan.

Kesaksian-kesaksian akan kesadaran dan penyesalan itulah yang harus kita ekspos, sehingga menyadarkan orang lain. Kalaupun ternyata cukup kuat untuk membuat efek jera, setidaknya ia jadi saksi hidup di tengah khalayak bawah mantan penjahat bisa menjadi seorang bajik dan bijak. Kita pantas mengikuti Belanda yang mewariskan KUHP di Indonesia dan banyak lagi negara yang telah menghapuskan hukuman mati. Biaya sosial-ekonmi dengan mengenakan hukuman sumur hidup pun rasanya akan lebih kecil dibandingkan tembak mati. (*)

* Tribun Jabar (24/09/2006)

Tidak ada komentar: