Sabtu, 15 September 2007

SOROT
Devisa Korbankan Alam

Domuara Ambarita
HARGA minyak mentah di pasaran internasional melonjak lagi. Pekan lalu, mencapai 75 dolar AS per barel, posisi tertinggi dari harga biasa di kisaran 50 dolar per barel. Fluktuasi harga minyak sering membingungkan penguasa. Pemerintah pusing karena pembengkakan belanja negara untuk impor bahan bakar minyak.

Kendati Indonesia masih anggota aktif Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), negara ini juga pengimpor minyak. Pemerintah mengklaim lebih besar volume impor daripada ekspor.

Posisi ini membuat pendarahan kas negara. Bila harga minyak naik, satu saku pemerintah mengembang oleh durian runtuh pendapatan ekspor Migas.

Namun kantung lainnya kempis, diporoti subsidi harga BBM untuk masyarakat. Itulah alasan pemaksa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla menaikkan harga BBM. Setahun menjabat sudah dua menaikkan harga BBM untuk umum, dan mencabut subsidi harga BBM industri, dan mobil mewah.


Menaikkan harga BBM cukup mujarab buat kas negara. Terbukti 6 bulan pascakenaikan, devisa negara terus menjauhi zona merah di level 27 miliar dolar AS.

Persoalan dahsyat baru muncul pascakenaikan harga. Dengan berbagai reaksi yang muncul, masyarakat selaku konsumen terakhir tidak kuasa menolak semakin beratnya beban biaya yang dipikul keluarga lepas keluarga.

Muaranya, inflasi perkasa (malah menguntungkan produsen/pedagang) sedangkan masyarakat loyo karena daya beli melemah. Reaksi itulah yang memusingkan pemerintah.

Gagasan mencari energi alternatif pun muncul. Wakil Presiden Yusuf Kalla pun sempat mencanangkan penggunaan sumber-sumber energi alternatif batubara.

Pemassalan batubara sah-
sah saja. Kalau memang lebih murah, tentu saja disambut. Institut Batubara Dunia (WCI), Agustus 1999, menyebutkan batu bara akan terus memainkan peranan dalam menyuplai kebutuhan energi dunia di masa mendatang. Alasannya batubara melimpah, aman, harga efektif, bersih, suplai ke pembangkit listrik banyak.

Kandungan batubara ditemui di 100 negara di seluruh benua. Sejauh ini, ditambang sudah di 50 negara. Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) pernah menyarankan pemerintah agar mulai memanfaatkan cadangan batubara yang melimpah. Menurut perhitungan IAGI, batubara mampu memenuhi kebutuhan energi sampai 200 tahun. Cadangannya lebih empat kali dari cadangan minyak (45 tahun), dan gas alam (65 tahun).

Kandungan batubara banyak, dan hampir di seluruh negara. Di Indonesia, cadangan batubara banyak ditemui di Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Sedangkan cadangan minyak dan gas dunia sekitar 65 persen terpuasat di Timur Tengah.

Masalah serius lainnya akan muncul bila industri pertambangan lupa diri, terlalu tamak mengeruk isi perut bumi gara-gara ada 'dorongan' pemerintah. Kita tahu, tambang batubara lebih banyak terbuka. Alat berat ekskavator terlebih dahulu menguliti permukaan bumi sampai menemukan bebatuan hitam, batubara, barulah eksploitasi. Dalam hal ini, pepohonan sebagai pencegah erosi tak tersisa di areal tambang. Meradanglah lingkungan dan alam.

Kebutuhan konsumsi batubara di dalam negeri mencapai 30 juta ton per tahun. Sementara jumlah produksi batubara 150 juta ton tiap tahun. Berkait rencana membangun 20 ribu MW Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara, diperkirakan kebutuhan meningkat menjadi 60 juta ton/tahun.

Menggenjot eksploitasi batubara baik buat ambisi pemerintah mencari energi alternatif, tapi menjadi malapetaka karena justru katalisator perusakan alam. Jika BBM dibor tidak langsung merusak permukaan bumi, sedangkan tambang terbuka batubara menimbulkan erosi, banjir dan bekas tambang akan meninggalkan kubangan-kubangan atau danau buatan raksasa.

Cita-cita mencapai keekonomisan kiranya berbanding lurus dengan pelestarian alam. Jakarta jangan hanya mengejar nilai biru kas negara, tetapi juga menjamin warga dari ancaman banjir, longsor, kekeringan, demam berdarah, dan penyakit lainnya. Lupakan cara-cara lama, mengejar pertumbuhan ekonomi tapi mengabaikan faktor lainnya. (*)

* Tribun Jabar (11/05/2006)

Tidak ada komentar: