Jumat, 21 September 2007



Foto Danu/Kompas
Truk polisi dibakar massa di Budaran Besar Palangka Raya

100 Menit di Bundaran Besar

JAUH hari sebelum terjadinya tragedi berdarah di Bundaran Besar Palangka Raya, Sabtu (10/3), Kadit Sabhara Polda Kalteng Selaku Pelaksana Harian Penanggulangan Kamtibmas di Sampit, Komisaris Besar Polisi Tato Suprapto pernah mengeluarkan warning bahwa upaya menghindari meluasnya konflik antaretnis di Kalteng memerlukan kearifan ekstra.

Alasan dia, psikologi massa masih sangat emosional sehingga rentan tersulut. Dia memerintahkan, pasukan pengamanan sekalipun tidak boleh sembarang dalam bersikap. Tidak boleh teledor. Dalih penegakan hukum, kalau saja aparat menembak massa dalam situasi panas ini, situasi bisa menjadi lain. Kejadian selanjutnya bukan saja konflik horzontal antaretnis, melainkan menjadi-jadi konflik vertikal rakyat berhadap-hadapan dengan aparat.

Penegasan itu dikemukakan Tato Suprapto dalam perbincangan dengan sejumlah unsur Muspida Kabupaten Kotawaringin Timur, ketika evakuasi 3.850 pengungsi dari Sampit tujuan Tanjung Emas Semarang oleh KM Tilong Kabila, Minggu (25/2).


Kekhawatiran Tato tidak berlebihan. Buktinya, hanya berselang dua hari dari ketika dia melontarkan imbauannya, situasi Kota Sampit yang sempat realtif aman, tiba-tiba memanas kembali. Bahkan keadaan menjadi mencekam karena aparat keamanan sendiri terlibat bntrok bersenjata.

Baku tembak aparat Satuan Brigade Mobil (Brimob) Polri versus TNI AD di Pelabuhan Sampit. Tato sendiri akhirnya meninggal beberapa bulan kemudian.

Penanganan konflik antaretnis Sampit belum tuntas, meskipun sejumlah pejabat negara telah berkunjung ke sana. Ketua DPR Akbar Tandjung elah meninjau bersama Wapres Megawati Soekarnoputri, kemudian Presiden Abdurrahman Wahid mengunjungi wilayah yang tinggal puing-puing itu.

Lagi-lagi, kekhawatiran Kombes Tato sangat beralasan. Tak dinyana, pertikaian vertikal meletus di ibu kota Kalteng, Palangka Raya. Penyulutnya dalam penembakan membabibuta aparat Brimob sehingga menewaskan empat orang masyarakat warga setempat. Sang polisi, yang belum diketahui identitasnya, kalap ketika massa pengunjuk rasa merangsek ke arah rombongan Presiden Abdurrahman Wahid yang melintasi Bundaran Besar. Empat tewas, tujuh luka-luka di pihak sipil dan tiga orang luka-luka dari pihak polisi.

Terlepas dari beragam versi pemicu dan kronologis tragedi, pescapenembakan menarik disimak. Gambaran situasi lebih tegang dan arus pusaran massa lebih besar.

Ekses tragedi Bundaran Besar tersebut, membakar amarah massa Palangka Raya. Apalagi sudah terkuak kalau aparat menghamburkan peluru tajam dengan posisi senjata mendatar, yang terbukti dari temuan tiang-tiang besi listrik berlubang diterjang peluru. Minggu kemarin, warga menemukan banyak proyektil peluru. Satu di antaranya dikeluarkan dari tiang linstik yang berlobang karena peluru. Timah peluru masih ditemukan melekat di bagian dalam tiang.

Seorang tokoh masyarakat Palangka Raya, Drs Menteng Asmin merasa yakin, peluru tajamlah yang merenggut nyawa empat warka kota itu. Bukan peluru karet, seperti dikemukakan pihak Polda. Penjelasan petugas piket Denpom Vi/3 saat mengatarkan barang bukti, pecahan proyektil dan selongsongan, Jumat (9/3), sedari pagi tak terlihat seorang pun polisi melintas di Bundaran Besar. Semua pasukan konsentrasi di markas Polda. Wajar, karena massa memang membalas dengas sweeping aparat.

Lewat tengah hari, massa mencegat dan merazia pelintas. Mereka meneliti satu persatu angkutan yang lewat, dari sepeda motor hingga mobil, termasuk angkutan perkotaan. Jika ada pengguna jalan yang mengenakan seragam polisi, massa segera memburu, menyetop, lalu melucutinya. Seorang polisi yang bernasib sial, tak berkutik saat dikerubungi warga. Warga mengamuk, lalu memaksa merampas helm bertulis polisi, kemudian dibakar. Beruntung dia sempat melarikan diri.

Kemurkaan terus berlanjut hingga membumihanguskan pos polisi di pusat kota itu, serta membakar seunit mobil pikap juga milik Polisi. Kebrutalan menjadi-jadi, bahkan truk polisi yang sedang diperbaiki pada satu bengkel di Jalan Tjilik Riwut di dekat bundaran didorong paksa, lalu dibakar ramai-ramai.

Bak suasana perang betulan. Keadaan Kota Cantik itu betul-betul menegangkan. Warga sipil menjadi polisi bagi polisi sungguhan, sedangkan aparat polisi mengumpet atau hanya bertahan di markas sekadar mempertahankan kantor dan aset-aset. Kemudian massa menyasar ke arah kediaman Kapolda. Dalam hitungan menit, massa sudah menumpuk di depan rumah Kapolda di Jalan Imam Bonjol, bertetangga dengan Hotel Batang Garing, disipahkan Jalan DI Panjaitan.

"Ayo lempar... Bakar. Hancurkan," demikian provokasi entah siapa yang berada di tengah kerumunan massa. Seruan itu seperti perintah. Massa serempak langsung melepar bebatuan dan benda keras lainnya ke arah rumah Kapolda berbintang satu. Massa semakin merangsek dan mendekat, dari luar rumah itu tampak kosong, tanpa penjaga.

Sebelum seseorang melempar tumpukan kertas yang dibakar, tiba-tiba seregu polisi bersenjata lengkap bergegas keluar dari rumah berlantai satu itu. Mereka segera melepaskan tembakan ke angkasa. Dar... der.. dor... Lima kali suara tembakan muncrat. Suasana makin kacau, panik. Massa berhambur, sebagian berlari ke arah Bundaran Besar, sebagian lagi menyelamatkan diri ke dalam Hotel Batang Garing dan lainnya ke segala penjuru.

Kini giliran polisi yang bergerak menghalau massa. Dentuman lontaran peluru silih berganti membuat riuh- rendah di seputar Bundaran Besar. Massa diusir dengan tembakan tak henti dari senjata AK/SS-1 anggota polisi, dan mereka sudah bergerak ke jalan. Lalu disambut tembakan membabi buta dari senjata Brimob yang menumpang water canon, muncul dari Mapolda di Jalan Tjilik Riwut.

"Tiarap, mundur!" Perintah dari tengah massa, lagi-lagi sangat ampuh sebagai komando. Dalam hitungan detik, semua massa, termasuk belasan wartawan segera minggir. Saya beserta Danu Kusworo fotografer Kompas, Tommy (Reuters) segera tiarap, sambil berlindung di balik pohon mahoni berdiameter kira-kira 40 cm di tepi Jalan Imam Bonjol, kurang-lebih 30 meter dari sumber tembakan. Saya membaringkan dada-perut ke rumput gajah sambil mengamati desingan peluru mengarah datar dan sebagian ke atas.




Sekitar tiga menit tembakan reda. Waktu 'jeda' itulah saya manfaatkan berlari, segera melojmpat masuk pagar hotel Batang Garing, sebelah utara daru sumber tembakan.

Di balik tembok WC luar lantai dasar, sudut barat hotel, saya mengendap-endap. Sesekali menjulurkan wajah di balik siku hotel, mengintip posisi Brimob. Tampak dari balik, pagar besi bulat dan lambaian tanaman palm, sekitar satu regu pasukan berseragam Brimob masih dengan gagah berani memuntahkan peluru. Suasana menegangkan ini berlangsung sektiar 100 menit, dari pukul 15.20 WIB hingga pukul 17.00.

Seorang pemuda berambut gondrong luruh, celana pendek cokelat, T-shirt abu-abu, gelang rotan hitam tampak pucat pasi mengendap di balik tempat sampah, tiga meter dari WC. Sesekali dia amasih menongolkan kepala. Sekitar 40 menit ia terperangkap di sana, sebelum mengendap-endap melompat ke luar.

Sebentar kemudian, rentetan tembakan bertalu-talu dari arah Bundaran besar. Rupanya pasukan Brimob melintas. bak film perang, ketika pimpinan regu berpindah di arena perang, maka rekan setregu harus melontarkan tembakan ke arah lawan sebagai taktik melindungi komandan, demikian pula yang dilakukan Brimob ini dari atas mobil sambil bergerak memperkuat benteng pertahanan dan prajurit di kediaman Kapolda.

Demi menuruti naluri mencari situasi di pusat Budanran, saya sempat hendak turun ke jalan, namun begitu suara tembakan makin terdengar dan mendekat, urunglah niat. Satu truk Julidog roda empat ukuran besar melintas sarat polisi. Kemudian saya mencoba masuk ke loby hotel Batang Garing, ternyata di dalam puluhan orang telah berkumpul. Ada pegawai hotel, tamu hotel, nasabah bank, dan sebagain massa yang berhasil bersembunyi tampak pucat dan gugup. Mereka mengamati situasi di jalanan dari kaca-kaca hotel.

Wajar orang-rang yang berkumpul di dalam hotel ketakutan karena mereka dapat menyaksikan bagaimana aksi polisi yang memberondong peluru dari sebelah. Saya kemudian naik ke atas hotel. Di gang-gang lantai 1 sampai lantai 6 hotel itu banyak orang bergenrombol. Di lantai tujuh, atap hotel, beberapa wartawan mengamati keadaan kota dari ketinggian. Keadaan baru pulih pukul 17.00, kendati tembakan masih mendentum sekali dua kali, saat konsentrasi massa sudah cair dan arus lalu-lintas mulai melintasi Bundaran Besar. (domuara ambarita)

* Banjarmasin Post, 11/03/2001


Tidak ada komentar: