Sabtu, 15 September 2007

SOROT
Efek Jera Koruptor

Oleh Domuara Ambarita
WAKIL Presiden Yusuf Kalla, bulan silam melontarkan wacana perlunya Keputusan Presiden yang memberi kekebalan hukum kepada pejabat politik dan atau pejabat publik.

Wacana ini masih berlanjut, kendati sayu-sayup. Argumentasinya, peraturan itu diperlukan agar pejabat tidak amat mudah diseret perkara ke muka hukum.

Para pendukung pemikiran ini menyodorkan beberapa pertimbangan hukum, maupun menyangkut pelayanan publik. Misalnya, apakah setiap kebijakan pejabat publik yang belakangan ternyata gagal serta merta dapat diseret dengan tuduhan tindak pidana.

Argumen lainnya, menyodorkan data yang menyebut minat pejabat atau aparatur terus mengecil terhadap kesediaan menjadi pimpinan proyek.



Mereka berkaca pada banyaknya kasus yang menjerat pimpinan proyek, dengan tuduhan menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Pendeknya, didakwa merugikan negara, atau melakukan tindak pidana korupsi. Alhasil, belakangan para pejabat menolak memangku jabatan pimpro ketika ditunjuk atasannya.

Selanjutnya, tidak maunya pejabat memangku jabatan pelaksana proyek itulah yang dianggap menjadi bumerang bagi pelayanan publik. Sebab pengerjaan proyek dikhawatirkan nihil, kalaupun ada, akan sangat minim. Andaikan saja pengerjaan proyek infrastruktur seperti jalan tol, atau bandara, atau pembangkit listrik terbengkali hanya gara-gara tidak adanya pimpinan proyek, ini tentu menjadi sebuah satiris, sekaligus ironi.

Pendapat di atas boleh-boleh saja. Namun jangan menyederhanakan masalah. Jika ada efek dari sebuah gerakan penagakan hukum, itu maklum saja. Janganlah membuat konstruksi hukum di atas logika hukum yang terjungkir-balik.

Tentu salah bila logika yang dibangun adalah menempatkan pejabat politik yang dipilih rakyat sebagai sosok yang sakral, tidak boleh diutak-atik. Dianggap melecehkan atau suversif ketika disentuh penegak hukum. Peradaban kita pun tidak akan pernah melampaui kehatia-hatian keledai untuk tidak terjerembab ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya, dalam artian rezim otoriter, karena hukum dibangun secara diskriminatif, pro-pejabat.

Bila wacana itu direalisasi presiden menjadi sebuah produk hukum, para pejabat menjadi adikuasa, super power.

Apa pun yang diperbuat, tak tersentuh hukum. Ini justru mengingkari asas transparansi, dan hak-hak publik. Lebih jauh lagi, aturan itu akan menumbuhsuburkan 'tikus-tikus' yang menyelewengkan uang negara.

Kita semua rasanya punya angan-angan, tidak akan terulang kasus penyelwengan dana bencana menjadi dana kavling senilai lebih dari Rp 33 miliar oleh DPRD Jabar, atau dugaan Gubernur Jabar menggelembungkan anggaran Rp 40,37 miliar. Tapi andai pejabat tetap melakukan kesalahan, janganlah mereka diberi kekebalan hukum. Justru hukum lebih berat sehingga memiliki efek jera dan tidak ditiru pejabat yang lain. (*)

* Tribun Jabar (6/07/2006)

Tidak ada komentar: