Sabtu, 15 September 2007


Sorot
Quo Vadis Perbankan Kita?


Domuara Ambarita
DUA orang bankir papan atas hengkang. Mereka melepas jabatan dan profesi yang dalam ukuran masyarakat awam bergelimang duit. Jos Luhukay merelakan jabatan Direktur Bank Lippo. Jos kembali menekuni profesi awalnya, konsultan. Peter B Stok mengajukan surat undur diri dari jabatan Presiden Direktur Bank Niaga paling lambat akhir tahun ini.

Awal Oktober ini, Wakil Direktur Utama PT Bank Danamon Indonesia Tbk, Jerry Ng. Ia menjual 120.000 unit saham BDMN dengan harga Rp 5.450 per unit atau sejumlah sekitar Rp 654 juta.

Transaksi ia lakukan justru saat harga saham Danamon di pasar reguler ditutup naik Rp 100 menjadi Rp 5.500 per unit. Bagi spekulan sih lazim, namun kalangan berlimpah uang biasanya menahan saham sambil menunggu harga puncak.

Di balik pengunduran diri kedua bankir itu, merebak pula rumor Bank Niaga akan dimerger dengan Bank Lippo. Saham mayoritas kedua bank ini memang dikuasai satu perusahaan dari Malaysia, Khazanah Berhad.

Tiga kasus di atas rasanya bukan hal lumrah. Pasti ada apa-apanya. Jika yang undur diri sekelas office boy atau kasir pada bank melepas jabatan barang kali dapat dipahami. Namun jika pimpinan puncak menanggalkan jabatan bukan karena diberhentikan pemegang saham, tentu memuat kecurigaan. Ada apa dengan bank itu, atau lebih luas ada apa dengan industri perbankan kita? Apakah ada masalah serius yang menjadi musuh para bankir? Entahlah.

Namun rendahnya perimbalan rasanya tidak termasuk alasan bagi Jos dan Stok.

Mengacu pada Compensation & Benefit Survey 2006 yang dilakukan Hay Group, kenaikan gaji sektor perbankan bergerak paling tinggi (12,3 persen). Selain berani mengganjar gaji tinggi, eksekutif sektor ini juga dimanjakan fasilitas plus tunjangan yang lebih wah dibanding sektor lain. Hasil survei Hay, tahun 2005 perbankan memberi bonus tiga bulan gaji, dan 2006 diperkirakan 3,8 bulan gaji.

Bandingkan dengan sektor minyak dan gas yang industrinya sedang naik daun saja cuma menawarkan iming-iming bonus 2,7 bulan gaji pada 2005, dan tahun ini diprediksi malah turun menjadi 2,3 bulan gaji.

Lalu apa dong alasan berpaling ke lain hati? Untuk menyingkap tirai perbankan nasional, marilah kita simak beberapa kondisi yang berlaku akhir-akhir ini. Di antaranya, upaya Bank Indonesia menata perbankan dengan menerbitkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

BI ingin membuat perbankan yang sehat dan berdaya saing. Salah satu program API mensyaratkan modal minimum bank umum (termasuk BPD) Rp 100 miliar selambat-lambatnya tahun 2010. Dari 141 bank yang saat ini beroperasi, BI akan menciutkan. Dalam 10 sampai dengan 15 tahun ke depan, API menginginkan akan terdapat 2 sampai 3 bank dengan skala bank internasional, 3 sampai 5 bank nasional, 30 sampai 50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu, dan BPR serta bank dengan kegiatan usaha terbatas.

Persoalannya, bagaimana nasib 55 bank yang saat ini belum mencapai permodalan minimum Rp 100 milliar.

Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah berkali-kali menganjurkan mereka untuk mencari tambahan modal dari pemilik, merger, atau diakuisisi bank besar.

Didesak mendapat pemodal baru, tapi di sisi lain BI melarang terjadi monopoli.

Lewat aturan single presence policy (SPP), seseorang atau institusi tidak boleh memiliki atau menguasai saham mayoritas lebih dari satu bank.

Rambu lainnya adalah mengurangi proteksi industri perbankan. Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), tidak menghendaki dana nasabah menumpuk di bank. Menghindari money laundring juga untuk menggerakkan sektor riil, LPS membatasi jumlah uang simpanan dijamin negara. Sejak 22 September lalu, jumlah maksimal Rp 1 miliar, dan seterusnya yang dijamin tinggal Rp 100 juta.

Aturan-aturan baru ini tentu memberatkan bagi industri perbankan. Saat bayangan gelap terbayang, pemilik modal mulai mengalihkan dananya kepada instrumen investasi, yakni pasar modal. Penerbitan obligasi negara ritel seri 001 (ORI001) dengan yield 12,05 mampu menyedot 9.000 investor. Mereka tentu tertarik dibandingkan dengan suku bunga deposito yang sudah melorot rata-rata di bawah 9 persen, setelah BI rate menciut ke angka 10,75 persen.

Quo vadis perbankan? Mau di bawa ke mana perbankan kita? Apakah bayang-bayang kegelapan ini yang menakut-nakuti Jos dan Stok sehingga hengkang, dan Jerry melepas sahamnya di perbankan? Semoga tidak. Saya berharap, lembaga keuangan tetap menggeliat dan terus berjaya, sehingga dapat membiayai perekonomian dengan biaya rendah. Semoga para bankir tidak menyerah, tetapi tetap optimistis-kreatif menuju perbankan berbunga rendah, seperti perbankan Jepang yang tanpa bunga. Beban bunga kecil membuat sektor riil dan perekonomian umumnya bergairah, menyerap tenaga kerja dan ujung-ujungnya meningkatkan daya saing dan daya beli: berkecukupan. (*)

* Tribun Jabar (10/10/2006)


Tidak ada komentar: