Senin, 17 September 2007



Syarwan Hamid:
Riau Ancam Angkat Senjata
* Otonomi Khusus Harus Kita Rebut

JAKARTA- Mantan Menteri Dalam Negeri Syaran Hamid sedang gigih-gigihnya menuntut status otonomi khusus (Otsus)untuk Provinsi Riau. Ia sering pergi pulang Jakarta-Pekanbaru untuk mengorganisasi massa pro-otsus. Laki-laki putra asli Siak, Riau ini mengaku prihatin melihat provinsi yang sumber daya alamnya diperlakukan sekadar sapi perahan. Ketika kandungan alamnya masih melimpah, pemerintah pusat terus menguras dan hasilnya diangkut ke Jakarta, tanpa memikirkan pengembalian dana ke daerah asal berupa pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan sumber daya manusia setempat. Namun jika potensi alamnya habis, daerah tadi ditinggalkan begitu saja, bak kata pepatah habis manis sepah dibuang.
Agar daerah, terutama yang kaya sumber daya alamnya, tidak sekadar penyumbang devisa negara, dibutuhkan aturan tegas yang berkeadilan. Dan itu dapat dipenuhi melalui status otonomi khusus yang ditetapkan Undang-undang. Di Indonesia, ada dua provinsi yang berstatus otonomi khsusus yakni daerah paling barat dan daerah paling timur Indonesia, yakni Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua.
Ada beberapa sasaran tuntutan mendesak otonomi daerah di Riau antara lain untuk perbaikan pelayanan umum kepada masyarakat; memaksa pemerintah pusat bersikap adil; mewujudkan pembagian keuangan hasil minyak sebesar 60 persen untuk daerah dan 40 persen untuk pusat; dan perlu menunjuk putra Melayu untuk jabatan setrategis seperti menteri dan Dubes.
Syarwan Hamid, berdalih tuntutan masyarakat Riau terhadap status otonomi khusus bukan mengada-ngada. "Otonomi khusus justru sebagai solusi agar Negara Kesatuan Republik (NKRI) tetap utuh. Berbicara NKRI, yang sering kita dengar adalah, NKRI sudah final. Artiny tidak bisa lagi diganggu gugat. Padahal tidak demikian. NKRI kalau mau utuh, perlakuan harus adil terhadap semua bangsa ini. Kata kuncinya keadilan. Dengan keadilan pemerintah pusat akan disebut sebagai orangtua yang bijak dan berkeadilan. Tidak semua yang enak dimakan sendiri," ujar Syarwan ketika menerima Jaringan Basket Persda (JBP) di kediamannya di Kota Wisata Cibubur, Minggu (15/4) pagi.
Dalam perjalanannya, pemerintah pusat sering mengingkari cita-cita para pendiri bangsa (founding fathers), maka NKRI itu bukanlah sesuatu yang final. "Kita harus terus berupaya membuatnya sebagai rumah yang nyaman. Kalau itu tidak terwujud, maka gejolak seperti di Aceh dan Papua akan terus muncul."
Padahal bangsa ini terbentuk bukan saja setelah mengusir penjajah, tetapi juga atas kesepakatan daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Founding fathers bersedia meleburkan diri ke dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan harapan membentuk suatu bangsa besar, dan tetap menjunjung keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat hingga ke daerah-daerah. Namun cita-cita membentuk satu wadah yang memberi kesejahteraan dan keadilan kepada seluruh rakyat Indonesia tidak juga terwujud hingga kini, bahkan kesenjangan semakin jauh, yang kaya semakin kaya dan miskin kian miskin.
"Faktanya pembangunan di Pulau Jawa sangat maju, sedangkan di daerah di luar Jawa sangat tertinggal padahal sumber daya banyak di daerah. Lihatlah kekayaan alamnya diambil, dikuras tetapi fasilitas umum dan infrastruktur tidak diperhatikan. Coba kita lihat di Jawa, semua provinsi ada jalan tol. Sedangkan di Sumatera, hanya di Medan yang ada jalan tol itu pun cuma sepenggal. Di Riau mana ada, air bersih saja masih minim dan listrik tergantung dari pasokan Sumbar," papar Syarwan, purnawirawan Letnan Jenderal.
Banyak contoh kasus daerah dijadikan 'sapi perah' pemerintah pusat. Pulau Bintan di Provinsi Kepulauan Riau, misalnya, beberapa dekade silam sangat tersohor sebagai sentra produksi biji alumunium (bauksit). Eksploitasi bauksit di Pulau Bintan dimulai sejak 1935 hingga 2002 menguras habis sebanyak 46.451.312 ton, dengan ekspor 45.127.911 ton. Sejak tahun 1970, ekspor bauksit per tahun mencapai 1 juta ton.
Setiap bulan sedikitnya 12 juta dolar AS dihasilkan dari ekspor biji bauksit ke Jepang dan Cina. Setelah hasil bumi bauksit ditambang selama 67 tahun, sekarang yang tersisa hanyalah bongkahan-bongkahan bekas penggalian bauksit terutama di tiga tempat kawasan penambangan, yaitu Pari, Wacopek, dan Lomesa.
"Kita tahu, puluhan tahun Bintan sebagai penghasil bauksit. Tapi setelah habis kandungan bauksitnya, Bintan sekarang tinggal kubangan-kubangan besar yang ditelantarkan. Riau pun terancam seperti itu. Dulu Riau menghasilkan 1 juta barel minyak per hari, sekarang menurun menjadi 500 ribu barel. Kami tidak mau, Riau dijadikan seperti itu. Kami tidak mau Riau tinggal sumur-sumur tua setelah minyaknya dikuras habis ke Jakarta," tandasnya.
Ketika menjabat Mendagri dalam Kebinet Reformasi Pembangunan Syarwan bersaksi, sempat merasakan praktik sentralistik kendati pun sistem pemerintahan sudah menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah. Kala itu, banyak pejabat di Jakarta yang tidak ikhlas kewenangannya dipreteli dan dibagi-bagikan kepada pejabat di daerah.
Atas ketidakadilan pemerintah pusat itulah, Syarwan kini gencar menggalang kekuatan untuk mendesak penerapan otonomi khusus di Riau. Ia menilai komunitas Melayu di Riau yang menyumbangkan bahasanya menjadi lingua franca bahkan menjadi bahasa pemersatu, dan kekayaan kandungan alam, layaklah jika Riau diperlakukan setara dengan Aceh dan Papua.

Berikut petikan wawancara reporter Persda Domuara Ambarita dan juru kamera Bian Harnansa dengan Syarwan Hamid.

Anda pernah terang-terangan mengatakan mendukung bentuk negara federal. Boleh diterangkan latar belakang pemikiran itu?
Bangsa ini terbentuk atas kesepakatan daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Para Founding Fathers bersedia meleburkan diri ke dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan harapan membentuk suatu bangsa besar, dan tetap menjunjung keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat hingga ke daerah-daerah.
Kerajaan Siak, salah satu kerajaan di tanah air yang bersedia menyerahkan kedaulatan kepada NKRI. Saking percayanya, malah keleleran. Awalnya, terlalu percaya kalau cita-cita founding fathers untuk suatu negara kesatuan yang mampu menciptakan keadilan dan kemakmuran. Namun ternyata setelah merdeka, perlakuan untuk adil sangat kurang. Faktanya pembangunan di Pulau Jawa sangat maju, sedangkan di daerah di luar Jawa sangat tertinggal padahal sumber daya banyak di daerah. Lihatlah kekayaan alamnya diambil, dikuras tetapi fasilitas umum dan infrastruktur tidak diperhatikan.
Coba kita lihat di Jawa, semua provinsi ada jalan tol. Sedangkan di Sumatera, hanya di Medan yang ada jalan tol itupun cuma sepenggal. Di Riau mana ada, air bersih saja masih minim dan listrik tergantung dari pasokan Sumbar.

Anda kan mantan petinggi TNI yang biasanya sangat NKRI. Tidak saja menyandang pangkat bintang tiga, juga mantan Mendagri dan pernah Wakil Ketua DPR/MPR. mengapa sampai terkesan keluar dari rel?
Berbicara NKRI, yang sering kita dengar adalah, NKRI sudah final. Tidak bisa lagi diganggu gugat. Padahal tidak demikian. NKRI kalau mau utuh, perlakuan harus yang adil terhadap semua bangsa ini. Kata kuncinya keadilan sehingga pemerintah pusat akan disebut sebagai orangtua yang bijak dan berkeadilan. Tidak semua yang enak dimakan sendiri. Karena NKRI tidak telah mengingari cita-cita para Founding Fathers, maka NKRI itu bukanlah sesuatu yang final. Kita harus terus berupaya membuatnya sebagai rumah yang nyaman. Kalau itu tidak terwujud, maka gejolak seperti di Aceh dan Papua akan terus muncul.

Mengapa selepas menjabat di pemerintahan, terurama setelah turun dari Mendagri, Anda baru terlihat menaruh perhatian terhadap otonomi khusus di Riau?
Orang Riau terkenal dengan topologi orang Melayu. Orang Melayu lebih suka mengalah. Orang tua dulu menganggap mengalah sebagai kebajikan. Namun celaka, karena terus mengalah, pemerintah pusat menganggap semuanya beres, dianggap nggak perlu apa-apa. Karena itulah, saya mengajak temen-teman di Riau juga di daerah lain seperti di Kaltim, agar kita berani. Kita bukan mengemis kepada pemerintah pusat. Pemerintah pusat jangan menunggu dijuluk-juluk (seperti menjolok mangga) agar membagi dana ke daerah. Tapi kalau tidak diminta, mana pernah presiden, siapa pun orangnya, memikirkan orang Riau untuk jabatan Dubes atau menteri. Sedangkan orang Papua, atau Aceh atau Padang, atau Batak selalu ada menteri. Yang diingat pemerintah pusat dari Riau hanya minyak, dan kandungan laut atau sawit. Tapi kalau memberi tidak pernah ingat. Selalu lewat.

Usul konkret untuk mengegolkan tuntutan otonomi daerah?
Otonomi khusus itu harus kita perjuangkan. Otsus harus kita rebut. Kita tidak bisa tinggal diam. Otsus itu untuk perbaikan. Tapi lebih penting lagi harga diri. Riau tidak mau terus dilecehkan Jakarta. Kawan-kawan di Riau sampai ngomong begini. Pak Syarwan, kalau tuntutan kita meminta Otsus tidak dikabulkan, kita angkat senjata saja lah. Kami siap. Tapi saya bilang, jangan. Saya ini pengalaman Danrem di Aceh. Perjuangan dengan senjata selalu merugikan masyarakat sipil. Sebab kalau berjuang dengan senjata, pasti menggunakan tameng masyarakat kan, jadi korban kebanyakan rakyat biasa. Jadi selagi saya masih hidup, saya masih bisa meredam tidak akan merdeka dan angkat senjata di Riau. NKRI harus dipertahankan dengan format semi federal seperti sekarang ini yang ditandai perwakilan DPD.

Apakah tuntutan Otsus ini terinspirasi atas sukses Aceh dan Papua mendapat status otnomi khusus, bahkan di Aceh, mantan orang GAM bisa memimpin daerahnya?
Secara jujur, itu ituk mendorong kami. Mengapa selama ini, Menteri selalu ada putra Papua adan Aceh. Demikian juga penunjukan Dubes oleh Presiden. Sedangkan orang Riau selalu leat. Bukan untuk saya, tetapi untuk teman-teman saya asal Riau sana. Bahkan untuk Kalimantan Timur pun, sewaktu saya Mendagri saya bilang ke Suwara (Gubernur Kaltim Non- aktif Suwarna AF, Red), dia kan teman saya. Sudah lah serahkanlah jabatan itu kepada putra daerah. Masa sampai saat ini tidak ada orang asli Kaltim yang jadi Gubernur apalagi Menteri.

Otonomi khusus dalam bidang apa yang Anda dambakan?
Pemerintahan yang dianggap berpihak pada rakyat, karena semangat otonomi adalah perbaikan pelayanan. Kemudian, Riau itu identik dengan Melayu. Ada ciri khas kemelayuan dalam arti luas, bukan untuk tujuan politis tetapi tetap dalam bingkai NKRI. Jadi perbaikan yang kami tuntut, bukan riau merdeka. Riau daerah kaya. Minyaknya saya 500 ribu barel per hari, kami minta dibagi ke daerah. Kalau Aceh bisa menuntut pembagian penghasilan daerah 70 persen berbanding 30 persen untuk pusat, dan Papua 80 berbanding 20, kami menargetkan perbandingan 60-40 persen untuk 25 tahun ke depan. Dana itu akan digunakan untuk perbaikan sarana pendidikan, infrastruktur jalan, aliran listrik dan sebagainya. (Persda Network/amb)

Tidak ada komentar: