Sabtu, 15 September 2007

SOROT
Energi Pelaku Pasar

Domuara Ambarita
DALAM prakata untuk buku The Quality of Growth, James D Wolfensohn, Presiden Bank Dunia, mengatakan, 'Kualitas hidup yang lebih baik bagi kaum miskin jelas menuntut pendapatan yang lebih tinggi. Dengan meningkatnya pendapatan per kapita, sejumlah aspek kualitas hidup meningkat pula. Namun tidak semua, tidak dengan kecepatan yang sama, dan tidak dapat dihindari.'
Barangkali teori itu yang mengilhami Wakil Presiden Jusuf Kalla, pekan lalu, dengan nada agak berlebihan mengatakan pendapatan Indonesia meningkat. Wakil Presiden mengklasifikasi Indonesia masuk dalam glolongan negara berpenghasilan menengah bawah. Kita ini tidak layak lagi disebut negara miskin. Pendapatan per kapita, menurut Wapres di kisaran 1.500 dolar AS per tahun, atau setara Rp 13,65 juta (asumsi kurs, 1 dolar AS = Rp 9.100).

Mengapa disebut Kalla berlebihan? Menurut data Badan Pusat Statistik, pada 2004 PDB per kapita Indonesia baru mencapai 1.152 dolar AS, dan pada 2005 sebesar 1.283 dolar AS.

Andai pernyataan itu ditujukan memompa semangat para teknorat-ekonom dan usahawan supaya terus bersemangat memacu aktivitas ekonomi, barangkali baik adanya. Maknanya pun positif jika diharapkan memulihkan kepercayaan investor, terutama di pasar modal, dan menarik pemodal asing agar mengalirkan dolarnya ke dalam negeri.

Namun lontaran itu menjadi bumerang, jika angka-angka statistik dimanipulasi, seperti lazim berlaku selama ini.

Sesungguhnya, income 1.500 dolar tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan daya beli yang relatif kecil, ditambahkan lagi inflasi dari tahun ke tahun yang meroket, belum lagi gejolak nilai tukar mata uang. Dibandingkan tahun 1996 saja misalnya, angka yang dilansir Wapres nyaris tak berkutik.

Sepuluh tahun lalu, pendapatan perkapita sudah berada pada level 1.200 dolar dengan kurs masih sangat rendah, hanya Rp 2.246 per dolar AS. Sedangkan kurs sekarang, lebih dari 400 persen, dengan kenaikan income hanya 25 persen. Memang ketika itu moneter kita belum dilanda krisis.

Dalam kurun sepuluh tahun, masyarakat pun berkali-kali panik oleh inflasi. Lihatlah, harga premium tahun 1996 masih 380 per liter, saat ini Rp 4.500. Artinya melonjak 1.200 persen.

Menyimak fakta-fakta ini, muncul pertanyaan, benarkah kualitas hidup dan daya beli masyarakat meningkat? Sepuluh tahun lalu rasanya masih jarang atau bahkan tidak ada terekpos, warga bangsa ini mati kelaparan. Sebaliknya, tahun-tahun ke belakang, layar televisi dan lembaran-lembaran media cetak jamak dihiasi berita kelaparan atau kurang gizi (marasmus).

Agar tidak terkesan membohongi publik, dan mengelabui investor, lebih bijak jika Wapres yang memang rada gemar dengan lontaran kontroversi mengubahnya menjadi pernyataan yang mendasar, sesuai fakta dan menjungjung kejujuran. Pernyataan dan tindak-tanduk pejabat diharapkan menjadi energi pelaku pasar, bukan sebaliknya. Dampak dari kebiasaan melakukan inflasi kata-kata, sangat fatal. Seperti dikhawatirkan, imbas pernyataan Kalla yang menyebut income per kapita melonjak menjadi 1.
500 dolar, sejumlah lembaga enggan mengucurkan pinjaman. Padahal kita tahu, pemerintah butuh pinjaman untuk menggerakkan perekonomian. (*)

* Tribun Jabar (16/08/2006)

Tidak ada komentar: