Kamis, 30 Oktober 2008

Latihan sebelum pentas medical cabaret, di UPH, 2 November 2008.






Ratusan Dokter Mengamen untuk Danai Bedah Otak (5-Habis)
Gelar Kabaret untuk Mengamen sekaligus Hilangkan Stres

TINDAKAN bedah saraf dan otak menghabiskan biaya besar. Mungkin puluhan juta, ratusan juta bahkan puluhan miliar. Tentu tergantung kondisi pasien. Jika pasien dari kalangan mampu tentu tak menjadi soal, tetapi bagaimana kalau kaum papa, rakyat jelata nan miskin. Apakah kita tega melihat mereka menderita sumur hidup dengan tumor atau kanker di otak?

Menurut kepala Neuro Science Center RS Siloam dr Eka Julianta Wahjoepramono, biaya untuk dokter, anastesi dan pendukungnya saja sektiar Rp 40 juta. Lalu dana lebih besar lagi dibutuhkan pascaoperasi dan pemulihan. Misalnya tarif perawatan pasien di unit perawatan intensif (ICU) sebesar 700 dolar AS/hari atau setara Rp 6,4 juta (asumsi 1 dolar AS = Rp 9.200).

"Ini betul-betul wallahu walam. Yang namanya bedah otak bisa saja hanya sehari di ICU, tetapi ada juga yang mencatat rekor total delapan bulan di ICU karena otaknya kena virus setelah oeprasi sehingga harus menggunakan alat bantu pernafasan," ujar dr Eka.

Mengapa biaya operasi otak sangat mahal? Penyebabnya adalah karena alat-alat dan mesin operasi hampir semuanya produk impor yang harganya sangat mahal. Misalnya, bornya saja seharga Rp 600 juta, dan hampir pasti diganti dalam tiga tahun karena usang. Mata bornya dari berlian, satu buji Rp 3 juta, dan langsung dibuang sekali pakai. Dalam sekali operasi bisa belasan mata bor yang dipakai. "Bagaimana murah, kan saya tidak bisa menggunakan bor kayu untuk membedah otak," kata dr Eka bergurau.

Namun tingginya biaya operasi atau bedah otak tidak menghentikan kepedulian sosial dr Eka selaku Yayasan Otak Indonesia. Untuk alasan kemanusiaan inilah, beberapa dokter dan peduli kemanusiaan mendirikan Yayasan Otak Indonesia untuk mengusahakan biaya pengobatan pasien tak mampu seperti telah dirasakan Jumiati, istri seorang dan Ardiansyah.

Yayasan Otak Indonesia selain mengandalkan kebaikan hati orang-orang berduit yang masih punya kepedulian sosial, para dokter pun menggelar kabaret dengan undangan 2.000 orang. Memadukan kesehatan dan seni, pagelaran charity night yang dinamai Medicabaret akronim dari Medical Cabaret yang dilangsungkan di Grand Chapel Gedung C Lantai 6 UPH Karawaci, Tangerang , 2 November 2008 pukul 19.00-22.00.

Pemainnya bejumlah 300 orang yang semuanya berkaitan dengan kedokteran, yakni dokter- dokter, perawat RS Siloam, dosen dan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Lewat pegelaran ini, para dokter ingin mengamen berharap sumbangan dari para mantan pasien yang pernah 'berutang nyawa'.

"Hitung-hitung, para dokter yang sudah stress bekerja setiap hari ingin refreshing sekalian mengamen," ujar dr Endang M Johani SpM, Performance of Director Medicabaret.

Panitia Medicabaret, dr Willi Satriya menuturkan acara kesenian ini akan dihadiri sejumlah menteri seperti Menkopulhukam Widodo AS, Mekes Siti Fadilah Supari, Menlu Hassan Wirayudi beserta istri, mantan Ketua MPR Amien Rais, mantan Panglima ABRI Wiranto, dan duta besar sejumlah negara sahabat. Menurutnya, seminggu sebelum pertunjukan, tiket sudah hambir habis. "Tiket Medicabaret untuk 2.000 orang penonton sudah nyaris ludes," kata dia, Rabu (29/10).

Biaya pelaksaan berkisar Rp 100 juta. Kemudian hasil penjualan tiket dan mungkin sumbangan, setelah dipotong biaya pelaksanaan, akan diserahkan ke Yayasan Otak Indonesia dan selanjutnya mendanai operasi bedah otak semacam kaum papa, seperti Jumiati dan Ardiansyah.

Ide awal pelaksaanaan Medicabret, menurut dr Eka yang juga Dekan Fakultas Kedokteran UPH, karena para dokter bekerjanya luar biasa capai. Melayani pasien penderita tumor, kanker, otak dan sebagainya bisa sampai 15 hari jami sehari.

"Pekerjaan seperti ini membuat dokter dan paramedis stres. Belum lagi kalau pasien gagal disembuhkan, stres akan bertambah. Nah saya punya ide, untuk tidak stres bagaimana kalu kita bikin kabaret dan ternyata disambut banyak dokter," tutur pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 27 Juli 1958.

Ide ini kemudian dikembangkan menjadi kegiatan sosial untuk menghimpun dana melalui Yayasan Otak Indonesia. Di saat sekarang, yayasan sulit menghimpun dana sponsor atau sumbangan.

Kendati diperankan para dokter, panitia mengerjakannya sebaik mungkin dengan melibatkan sutradara, dan koregrafer profesional.

Menurutnya, dokter kelompok bedah saraf RS Siloam dengan mantan pasien sangat akrab. Seperti keluarga. "Mereka pun memerlukan hiburan, dan terpikir bahwa pasien-pasien itu banyak di antaranya konglomerat, akan diundang. Setelah dikontak banyak yang mendukung, maka jadilah acara ini," sambung dokter Eka.

Medicabaret mengangkat temanya tentang cinta kasih. Ada cinta kasih dengan nuansa romantisme, maupun cinta kasih pertolongan pada korban gempa yang di dalamnya mengandung unsur pelayanan kesehatan misalnya operasi yang konyol, atau operasi melahirkan yang konyol. (Persda Network/Domu Damians Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...


Dr Eka Julianto Wahjoepramono, kepala Neuro Science Centre RS Siloam/Dekan FK UPH

Ratusan Dokter Mengamen untuk Danai Bedah Otak Pasien tak Mampu(4)
Tolak Tawaran Pindah ke Amerika dan Jepang

SUKSES membongkar benda 'keramat' yakni batang otak dan mengangkat tumor dari dalamnya, membuat panjang harapan hidup Ardiansyah, pemuda yatim-piatu asal Cilegon, Banten. Pada sisi dr Eka Julianta Wahjoepramono, kepala Neuro Science Center RS Siloam, yang awalnya terkesan nekat, operasi ini justru membawa hikmah luar biasa. Sukses itu membuat dia terkenal dan disegani para dokter dari berbagai negara.

Mulanya, dokumentasi proses operasi mengangkat tumor dari dalam batang otak yang diperlihatkan pada satu forum internasional para dokter ahli bedah otak. "Setelah saya presentasikan, para dokter dari negara maju pun pada ngomong, ini bukan kasus biasa-biasa, tetapi luar biasa dan langka," ujar dokter Eka yang kini banyak terlibat pada organisasi kedokteran tingkat regional dan dunia seperti presiden Asian-Oceanean Skull Base Society.

Selepas operasi mengangkat tumor Ardiansya itu, dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, dan Bedah Saraf Universitas Padjadjaran Bandung ini, pun makin laku dan sering diundang ke berbagai universitas di luar negeri.

Belakangan, dr Eka pun menemukan teknologi baru operasi bedah saraf otak atau yang disebut metoda Trans Clival. Dengan metoda ini, operasi otak tanpa harus bedah tengkorak melainkan cukup melalui tulang clivus pada hidung untuk mengangkat tumor yang menempel di bawah otak. Tingkat kesulitan ini terbilang rendah.

Dr Eka pun menjadi profesor tamu pada Fakultas Kedokteran Departemen Bedah Saraf Universitas Arkansas; dosen tamu pada Haravard Medical School, Massachuset, Amerika; Profesor Tamu pada Universitas Nasional Taiwan, Profesor Tamu pada Rumah Sakit Wang Fang, Taipei; dan Editorial Scientific of Australasia Neuroscience.

Jika 15 tahun silam dia masih dianggap remeh dan disepelekan dokter-dokter termasuk dari Singapura, belakangan berbalik. Nama dan prestasi dokter Eka pun semakin tersohor, dan makin digemari pasien. "Dalam sepuluh tahun terakhir, alumni pasien yang operasi saja mencapai 7.000-an, dan yang non operasi mungkin mencapai 10 kali lipat. Saban tahun kami melayani 700-an orang operasi bedah otak," kata dr Eka, suami dari Hanna K Damar.

Para pasien itu berasal dari berbagai daerah di Indonesia, juga dari berbagai negara. Paisennya dari Sabang ada dua orang, dari Merauke, dari perbatasan Batam yang seharusnya tinggal menyeberang setengah jam ke Singapura tetapi memilih berobat ke Jakarta.

Pasien dari Belanda datang ke Indonesia. Pasien dari Amerika juga datang ke Siloam. "Saya tanya dia, kenapa datang ke saya. Lalu kata pasien itu, 'Saya sudah dengar dan baca di Internet bahwa reputasi anda juga sama dengan dokter di Amerika.' Kalaupun pakai asuransi, saya harus tetap bayar 20 persen, yang nilainya tetap lebih mahal dibandingkan di Indonesia. Kelebihannya di Indonesia, setelah operasi saya sembari bisa pergi ke Bali'," kata dr Eka mengutip pasiennya.

Setelah prestasi luar biasa dan namanya mendunia, tawaran kepada dokter Eka terus berdatangan. Tawaran pekerjaan hingga pindah kewarganegaraan. "Saya ditawari di Jepang dan Arkansas. Tapi saya nggak mau. Alasan nasionalisme yang membuat saya bertahan di sini. terus terang, saya tersinggung kalau ada orang di luar negeri yang meredahkan atau tidak memandang Indonesia," kata dr Eka yang banyak menimba ilmu dari Prof Dr Med Raden Iskarno SpB SpBS, perintis Bagian Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung/RS Hasan Sadikin.

Memang banyak orang pintar putra bangsa yang hijrah bekerja ke luar negeri. Misalnya, pilot pesawat terbang yang eksodus pada perusahaan maskapai asing, teknisi mantan pegawai PT Dirgantara Indonesia dibajak pabrikan pesawat terbang, bahkan ilmuan/pelajar peraih medali emas pada olimpiade kimia, biologi, fisika dan matematika juga hengkang.

Alasan menolak pindah kewarganegaraan sekalipun ke negara maju dengan fasilitas yang wah, antara lain, dia mempunyai panggilan jiwa terhadap bangsa dan negara ini. Dan kalau pindah ke Amerika, belum tentu terkenal seperti populernya di Indonesia.

"Selama saya di Indonesia masih cukup makan dan minum, dan syukurlah selama ini terpenuhi, mengapa saya harus pergi. Dan kemudian, kalau bukan saya yang memulai mengangkat prestasi dokter bedah otak Indonesia, lalu siapa lagi," ujar dr Eka sembari menyebut pengorbanannya dalam meraih prestasi tidak mudah.

Tahun-tahun pertama, dia nyaris tak pernah libur, atau berakhir pekan bersama keluarga bahkan waktu untuk keluarga nyaris tidak ada. Bekerja dari pukul 07.00 hingga 24.00 dalam sehari, setiap hari. Barulah setelah ada tim dokter yang terdiri atas lima orang, barulah bisa cuti bergantian. (Persda Network/Domu Damians Ambarita)


[+/-] Selengkapnya...



Dokter Sosial: Kepala Neuro Science Center RS Siloam dr Eka Julianto Wahjoepramono, ahli bedah saraf kaliber internasional. Dia sering mengoperasi pasien miskin.



Ratusan Dokter Mengamen untuk Danai Bedah Otak Pasien tak Mampu (3)
Dr Eka Disegani Setelah Operasi Si Yatim Piatu

NYONYA Jumiati bukanlah satu-satunya pasien tak mampu yang menjalani bedah otak cuma- cuma di RS Siloam, Karawaci. Jauh hari sebelum menyelematkan ibu tiga anak itu dari bahaya kanker di otak, tim dokter yang dipimpin dr Eka Julianta Wahjoepramono, kepala Neuro Science Center RS Siloam, pun telah menolong Ardiansyah, pemuda yatim piatu asal Cilegon, Banten.

Sewaktu datang, Ardiansyah dalam kondisi kritis. Dia terancam lumpuh, buta dan napasnya putus. Penyakitnya bukan penyakit biasa, melainkan masih sangat langka yakni tumur bersarang di batang otak.

Ardiansyah datang bersama kakaknya. Mereka cuma dua bersaudara, yatim piatu dan keluarga miskin. Menghadapi kenyataan pasien pasti tak mampu membayar pengobatan, sedangkan penyakitnya pada staium gawat dan sulit ditangani, dr Eka tetap optimistis pasien dapat disembuhkan.

"Lalu saya ngomong ke pasien secara terus terang belum pernah melakukan operasi pada batang otak, apalagi mengangkat tumor dari dalamnya. Tapi kita tidak ada opsi lain. Lalu kakaknya menyerahkan, dan menyetujui operasi. Silakan dok, wong kami tidak punya uang. Kalau ternyata dokter nanti mau, kami punya gubuk satu, itu nanti bisa kami jual," kata dokter Eka menirukan penuturan pasrah keluarga si pasien. Jalan keluarnya, dr Eka meminta bantuan pendanaan pada pendiri Grup Lippo, juga bos RS Siloam, Mochtar Riyadi.


Begitu pasien dan keluarga menyetujui operasi, pembedahan tidak serta merta dilakukan. Dokter Eka terlebih dahulu membuka buku-buku referensi tentang bedah batang otak, dan konsultasi dengan dokter di Amerika.

Tumor di batang otak Ardiansyah seratus persen diangkat. "Saya sendiri baru sadar, operasi semacam itu adalah operasi yang sangat langka di Indonesia maupun di dunia," kata dr Eka, ayah tiga anak.

Untuk kasus langka semacam ini, lazimnya direkam dalam video. Sebelum operasi, selama berlangsungnya operasi hingga pascaoperasi didokumentasikan. Kemudian dalam banyak forum internasional, hasil operasi itu saya presentasikan, dan sambutannya luar biasa. Mereka salut dan mengatakan, luar biasa. bahkan dokter dari Amerika mengundang untuk penjelasan lebih lanjut.

"Hikmahnya, kami berani mengoperasi batang otak. Sebab sebelumnya dari barang kermat yang tak boleh disentuh, menajadi hal biasa. Setelah operasi Ardiansyah. kami menangani 13 kasus yang mirip di kemudian hari dan semua selamat," urai dr Eka, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan.

Lima belas tahun lalu, dr Eka masih mengenang ketika bertemu dokter-dokter Singapura, mereka selalu meremehkan. Mencemooh dokter asal Indonesia yang dianggap hanya bisa mengoperasi kecil pada korban kecelakaan lalu-lintas. Saat itu semua orang berduit penderita tumor otak, 99 persen pasti berobat minimal ke Singapura.

Dokter yang sama, belakangan jadi sewot, karena pasien dari Indonesia sudah jarang pergi ke Singapura. "Sekarang untuk bedah otak, kita malah sudah jauh daripada keahlian dokter-dokter Singapura," ujar dr Eka yang menjabat President Asian Ocean Skull Base Society.

Prestasi ini diakui negara-negara maju, termasuk Amerika. Dr Eka diundang sebagai guru besar tamu pada Universitas Arkansas, dan Universitas Harvard Amerika Serikat. Seterusnya dr Eka menjadi narasumber tersohor dan laris ke beberapa negara seperti Taiwan, Jepang, Malaysia, Jerman, untuk membicarakan hal yang sama, yakni sukses mengangkat tumor dari batang otak.

Ia mengatakan dalam dunia kesehatan bedah otak ada standar angka kematian, dan ada standard angka kesakitan. Misalnya, jumlah pasien yang dioperasi di Amerika adalah 1.000 orang dan meninggal lima orang, dan lumpuh 100 orang, sedangkan di Indonesia dari 1.000 pasien meninggal enam orang dan yang lumpuhnya 90 orang. Itu standard nilai keberhasilan. Dan setelah presentasikan di dunia internasional, standar Indonesia tidak beda jauh dengan Amerika, Jerman, dan Jepang.

"Di mana-mana pasti ada angka kematian. Nggak ada keberhasilan 100 persen hidup terutama untuk operasi otak. Dari angka ini, ternyata ktia tiadak bedah jauh dari negara maju. Dengan demikian masyarakat semakin menyadari, mengapa mereka mesti berangkat jauh ke luar negeri kalau di dalam negeri saja sudah bisa," kata dr Eka.

Dia mencontohkan satu BUMN besar, beberapa tahun lalu, jika staf ada keluhan sekalipun hanya pusing, maka selalu untuk memeriksa kesehatan selalu ke Tokyo. Dan setiap berangkat, selalu memabwa isitri atau suami. Belakang, pihak SDM BUMN itu mulai sadar, pengobatan semacam ini berbiaya tinggi, dan kebobolan miliaran rupiah.

Kebiasaan seperti ini sebenarnya sudah merebak. Pejabat negara, mulai menteri, staf presiden, konglomerat, kalau pusing biasanya langsung ke Singapura untuk periksa kesehatan. "Kalau orang gede-gede sudah menberi contoh begitu, yah bagaimana rakyatnya. Padahal banyak pemimpin di negara lain, tidak mau berobat ke luar negeri. Mereka memilih berobat di dalam negerinya sendiri dan percaya kepada dokter sendiri, mereka gengsi kalau harus ke luar negeri," katanya. (Persda Network/Domu Damians Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...


Kepala Sekolahku Pemulung: Mahmud, Kepala Sekolah MTs Safinatul Husna di bilangan Pangadengan, Barat. Siang mengajar, sore memulung.



Ratusan Dokter Mengamen untuk Danai Bedah Otak Pasien Tidak Mampu (2)
Honor 'Aktor Film' Habis Biayai Pengobatan Istri

WAJAH Mahmud (48) putih bersih. Cerah. Dandangannya rapi, tidak lusuh. Tawanya juga renyah. Riang. Di antara empat laki-laki teman kerjanya yang sibuk membersihkan botol-botol plastik bekas wadah air mineral di antara tumpukan sampah, dia paling keren. Sekilas pandang sosok laki-laki setengah baya ini lebih pas juragan atau pedagang pengumpul dari para pemulung, tetapi kenyataan dia adalah pemulung sebetulnya. Mahmud terkesan pintar menyembunyikan duka lara kendatipun hidup sesungguhnya nelangsa.

Mahmud mengenakan kaus oblong atribut kampanye Pemilu 2004 dengan foto wajah Susilo Bambang Yudhoyono. Bawahannya sarung warna merah tua. Di tengah perbincangan dia pamit menunaikan salat Magrib, bersalin kemeja koko hijau tua dan peci hitam. Dia masuk ke rumah kotak berbahan bambu dan kayu lapis, di dekat tumpukan sampah, 'ladangnya' memulung.

Mahmud seorang guru. Ya, pengajar bahkan dengan predikat Kepala Sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) Safinatul Husna di bilangan Pangadengan, Kalideres, Jakarta Barat. Pagi sampai siang Mahmud bekerja di sekolah, mengajar berbagai mata pelajaran mulai agama, matematika, bilogi, fisika dan sebagainya.

Yayasan yang mengelola sekolah ini terbilang lumayan besar dan membawahi sekolah MTs setingkat SMP, dan madarasah ibtidaiyah (MI) setingkat SD. Untuk Madrasah Tsanawiyah MTs saja memiliki ratusan siswa dengan 17 guru, dan seorang staf.

Kendati memimpin sekolah yang terbilang besar, dan sudah menjadi guru sejak tahun 1979, kehidupan keluarga tiga anak ini jauh dari layak. "Orang kadang-kadang tidak percaya, gaji saya kurang dari sejuta. Rata-rata hanya 500 ribu sampai Rp 700 ribu sebulan," ujar Mahmud. Penuturan Mahmud dibenarkan Jumiati, istrinya, bekas penderita kanker otak.

Dengan penghasilan sekecil itu, Mahmud mencari penghasilan tambahan. Dia memulung sampah-sampah yang masih bernilai ekonomi seperti lembaran plastik, botol plastik minuman mineral, kertas, kaleng dan lain sebagainya dari tempat pembuangan sampah sementara.

Jika pagi-siang, pukul 06.30 hingga puku 14.00 dia bekerja mendidik siswa-siswi dan mengorganisasi guru-guru beserta stafnya, sore hingga malam dia memulung. "Penghasilan sebagai pemulung saat ini kecil, paling-paling 300 ribu. Sebab sudah banyak pemulung. Kalau dulu, waktu pemulung sedikit, penghasilan suami saya bisa sejuta sebulan," kata Jumiati.

Realitas hidup yang dialami Mahmud memang terbilang tragis. Saat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengumbar bonus kepada guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan gaji yang dapat dibawa ke rumah minimal Rp 5 juta per bulan, berbanding terbalik dengan guru-guru swasta.

Mahmud menuturkan pekerjaan sambilan sebagai pemulung memang tanpa rintangan berarti, baik sesama guru, orang tua siswa maupun anak didiknya tidak sampai mengucilkan Mahmud. Namun profesi ganda, guru plus pemulung sempat menjadi bahan perguncingan. Mahmud dianggap merendahkan profesi guru, apalagi jabatannya cukup keren-beken, yakni kepala sekolah.

Apa tanggapan balik Mahmud atas cibiran itu? "Saya tak bermaksud merendahkan martabat dan harga diri profesi guru," kat dia. Justru dengan sambil memulung, Mahmud coba memberi pelajaran kepada kawan seprofesinya dan pihak-pihak lain, kalau gaji guru di Jakarta saja, ini Jakarta lho, belum cukup untuk kehidupan keluarga.

"Mestinya rekan-rekan guru yang lain bangga pada saya, siapa tahu ke depan guru swasta pun diperhatikan seperti PNS. Sebab guru swasta juga banyak, dan tugas mereka sama seperti guru negeri, mencerdaskan anak-anak," ujar Mahmud yang sudah menekuni pekerjaan mengumpulkan barang-barang bernilai ekonomi dari sampah buangan keluarga sekitar huniannya.

Derita keluarga Mahmud mengundang banyak keprihatinan, termasuk dari wartwan dan insan perfilman. Saat pembahsan RUU Guru dan Dosen marak rua tahun lalu, TVRI membuat tayangan dengan memosisikan Mahmud sebagai 'aktor' utama. TVRI mengeskploitasi rangkap jabatan guru dan pemulung. Setelah film itu tayang, Mahmud mendapat hadiah berupa tabungan Rp 20 juta.

Tahun lalu, dia juga menjadi 'aktor' film dokumenter berjudul 'Kepala Sekolahku Pemulung'. Film dokumenter terbaik yang menyabet penghargaan film favorit dalam kompetisi film dokumenter Eagle Award, Metro TV. Mahmud beserta istri pun tampil pada acara Kick Andi. "Semua tabungan saya dari film itu habis, ludes...des untuk pengobatan alternatif istri," kata Mahmud dengan nada pelan, lirih.

Seorang anaknya bahkan harus putus kuliah, drop-out, setelah dua semester berturut-turut tidak mampu membayar uang kuliah, karena semua penghasilan mereka tersedot untuk pengobatna sang ibu.

Jika dari TVRI didapatkan Mahmud honor Rp 20 juta, dari Metro TV diperoleh jalan mendapatkan operasi berbiaya ratusan juta dengan cuma-cuma. Saat derita dia diekspos Andy F Noya, sang presenter, hal itu mengilhami pihak RS Siloam Karawaci dan Yayasan Otak Indonesia memberi layanan bedah otak tanpa dipungut biaya. Beruntunglah keluarga ini, istri atau ibu yang mereka kasihi sudah bebas dari sergapan kanker otak mematikan. (Persda Network/Domu Damians Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...


BEDAH OTAK GRATIS: NY Jumiati (48, atas), penderita kanker otak yang menjalani operasi gratis di RS Siloam Karawaci. Kiri, Mahmud (48), suaminya menunjukkan bekas bedahan pada tengkorak kepalanya.



Ratusan Dokter Mengamen untuk Danai Bedah Otak Pasien Tidak Mampu (1)
Siap Mati karena tak Kuat Menahan Sakit Kanker Otak

SORE itu, Ny Jumiati (43) berjalan perlahan mendekati Mahmud (48), sumianya yang sedang sibuk membersihkan botol-botol plastik minuman mineral hasil pungut atau pulungannya. Matanya mengawasi pekerjaan Mahmud, suaminya, berserta tiga kawannya sesama pemulung.

Suaranya begitu pelan. Pandangan mata tidak begitu fokus, dan mata kanan sekilas terlihat juling. Sesekali ia bertopang dagu. Tangan kanannya memegangi kepala bagian depan sebelah kanan sambil memijat-mijat.

"Kadang-kadang masih pusing," kata Jumiati, dalam perbincangan dengan Persda Network akhir pekan lalu di kediamannya di tepi tali irigasi Apuran di Jalan Bambu Larangan RT 03/05, Kelurahan Cengkareng Barat, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat.

Jumiati adalah bekas penderita kanker otak. Dia menjalani operasi bedah otak di Rumah Sakit Siloam, Lippo Karawaci, 3 Desember 2007. Setelah tengkorak kepala dibedah, daging kanker sebesar kira-kira bola pingpong, tepatnya berukuran 60,5 X 59,5 X 40,6 milimeter, diangkat dari otak. Operasi mengangkat daging tumbuh yang nyaris mendorong bola matanya keluar itu, gratis. Biaya operasi didanai RS Siloam bekerja sama dengan Yayasan Otak Indonesia.

Operasi pengangkatan kanker dari otak Jumiati dilakukan tim dokter RS Siloam yang dipimpin dr Eka Julianto Wahjoepramono, dokter bedah otak ternama di dunia asal Indonesia. Selama seminggu menjalani operasi dan pemulihan, keluarga pasien lemah secara ekonomi ini tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk pengobatan.

"Saya sudah pasrah, lillahi ta'ala (hanya karena Allah yang suci, Red). Saya sudah siap mati saat akan operasi mengangkat kanker dari otak saya, karena saya sudah tidak kuat lagi menahan sakitnya. Kalau memang gagal dan mati ya tidak apa-apalah, wong uang juga nggak punya untuk biaya operasi. Lagian, wong orang sehat saja bisa mati kok, apalagi saya yang sakit kanker otak," kata Jumiati yang bersyukur semakin sembuh pascaoperasi.

Mahmud, suami Jumiati adalah Kepala Sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) Safinatul Husna di bilangan Pangadengan, Kalideres, Jakarta Barat. Mahmud merangkap mengajar berbagai mata pelajaran mulai agama, matematika, bilogi, fisika dan sebagainya. Karena tuntutan biaya untuk pendidikan anak-anak, dan belakngan demi keperluan dana pengobatan istri, Mahmud mencari kerjaan sampingan yang jauh berbeda dari profesinya, yakni memulung sampah.

Delapan tahun sudah keluarga Mahmud mendiami rumah mereka di atas tanah milik Departemen Pekerjaan Umum DKI Jakarta di tepi Kali Apuran. Bangunan berdiri di atas bekas kolam ikan, berlantai bambu, berdinding kayu lapis. Rumah mereka beserta tiga bangunan lainnya terletak persis di antara tumpukan sampah dengan jalan.

Tumpukan sampah limbah rumah tangga di tempat penampungan sementara membukit, melebihi tinggi atap rumah Mahmud. "Rumah ini berdiri di atas tanah milik pemerintah. Kalau digusur, terpaksa kami akan pindah dan akan mencari tempat lain," kata Mahmud.

Di dalam gubuk derita itulah, selama bertahun-tahun, Jumiati bergelut dengan kanker otak yang menggerogotinya. Ibu tiga anak ini berjuang melawan sakit yang tak terperi. Mahmud menuturkan gejala sakit yang dirasakan Jumiati mulai muncul tahun 2003. Semula pusing, sakit seperti migrain menyerang kepala sebelah kanan.

Lama kelamaan sakit kian menyiksa bahkan gejalanya sampai membuat kejang. "Pada tahun 2004 sampai awal 2006, kejang masih sesekali. Belakangan bisa menjadi dua kali sehari. Kalau kejang, tangan dan kaki sakit luar biasa, daging-dagingnya serasa ditarik-tarik kencang banget," kata Jumiati.

Puncaknya, kejang berkepanjangan terjadi 3 Oktober 2006 dan memaksa keluarga membawanya ke RS Mintoharjo, Jakarta. "Di sanalah saya dikasih tahu dokter, kalu istri saya kena kanker otak dan harus segera dioperasi. Kalau tidak maka bola mata akan terdorong keluar oleh daging kanker. Saat itu dokter minta biaya Rp 50 juta, tapi kami tidak punya uang, dan kami putuskan pulang untuk berobat alternatif," kata Mahmud.

Setahun lebih menjalani obat-obatan alternatif, kanker otak tak kunjung hilang. Malah nyawa Jumiati semakin terancam. Risiko kebutaan dan kelumpuhan bahkan kematian pun kian besar. Sampai pada suatu kesempatan, Mahmud dan Jumian dihadirkan pada acara Kick Andi, acara televisi Metro TV yang mengangkat tragedi sosial profesi Mahmud, kepala sekolah merangkap pemulung. Film "Kepala Sekolahku Pemulung" dengan aktor utama Mahmud berhasil meraih dua penghargaan pada festival film dokumenter yang diselenggarakan Metro TV tahun 2007.

Rupanya dokter Eka, dan pengurus Yayasan Otak Indonesia menyaksikan acara itu. Dan nurani menggerakkan hati mereka untuk berbuat sesuatu, menolong kaum papa. "Kami putuskan segera mengoperasi Jumiati dengan tanpa dipungut biaya," ujar dr Eka Julianta Wahjoepramono, ketua tim dokter yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, Lippo Karawaci, Tangerang, Banten. (Persda Network/Domuara Damians Ambarita)


[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 03 Oktober 2008

KRISIS EKONOMI GLOBAL
"Subprime Mortgage" dan "Bailout": Selanjutnya...

Sumber: http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/10/03/10422462/

DANDOSSI MATRAM
Sungguh sulit dipercaya bahwa pembiayaan kredit properti yang tidak hati-hati bisa meluluhlantakkan ekonomi negara adidaya semacam Amerika Serikat. Seluruh lapisan masyarakat di Amerika dan dunia saat ini menyesali investasi di surat utang subprime mortgage yang telah menyapu bersih modal mereka.

Subprime mortgage (SM) merupakan kredit perumahan yang skema pinjamannya telah dimodifikasi sehingga mempermudah kepemilikan rumah oleh orang miskin yang sebenarnya tidak layak mendapat kredit. Tingkat bunga The Fed, sepanjang tahun 2002-2004 yang hanya sekitar 1-1,75 persen, membuat bisnis SM dan perumahan booming. Tingginya bunga pinjaman SM (pada saat bunga deposito rendah) menarik investor kelas kakap dunia (bank, reksadana, dana pensiun, asuransi) membeli surat utang yang diterbitkan perusahaan SM.

Ketika The Fed, mulai Juni 2004, bertahap menaikkan bunga hingga mencapai 5,25 persen pada Agustus 2007, kredit perumahan mulai bermasalah akibat banyaknya nasabah yang gagal bayar. Dampaknya, banyak perusahaan penerbit SM rugi besar karena nasabahnya gagal bayar dan perusahaan SM tidak mampu membayar utang karena tidak dibayar nasabahnya. Terjadi banyak penyitaan rumah (1 dari 10 rumah di Cleveland, AS, dalam kondisi tersita). Pasar properti berubah menjadi seller market akibat banyak yang ingin menjual propertinya sehingga harga properti turun 10 persen.
Investor institusi keuangan yang membeli surat utang SM rugi besar karena surat utangnya hanya bernilai sekitar 20 persen. Akibatnya, harga saham atau nilai aktiva bersih dari investor yang memiliki SM jatuh dan membuat investor rugi besar.

Butuh likuiditas
Sialnya, kebutuhan likuiditas juga mendesak. Selain tiadanya capital gain dan penerimaan cash inflow dari kupon bunga SM yang gagal bayar, juga ada kebutuhan dana tunai karena sebagian investor yang mencairkan investasinya. Parahnya, pada saat bersamaan semua pihak butuh likuiditas, yang berakibat terjadinya credit crunch (kelangkaan likuiditas).

Akibatnya, untuk menutupi kebutuhan likuiditas, mayoritas investor terpaksa menjual portofolionya, termasuk sahamnya, secara besar-besaran, di seluruh dunia yang mengakibatkan terempasnya pasar modal dunia.

Akhirnya, Pemerintah Amerika Serikat (AS) turun tangan sepenuhnya mengatasi masalah yang ditimbulkannya sendiri. Dana 700 miliar dollar AS, secara bertahap, akan digelontorkan ke pasar untuk membeli surat utang SM yang bermasalah, yang telah membuat ekonomi AS babak belur.

”Bailout” dijegal

Rencana bailout, walau telah mendapatkan keputusan Senat, ternyata terjegal oleh keputusan House of Representative. Bursa global yang sudah bereaksi positif saat rencana diajukan kembali terkapar. Khusus Wall Street, indeks jatuh dengan angka yang ajaib. Indeks jatuh 777,7 point sebagai respons atas penolakan bailout senilai 700 miliar dollar AS tersebut. Mengindikasikan sedemikian parahnya krisis yang tengah terjadi di AS.

Saat ini, rencana bailout kedua segera diajukan kembali, dengan revisi tambahan usulan kenaikan penjaminan deposan dari 100.000 dollar AS menjadi 250.000 dollar AS untuk menenangkan deposan yang panik. Serta membebaskan Federal Deposit Insurance Corp meminjam tanpa batas kepada Departemen Keuangan saat membutuhkan dana.

Pertanyaannya, bila bailout ini disetujui, apakah kita bisa berharap krisis ekonomi global akan cepat pulih kembali? Ada baiknya kita lihat bagaimana bailout ala Amerika Serikat ini dilakukan.
”Bailout” untuk surat utang

Bailout dilakukan dalam bentuk pemerintah akan membeli surat utang SM yang macet, yang dipegang oleh investor—yang merupakan investor institusi keuangan, seperti bank, reksadana, dana pensiun, dan asuransi. Harga pembelian surat utang adalah harga pasar, yang saat ini jauh di bawah nominal. Dana bailout diperoleh dari penerbitan surat utang pemerintah di pasar uang. Setiap perusahaan yang menjual surat utang ke pemerintah terikat ketentuan tentang pembatasan gaji top eksekutif.

Dengan skema bailout yang seperti ini, manfaat utama yang bisa terlihat hanyalah berkurangnya tekanan penjualan portofolio, khususnya saham, secara global karena nantinya, dengan bailout, kebutuhan likuiditas, selain dari saham, bisa dipenuhi juga dari penjualan surat utang SM kepada pemerintah.

Namun, skema ini tidak akan mencegah kerugian yang diderita investor karena, dengan prinsip akuntansi marked to market, kerugian tetap harus diakui dalam pembukuan investor yang memiliki surat utang SM yang bermasalah. Kerugian yang besar tetap berpotensi menggerus modal yang mengakibatkan insolvensi, yang bermasalah pada ekuitas yang negatif bila tidak dilakukan injeksi modal baru.

Investor sendiri diragukan akan bersedia menjual surat utang mereka ke pemerintah dengan harga pasar. Mereka pasti akan berusaha keras mencari alternatif pendanaan lainnya daripada merealisasikan kerugian yang sangat besar dalam buku mereka.

Pemilik rumah tampaknya juga tidak mendapat manfaat banyak dari bailout ini karena kewajiban cicilan dengan bunga pasar tetap berlaku. Keringanan paling berbentuk kelonggaran dalam kriteria penyitaan oleh kreditor bila peminjam tidak mampu membayar kewajibannya.

Perusahaan penerbit SM juga tidak diberikan perhatian dalam bailout ini. Padahal, masalah utama krisis ini adalah nasabahnya yang gagal bayar, pasar properti yang over supply, serta nilai properti yang anjlok sehingga mereka tidak sanggup membayar kewajibannya kepada investor keuangan.

Skema bailout ini agak diragukan efektivitasnya dan manfaatnya bagi pemulihan ekonomi Amerika Serikat. Bayangkan ketika investor bertahan tidak menjual surat utangnya, atau pemilik rumah tetap tidak sanggup membayar kewajibannya dan penerbit surat utang tidak sanggup membayar.

Skema bailout ini berbeda sekali dengan saat Pemerintah Indonesia mem-bailout bank yang bermasalah. Saat itu, pemerintah mem-bailout dengan cara mengambil alih kepemilikan saham bank yang bermasalah melalui rekapitalisasi bank kemudian menjual sahamnya secara tender (yang sayangnya penjualannya terlalu dini dengan harga murah dan berorientasi ke investor asing).

Hindari intervensi

Kalau bailout ala AS, hanya untuk surat utang saja. Mungkin, prinsip kapitalisme dan liberalisme membuat bailout kepemilikan (saham) oleh pemerintah, yang bersifat intervensi, menjadi sesuatu yang dihindarkan di Amerika Serikat. Padahal, Inggris dengan cepat menasionalisasikan bank kedua terbesar di Inggris, Bradford & Bingley, juga Northern Rock’s yang bermasalah gara-gara subprime mortgage ini. Begitu pula dengan Fortis yang sebagian sahamnya diambil alih Pemerintah Belgia dan Belanda.

Tidak heran, ketika proposal bailout ini disetujui Kongres pada hari Minggu, pada perdagangan saham hari Seninnya, indeks global mengalami penurunan. Bisa jadi penurunan tersebut merupakan respons negatif terhadap usulan bailout yang memang tidak menyembuhkan penyakitnya secara tuntas.
Oleh karena itu, dengan skema bailout ini, janganlah kita terlalu berharap bahwa bailout ini akan tuntas menyelesaikan krisis ekonomi Amerika Serikat dan global dalam waktu 1-2 tahun ke depan.

Dampak terhadap Indonesia
Krisis SM sangat merugikan investor keuangan dunia yang juga berinvestasi di pasar modal dan uang Indonesia. Pukulan terbesar memang di pasar modal mengingat saham merupakan instrumen likuid, begitu pula deposito. Kebutuhan likuiditas yang tinggi membuat mereka keluar dari pasar keuangan Indonesia.

Untuk surat utang negara (SUN), tekanan tidak terlalu parah karena merupakan instrumen jangka panjang yang bebas risiko yang dimungkinkan ”disekolahkan” dalam bentuk REPO. Selain itu, pasar sekunder yang ada belum memungkinkan investor asing keluar secara instan dalam jumlah besar.
Penerbitan SUN baru untuk sementara waktu akan terganggu dengan masih akan absennya investor asing.

Tidak terlalu terpengaruh
Ekspor beberapa produk mungkin terganggu karena menurunnya permintaan. Namun, dengan pertumbuhan pasar domestik yang pesat, bisa meminimalisasi dampak penurunan pasar ekspor secara agregat. Dengan pasar domestik yang kuat, pendanaan dalam negeri yang likuid, serta pertumbuhan ekonomi yang terus tumbuh, seharusnya Indonesia tidak terlalu terpengaruh krisis yang terjadi di Amerika Serikat. Bahkan, krisis ini sebenarnya merupakan peluang Indonesia menyelinap lebih gesit.

Sejarah juga mencatat bahwa, pascakrisis moneter di Indonesia, setiap terjadi krisis di Amerika Serikat (9/11, Enron, SM), Indonesia berada pada posisi yang lebih baik atau malah diuntungkan. Buktinya, nilai kurs rupiah dalam jangka panjang malah relatif stabil atau menguat.
DANDOSSI MATRAM, Pengamat Pasar Modal

[+/-] Selengkapnya...