Sabtu, 15 September 2007

SOROT
Komoditas Pemudik

Domuara Ambarita
VOLUME pemudik motoris meningkat. Menteri Perhubungan, Hatta Radjasa mengatakan, jumlah sepeda motor yang ditunggangi pemudik tahun 2006 mencapai 3,4 unit. Lebih banyak 1,4 juta unit sepeda motor dari tahun lalu.

Pemudik membawa serta anggota keluarga, seperti istri dan anak. Satu sepeda motor jarang ditumpangi sendirian, umumnya berboncengan, bahkan ada empat sampai lima orang.

Kalau dirata-ratakan satu sepeda motor ditumpangi tiga pemudik, total kurang-lebih 10,2 juta jiwa pulang kampung memanfaatkan momen libur panjang Idul Fitri, menembus angin dingin atau terik matahari sejauh ratusan kilometer.


Mengapa mudik mengendarai sepeda motor meningkat kendati diintai risiko sangat tinggi? Apakah risiko kelelahan, sakit pada anak, kecelakaan? Alasan dominan adalah pertimbangan ekonomi, yakni lebih murah. Sedemikian melaratkah para pemudik motoris itu sehingga aspek pengiritan mengalahkan semuanya, sampai-sampai mengabaikan keselamatan jiwa?

Barangkali jawabannya memang iya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan DPR 16 Agustus lalu boleh mengaku berhasil menekan angka kemiskinan dari 23,4 persen pada tahun 1999 menjadi 16 persen pada tahun 2005. Tetapi pidato itu manipulatif, dan belakangan diralat kabinet SBY sendiri.

Kenyataannya, orang miskin semakin miskin dan yang tadinya keluarga pas-pasan jatuh miskin. Bukti nyatanya, di berbagai daerah mencuat kasus busung lapar dan gizi buruk. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik Maret 2006 pun, mengatakan jumlah penduduk miskin 39,05 juta atau 17,75 persen dari total 222 juta penduduk.

Angka kemiskinan bertambah empat juta orang dibanding Februari 2005 yakni 35,10 juta atau 15,97 persen dari total penduduk.
Andai pemudik yang berjumlah 10,2 juta jiwa bagian dari kaum miskin, mereka masih lebih mujur dari orang lain yang terpaksa berdesakan naik angkutan massal, dan rela menumpuk termasuk di toilet kereta api kelas ekonomi. Banyak juga warga yang meratapi kesendiriannya, berlebaran jauh dari keluarga karena ketiadaan ongkos mudik.
Mudik Lebaran memang jadi fenomena.

Di banyak negara juga ada Idul Fitri tetapi tidak seheboh di Indonesia yang menyita perhatian. Mudik menarik perhatian banyak pihak, seperti produsen makanan, penyelenggara jasa angkutan, operator ponsel, otomotif bahkan industri pers.

Jauh hari sebelum Lebaran, media cetak maupun elektronik membentuk tim liputan khsusus untuk mengisi ruang atau slot menyediakan ruang spesial mudik dan Lebaran. Namun sayang, seperti juga produsen yang membidik pemudik sebagai pangsa pasar, kalangan pers masih menjadikan pemudik sebagai komoditas. Produk unggulan untuk dijual kepada pemasang iklan dan pembaca, pemirsa atau pendengar.

Padahal lebih dari itu, pers sebagai agen perubahan dapat mendorong perbaikan ekonomi-kesejahteraan masyarakat. Usia reformasi sewindu sudah. Kemerdekaan dan kebebasan pers telah membawa banyak perubahan tetapi lebih pada aspek sosial politik, demokrasi.

Sumbangsih pers yang menyejahterakan masih sangat minim.

Mustinya pers, terutama berbasis nasional, mendorong pembangunan ekonomi seiring jalan dengan politik-demokrasi karena memang ekonomi dan politik asalnya satu tubuh.

Pembangunan politik tanpa dibarengi ekonomi-kesejahteraan, akan melahirkan politisi-birokrat petualang, kemaruk dan korup.

Hal kecil yang dapat dilakukan pers namun hasilnya sangat mungkin dahsyat adalah memperbanyak berita yang menggugah semangat wirausaha.

Semangat mandiri. Menyajikan angle mikro, success story, peluang-peluang investasi, peluang perdagangan. Dan mulai meninggalkan berita makro, apalagi yang semata mendorong konsumsi.

Semoga perubahan paradigma pers ini memberi manfaat ekonomi secara langsung terhadap khalayak. Pemudik motoris pun semoga berkurang dari tahun ke tahun, dan mereka menjadi raja dan ratu yang tinggal duduk manis pada anggkutan yang cepat dan nyaman, yakni pesawat terbang. Dengan demikian arus mudik yang macet, tingginya angka kecelakaan lalu-lintas tidak lagi menghiasi wajah pers nasional. (*)

* * Tribun Jabar, (26/10/2006)


Tidak ada komentar: