Sabtu, 15 September 2007

SOROT
Selamatkan Industri Kita

Domuara Ambarita
SATU dari tidak banyak kebijakan pemerintah dalam melindungi produk tekstil domestik adalah melarang impor pakaian bekas. Kebijakan lama, namun sempat sekadar macan ompong di atas kertas sesaat setelah krisis moneter menerpa perekonomian nasional, tahun 1997.

Dengan alasan kemanusiaan, atau solusi alternatif terhadap meningkatnya pengangguran, dan menyediakan harga murah kebutuhan pokok, perdagangan pakaian bekas pun marak walau tidak dilegalkan.

Beredarlah pakaian bekas dengan aneka tingkatan kualitas, dan harga sangat miring. Seluruh pelosok dibanjiri 'sampah' bangsa lain. Impor umumnya melalui pelabuhan-pelabuhan niaga. Misalnya Belawan, Tanjung Balai, Dumai, Sekupang, Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan sebagainya, dari timur hingga barat Indonesia.

Aktivitas impor dan perdagangan pakaian bekas begitu menggeliatkan ekonomi. Puluhan ribu orang dari perusahan importir, awak kapal, buruh angkut, pedagang, dan keluarganya menggantungkan hidup pada distribusi pakaian bekas. Waktu bersamaan, lebih banyak orang yang terancam, kalangan usahawan hingga buruh pabrik.


Dalam waktu singkat aktivitas ini serasa sangat hidup. Tapi untuk waktu panjang, justru mematikan industri-industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri.

Bahkan sudah terbukti, sangat berdampak terhadap menurunnya iklim investasi. Industri TPT tidak saja dihadapkan pada persaingan tak sehat dengan produk dari Cina dan Vietnam, yang diuntungkan kebijakan dumping negaranya sehingga diekspor dengan harga miring, juga dipukul produk selundupan yang sebagian besar masuk bersama impor pakaian bekas.

Pada era keemasannya, Provinsi Jawa Barat termasuk lahan subur buat industri TPT. Tekstil pernah menjadi komoditas unggulan ekspor. Sampai sekarang, kendati nilai ekspor TPT cenderung menciut, posisinya masih peringkat pertama komoditas penghasil ekspor.

Tahun 2004, komoditas TPT masih menyumbang 1,503 miliar dolar AS atau sekitar 49,84 realisasi ekspor Jabar. Tahun berikutnya turun jadi 1,391 miliar dolar AS atau 44,19 persen dari realisasi ekspor.

Penurunan ini, selain faktor makro ekonomi dan permasalahan buruh, aktivitas impor pakaian bekas sangat berdampak. Kini malah ada peluang. Embargo negara-negara maju seperi Amerika dan Eropa terhadap hasil industri tekstil Cina dan Vietnam, diharapkan menumbuhkan industri TPT Indonesia.

Ancaman dan tantangan justru datang dari dalam negeri. Rabu (23/5), Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sepakat mengusulkan kuota kebutuhan pakaian bekas kepada Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu untuk dapat memberikan izin impor. Usulan ini didasari banyaknya warga Sumut yang menggantungkan hidup pada komoditas ini.

Sekali lagi, alasan demi kemanusian dan pemenuhan ekonomi sesaat itu sebaiknya harus dicounter. Alangkah eloknya, jika pemerintah, terutama kalangan industri TPT mendebat alasan ini dengan argumen lebih logis, dan untuk kelangsungan industri nasional ke depan. Solusi yang tidak sumbu kompor.

Saatnya pengambil kebijakan yang berwawasan jauh ke depan. Legislator dan eksekutor jadilah negarawan-bangsawan, tanpa mengenyampingkan masalah kekinian. Wahai penguasa-
pengusaha, juragan-buruh-konsumen, mari bersama selamatkan industri nasional dari gempuran produk asing. (*)

* Tribun Jabar (25/05/2006)


Tidak ada komentar: