Sabtu, 15 September 2007


Semangat Bersaing
* Domuara Ambarita


MERAH Putih berkibar dan Indonesia Raya bergema di Kobe, Jepang dan Kuala Lumpur, Malaysia, dalam sehari, Minggu (19/8). Bendera Indonesia mengudara atas prestasi atlet-atletnya meraih tiga gelar juara dunia. Hitung-hitung sebagai kado istimewa buat rakyat yang masih larut dalam suasana hiruk-pikuk Tujuhbelasan.

Johanes Christian John menganvaskan dua kali petinju Jepang, Zaiki Takemoto di hadapan pendukung lawan. Chris John menaklukkan lawan dengan menang TKO, sekaligus mempertahankan sabuk juara dunia kelas bulu versi WBA delapan kali dalam tiga tahun. Dia mencatat rekor fantastis 41 kali tanding tak pernah kalah.

Dua gelar di cabang olahraga 'rakyat' bulutangkis. Ganda campuran Lilyana Natsir/Nova Widianto menumbangkan ganda campuran nomor satu dunia asal Cina, Gao Ling/Zheng Bo dalam Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2007 di Bukit Jalil, Malaysia. Satu lagi, pebulutangkis ganda putra Hendra Setiawan/Markis Kido mengalahkan pasangan Korea Lee Yong-dae/Jung Jae-sung. Itulah good news bertepatan HUT ke-62 NKRI.

Bad news-nya, pembeli belum jadi raja. Lihatlah konsumen (pemilik uang) kesulitan membeli bahan bakar minyak jenis (BBM) minyak tanah. Mereka tidak saja mampu membeli dengan harga yang melonjak, juga bersedia antre meskipun demi seliter minyak tanah. Lalu bagaimana masyarakat kaum papa? Setelah minyak menghilang, apakah kembali ke kayu bakar?
Apa lacur, kelangkaan minyak tanah memang didesain pemerintah melalui produsen tunggal PT Pertamina. Dengan dalih meraih untung sebanyak-banyaknya, Pertamina yang berorientasi profit sejak UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas disahkan, BUMN ini menciutkan dana bantuan kepada masyarakat tak mampu (baca: sudbsidi BBM). Program dikemas berupa konversi minyak tanah ke liquid petroleum gas alias elpiji.

Di sisi pundi-pundi negara, menekan subsidi berarti menambah panjang napas pemerintahan. Di awal pemerintahan SBY, devisa negara ngos-ngosan. Dua bulan dari kenaikan BBM Oktober 2005, devisa melejit. Cadangan devisa Desember 2005 sebesar 34,723 miliar dolar AS, jadi 42,586 miliar dolar AS setahun kemudian, dan 31 Juli 2007 mencapai 51,879 miliar dolar AS.
Mari tinggalkan good news versus bad news. Dalam suatu acara malam renungan HUT Kemerdekaan RI yang digelar wartawan di Jakarta Media Centre, malam Jumat silam, dua dari empat tamu; Daniel Sparingga (pengamat politik) dan Fanciscus Welirang (pengusaha) sama-sama menggagas perlunya membangkitkan nasionalisme.

Mereka berdua sepakat, energi negatif akan menenggelamkan bangsa ini jika semua elemen masyarakat masih terperangkap pesimisme. Andai dalam setiap pertemuan atau forum melulu mengungkit keburukan, kebobrokan negara dan dosa-dosa penyelenggara negara, maka niscaya negara ini pun betul-betul tenggelam.

Dalam hal ini, pemberitaan media massa diyakini punya daya sihir mahadahsyat. Andai dikursus yang dibangun masyarakat, juga wartawan, lebih menjual sensasi berita yang mengangkat tema-tema optimisme, persatuan, kedamaian, spirit atau semangat juang tak kenal lelah, diyakini energi positif mendorong ke arah perubahan perilaku individu.

Ada betulnya. Dan ini jauh dari urusan klenik. Jika waktu yang kita habiskan bergunjing hal-hal pesimisme, tentu pikiran menjadi buntu, tertutup, dan mandul ide-ide cemerlang. Gairah pun tak ada. Maka tidak heran angka kemiskinan meningkat, dan secara signifikan diikuti bertambahnya pasien rumah jiwa, bahkan bunuh diri melonjak.
Bila ancaman dan tantangan itu dihadapi dengan semangat pantang menyerah, sikap gagah berani seperti diharapkan WR Supratman melalui Indonesia Raya tiga stanza bertempo Con Bravura-nya dapat kita amalkan bersama, yakinlah bangsa ini secara perlahan akan terangkat dari predikat kuli bangsa-bangsa dan bangsa para kuli.

Tidak usah muluk. Mulai dari hal kecil, dari ruang sempit di gang-gang kumuh pun, mari jalarkan semangat bersaing. Kompetitif. Ayah atau bunda menumbuhkambangkan semangat juang kepada putra-putri untuk menuntaskan suatu hal apa pun, tidak terlalu lembek, apalagi menginternalisasi mental budak. Jangan ajari anak menjadi atau bertipe pengemis, apalagi pengecut. Tetapi menempa mereka seorang pemberani yang berdaya saing dengan segudang ilmu, pengetahuan, dan keterampilan yang dapat berkelit dalam situasi sesulit apapun. Saya adalah pahlawan, pemenang, bukan pecundang. Hanya semangat bersaing yang membuat atlet-atlet kita jadi pahlawan bagi negerinya.

Tribun Jabar (Selasa, 21/8/07)


Tidak ada komentar: