Kamis, 29 November 2007

Matahari dari Timur

SELASA (27/11/2007), seorang sahabat lama menyapa dari seberang Laut Jawa. Kami berbicara ngaler ngidul via YM. Dialah Dade, kawan saya yang sama-sama memulai hidup jurnalistik di Borneo, koran ternama, Banjarmasin Post, sembilan tahun silam.

Sekali waktu, saya pernah iri padanya, ketika ia meninggalkan saya, sahabat baik di negeri Seribu Sungai, sebutan untuk Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Awal tahun 2000, Kang Dade yang asli Majalengka, Jawa Barat, dibutuhkan tenaganya untuk menyukseskan proyek baru, Koran Metro Bandung, kini Tribun Jabar. Koran ini terbit perdana 23 Februari 2000.

Ya, wajar saya iri, tapi tidak dengan embel-embel dengki. Di pikiran saya, begitu beruntungnya Kang Dade, perusahaan membutuhkan dia berarti karena kualitas, kredibilitas, integritas dan pengabdiannya luar biasa. Tekad saya adalah, bagaimana supaya bisa mengikuti jejaknya.

So, saya harus membuat yang terbaik. Bagaimana caranya? Sebagai jurnalis pemula, saya saat itu sering dan lebih sering membaca berita-berita apda banyak media cetak lokal maupun nasional sebagai pembanding sekaligus tempat berlajar, semakin sering berdiskusi, bertanya pada wartawan yang lebih senior, learning by doing atas beberapa kasus di lapangan.

Dan satu paling menempa saya adalah, panasnya suhu Banjarmasin. Tidak saja dalam artian iklim yang gerah, sumu, dan membuat keringat bercucur deras, tetapi panasnya atmosfer juga berbanding lurus dengan emosi kebanyakan warga. Bukan rahasia, tingkat kriminalitas terutama baku-bunuh sangat tinggi terjadi di Banjarmasin.

Peristiwa ini, semula kami sebut, berita dari langit. Berija kejadian, yang tidak dapat direncanakan si wartawan, kecuali memasang telinga, dan mata di mana-mana. Sebanyak mungkin bergaul dengan tukang ojek, penarik becak, sopir angkot, membangun jaringan dengan reserse, merangkul petugas UGD, bahkan sering-sering begadang atau bermalam di kamar mayat, adalah beberapa jalan untuk mendapatkan berita yang on the spot, uptodate, eksklusif, human interest dan mungkin multiangle.

Dari desk kriminal, sempat rolling ke politik, kemudian 'dibuang' di pelosok ke Tanjung, ibukota Kabupaten Tabalong, kemudian diterjunkan ke medan perang tradisional, mangayau pembantaian tebas leher antara etnis Dayak dengan Madura di Sampit, sejak 18 Februari 2001.

Sedikit banyak, saya memang telah minum garam kalimantan dan minum banyu Martapura. Anekdot orang Kalimantan, terutama suku Banjar meyakini, apabila sudah meneguk atau minum Banyu Martapura atau air dari Sungai Martapura, yang melintas membelah Kota Banjarmasin.

Awal tahun ini, saya dengan Kang Dade, kembali berpencar setelah lima tahun lebih bersama- sama di Metro Bandung/Tribun Jabar. Saya upgrade ke Persda guna membantu directing peliputan di Jakarta dan sekitarnya, sedangkan Kang Dade sedianya diincar untuk memperkuat Tribun Batam, namun hanya beberapa bulan di sana, kemudian tabulik pulang ke Banjarmasin Post karena sudah minum banyu Martapura. Hahahaa.a.a.a...

Beberapa pekan, kami tak berkomunikasi. Selasa itu, tanpa bas-basi, Kang Dade langsung menohok ke persoalan pencairan uang pada Jamsostek. Juli lalu, kami memang tak berhasil meraup uang segar yang sudah hampir sembilan tahun ngendon di brankas Jamsostek.

Dana yang cukup membeli satu pikap susu fomula itu tidak dapat diambil, karena memang Jamsostek menetapkan peraturan menara gading buat pekerja. Setiap pekerja didaftarkan perusahaan menjadi anggota Jamsostek, ia wajib menyetor iuran (plus tanggungan perusahaan) Jamsostek. Uang itu sebenarnya hak pekerja, tetapi oleh Jamsostek dibuat syarat yang bertele-te untuk mencairkannya.

Pengalaman saya, syarat mencairkan atau mengajukan klaim Jamsostek: 1) keanggotaan minimum 5 tahun, 2) Surat pengunduran diri/berhenti, KK/KTP asli, Kartu Jamsostek asli. Syarat lainnya, memiliki masa tunggu minimal 6 bulan, yang dibuktikan dengan surat C1 (penonaktifan kartu anggota dari perusahaan sebelumnya).

Bagaimana kalau ada pekerja tidak belum sampai lima tahun menjadi anggota? "Tidak boleh" Lalu ke mana uangnya, apakah jadi hak Jamsostek? "Mungkin, ya. Tapi boleh juga dilanjutkan lagi, jika pemilik kartu pindah kerja pada perusahaan yang juga menyertakan perusahaan menjadi anggota."

Bagaimana kalau seseorang pemilik kartu anggota, katakan sudah empat tahun 11 bulan bekerja, tapi dipecat/berhenti, lalu jadi wiraswasta? Entahlah, semoga dana yang bersangkutan tidak menjadi sumber dana untuk dimanipulasi/dikorup orang Jamsostek.

Perbincangan saya dengan kang Dade mengenai peluang meraup dana selama sembilan tahun, masih terganjal karena kami bedua hampir bersamaam non-aktif di Bandung, yakni Juli. Sedianya, Desember ini dapat dicairkan, namun belum jelas, karena kabar dari dia yang baru kembali ke kampung halaman di Majalengka, lalu menyempatkan diri mampir ke Jamsostek Jalan Suci Bandung, katanya urusan ini masih panjang.

Kini kami berada dalam jarang yang relatif jauh. Kang Dade memilih mendekat ke nyonya rumah yang calon dokter di kota Intan, Martapura, Kalsel, ada pun saya di Depok. Namun kami masih tetap berada dalam naungan perusahaan yang sama: Kompas Gramedia.

Hidup serba bersahaja atau lebih tepat melarat, saya masih tetap yakin motivasi bernuansa perumpaan yang beberapa dikumandangkan kang Dade, yakni kita mesti membuktikan diri, Matahari Terbit dari Timur, sekali waktu akan diberkahi Allah. Karena matarahi memang masih terbenam di barat hahahahahah........ (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Minggu, 25 November 2007

Jangan Tinggalkan Aku

MINGGU (25/11/2007), saya beserta lima kawan jurnalis, berbicang-bicang ringan di kantor, ruang redaksi Persda Netrok, Jalan Palmerah Selaatan 12, Jakarta. Ngerumpi kami ngaler ngidul. Tema politik, seputar gaya preman, koboi, penampilan bertabur emas dari beberapa pegiat pilitik di gedung DPR RI, Senayan, mampu mengumpulkan kami, kendati tak diperintah.

Berita politik memang tak ada matinya. Puncaknya pascaera reformasi yang ditandai antara lain euforia-kebablasan, sehingga sempat menyurutkan minat orang banyak, termasuk saya sendiri terhadap hiruk-pikuk perpolitikan nasional-lokal.

Akhir-akhir ini, atmosfer perpolitiakan kembali naik daun, asal bukan naik pitam. Suhu perpolitikan dipastikan akan terus meningkat sampai mendidih pada Pilpres 2009, semoga para politisi mampu mengendalikan diri dan massa sehingga 'ketel' tak sampai meledak. Dua tahun menjelang pesta rakyat itu, sejumlah tokoh politik sudah 'heboh' menohok dan menyodok ke sana ke mari, menambah hiruk-pikuk politik, sebagai calon presiden.

Sejumlah sosok sudah menyampaikan kesanggupan dan mulai 'jualan' memimpin bangsa ini. Ada yang terang-terangan, ada yang malu-malu. Calon yang terang-terangan mengatakan akan maju antara lain Iwan Cahyono dan Syafrul Agus yang deklarasikan diri sebagai pasangan Capres independen (meskipun gurang bergaung), Ketua Umum PDIP/mantan Presiden Megawati, mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.

Dalam obrolan sore itu, topik pun menyenggol aktivitas jurnalis di seputar panggung politik. Di luar wartawan yang jujur pada profesinya, ada beberapa nama yang disebut memiliki peran ganda. Selain wartawan untuk medianya, dia juga menjadi penghubung presiden dan wakil presiden dengan petinggi pada media tempat bekerja sang wartawan.

Ada orang yang semula sebagai officeboy di presss room gedung DPR, belakangan menjadi bos geng 'wartawan' yang mengorganisasi jumpa pers diikuti bagi-bagi fulus, atau menjadi calo orang-orang dari daerah dengan yang ingin bertemu legislator di Senayan. Mereka mengharapkan commitment fee. yang bagi sebagian orang adalah tabu tetapi dalam urusan lobi katagori hal wajar.

Seorang kawan wartawan senior, sudah puluhan tahun jadi jurnalis, sore itu menasihatkan wartawan lainnya, 'wartawan' tipe kedua di atas memang tampak lebih menguasai masalah dari wartawan pencari berita. Mereka pun dari memiliki akses yang terkesan luas dan dekat dengan sumber-seumber pokok berita untuk pencari berita. Ya, mereka menguasai: masalah dan orang.

Bahkan penampilan mereka lebih wah daripada wartawan, yang katanya saat ini mestinya berubah karena bukan lagi koran perjuangan melainkan industri pers. Industri: adalah era profesional, wartwan profesional memiliki kedudukan selevel dengan sumber daya lainya dalam perusahaan seperti modal, mesin dan metode (4M). Dengan demikian, jika pemilik media yang belakangan menggurita menjadi konglomerasi, maka wartawan pun berhak mendapat kehidupan yang semakin layak.


Mungkin paradigma ini yang menggugah kawan tadi melontarkan. "kalau tujuan anda segera kaya, maka dari sekrang mulailah mendekat kepada sosok-sosok entah calon anggota DPR atau calon presiden yang potensial tadhun 2009. Kalau dia jadi, Anda akan kaya. Rumah bisa di Kota Indah (barangkali maksudnya Pondok Indah) dan mobil tiga," ujarnya sambil tergelak tawa.

Ya, itulah arti dan konsekwensi pada kesetiaan. Setia memilih hidup sebagai jurnalis/wartawan, ya berarti setia miskin, atau setidaknya memiliki jiwa pro-miskin. Karena, konon, tugas wartawan sebangun dengan pewartaan: tanpa pamrih, layaknya mubalik, pastor, pendeta (ideal).

Jika tidak setia pada profesi dan kawan, jadilah pilihan-pilihan pragmatis. Demi hidup yang semakin sulit, maka haruse memilih, tetap miskin atau kaya. Ini memang paradoksal: Miskin tak ada untungnya, Kaya tak ada ruginya.

Saya jadi teringat pada putri bungsu kami, Elisabeth Uli Ovelya Ambarita, Sabtu (24/11/2007) malam. "Jangan tinggalkan aku. Ompung... tante, jangan tinggalkan Uli," katanya meraung dengan nada menjerit saat ditinggal nenek dan tantenya yang hendak pulang.

Sabtu itu adalah haribaik, dan kami jadikan untuk pindah rumah, menempati bangunan setengah jadi di Komplek Deppen Jalan Raya Bogor, Cisalak. Uli yang selama ini menganggap neneknya dalah ibu: sedari usia 6 bulan lebih sering tidur bersama ompungnya daripada kami ibu- bapaknya.

Usianya 3 tahun 1 bulan. Tapi omongan dan pikirnanya, seprtinya di atas usia itu (setidaknya bila dibandingkan dengan pengalaman saya, yang orang kampung...) Saat hendak ditinggal pulang, dia menjerit agar tidak ditinggal. Saya dan mamnya, sebenarnya tidak memaksa Uli tidur bersama kami malam itu. Kami maklum kalau dia ikut ompungnya. Tetapi akhirnya dia sendiri memutuskan, tinggal bersama kami, sembari mencium pipi ompungnya dan melambai tangan dadahhhh.... (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 22 November 2007

Era Digital

SEBELUM Tim Usia di Bawah 23 Tahun (U-23) PSSI dibantai Suria tujuh gol tanpa balas, tim senior dihajar tim yang sama di Jakarta, 4-1. Hasil ini makin mempertontonkan comping-camping persepakbolaan nasional, setelah pada Piala Asia, Juli lalu, juga tak berkutik di kandang sendiri.

Untung juga keok. Andai menang, mungkin Nurdin Halid, sang Ketua Umum yang menjadi pesakitan di LP Cipinang untuk kedua kali dalam kasus korupsi, akan menepuk dada. "Ini lho, kinerja PSSI. Di penjara saja, PSSI masih bertaji. Siapa bilang persepakbolaan Indonesia, mandul. Ngapain mesti mengganti saya."

Barangkali Nurdin tidka malu diwawancarai wartawan. Dia akan mengumbar pernyataan membabi buta dan tak terukur ke khlayak ramai melalui media, atau sekabatas bisik-bisik dengan pengurus PSSI lainya yang rajin menyambangi Nurdin di dalam bui.

Kembali pada pertandingan Timnas saat menjamu Suria di gelora Bung Karno dua pekan silam. Saya menyaksikan satu hal yang ironis, memilukan, sekaligus prihatin. Papan pergantian pemain yang diangkat inspektur pertandingan adalah bahal plastik manual.

Perangkat pendukung yang sering digunakan pada pertandingan klub-klub Tarkam (antarkampung). Perangkan manual yang jauh dari kelayakan pada level pertandingan internasional. Jika di negeri tetangga atau asing sudah menggunakan alat digital, PSSI masih setia dengan alat-alat manual.

Seperti halnya perusahaan-perusahaan minilik negara (BUMN) yang setia dengan monopoli, semacam Peramina, PLN, Telkom, hanya akan menjadi jago-jago kandang ketika dilindungi pemerintah. Menjadi katak dalam tempurung. Begitu era berubah, globalisasi dan liberalisasi menjalar ke mana-mana, semua tersapu akan angin perubahan, terseok-seok.

Rasanya, PSSI pun tinggal menunggu hadirnya, PSSI impor agar mau berubah. Entah PSSI impor dalam artian pembekuan dari FIFA, lalu, PSSI vakum dan muncul lagi penggant. Bila itu pilihannya, tanpa didahului kesdaran Nurdin dan pengurus PSSI yang ada tak berniat mundur/bubar, termat mahallah biaya yang ditanggung insan olahraga nasional.

Pak Nurdin, seburuk-buruknya Soeharto, Eyang masih mau undur diri. Lengser keprabon. Sebelum digilas, silakan minggir bossssss... Kasihan persepakbolaan nasional, yang sebenarnya tidak memajukan pesepabola lokal tetapi menafkahi pemain asing, dan menggemukkan agen pemain asing, serta menyuburkan KKN 'proyek' transfer dan gaji pemain asing. (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 15 November 2007

Sayangku pada Sebulir Padi

MASA kecilku, Amang-Inang, atau ayah bundaku, selalu menasihatkan agar tidak membuang- buang buliran nasi. Nasi yang sudah disendok ke piring harus habis dimakan. Tidak boleh menyisakan remah-remah. Piring bersih, bila perlu tidak usah pakai sabun untuk mencucinya.

Falsapah yang selalu mereka tanamkan kepada kami anak-anaknya adalah, untuk sebulir nasi dikorbankan peluh dan tak jarang darah. Nasi berasal dari beras, sebelumnya padi. Padi diyakini memiliki dewa yang disebut boraspatini tano. Agar padi tumbuh subur, petani harus tekun memanjatkan doa-doa permohonan kepada Allah melalui Sang Dewa. Andai Sang Dewa tak berkenan, tanaman padi akan puso, gagal panen. Kalaupun menghasilnya, tuaian tak menggembirakan.

Alasan lain, padi diidam-idamkan berbulan-bulan lamanya. Kalau padi sekarang bisa panen kurang dari 100 hari, di kampung saya, Lumban Ambarita Sihaporas, Kecamatan Sidamanik, Simalungun yang terletak di kaki bukit Simarjarungjung, tak jauh dari Danau Toba, umur padi lebih panjang. Padi ditanam di huma/hauma, lahan kering. Bukan sawah.

Dahulu, padi ditanam di atas lahan robean, atau areal pertanian yang ditanami perdana dari hutan perawan. Tanpa pupuk, kecuali unsur hara dari dedaunan dan batang pohon yang membusuk puluhan, ratusan atau ribuan tahun sebelumnya. Tuaian dari lahan robean, biasanya jauh lebih memuaskan dibandingkan hasil panen dari galunggung, lahan second atau yang sudah ditumbuhi semak-semak semacam ilalang.

Dengan hanya mengandalkan kesuburan tanah, tanpa pupuk kimia, kompos dan pupuk kandang, wajar jika peluang padi berhasil tidak begitu besar. Kalaupun padinya sangat subur, tidak akan pernah sebesar tuaian dari sawah, lahan beririgasi.

Faktor yang mendorong Amang dan Inang menasihatkan kami sangat sayang pada nasi adalah gangguan hama. Babi hutan, kera/monyet, tikus dan burung sangat ganas memangsa padi. Tidak jarang petani marjuma modom (mengidam di ladang) untuk menjaga ladang. Kalau pun tidak, pergi ke ladang subuh, dan pulang malam untuk mamuro menjaga padi dari sergapan kawanan burung pipit.

Petani pun sering dibayangi kekhawatiran badai hujan es. Akan sangat bahaya, buliran padi akan rontok dipipil hujan jika ini terjadi. Ini adalah force majeur bagi petani tradisionil.

Kerasnya usaha, beratanya beban dan pengorbanan untuk mendapat padi oleh para petani yang minim ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi itu, sangat wajar jika memperlakukan sebulir padi layaknya sekeping emas, atau mutiara.

Secara psikologis, sesajen dipersembahkan, gurindam dilantunkan, atau kumat-kamit membacakan mantera, untuk mengharapkan menuai padi yang cukup untuk penganan pokok selain singkong, ubi dan talas. Segenap jiwa dan raga dikerahkan untuk menghimpun buliran- buliran padi itu.

***
NUR Mahmudi Ismail, sudah setahun lebih memangku jabatan Walikota Depok. Sosok yang sebelumnya line-up di "Liga Utama" selaku Menteri Kehutanan terdegradasi pemain cdangan "Divisi I", sebelum dilantik 28 Januari 2006.

Lebih dari setahun, keluhan-keluhan atas lambannya pembangunan infrastruktur yang dia lakukan tidak sepi. Demo-demo bahkan sudah pada permintaan agar dia mundur. Jika kebanyak walikota terpilih segera membenahi infratruktur semacam mengaspal jalan, Nur Mahmudi rupanya taidak melakukan itu.

Jalan-jalan banyak berlubang, bahkan kubangan-kubangan besar. Dari jalur protokol hingga jalan arteri hampir semua ditandai jalan rusak. Jalan Raya Bogor, Tole Iskandar, Jalan Proklamasi, Jalan Bahagia. Permohonan (halus), keluhan dan hingga cemoohan (sarkasme) dilontarkan tidak juga dijawab. Sepertinya dia seribu bahasa.

Barulah sepekan ke belakang, tampak aktivitas pembangunan. Lumayan lah. Kubangan panjang di bawah rindangnya pohon persis di depan bekas Ramayana Cisalak Jalan Raya Bogor, dan pengecoran Simpangan (pertigaan Jalan Tole Iskandar dengan Jalan Raya Bogor), proyek lainnya terkesan asal-asalan. Asal ada maksudnya.

Di Jalan proklamasi, dekat Pasar Agung, cor-coran jalan raya malah dibongkar ulang oleh tangan-tangan tukang, kalau serius mestinya pakai alat berat, bukan dengan linggis atau palu kecil. DI Tole Iskandar, tak jauh dari Simpangan yang dibereskan di ujung got. Padahal pokok persoalan, genangan air di depan pabrik tekstil dibiarkan bak kubangan kerbau.

Sedangkan di tempat lain, ada yang membutuhkan pananganan. Jalan di Jalan Bahagia, seopanjang sekitar 500 meter jalan rusak parah. Kalau hujan, pasti penuh kubangan, sedangkan ketika musim kering jalan menebar debu.

Sinisme saya sempat muncul. Wah, gawat nih, padahal guru mengatakan kembangkanlah posotive thinking. Alasannya, kok baru sekarang perbaikan jalan yang sudah sangat parah itu dilakukan. Kenapa baru akhir tahun????

Jadi curiga. Jangan-jangan seperti sering diketahui dilakukan birokrat kita, tentang sisa anggaran. Bukan rahasia lagi, dana APBD untuk pembangunan yang sudar dianggarkan, konon harus habis pada tahun anggaran berjalan. Jika tidak, daerah harus mengembalikan ke kas negara.

Inikah dasarnya, sehingga dana harus segera dibelanjakan mengingat tahun ini tinggal menyisakan 45 hari lagi. Paradigma menghabiskan sisa anggaran kah yang menyulut proyek tidak tepat sasaran, maka corcoran yang masih bagus pun harus dirusak ulang untuk dibangun kembali? Jika dugaan itu ada, saatnya tim pengawas turun tangan mengaudit.

Sebab praktik pemborosan itu sangat kontradiktif di tengah upaya sekitar 37 juta penduduk Indonesia, terus mengetatkan ikat pinggang sekadar supaya besok masih bisa makan. Pemborosan yang dipraktekkan aparatur negara sangat kontras dengan perlakuan terhadap petani- petani di desa terhadap sebutir padi, beras, nasi. (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Malaysia Akhirnya Akui Rasa Sayange Milik RI

http://www.tribunkaltim.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2488&Itemid=1
Rabu, 14-11-2007 | 23:29:16
JAKARTA, TRIBUN -- Pemerintah Malaysia akhirnya menyerah soal polemik lagu Rasa Sayange. Menteri Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia Rais Yatim menyatakan bahwa Malaysia mengakui lagu Rasa Sayange sebagai lagu asli Indonesia. Pengakuan itu disampaikan Rais saat bertemu dengan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Jero Wacik.
Ketua Umum DPP Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI) Dharma Oratmangun mengatakan, dalam kunjungan ke Malaysia, lahir kesepahaman antara Jero Wacik dan Rais Yatim. "Persoalan lagu Rasa Sayange selesai. Secara de facto, Malaysia mengakui itu milik Indonesia," kata Dharma, Rabu (14/11).

Pernyataan eksplisit Rais Yatim, menurut Dharma, disampaikan saat acara Temu Jembatan Budaya di Kuala Lumpur Senin (12/11) lalu.. Dharma merupakan salah seorang anggota delegasi kebudayaan Indonesia. "Oleh Pak Menteri (Menbudpar Jero Wacik) disampaikan bahwa sebagai negara bertetangga, semua persoalan agar diselesaikan dalam konteks masing-masing. Adapun lagu Rasa Sayange sudah bisa dipahami sebagai warisan yang dipunyai Indonesia," ujarnya.

Lagu tersebut memang hidup di masyarakat secara luas hingga ke Malaysia. Karena itu, rakyat Malaysia juga mengenal dengan baik lagu tersebut. "Jadi, tidak ada masalah lagi," tegasnya. Jero Wacik saat dihubungi tadi malam membenarkan bahwa masalah lagu Rasa Sayange sudah tuntas. "Sebenarnya, tidak hanya masalah itu yang dibahas. Ada banyak hal," kata Jero.

Sebelumnya, Kementerian Kebudayaan Malaysia mengakui telah lalai menggunakan lagu Indonesia lainnya. Yakni, lagu Tiar Ramon karya musikus Minang, yang digunakan tarian delegasi Malaysia pada Asia Festival 2007 di Osaka.

Indonesia tidak akan memperkarakan lagu dan kesenian yang dipakai Malaysia. Sebab, Indonesia dan Malaysia masih serumpun. Namun, Indonesia meminta, jika Malaysia menggunakan kesenian Indonesia, harus diumumkan kepada publik bahwa itu berasal dari Indonesia.

Di Malaysia, selain menghadiri Temu Jembatan Budaya, Jero Wacik membuka Indonesia Trend (Trade, Tourism, and Investment) Expo 2007 di Kuala Lumpur. Itu merupakan pameran produk-produk ekspor Indonesia ke Malaysia. (myRMnews).


[+/-] Selengkapnya...

Senin, 12 November 2007

Front Liner, Kesan pada Pandangan Pertama

JAMAK sudah terdengar anekdot di dalam masyarakat ungkapan rada sarkastis berikut. Mentang-mentang kaya, Si Polan congkaknya luar biasa; Mentang-mentang pintar sombongnya kelewat amat, mentang-mentang berkuasa Si Anu sesuka hati dan otoriter; memang sih produknya laku tapi masa sih nggak bisa nego; perusahaan ini bagus tapi sayang kurang memerhatikan pelanggan.

Induk perusahaan tempat saya mengabdi, Kompas Gramedia, satu di antara perusahaan yang sangat mapan alias market leader. Bukan rahasia dominsi Kompas pada koran, dan Gramedia pada percetakan dan toko buku. Ya, mapan. Sehat.

Dalam beberapa bidang, layanan masih terbaik. Tapi yang namanya manusia, tidak ada yang sempurna. Entah karena menyadarai ketidaksempurnaan itu, atau ada sesuatu prediksi setelah menganilisis tanda-tanda zaman, setahun ke belakang, nuansa perubahan terjadi begitu kental. Salah satunya adalah orientasi pada memenangkan hati pelanggan: pada semua lini.

Lini paling depan, atau garda terdepan yang dibenahi yakni profesi yang paling dekat dengan pelanggan. Siapa mereka? Bukan para tampuk pimpinan semacam Presdir, bukan direktur, bukan pimred, bukan manajer, bukan pula kepala bagian, tetapi pegawai bawahan. Misalnya, operator telepon, Satpam, resepsionis, pramuniaga, teller, dan lain-lain.

Ya, mereka inilah yang lebih dekat dengan konsumen, yang setiap saat langsung berhubungan secara fisik maupun lisan dengan pelanggan, pembeli, pemasang iklan dan sebagainya. Orientasi memuaskan pelanggan: pembeli adalah raja/ratu.

Saya teringat konsep ini, karena Senin (12/11/2007) malam, saya kebetulan bepergian ke Plaza Semanggi, di Jalan Gatot Soebroto Jakarta. Bukan untuk dugem, shopping, tidak juga untuk melonggarkan tenggorokan bernyanyi di karaoke Inul Vista di lantai VI. Bukan, bukan untuk rekreasi, tetapi urusan dengan mengaktifkan simcard ponsel.

Sepulang dari lantai I, menuju basement tempat si Supra menanti, saya bertanya pada seorang anggota Satpam yang berdiri di samping meja pengawasan di pintu masuk. Mengenakan seragam hitam-hitam, mirip intelijen polisi, dia menggenggam pemindai logam (metal detector), dengan sigap memeriksa setiap barang bawaan tamu.

Sebelum saya bertanya di mana pintu menuju basement, hahahah... dasar udik, saya membiarkan si Satpam melayani seorang lelaku yang datang beserta teman wanitanya. Dari kulit dan wajah, dia bukan orang Asia Tenggara, kalaupun iya, mungkin blasteran. Dugaan saya, lelakinya orang India dan perempuan dari Jepang atau Korea.

Saya mendekat ke si Satpam, sembari berharap si tamu segera berlalu. Sambil menyodorkan tas ransel diperiksa si Satpam, pria tadi bertanya, I want to buy Simpati Simcard, Where is???

Sang Satpam tampak menyedengkan telinga kanannya. "Apa?" katanya. Lalu si tamu mengatakan lagi, "I want a Simpati simcard." Tampaknya si Satpam belum nyambung. Lalu saya coba memberanikan, 'intervensi', please, go there on the first floor!"

Saya mafhum, karena saya sama dengan sang satpam, pendidikan rendahan. Mungkin saja, kami sama-sama wong deso, yang kebetulan terdampar di Megapolitan. Lalu, kedua tamu tadi pergi ke dalam Pelangi (sebutan untuk Plaza Semanggi), dan saya pun bertanya kepada Satpam.

Garda terdepan. Ya, Satpam memang garda terdepan dalam perusahaan. Serendah apa pun pendidikan, seminim apa pun keterampilan atau kecakapan dia berkomunikasi, itulah faktanya, dia langsung berhubungan dengan pelanggan. Bukan saja orang se daerah yang bahasa sama, bia jadi dengan orang asing dengan logat, bahasa dan adat istiadat berbeda.

Bila paradigma lama, orang-orang front liner dianggap sebelah mata. Dianggap pekerjaan rendahan, sekadar pelengkap, sehingga tidak perlu dipertimbangkan latar belakang pendidikan, keterampilan bahasa, komunikasi dan dengan demikian upahnya pun ala kadarnya, mengingat perkembangan zaman yang terus menggelinding ke era liberalisasi-global, maka paradigma itu mau tak mau harus diubah.

Jadikanlah orang-orang yang bekerja sebagai satpam, resepsionis, marketer, AE, bahkan office boy orang- orang terampil. Tidak mesti berijazah sarjana, tetapi terampil. Kalaupun telanjur tidak mumpuni, mari, latih untuk menjadi frontliner yang bisa memikat pada pandangan pertama. Jika pada pandangan pertama saja mengesankan, pelanggan senang dan puas terlayani, maka selanjutnya terserah Anda. (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Sabtu, 10 November 2007

Tidak Malu Meminta Bimbingan Blogger Profesional

Yusril dengan bini muda, Rika. Foto Persda/Bian


Yusril Mulai Keranjingan Blog (3-Habis)

Laporan Wartawan Persda, Domuara Ambarita

KONTROVERSI identitas penulis di balik blog Yusril Ihza Mahendra berbuntut kopi darat, atau pertemuan tatap muka dengan sejumlah orang yang semula menuding Yusril hanya sebagai penyamar. Pembajak nama. Yusril dan sejumlah blogger sepakat bertemu langsung, bertatap muka di Billiton Bistro Plaza Senayan, milik Yusril. Yuril bertemu dengan Abi, Priyadi beserta istrinya Rina, Jay, Deden, dan Vavai.

Usai pertemuan itu, Yusril kembali menulis. Hingga Sabtu (10/11), Yusril baru memosting dua tulisan. Tulisan terbaru diupload Rabu, 7 November pukul 19.48 berjudul Ucapan Terima Kasih. Yusril menulis kalimat berikut, "Saya ingin mengungkapkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT, dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga, atas segala saran, sambutan dan komentar atas blog yang baru saya ciptakan ini. Saya menyimak dengan sungguh-sungguh semua masukan yang telah diberikan. Saya menganggap semua itu sangat berharga bagi saya, sebagai seorang pemula di dunia blog."

Dia mengaku bertemu langsung dengan beberapa orang yang lebih dulu menggeluti dunia blog, namun sempat sinis menyangsikan seorang mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra akan 'turun gunung' ke komunikasi informal, yakni blog.

Yusril bercerita tentang kopi darat dengan blogger profesional. Mereka berbincang-bincang lebih satu jam. Sambil minum dan makan malam di Billiton Bistro, Plaza Senayan, Jakarta, hari Rabu malam tanggal 7 November yang lalu. Bagi Yusril, pertemuan sungguh sangat berharga. Bukan saja dapat berkenalan secara langsung dengan mereka yang telah relatif lama berkecimpung di dunia perblogan, tetapi juga dapat menimba ilmu dengan mereka.

Dengan pertemuan itu, maka segala keraguan, spekulasi dan syak-wasangka yang semula ada, dapat diakhiri. "Kalau menggunakan istilah agama, rekan-rekan itu bukan saja "ainul yaqin" (percaya karena menyaksikan dengan mata kepala), tetapi juga menjadi "haqqul yaqin" (sungguh-sungguh percaya di alam pikiran dan hati). Atas kebaikan dan saran mereka, serta rekan-rekan yang lain, akhirnya saya membuat blog saya sendiri, sebagai wahana bertukar pikiran," tulis Yusril.

"Seperti telah saya ungkapkan dalam Kata Pengantar, saya hanyalah seorang hamba Allah yang dhaif. Pengetahuan saya sangatlah terbatas. Karena itu, saya berlindung kepada Allah SWT, agar saya dijauhkan dari sikap "ngotot" dan ingin benar sendiri.

Saya selalu mengemukakan pendapat dengan dilandasi oleh suatu argumen. Kalau ternyata, dalam suatu pertukar-pikiran, saya menemukan pendapat orang lain yang didukung oleh argumen yang lebih kokoh dibandingkan dengan argumen yang saya miliki, maka saya dengan tulus dan ikhlas akan meninggalkan pendapat saya, dan mengikuti pendapat orang lain itu."

Sebelum mengakhiri ungkapan terima kasihnya, Yusril mengajak pengunjung blognya untuk tetap menggunakan bahasa yang baik, sopan dan saling menghormati, walaupun mungkin berbeda dalam mengemukakan pendapat.

"Saya mohon maaf tentang penggunaan bahasa. Beberapa rekan mengkritik saya karena bahasa saya sangat dipengaruhi oleh Bahasa Melayu klasik. Saya mohon maaf atas semua itu. Namun anehnya, beberapa tahun yang lalu, saya dan Susilo Bambang Yudhoyono, pernah diberi penghargaan oleh Pusat Bahasa, sebagai penguna Bahasa Indonesia yang baik. Saya sendiri sebenarnya heran dengan penghargaan itu," kata Yusril.

[+/-] Selengkapnya...

Sempat Dicurigai Orang yang Menyamar

MESRA:Yusril Ihza Mahendra (kanan),
dan istrinya, Rika Tolentino Kato (kiri)
yang berdarah Jepang-Filipina terlihat mesra
saat meninggalkan rumah dinasnya di Jalan
Widya Chandra I Nomor 2, Jakarta Selatan, setelah
diberhentikan Presiden Yudhoyono, 8 Mei 2007.


Persda Network/Bian Harnansa




Yusril Mulai Keranjingan Blog (2)

Laporan Wartawan Persda, Domuara Ambarita

MULAI aktifnya Yusril Ihza Mahendra berkomunikasi lewat blog sempat diragukan banyak orang. Perdebatan muncul, meragukan kalau mantan Mensesneg itu adalah betul-betul pemilik alamat http://mahendra-ihza-yusril.blogspot.com. Maklum, bajak-membajak nama di dunia maya sangat kerap terjadi.

Muhammad Rivai Andargini, profesional TI, misalnya mengatakan, "Ketika pertama kali membaca ulasan Pak Priyadi mengenai blog Pak Yusril Ihza Mahendra, saya masih dalam tahap ragu antara percaya dan tidak." Vavay, sapaan Rivai di jagat maya, menuturkan sengaja memosting komentar pertama, untuk mengetes apakah pemilik blog tersebut benar Yusril atau bukan.

"Terus terang saya pribadi kurang percaya kalau ini benar pak Yusril," tulis Vavay sembari mengusulkan pelacakan melalui sahabat Yusri, Menhut MS Ka'ban dan adiknya, Yusron Ihza.

Keraguan Vavay, karena Yusril kurang akurat menulis nama Ketua Partai Demokrat, Budhisantoso menjadi Budisusilo. "Ini sangat aneh karena Pak Yusril orang yang sangat teliti pada detail. Karena sempat di PBB, saya jadi tambah yakin yang menyamar adalah orang yang tahu banyak soal Pak Yusril."

"Ini ada kekurangcermatan lagi pada blog yang di blogspot: Badan Komukasi Pemuda Masjid (BKPM). Sepertinya ini juga kurang cermat, baik singkatan BKPM maupun penulisan komukasi. Yang benar adalah BKPRMI, Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (http://www.bkprmi.org/). Memang benar dulunya organisasi ini bernama BKPMI. Waktu Pak Yusril jadi ketua umum PBB, ketua BKPRMI adalah KH Kholil Ridwan yang menjadi salah ketua di PBB."

Jie menyusul dengan komentar yang menarik, "Abis ini saya yakin "Pak Yusril" bakal komen di sini" Benar saja, tak lama kemudian ada balasan komentar dari "Pak Yusril"


"Terima kasih atas semua pandangan, saran dan komentar atas blog yang baru saya buat. Seperti telah saya jelaskan, saya baru dalam taraf belajar. Sebagai pemula, saya pikir, lebih baik saya gunakan blog gratis dulu. Saya mohon maaf, jika dalam posting saya di bog Jay, terdapat kekeliruan karena buru-buru," kata Yusril.

Jay yang disebut Yusril adalah pemilik nama lengkap Yulian Firdaus Hendriyana. Dia alumnus Departemen Arsitektur di ITB. Hobi yang kental seputar teknologi informasi dan komputer, terutama dunia Linux dan Open-Source membawa Jay dan kawan-kawan mendirikan KLuB Linux Bandung, bagian dari Kelompok Pengguna Linux Indonesia.

"Masih ada juga yang ragu-ragu kalau blog ini saya buat sendiri, dan posting di blog Jay serta sekarang ini, juga saya tulis sendiri. Tidak apa, wajar saja keraguan itu. Pernah ada yang membuat friendster atas nama saya, namun saya tidak pernah membuatnya. Saya telah mengundang Jay dan Achmadi untuk minum kopi agar kedua beliau "ainul yaqin" yang posting dan membuat blog itu adalah saya. Mudah-mudahan setelah itu akan meningkat menjadi "haqqul yaqin"," tulis Yusril<


Meski diklarifikasi, para blogger tetap meragukan keaslian Yusril di blog itu. "Hehehe, jika sebelumnya saya masih 68% ragu apakah ini benar Pak Yusril yang sedang blogwalking, kini keraguan saya meningkat menjadi 86%," lanjut Vavay sembari menguraikan ciri khas Yusril, antara lain teliti pada detail serta runtut dan tajam. jarang keliru.

[+/-] Selengkapnya...

Yusril Mulai Keranjingan Blog

JAGAD BLOG: Yusril Ihza Mahendra (kedua dari kanan)
bertemu dengan sejumlah blogger (dari kiri) Abi,
Rina, Priyadi, Jay, Deden, dan Vavai.
Para blogger profesional ini semula mencurigai Yusril
yang muncul di jagat maya blog sebagai penyamar
. Foto: BLOG_VAVAY



Laporan Wartawan Persda, Domuara Ambarita

MENGUTIP slogan promosi satu maskapai penerbangan, now everyone can fly, di jagat maya, semboyan senada sedang merasuki pegiat komunikasi via internet. Tidak lagi sebatas berkirim surat elektronik, atau chatting, friendster yang fiturnya masih terbatas, kini fenomena blog semakin semarak. Fasilitas website serba gratis.

Bukan hanya kalangan blogger yang melek di dunia teknologi informasi yang menggemarinya, mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mehandra pun mulai keranjingan blog. Yusril, kelahiran Belitung 5 Februari 1956, memiliki alamat http://mahendra-ihza-yusril.blogspot.com

Inilah aktivitas baru Yusril Izha Mahendra setelah pensiun dari jabatan supersibuk Menteri Sekretaris Negara, selain syuting bintang film serial Laksamana
Cheng Ho di Bangkok, Thailand.
Yusril perkenalan perdana lewat tulisan berjudul Kata Pengantar yang diposting 1 November lalu pukul 00.40. Beginilah tulisan Yusril, pendiri sekaligus mantan Ketua Umum Partai Bulan Bintang.

"Atas saran beberapa sahabat yang saya kenal melalui blog, maka hari ini saya menciptakan blog saya, sebagai wahana komunikasi bertukar pikiran secara jernih, intelektual dan simpatik, atas dasar prinsip saling hormat-menghormati."

Postingan ini, berselang empat hari dari Pesta Blogger 2007 yang digelar di Blitz Megaplex Grand Indonesia, Sabtu (27/10). Pemerintah, melalui Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh berharap pesta itu sebagai awal kebangkitan pemuda dan teknologi informasi Indonesia. M Nuh mencanangkan 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional.

Yusril pensiun dari jabatan Mensesneg, 8 Mei 2007, melanjutkan, "Melalui blog ini, saya ingin berbagai pemikiran, pengalaman dan gagasan, yang barangkali akan bermanfaat untuk menambah wawasan dalam menyikapi berbagai peristwa yang terjadi di sekitar kita. Apa yang saya ungkapkan, mungkin saja bersifat subyektif, karena didasarkan pada titik pandang, falsafah dan keyakinan keagamaan yang saya anut."

Ia kemudian menuliskan data pribadi, latar belakang pendidikan, berikut pengalaman berorganisasi, pekerjaan, kerier politik di partai politik, anggota DPR, hingga memasuki "Ring I" di istana selaku Mensesneg.

Melalui blog, Yusril coba menuangkan pemikiran-pemikiran, perasaan dan tanggapan terhadap berbagai peristiwa kemanusiaan yang sedang terjadi di masyarakat.

"Untuk berkomunikasi, saya mengajak menggunakan Bahasa Indonesia, Malaysia, Inggeris dan Tagalog. Saya dapat berbahasa Cina dialek Hakka dan sedikit Mandarin. Juga sedikit Bahasa Arab dan Urdu. Namun saya mohon, agar kedua bahasa terakhir ini tidak digunakan dalam komunikasi di blog ini. Saya juga tidak mampu berkomunikasi bahasa tulisan menggunakan huruf Cina," pinta Yusril.

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 08 November 2007

Anggota Wantimpres Usul MS Ka’ban Dicopot

Menteri Kehutanan
Malem Sambat Ka'ban,
diusulkan mundur
dari kursi menteri

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan
Buyung Nasution,
menuding Ka'ban memberi surat sakti, pegangan perambah hutan



Laporan Wartawan Persda, M Abduh/Domuara Ambarita

JAKARTA, PERSDA- Dewan Pertimbangan Presiden dikabarkan mengusulkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar mencopot Menteri Kehutanan Malem Sambat (MS) Ka’ban dari jabatannya. Pengacara senior yang saat ini menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution dalam kapasitas indivitu mengakui memiliki usul itu. Namun tidak kemungkinan akan dibawa ke dalam rapat Wantimpres.

Terungkapnya informasi itu berasal dari Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Kamis (8/11). "Saya sangat menyayangkan usulan Wantimpres agar presiden mencopot Ka’ban. Itu hal-hal politis yang seharusnya tidak diungkapkan," ujar Hidayat saat ditemui Persda Network dalam acara yang berlangsung di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia memberitahukan setelah menanggapi pertanyaan wartawan mengenai hilangnya Adelin Lis, terdakwa kasus korupsi dan pembalakan liar seusai divonis bebas Pengadilan Negeri (PN) Medan. Saat itu Hidayat juga berkomentar, hilangnya Adelis itu karena terjadi ketidakkompakan antara jajaran Kehutanan dan Kepolisian.

Ketika pernyataan Hidayat ini dikonfirmasi kepada anggota Wantimpres, Adnan Buyung Nasution, ia membantah bahwa dirinya mengeluarkan pernyataan tersebut dalam kapasitasnya di Wantimpres, melainkan sebagai pribadi. Buyung mengatakan usulan pribadi ini tidak tertutup akan dibawa ke Wantimpres dalam waktu dekat ini. "Tapi saya heran dengan komentarnya (Hidayat), letak persoalan politisnya di mana?" ujarnya saat dihubungi kemarin sore.

Ia mengatakan dirinya benar mengusulkan MS Ka’ban dicopot. Mengenai pernyataannya ini sebenarnya sudah pernah ia kemukakan saat berpidato di Kejaksaan Agung, 2 Juli 2007 lalu. Menurutnya, Ka’ban selaku menteri kehutanan tidak mendukung instruksi presiden tentang percepatan proses pemberantasan illegal logging, dengan mengirimkan surat sakti kepada majelis hakim yang menyidangkan perkara Adelin. "Dia itu harus bertanggungjawab, dia telah bermain dengan surat saktinya itu. Itu kesalahan besar," ujar Buyung dengan nada tinggi.

Ada dua dosa besar Ka’ban sehingga dirinya harus dicopot. Pertama, Buyung mengatakan bahwa Kaban mencampuri urusan peradilan dengan mengirimkan surat sakti kepada majelis hakim. Surat sakti yang dimaksud Buyung itu adalah surat yang ditulis Kaban berisi pernyataan bahwa terdakwa kasus illegal logging yang disidangkan di PN Medan itu bukanlah pelanggaran pidana, tapi hanya admnistratif.

Surat sakti itu dipakai hakim sehingga para terdakwa kasus illegal logging bisa bebas. Dosa besar kedua yang membuat lebih parah, surat sakti itu sering dijadikan alasan hakim untuk mengatakan penebangan hutan yang disertai proses izin kehutanan, menjadi sah semua. Hal ini bisa berdampak penilaian negatif masyarakat terhadap pemerintahan SBY.

"Ini bahaya buat negara ini, disaat kita semangat memberantas illegal logging malah ada menteri yang mengeluarkan kebijakan berbeda. Kalau begini pemerintahan SBY gagal dong namanya, tidak bisa menjalankan program hukum berantas illegal loggingnya. Di satu sisi polisi ingin penegakan hukum tapi harus berhadapan dengan MS Kaban yang berbeda pendapat," kata Buyung.

Hingga berita ini ditulis, Menteri Kehutanan MS Ka’ban yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) belum dapat dihubungi. Telepon selulernya yang didial beberapa kali namun tidak menyahut. Sekjen PBB Sahar L Hasan saat dikontak Persda Network berjanji menyampaikan informasi itu segera. Namun sejam kemudian dihubungi ulang, Sahar mengatakan, "Telepon saya juga belum diangkat pak Ka’ban."

[+/-] Selengkapnya...

Daya Saing

MINGGU (4/11/2007) pagi, saya mampi ke warung mini X-Mart di jalan Mandala Utama, kompleks Pondok Tirta Mandala Depok, akses menuju jalan raya. Pagi itu, saya akan memperkuat tim Futsal Persda pada turnamen yang diselenggarakan XL di lapangan milik TNI di Pancoran.

Mengingat kebiasaan lama, saya sesekali menenggak Kratingdaeng. Caranya ambil dua butir telur ayam kampoeng mentah, semua kuning dan putih telur, tuangkan ke dalam gelas lalu masukkan Kratingdaeng secukupnya. Dulu, sayabiasa satu botol sekaligus, sekarang separuh saja, karena sudah lama tidak melakukan itu ada sedikit perasaan was-was. Kalo-kalo…..

Hap…. Tangan kiri saya langsung menyambar sebotol minuman itu dari gerai X-Mart. Kemudian tangan kanan merogoh saku, menyodorkan uang pecahan Rp 50.000. Seorang laki-laki pramu niaga dengan mimic dan perkataan yang kurang bersahabat berkata, “belum ada kembalian bang. Baru buka.” Saya menggerutu.

“Masa? Minimarket nggak punya kembalian untuk uang Rp 50 ribu?” “Iya,” kata sembari segera menyambar sebotong energy drink yang sedianya saya beli. Saya sempat menoleh harga tertulis pad label, per botol Rp 2.950. Dalam bathin, bagaimana mau bersaing, urusan pecahan saja nggak bisa diatasi.

Seingat saya, X-Mart merupakan warung kesekian kali di tempat atau di bangunan yang sama. Rasanya sudah tiga kali gonta-ganti pengelola warung mini di tempat yang sama. Sebelum ini, bahkan sempat dilengkapai arena ketangkasan dan permainan anak-anak untuk memikat pembeli, tapi rupanya tidak cukup memiliki daya saing.

Sepekan sebelum Lebaran lalu, warung mini, Indomart diresmikan operasionalnya di jalan yang sama. Lokasinya lebih strategis. Boleh di bilang di mulut jalan. Ketika orang baru tiba dan masuk ke komplek, sangat pas untuk mampir berbelanja. Demikian juga penghuni kompleks yang hendak keluar, dan sebelum naik Angkot, jika membutuhkan sesuatu boleh mampir dulu ke tempat ini. Di depan Indomart, ada pangkalan becak yang sudah belasan tahun beroperasi.

Lokasi Indomart jauh lebih strategis dibandingkan dengan X-Mart, yang jaraknya sekitar 50 meter kea rah kompleks. Para pakar mengatakan, dalam merencanakan produksi sebaiknya pengusaha memikirkan jauh hari tentang bauran pemasaran (market mix) yakni: Product, Place, Price and Promotion.

Dalam hal ini, posisi X_Mart kalah beruntung dibandingkan Indomart. Tamu, atau warga yang sudah naik becak, tentu agak tak enak hati turun dari tumpangannya untuk singgah ke X-Mart. Demikian orang kompleks, kadang terlupakan untuk membeli sesuatu, atau kalau ingat mungkin memutuskan membeli di tempat lain karena X-Mart persis berada di tikungan dan jalan agak sempit.

Studi kasus dari perbandingan ini fokus dan lebih berarti pada hari-hari terakhir setelah Indomart beroperasi di dekat X-Mart. Dalam istilah persaingan terbuka atau persaingan sempurna, pembeli/pengguna idealnya diuntungkan karena produsen atau penjual berlomba memberi yang terbaik dengan harga bersaing lebih murah.

Namun apa yang saya tangkap dari pengelola X-Mart, tidak mencerminkan pemahaman pada pembeli adalah raja. Bukan hanya uang pecahan yang tidak siap, tetapi harganya pun terpaut lumayan bear Rp 300 atau 10,16 persen untuk produk seharga di bawah Rp 3.000.

Lengkaplah sudah, lemahnya daya saing X-Mart: lokasi (place), harga (price), dan keramahan kepada konsumen. Saat ini, penolakan terhadap globalisasi masih sering kita dengar. Dari elite politik, pemuka agama yang elitis-politik, individu lepas individu yang coba membentengi warganya dengan doktrin Bangsa Kita Lebih Hebat dari Bangsa Lain, Itu Budaya Barat Tidak Cocok dengan Kita jadi Jangan Ditiru, Kepentingan Global Masuk untuk Merusak Mari Kita Lawan, dan lain sebagainya.

Sebetulnya tidak demikian. Suka tidak suka, mau tidak mau, globalisasi, liberalisasi, kapitalisasi tidak dapat dihindari. Dia sudah ada di sekietar kita, bahkan sudah bercokol di tengah sanubari, rumah tangga, dan masyarakat kita. Jangan berlari, jangan sembunyi, sebab itu hanya memperburuk keadaan dan menjadi bom waktu.

Mari hadapi dengan perkasa. Agar tidak menjadi pelengkap penderita, tak ada kata lain kecuali memperbaiki mutu entah produk maupun jasa yang berdaya saing tinggi dan murah. (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 05 November 2007

Jujurlah Mulai dari Hal Kecil

SPRINTER asal Amerika Serikat, Marion Jones, memang menanggung malu. Tetapi dia masih berani mengakui kesalahan dengan mengembalikan lima medali emas berikut uang hadiah dan bonus yang diraihnya pada Olimpiade 2000. Medali dicabut Komite Olimpiade Amerika Serikat (USOC) karena terbukti menggunakan doping.

Patut disayangkan, seorang atlet tidak berjiwa sportif dan fair play. Bahkan mestinya diproses secara hukum, karena telah menggunakan zat pemacu tenaga ekstra, kendatipun bukan narkotik dan obat-obat berbahaya. Dasarnya, sederhana saja, berbohong dan secara moral itu tidak memberi contoh yang baik. Kendati demikian, patut diacungi jempol atas sikap dia mengembalikan medali, hadiah dan bonus.

Bila dunia olahraga Amerika masih menyisakan keberanian mengakui kesalahan, dan mengembalikan harta benda dan penghargaan yang sebelumnya sudha menjadi hak pribadi. Seterpaksa apa pun itu, Jones mengembalikan tanpa harus melalui pengadilan dulu apalagi sampai menggunakan fisik.

Bukan bermaksud menyanjung orang-orang Amerika, dan tidak ada juga niat menginjak-injak harkat dan martabat bangsa ini, tetapi itulah fakta. Sangat kontras dengan dunia olahraga kita, seperti PSSI yang saat ini dirundung prahara.

Kapal PSSI sudah oleh, dan nyaris tenggelam ketika karena tak ada prestasi membanggakan. Eh, insam sepakbola kita pun masih berpangku tangan saat nakhodanya, Ketua Umum PSSI Nurdin Halid dipenjara. Bukan hanya sekali, tetapi dua kali dalam kasus korupsi. Mengutip cara Uli, putri sulung saya yang menirukan kebiasaan Salim dan Sinetron Entong, "Sungguh Terlalu"....

Federasi Asosiasi Sepakbola Internasional (FIFA) bahkan jauh-jauh dari eropa, sampai merekomendasi agar PSSI segera menjungkalkan ketuanya karena dianggap tidak etis, induk organisasi dipimpin seorang terpidana, eh peringatan itu malah dianggap "sungguh terlalu' intervensi. Mencampuri urusan rumah tangga orang lain.

Anehnya, Nurdin masih berseikeras merengkuh jabatan terhormat, yang mestinya bebas dari orang-orang yang tecebur ke kubangan korupsi. Para Pengda-pengda PSSI dari berbagai daerah di Indonesia pun sepertinya diam seribu bahasa, entahlah, Nurdin memiliki daya sihir atau hipnotis yang teramat menakjubkan, ataukah mereka termakan buah simalakama bernama Nurdin Halid.

Bukan hanya di PSSI. Di tingkat terendah pun, praktik kecurangan kerap terjadi dalam olahraga di Indonesia. Dalam Kompetisi Futsal Antarmedia yang digelar operator Ponsel, XL, Sabtu- Minggu (3-4/11/2007) misalnya, ternyata beberapa penerbitan pers berbuat curang.

Setelah lolos dari lubang jarum di babak knockout pertama, tim Persda (Kelompok Koran Dearah Kompas Gramedia) melaju dan berhadapan dengan Tabloid SMS. Jika di babak pertama, Sabtu (3/11), Tim Persda unggul 3-2 atas Investor Daily, di laga kedua, tim Futsal Persda yang diperkuat Yoni, Abduh, Domua, Hendra, Heriyanto, Reza, Don, dan Bagus itu mustinya dengan mudah melewati media tabloid SMS. Ternyata perkiaan meleset, sang lawan sangat tangguh, dan meringsek Persda 8-1. Ruarrrrrrr biasa.......

Belakangan boroknya terbuka, saat di babak semifinal, Tabloid SMS ternyata menggunakan pemain asing semua. Artinya, Tabloid SMS bertindak tidak syah, berbohong, mencederai sportivitas karena menyewa jasa pefutsal profesional. Tabloid SMS menggunakan pemain bayaran. Dan setelah ketahun, langsung didiskualifikasi.

Jika hanya sebatas itu moral kita kalangan media, maka jangan pernah berharap bisa membawa pencerahan di masyarakat. Jangan pernah gembar-gembor membawa misi pengawasa sosial (social control) dna pro perubahan. Eh, hampir lupa, Tabloid SMS kan media jualan pulsa dan seputar Ponsel. Product knowledge, jadi sangat wajar begitu, karena mereka tidak pernah berpikir apa itu kejujuran, kode etik wartawan, berbicara demokrasi, atau etika masyarakat.

Walau begitu, siapa pun kita, apapun profesi dan pada strata mana pun berada, selayaknyalah kita mengedepankan nilia-nilai sportivitas dan kejujuran. Mari kita setia pada perkara-perkara kecil, maka akan diberi kepercayaan untuk perkara besar. Bagaimana menurut anda??? (Domuara Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Saya Ikhlaskan Mas Rino Berpulang


ISWARI Nur Hidayati tampak tegar ditinggal pergi untuk selamanya oleh suami, Rino Cahyadi Srijaya Giyanto (24). Rino adalah asisten dosen pada Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM),meninggal Minggu (4/11), saat speedboad yang mereka tumpangi beserta rombongan terbalik di Pattaya, Thailand. Berikut petikan wawancara via telepon wartawan Persda Network, Domuara Ambarita dari Jakarta dengan Iswari Nur Hidayati di Yogyakarta.

Rino Cahyadi suami Anda dikabrkan kecelakaan di Thailand. Apakah ada kabar terbatu dari sana?
Ya betul, mas Rino memang sudah berpulang. Saya menerima kabar, suami saya meninggal dan sekarang jenazahnya berada di KBRI Bangkok. Insya Allah, besok datang dengan penerbangan lebih awal dari bangkok. Besok pagi tiba sekitar pukul 08.00 sampai 09.30.

Lazimnya, orang memiliki perasaan waswas, mimpi, atau kejadian macam-macam sebagai firasat kalau ada orang-orang tercinta yang akan meninggal. Apakah Anda punya firasat buruk?
Nggak ada sama sekali. Dia itu orangnya memang tenang, jadi perginya juga tenang. Maksudnya tidak ada firasat apapun. Semuanya, bapak ibu juga nggak ada firasat apa-apa, bapak ibu mertua juga nggak ada, anak saya juga tidak ada, semua baik-baik.

Firasat melalui mimpi pun tidak ada sama sekali?
Mimpi apa pun nggak ada. Bahkan siang itu, sekitar jam satu, dia masih SMS. Isinya bisa saja, menayakan apakah saya sudah makan siang. Afri sudah bobo apa belum. (Afri panggilan untuk anak tunggal Rino dan Iswari, nama lengkapnya Asfarizal berusia empat bulan, Red)

Sudah berapa lama kenal dengan almarhum?
Kami kuliah satu angkatan, angkatan 2001, di Fakultas Geografi UGM, tapi beda jurusan. mas Rino Jurusan Geografi Fisik dan Lingkungan, sedangkan saya jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh. Wisudanya juga bareng tahun 2005. Saat ini pun kami sama-sama mengambil S2 juga di UGM. Walau satu angkatan, kami kenalan setelah saya mengerjakan tugas akhir. Saya baru satu-setengah tahun kenal mas Rino, dan kami menikah 18 Agustus 2006.

Boleh diceritakan latar belakang suami Anda?
Suami saya aktif kegiatan masjid kampus. Dia sering mengaji. Mungkin dia pernah di KAMMI, tapi saya tidak tahu banyak. Apalagi setelah kami menikah, dia langsung konsen dalam riset, kemudian berangkat ke Belanda, dan baru pulang 26 Juni, dan besoknya saya melahirkan. Setelah tiu, sibuk dengan tesisnya program magister di Jurusan Geoinformasi dan Manajemen Bencana UGM yang direncanakan akan sidang bulang depan. Tapi keburu mas Rino berpulang, ujian tesisnya tidak jadi.

Keberangkatan ke Thailand dalam rangka apa?
Dia berangkat ke Thailand mewakili Fakultas, menghadiri seminar soal bencana tunasmi. Selain itu, dia ke sana sekalian mau bertemu dengan seorang profesor dari Nagoya University, Jepang selaku promotor untuk program doktor soal tsunami ke Jepang. Saat itu mereka naik speedboad mau kuliah lapangan, dan terjadi musibah.

Kalau begitu, rencana melanjutkan pendidikan sangat kuat. Apakah mendapatkan beasiswa dari UGM?
Alhamdulillah, saya mendapat Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Ditjen Dikti Depdiknas. mas Rino juga, baru bulan kemarin mendapat surat pemberitahuan beasiswa untuk tahun anggaran 2007-2008 dari BPPS juga disetujui. Tapi, apa boleh buat, magister belu dapat, mas Rino duluan berpulang.

Setelah suami ada berpulang. Apakah ada kesan-kesan atau perasaan kehilangan?
Ya, apa ya. Yang jelas sedih. Orangnya sangat sabar, sangat pengertian. Pokoknya orangnya baik banget. Alhadulillah, saya mendapat suami yang baik bangat, walaupun kabi bersama belum ada satu setengah tahun

Apakah Anda pernah berdiskusi dengan almarhum tentang rencana masa depan?
Wah, banyak sekali. Misalnya, dia berencana mau ambil program S3 di Jepang, dan nanti rencanya mau ngajak anak istri ke sana. Pokoknya rencananya banyak sekali. Ke Thailand juga dalam rangka itu, selain mengikuti seminar, juga bertemu dengan seorang profesor dari Nagoya University selaku promotor untuk doktor. Promotornya itu lah yang punya acara di Thailand.

Tentang rencana masa depan Anak kalian, Afri?
Banyak sekali. Tapi saya tidak bisa beberkan, biarlah itu untuk saya sendiri, setelah ditinggal mas Rino. Saya tahu, maksud suami saya mungkin supaya anak saya seperti apa, tapi karena itu amanah yang sangat berat yang harus saya pikul sendiri, biarlah saya simpan sendiri.

Setelah suami tidak ada, apa dan bagaimana rencana Anda menghadapi hari-hari ke depan?
Insya Allah saya akan melanjutkan S2 jurusan yang sama dengan S1 saya sampai selesai. Kemudian saya akan mencari pekerjaan.

Tampaknya Anda, sangat tabah menghadapi cobaan ini. Kalau istri-istri yang lain mendapat kabar seperti ini sudah pingsan, atau bersedih luar biasa. Bagaimana caranya, kok anda tegar?
Apa ya? ya, dikhlaskan saja. Itu semua kan sudah kehendakNya. Suami saya sering berpesan, kalau terjadi apa-apa, mohon diikhlaskan. Jadi say aikhlas. Kalau saya tidak ikhlas berati saya memberatkan suami saya. Semoga dia mendapat tempat yang lapang di sisi Allah. Kalau saya ikhlas, dia juga jalannya tidak tersendat-sendat, karen adia jalannya juga masih panjang.

Kapan ngomong mohon diiklaskan? Tidakkah itu suatu firasat?
Dia bilang begitu bukan baru-baru ini. Dia selalu ngomong begitu kalau mau pergi ke kampus, atau mau ikut seminar, selalu bilang begitu. Doakan ayah ya, kalau misalnya terjadi apa-apa mohon dikhlaskan. Mungkin maksudnya, supaya dia enak entah ke mana pun, jadi tidak ada beban.

[+/-] Selengkapnya...