Jumat, 28 September 2007

My sympathy for Burma people



Oh... God, help the Myanmar/Burma peoples, please.
Don't give the more opportunity fore the brutal military regime, and Gen Ne Win, Burma's military junta leaders. Sent them to hell.

No more suffering,and let's dissipate the military-colonist.
As protestor said, yesterday , "Fuck you, army. We only want democracy."
My sympathy for Burma people struggles.

Peace 4 Burma/Myanmar

***

http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/7016608.stm
Nine killed in Burmese crackdown
Police stand guard on the streets of Rangoon, Burma
The military warned protesters to go home or face "serious action"
Nine people have been killed during Thursday's crackdown on anti-government protesters in Burma's main city of Rangoon, state media say.

The dead included eight protesters and a Japanese man, identified as a video journalist working for APF News - with 11 demonstrators and 31 soldiers hurt.

The deaths came on the 10th day of protests, led by Buddhist monks.

World leaders have renewed calls for sanctions - and the US says it is beginning with 14 top officials.

President George W Bush has "made it clear that we will not stand by as the regime tries to silence the voices of the Burmese people through repression and intimidation," said Adam Szubin, director of the US treasury's Office of Foreign Assets Control.


The world should act, under the UN, forcefully and show the door to the dictatorship. China has to be told firmly to stop propping up the Burmese military
Ganapathy, Ottawa, Canada

Accounts from Burma
Protests in pictures
Send us your comments

In other developments on Thursday:

* Burma says it will issue a visa to UN special envoy Ibrahim Gambari, who is being urgently sent to the country

* the Association of South-East Asian Nations voices "revulsion" at the killings and urges Burma - one of its members - to exercise restraint

* UN High Commissioner for Human Rights Louise Arbour warns Burmese leaders that they could be prosecuted for their actions

'Warning shots'

Apart from sporadic gunfire, the streets of Rangoon are now said to be quiet after six hours of clashes. A curfew is back in force.

Thursday's violence followed reports of overnight raids on six monasteries.

Witnesses say soldiers smashed windows and doors and beat sleeping monks. Some escaped but hundreds were taken away in military trucks.


Buddhist monks pray at a road block in downtown Rangoon. Pic courtesy Mandalay Gazette

What next for the regime?
Burma rulers cut media flow

At about midday (0530 GMT), tens of thousands of people poured onto the streets in an apparently spontaneous show of defiance, singing nationalist songs and hurling abuse at soldiers driving by in trucks.

Troops began firing warning shots when protesters tried to take their weapons from them, state television reported.

Witnesses said it was unclear whether the bullets were fired into the crowd or above heads.

Japan's foreign ministry confirmed that a man found dead in Rangoon carrying a Japanese passport was Kenji Nagai, a video journalist who had been in Burma for Tokyo-based news agency APF News since Tuesday.

Japan would officially launch a protest with the Burmese government over Mr Nagai's death and demand an investigation into the incident, Japanese news agency Kyodo quoted Chief Cabinet Secretary Nobutaka Machimura as saying.

The official toll was nine dead, though this could not be confirmed.

In unrest on Wednesday state media said one person had died, though there were unconfirmed reports of several other deaths.

Taken by surprise

The scale and growing momentum of the protests appears to have taken Burma's military rulers by surprise, says the BBC's regional correspondent Charles Scanlon.


Key flashpoints in Rangoon

Enlarge Image

By ordering combat battalions into the streets, they are aiming to intimidate the population while rounding up the leaders of the protest movement, he adds.

With fewer monks on the streets on Thursday, the military may have had fewer qualms about firing on the civilians, correspondents say, as monks are held in high esteem in Buddhist Burma.

Analysts fear a repeat of the violence in 1988, when troops opened fire on unarmed protesters, killing thousands.

The current protests were triggered by the government's decision to double the price of fuel last month, hitting people hard in the impoverished nation.

[+/-] Selengkapnya...

Kadal Kok Dikadali




Fotoscreen Pulau Samosir, dan headshot Irawady Joenoes by Persda Network/Bian harnansa



SEMBILAN tahun silam, saya coba menguji Inang (bahasa toba), emak. "Inang, boru Dayak bagak-bagak hian do daba. Uli hian ma tahe. Bontar-bontar songon Sina. Boha do molo membuat boru Dayak au, boido? Molo adong parumaenmu naso halak hita kan asa ibotohamu annon mar mabahasa Indonesia."


(Emak, gadis suku Dayak sangat cantik-cantik. lho. Ayu tenann. Putih mulus seperti kebanyakan orang Cina. Andai saya mempersunting gadis Dayak boleh nggak? Hitung-hitung supaya emak juga bisa berbahasa Indonesia, kalau ada menantu orang asing kan mau nggak mau, emak jadi bisa juga)


Saat itu saya sudah setahun tamat dari Administrasi Niaga, Fisip, Unlam, dan sudah jadi jurnalis di Banjarmasin Post. Memang banyak teman sekampus yang berasal dari Dayak Kalteng atau Kaltim. Face mereka, kemulusan kulitnya, keramahtamahannua sungguh molek dan menggoda. Tentu fair enak membandingkan, dan bukan maksud merendahkan saudara-saudaraku di tanah gersang di Pulau Samosir.
img src="http://us.i1.yimg.com/us.yimg.com/i/mesg/emoticons7/51.gif" width=21 height=18 border=0>


Saat itu, bukan karena saya sedang memiliki teman wanita dari gadis Dayak. Saya memang sengaja hendak menguji sejauh mana ketradisionalan Inang, sebagai orang tua di desa terpencil. Inang saya, Porti Napitu, lahi tahun 1928. Selisih delapan tahun dengan amang (ayah), Yahya Ambarita yang duluan menghadap illahi, 13 Maret 1989.

Dia tidak tahu tanggal dan bulan. Inang tidak ditinggalkan oppung selembar akta kelahiran, buku rapor atau apalagi ijazah. Inang memang lahir pada tempat dan waktu yang tidak tepat. Lahir di hutan, tepatnya ladang berpindah, dan di zaman penjajahan lagi. Dia tidak pernah mengenyam pendidikan. Kalaupun di KTP tertulis 31 Desember 1928, itu hanya tanggal rekaan. Dia buta huruf.

Ibu saya kawin muda, sekitar 18 tahun. Cukup lama, Inang dan Amang menunggu momongan. Dalam penantian itu, cerita Inang dan Amang, mereka selalu rajin berdoa. Terutama Amang, memang saya akui dia sebagai orang yang mempunyai tingkat keimanan luar biasa. Sufi. Firasatnya tajam, doanya sangat manzur, kalau tidak boleh menyebut mengandung mukjizat.

Sedari menikah, baru berselang empat tahun, saudara pertama kami lahir. Dalam masa penantian itulah, cetia Inang dan orang lain, ayah sering kali berdoa khusuk, saking khusuknya sampai menangis. Dia bermohon kepada Mula Jadi Nabolon, Debata, atau sebutan untuk Tuhan, agar dikaruniai anak yang banyak.

Tuhan mendengar doanya. Akhirnya, mereka dikarunia 14 anak, empat perempuan dan 10 laki. Saya anak keselusin. maklum, saat itu belum ada KB, Keluarga Berencana, yang ada Keluarga Besar.

Bukti kemanjuran doa Amang, menurut cerita banyak orang, termasuk saudara yang baru saya temukan di Bandung, tahun 2006 ketika Inang saya berkunjung, abang nomor enam lahir dengan cacat. Maaf, kakinya tidak normal, kedua telapak kaki tidak sempurna, maka punggung kaki hingga ke matahari kaki luar menyetuh tanah. Ayah terus berdua untuk kesembuhan cacat anaknya, sampai suatu ketika di pagi-pagi, menjelang abang saya masuk SD, dia berjalan normal sehabis bangun tidur. Tidak yang tahu, sampai seorang kerabat terheran-heran meyaksikan kaki abangku sudah berjalan layaknya anak-anak lain, tanpa ke dokter, tanpa operasi.

Kembali ke Inang. Jawabannya tentang kemungkinan jodoh saya saat itu di luar dugaan. "Terserah kamu. Kan yang mau menikah buka saya, tapi kamu. Pesan saya, mengingat karena kamu sudah mendapat pendidikan, tidak seperti Inangmu ini yang buta huruf, ya pintar-pintarlah mencari jodoh. Tidak mesti satu suku, tetapi yang bisa mengerti, memahami, dan cocok dengan keluarga. Saya tidak minta menantu mesti orang kaya, sebab kalo dia kaya, pasti tidak akan mau ke kampung-kampung di tengah hutan begini. Kalau nanti dia pun datang pasti menimbulkan masalah. Menghina kampu kita lah, menghina Inangmu inilah. Kalau sudah begitu, hubungan kekeluargaan dan kekerabatan pasti buruk. Sebaiknya jangan begitu."

Saya terdiam. Termangu. Jawaban sederhana namun sata makna. Pernyataan yang mengatakan, pikirlah matang-matang, supaya tidak menyesal kemudian. Lalu segera menggapai tangannya, dan mencium pipi ibu, sembari menggelayut manja. "Nggak kok. Saya akan coba usahakan, makanya berdoa juga, supaya Tuhan memberi jodohku, perempuan baik-baik dan bisa diajak menderita."

***


Saya kembali ke Banjarmasin. Menemui kekasihku, memang bukan orang Dayak. Kalaupun banyak teman-teman perempuan dari penduduk asli Kalimantan, mereka sebatas sahabt dan rekan sepergerakan di PMKRI Cabang Santo Agustinus Banjarmasin. Saya melanjutkan pacaran dengan perempuan yang sekarang jadi ibunya anak-anak.

Dia perempuan yang lahir dan besar Jakarta. Saya coba meyakinkan dia, bahwa saya betul-betul orang desa, dan miskin. Saya memang beragama dan sesekali mengikuti ritual liturgis, tapi keluargakami pun masih mengikuti tradisi leluhur batak. Ini soal keimanan dan kepercayaan, jadi jangan dipertentangkan, dan jangan dibeturkan, apalagi yang satu meniadakan yang lain. Itu permintaan utama saya. kalau soal kemiskinan, pasti teratasi kalau kita seiya sekata.

Saya mencoba jujur dari titik nol. Tidak ada yang ditutup-tutupi, maupun yang direkayasa. Dan untunglah. Saya takut karma seperti kata orang, kadal kok dikadali. Dalam konteks ini, saya kaitkan dengan upaya penyelidikan yang dilakukan Koordinator Pengawasan Keluhuran, Kehormatan Martabat, dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial (KY) Irawady Joenoes, Rabu (26/9/07).

Andai betul pengakuan dia, setelah mendapat mandat dari Ketua KY Busyro Muqodas, hendak mengawasi dan menginvestigasi dugaan 'main duit' di bagian Setjen dalam pengadaan lembaga baru, itu sehingga dia berniat menjebak pihak-pihak yang terlibat, eh malah dia sendiri yang terjebak. Irawady pun ditangkap basah KPK dengan Rp 600 juta di dalam tas dan 300 ribu dolar di kantong, pemberian Freddy Santosa, penjual tanah 5.720 meter kepada KY.

Jika Irawady hanya memainkan dua mata untu mengintai orang yang hendak dijebak, rupanya pihak yang diintai memasang banyak mata dan telinga. Kasihan Irawady, Kadal kok Dikadali. Itu bila asumsi tiu betul Entah dia juga berdusta, entahlah. Semoga saya masih mampu menuruti nasihat Inang, jangan mengejar kekayaan semata, apalagi menghalalkan segala cara.

"Dang adong jolma tubu pintor mamboan arta. Molo pe mamora, dang adong jolma memboan hamoraon i tu toru tano. Sudanai tadingkonon do i atas tanoon." (Tak ada seorang pun yang lahir membawa harta benda, dan kalaupun ada orang kaya raya, dia tidak akan membawa kekayaannya ke liah lahat. Semua itu akan ditinggalkan di bumi."

[+/-] Selengkapnya...





Fotoscreen
Dua berita Irawady di Kompas Cyber Media, Rabu dan Kamis (26-27/09/07) tulisan empunya blog ini


Istri Irawady Joenoes: Ya Allah, Kuatkan Hati Kami

KOORDINATOR Bidang Pengawasan Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim Komisi Yudisional Irawady Joenoes dibekuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat tertangkap basah menerima sejumlah uang dalam transaksi penyuapan di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan, Rabu (26/9) sekitar pukul 13.00 WIB.

Namun hingga malam, tidak seorangpun pihak keluarga yang mengetahuinya. Wartawan Persda Network Domuara Ambarita berhasil mewawancarai Siti Farida, istri Irawady yang berada di Jakarta, dan Nurul, anak angkat mereka tinggal di Palembang. Perbincangan dengan Siti Farida berlangsung dua kali. Pertama pukul 17.00 WIB, dan kedua selepas magrib.Berikut petikan wawancaranya.

Selamat sore. Posisi Suami anda, Irawadi Joenoes ada di mana sekarang?
Sekarang ada di Jakarta.

Semoga dalam keadaan baik ya?
Ya, bapak sehat-sehat saja sampai tadi pagi. Kami masih sahur bersama, dan berangkat dari rumah pun kami bersama-sama. Bapak mau ke kantor, saya mau belanja.

Apakah ada informasi yang sampai kepada Anda bahwa suami terlibat suatu masalah?
Sama sekali saya tidak tahu.


Kami memeroleh informasi, suami anda sedang diperiksa di KPK karena tertangkap basah menerima uang sogokan. Apakah anda tahu?

Saya tidak tahu sama sekali. Dari mana anda tahu?

Kami dengar Irawady terkena kasus menerima suap dalam jual beli tanah.

Selama ini tidak pernah menangani kasus tanah.

(Perbincangan malam) Apakah Anda sudah mendapat kabar terakhir soal suami?

Ya Allah, teleponnya itu sama sekali tidak bisa dihubungi. Barangkali ada 20 kali saya telepon tidak bisa masuk. Saya sendiri jadi senewen loh. Cuma, ya Allah, kuatkan hati kami. Nggak ada hujan, nggak ada angin, kok jadi begini.

Apakah biasanya suami mudah dihubungi?

Iya. Cuma kadang-kadang curiga. Dia itukan sudah tua. Bapak juga nggak telepon seharian ini

Selama ini kesannya, suami Anda terkenal vokal dan jujur. Bagaimana sebetulnya?
Ya allah, itu betul. Tidak masuk akal kalau yang bapak sebut terlibat korupsi.

Dalam kasus ini, KPK menyebut suami Anda terlibat dalam kasus pembelian tanah senilai Rp 50 miliar untuk kantor di Kramat. Mungkin bapak ikut jual beli awal. Si pemilik tanah memberikan Rp 3,7 miliar sebagai tanda ungkapan terima kasih. Apakah ibu pernah dengar soal itu?
Nggak. Nggak. Saya tahu memang KY akan membangun kantor baru. Sebatas itu saja. Itukan ada timnya. Bapak itu tidak duduk dalam tim itu.

Jadi tidak mungkin dapat rezeki bila tidak diberikan ke Anda selaku istri?

Nggak... Nggak.. Makanya saya terkejut sekali bapak bilang terima uang. KY itu tidak pernah melakukan hal-hal tanah. Kalaupun ikut dalam pembelian itu hanya semata-mata tugas KY.

Karena suami Anda sangat vokal dan keras terhadap hakim-hakim. Apakah Anda mencurigai ada yang menjebak?
Memang saya tahu, suami saya itu keras sekali. Ya tidak mustahil banyak yang benci. Saya tahu itu. Itu saja yang saya tahu. Lebih dari itu saya tidak tahu. Dia itu sangat memperhatikan kaum dhuafa, anak yatim piatu, teman-teman susah. Hanya itu yang saya tahu.

Pernahkah suami pernah cerita, misalnya saya dimusuhi di kantor atau ada yang meneror?

Tidak. Kalaupun ada yang meneror itu tidak pernah dia sampaikan. Sebab orangnya tidak mau membawa semua permasalahan kantor ke rumah. Kalau ada masalah pun tidak pernah diceritakan kepada istri dan keluarga. Kami tidak pernah tahu.

Soal uang itu suami tidak pernah cerita?

Ya nggak. Masa saya tidak tahu, kalau suami ada uang.Apa masih angan-angan dia tidak pernah cerita.

Kalau suami dapat rezeki apakah selalu diberitahu kepada Anda?
Iya, selalu. Kami sudah bersama-sama sejak menikah tahun 1966, lebih dari 41 tahun. Jadi saya sangat mengerti, bapak tidak pernah melakukan perbuatan tak terpuji.

Adakah firasat Anda, atau suami?

Saya tidak ada firasat. Bapak pun tidak. Mimpi dia tidak pernah cerita.

Bagaimana kondisi suami saat berangkat ke kantor tadi pagi?
Kondisinya biasa saja. Kami masih sama-sama sahur. Kami pun berangkat bareng dari rumah. Saya pergi belanja ke pasar, lalu bapak ke kantor

Ada pesan khusus dari suami sebelum berangkat kerja?

Tidak ada.

Kapan rencana menjenguk suami di KPK?
Nggak. Sebab saya takut nanti salah. Bapak itu orangnya strict, keras. Saya juga begitu. Kalau saya tidak dapat izin dari suami, saya tidak akan pergi. Nanti saya datang ke sana, dia malah marah. Saya serba salah, ya? Ya insya Allah, diberi kekuatan. Mohon doa, ya...


[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 26 September 2007





Mimpi Buruk

"Ohh... Tuhanku mengapa cobaan terus datang dan datang lagi? Bencana demi bencana, gempa disusul gempa lainnya menjadi pencabut nyawa bayi-bayi tak berdosa dan rakyat jelata nan sengsara. Ya, Allah, ampuni kami?"

Ingatan saya seketika terbayang pada murka alam ketika gempa dan tsunami meluluhlantakkan Aceh, dan Nias, 26 Desember 2004. Gempa 9,3 skala Richter yang menerjang 14 negara yang menewaskan 170.000 jiwa, 168.000 orang luka dan sekitar 5 juta orang kehilangan tempat tinggal.

Ombak bergulung-gulung, setinggi punggung bukit, bergerak sangat cepat, bekejaran mendekati pantai. Sekumpulan air laut menerjang sampah, kayu, juga perahu atau kapal berlabuh di tepi pantai, ditambat di laut. Perahu atau kapal saling bertubrukan, berbenturan, dorong-mendorong seakan berebut menghindari hantaman ombak.

Bangunan-bangunan ambruk rata dibawa sang murka. Bayi-bayi tak berdosa tidak sempat menangis seperti merengek mengiba tetesan air susu ibu, mereka hanya sekali dua kali megap- megap bukan karena kepedihan air sabun saat dimandikan ibunya melainkan diguyur air asin kemudian hanyut ditelan ombak. Lalu senyap, dan tak bernapas lagi. Kaum tua renta, penyandang cacat dan orang sakit juga tak mendapat dispensasi, senasib dengan harta-benda dan ternak lainnya digulung ombak.

Saya terhenyak. Bayangan itu tiba-tiba saja datang saat membaca kotak surat elektronik atau e- mail, yang diposting melalui milis pekan lalu. Subyeknya bertuliskan demikian: Indonesia Menunggu Datangnya Gempa Dahsyat Lebih dari 9 SR.

Sukma ini berkata lain. Jangan percaya isu. Dia segera menasihati. Bukankah dulu, beberapa hari setelah gempa 5,9 skala Richter mengguncang Yogyakarta, 27 Mei 2006, yang menewaskan 3.098 orang, dan merobohkan 3.324 bangunan juga diterpa isu serupa. "Ayo segeralah cari tahu!" "Yup, mantap. Terima kasih atas saranmu," jawab hati yang sama, segera mengontak BMG.

Kepala Bidang Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Drs Suhardjono Dipl Seis mengatakan, jangan pernah percaya isu atau prediksi tentang gempa. Gempa ibarat pencuri, tidak seorang pun tuan rumah tahu kapan pencuri datang. Teknologi secanggih apapun belum ada dapat memprediksi kapan waktu gempa mengguncang.

***
Peluang Konstruksi
INDONESIA berada pada cakupan cincin atau lingkaran api (ring of fire) Pasifik. Apa boleh buat, 220 juta warga bangsa ini mendiami kawasan yang kerap diguncang gempa, dan letusan gunung berani yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Tidak ada sejengkal pun tanah tumpah darah kita yang luput dari guncangan gempa. Bumi Kalimantan yang selama ini disebut bebas dari gempa, ternyata 13 Februari 2007, gempa menggoyang Tarakan, Kaltim.

Jarak pulau yang satu dengan yang lain boleh berjauhan, tetapi bagi gempa sangat dekat dan cepat dijangkau. Lihatlah, gempat di Aceh lintas benua dan samudera, gempa Mentawai pun sama, menggoyang gedung-gedung pencakar lagit di Jakarta, Malaysia dan Singapura.

Selalu saja ada hikmah di balik peristiwa. Di luar duka nestapa, kali ini, giliran kaum ahli bangunan atau konstruksi menunjukkan andilnya. Peluang para arsitek menemukan konstruksi bangunan tahan gempa. Bukan saja tahan goncangan, tetapi juga tepat guna, dan berbiaya murah.

Rumah panggung berbahan kayu banyak ditemukan di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Bali kiranya mengilhami para kontruktor. Andai material kayu berkualitas seperti belian atau ulin (Eusideroxylon zwageri), tanaman langka asal Kalimantan, sulit ditemukan di pasaran, itulah tugas para insinyiur kita.

Apakah kembali ke alam dengan menggunakan bahan anyaman bambu, rasanya tidak salah juga selagi menjaga kenyamanan, kemanan, dan keselamatan penghuni. Semangat ini perlu digelorakan, mengingat korban banyak jatuh akibat gempa, ketika 'pencuri' datang malam- malam, saat tuan rumah terlelap. Andai bagi kalangan berduit kurang branded, beton bertulang kokoh, tentu menjadi pilihan.

Inilah peluang bisnis di sektor kontruksi dan properti yang sangat prospektus. Jika harganya relatif murah dan terjangkau konsumen, jasa membuat bangunan antigempa atau tahan gempa ini akan digemari seperti semudah menjual kacang. Bukan mustahil pembeli harus inden. Dan iklan pun akan marak menghias berbagai media massa: Dicari Konstruksi Tahan Gempa Murah.

Suatu peluang usaha yang menyerap banyak sekali tenaga kerja dari hulu ke hilir, dari tenaga terampil, kuli di pabrik hingga kuli bangunan. Lebih penting lagi, industri ini mampu meneteskan rezeki (trickle down effect) kepada masyarakat umum. (*)

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 24 September 2007


Hak atas Terima Kasih

AKHIR pekan lalu, saya beserta sejumlah rekan membesuk seorang kawan sekantor. Saya dan tamu lainnya terheran-heran. Kok, katanya baru operasi jantung tadi malam kok kawan ini sudah bisa kongkow-kongkow menemui tamu, bukannya berebah di tempat tidur.

Tidak ada kesan sakit dalam dirinya, kecuali oleh perban yang menempel pada kedua tangan, posisi di ujung urat nadi, di belakang tangan. Bicaranya pun lancar, tidak ada nada sengau atau lemas. Kalaupun sedikit pelan, itu karena puasa. Saya sendiri bertanya-tanya, habis operasi, apalagi jantung, tapi kok segar begini yah? Inikah kehebatan orang beruit, sehingga operasinya bisa canggih.

Ya, betul. Sang kawan ternyata mengalami pengobatan melalui kateterisasi. Operasi jantung melalui pembuluh darah, atau urat nadi di belakang telapak tangan. Perban sebagaimana sering terlihat pada orang yang sedang diinfus. Menakjubkan. Mukjizat, pikir saya tak habis pikir berdecak kagum.

Tiga tahun lalu, saya pernah menyaksikan dua kali operasi jantung di RS Rajwali, Bandung. Saya diundang khusus Direktur Utama sekaligus Preskom rumah sakit itu. Setahun sebelumnya saya kenalan dengan Dr dr Demin Shen. Konon, dialah satu dari sedikit dokter ahli bedah jantung di Indonesia. Ny Demin Shen, seorang warga asal Amerika, juga dokter. Putri mereka juga dokter.

Dalam dua kali operasi jantung itu, gigi saya seakan sampai ngilu melihat sendiri dan mengabadikannya pada kamera Nikkormat tua, bagaimana tim dokter mengobok-obok bagian dalam pasien. Operasi pasien kali kedua lah yang membuat saya lebih ngilu. Seperti hendak mengeluarkan bagian usus sapi dari perut, tim dokter, membedah total. Mereka menggergaji tulang iga pasien, untuk operasi jantung.

Betul-betul digergaji dan kampak kecil, lalu antara kelompok tulang rusuk sebelah kiri dan kanan dipisahkan, direnggangkan sekitar 20 cm. Pembedahan total dilakukan karena dokter harus mengangkat tumor yang ada di dalam jantung. Jadi ini lebih parah dari sekadar serangan jantung yang membutuhkan operasi bypas akibat penyakit jatung koroner.

Setelah dada dikuak, barulah tim dokter membedah jantung., dibelah. Saya terbayang seperti ketika tukang jagal mau membersihkan kotoran dari dalam rempela. Ngeri. Di saat bersamaan, melihat sirkulasi darah segar dari tabung ke tubuh pasien, terus berputar. Sementara sang pasien semaput, alias kolaps karena kekuatan bius.

Memori saya teringat ke kejadian itu ketika mendengar ada kawan sekantor di Persda yang menjalani operasi jnatung. Tapi, ternyata tidak segawat itu. Kawan ini hanya melalui proses kateterisasi, memasukkan zat cair melalui pembuluh darah, terus digerakkan ke jantung. Hanya zat kecil itu yang terus bergerak mengobok-obok dada dan jantung pasien. Hasil potretan cairan itu pula layar memperlihatkan bagaimana kondisi jantung berikut pembuluh darah pasien.

Ketika zat cair buntu, berarti ada kendala, ada gangguan, sehingga dipompa. Seperti halnya meniup selang yang terjepit, sehingga air tak mengucur. Namun jika setelah dipompa lalu kembali menyempit, maka dilakukan tindakan memasukkan ring (cincin) permanen membuka saluran. Itulha tindakan luar biasa dialami kawan. Lebih mencengangkan lagi, hanya 48 jam setelah operasi, kawan tadi sudah masuk kantor.

***
TENTU saja kawan itu bangga luar biasa. Sebab dalam banyak kasus, penderita serangan jantung sulit diselamatkan. Dalam sukacita itulah, dia memuji-muji Dokter Teguh Santosa yang menanganinya.

Konon dokter ini memiliki jam terbang tinggi sekali. Selain ahli bedah jantung, dia juga guru besar di UI, dan saban bulan terbang ke berbagi universitas di berbagai negara untuk memberi kuliah: menularkan bagaimana ilmu tentang bedah jantung.

Dia juga dokter yang memiliki pasien banyak sekali. Dalam sehari bisa sampai ratusan yang akan diambil tindakan. Saking banyaknya pasien, sering kali sampai jam 4 subuh, jam praktek diakhiri. Wah, luar baisa.

"Betapa kayanya dokter itu, yah,? pikiran liar saya berkhayal, bisakah saya mewujudkan cita-cita bidadari kecil di rumah yang dalam usianya belum genap tiga tahun seudah sering mengatakan punya cita-cita jadi kaya Oppung Silitonga, menyebut profesi dokter sepsialis anak Dokter Kriston Silitonga yang menjadi dokter keluarga kami.

Wajarkan. Tindakan kateterisasi semacam itu menghabiskan dana minimal Rp 90 juta. Andai 12 pasien saja dalam sehari, income sudah Rp 1 miliar lebih. Apalagi kalau seratus, wahhahaha....

Satu pelajaran yang saya petik dari cerita kawan tadi. Ketika menuju ruang operasi, sang dokter sangat santai, dia menyetel tape recorder dengan lagu dance, dan mengajak pasien happy saja. Dokter mengajak rileks, dan santai saja, atau bersenang-senanglah. Entahlah, dokter mau mengatakan nikmatilah waktu bersenang-senang terakhir mu (kalau operasi gagal), atau mau mengajarkan, hai bos, anda sudah kaya, jangan terlalu berat hidup. Sisihkan waktu untuk santai, bersenang-senanglah!

Pelajaran lainnya, ketika kawan hendak mengucapkan suka cita dan rasa syukurnya atas kesuksesan jalannya operasi, dia bermaksud memberi salam tempel alias amplop berisi duit. Di luar dugaan, sang dokter tidak menerima.

"Terimalah dok, ini ungkapan terima kasih saya, karena dokter berhasil mengobatai saya," kira-kira demikian kata kawan itu. "Tidak perlu. Ucapkanlah terima kasih kepada yang di atas, Tuhan," ujar dokter menjawab.

Pikiran saya segera berputar-putar. Luar biasa profesional sang dokter. Terlepas dari seberapa besar dia mengambil untung sebagai fee mengoperasi, tindakan menolak pemberian itu saya acungi jempol, dalam hati. Tidak banyak di antara orang Indonesia yang menolak pemberian, dengan alasan, rezeki jangan ditolak. Andai semua pihak, termasuk kalangan dari golongan jurnalis seperti saya yang mengucapkan hal itu saat dibekali nara sumber dengan segepok amplop, tentu berita akurat, berimbang, objektif dan berpihak pada kebenaran akan lebih banyak yang menghiasi media.

"Berterima kasihlah pada Tuhan." Sikap dokter itu betul. Ilmu, keahlian, kesempatan hidup, derma atau apapun yang dia miliki sebagian besar pemberian cuma-cuma sang Illahi. yang lebih penting, dia profesional, mengambil bagian yang menjadi haknya, dan menyerahkan kepada orang lain yang menjadi haknya. Seperti firman Allah: Serahkanlah kepada negara apa yang menjadi hak negara, kendatipun melalui pemungut pajak, dan berilah kedaKu apa yang menjadi hakKu. (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 21 September 2007





Uli dan Dorthy, adiknya. Uli bersama kawan-kawannya di Jalan Bima, Pondok Tirta Maldala Depok mengisi acara Tujuhbelasan 2007


Salahkah Membandingkan Anak?


Jakarta, 21/09/2007
SENIN hingga Rabu (17-19/09/2007), putri bungsu kami, Dorthy, nama lengkapnya Felisita Dorothy Ambarita demam. Saat itu, usianya belum genap 5 bulan, kurang 10 hari. Senin malam, sekitar pukul 02.00, saya mendengar rintihannya. Dorthy mengerang kesakitan, sementara ibunya mendengkur.

Adapun kakaknya, Elizabeth Uli Ovelya Ambarita (2 tahun 11 bulan, 1 minggu) tidur di kamar sebelah bersama oppungnya. Uli memang anak oppungnya, karena dia lebih dekat ke kakek- neneknya, yang memang mengasuh sedaru usi 6 bulan di Depok. Sementara kami, ayah-budanya berkutat mencari rupiah di Bandung.

Padahal Minggu siang hingga senja, kami berempat plus kedua oppungnya, yakni mertua saya, Dorthy masih sehat bugar. Dia masih tertawa terbahak-bahak digodai oppung doli (kakek), saat saya asyik bertukang di gubuk yang belum siap huni di kompleks Deppen Jalan Raya Bogor.

Kendati baru terlelap satu jam lebih, karena tiba di rumah kurang lebih jam 24.00, Saya segera terbangun mendengar ada sesuatu yang beda dari tidurnya anak kami. Belakang tangan coba saya sentuhkan ke dahi sang putri, betapa kagetnya saya. Wah... panas sekali. "Mah, mah, oo mamah, bangun. Dede panas," kataku. Kami terbiasa menyapa si bungsu dengan panggilan dede, dan kakak untuk si sulung.

"Ayo ambilkan air hangat dan kain, biar kita kompres," ajakku. Istri bergegas ke dapur. Sebelum kami kompres, sebatang termometer digital saya selipkan ke ketika kanan Dorthy. Angka 38,9 tertera di sana. "Aduh alamat bahaya ini. Jangann.... jangan ya Tuhan..." kataku bergumam.

Saya punya pengalaman buruk dengan panas. Punya pengalaman traumatis. Setahun lalu, ya persis setahun telah berlalu, ketika membawa si kakak ke dokter spesialis anak di RS Immanuel, Jalan Kopo Bandung.

Saat pergi kami menumpang taksi. Saya berpikir, biarlah keluar biaya sedikit daripada anak kenak terik dan angin. Saya dan Uli, kami berdua saja pergi ke dokter. Sedangkan ibunya tidak dapat meninggalkan pekerjaan.

Saya yang selalu masuk siang, memang lebih sering membawa Uli ke dokter, kadang-kadang sampai risih rasanya dipelototi orang-orang karena terkesan curiga atau heran menyaksikan saya dengan pembantu yang merawat anak pergi berboncengan membawa Uli ke Dokter. hari itu kebetulan, Lae Prins, tulang atau paman Uli, menyusul naik sepeda motor.

Kurang lebih jam 11.30 tiba giliran putriku ke ruang periksa dokter. Lazimnya Uli tidak begitu gelisah apalagi menagis kalau dibawa ke dokter. Namun hari itu dia agak cengeng dan sempat menangis bahkan meronta, menolak saat dinaikkan ke meja pemeriksaan. Tangisnya menjai-jadi ketika dokter membuka mulut Uli sambil mengarahkan sinar senter, dan ketika stetoskop meraba-raba dadanya.

"Tidak apa-apa, cuma panas biasa," kata dokter sembari memberi resep. Hati saya lega. Kami ke luar ruang periksa di lantai satu, menyusuri tangga, walau ada lift menuju kantin di lantai dasar. Berjarak sekira 15 meter, di bangunan Diagnostik.

Uli terbilang bayi gendut. Ketika itu usianya belum genap dua tahun, berat badan sudah 15 kg. Gemuk tapi lincah, lasak. Suka main, sampai pinggang mau patah rasanya saking capeknya merawat dia. Siang itu selera makannya rendah. Saya sedikit khawatir akan mempengaruhi metabolisme serta ketahan fisiknya. Saya coba tawarjan aneka ragam menu di kantin, selain nasi juga kue-kuean, tapi hanya dua suap yang masuk. Tak lama, kami ke apotek.

Kami pulang. Keluar dari rumah sakit, saya membonceng. Uli di tengah, sedangkan Lae Prins memegang stang motor. Mencari taksi untuk pulang, agak sulit. Tak yang ngetem di depan rumah sakit adalah angkutan tanpa argo, saya malas tawar-menawar. Jadi saya memilih bergerak agak jauhan, mencari tempat ngetem Blue Bird. Sekitar 200 meter ke arah Pasir Koja, bru ada taksi. Begitu sampai di sana, Uli tidak mau turun dari motor. Alhasil kami lanjutkan, pulang menumpang motor dalam terik matahari yang tidak begitu menyengat.

Itulah rupanya sumber petaka. Baru saja berbelok dari pertigaan Kopo-Pasir Koja menujua Jalan Soekarno Hatta, Uli kejang-kejang. Dengan sigap saya masukkan ibu jari kanan ke mulut, mengganjal agar lidah tidak putus tergigit. Dia menggigil, kejang, sambil seperti meronta. Wah paniknya luar biasa. Saya memang sudah sempat membaca beberapa file dowluad dari internet tentang penyakit demam kejang atau stip. Uli pernah sekali stip, menurut cerita oppungnya. Lae Prins yang pegang kemudi pun panik, sampai menepikan motor ke kanan jalan, melawan arus kendaraan.

Seketika warga mengerubungi kami. Saya tak dengar apalagi pertanyaan warga, saya hanya bergumam. "Uli.. Uli, ini bapak sayang. Dengar, ini bapak. Bangun, sadar...." tanpa terasa air meleleh dari sudut kelopak mata. Anak saya masih tegang, lalu saya siramkan sisam air mineral. Seorang ibu berteiak, step ya. Kasih kecap-kasih kecap, masukkan ke mulutnya biar muntah.

Seorang ibu pemilik warung kaki lima mengambil kecap manis dan menumpahkan ke mulut Uli. Di langsung menangis. Syukur, sudah sadar. tapi matanya masih terbelalak, terbalik ke arah, sambil menggigil. Tak saya sadari,.seorang warga mengambil alih Uli dari gendongan saya, bergegas menuju Puskesmas. Tapi saya segera memutar otak, daripada dokternya taidak siap, Uli malah telantar. Saya putuskan segera mengambil alih kendali, Uli saya gendong dan seger amengajak Lae Prins putar haluan dan kembali ke RS Immanuel. Pengaman tarumatis yang tak terlupakan.

***
KUAT

SENIN pagi, Dorhty dibawa ibunya dan oppungnya ke dokter. Kata dokter ada radang di tenggorokan. Dia memang sering batuk sejak Senin, sehabis mandi pagi. Sehabis dari Dokter, kesehatannya tidak langsung baik. Masih panas. Suhunya kadang mendekati 29 sekali lebih 39. Dan yang paling panas pada kepala. Kendati dikompres, sukar turun. Meski begitu Dorthy tetap kalam, tidak begitu cengeng.

"Dede memang kuat, tidak seperti kakak." Atau, "Dede jangan sakit ya, yang kuat ya, jangan seperti kakak ya (maksudnya step)." Saat dia bangun, tak sadar saya ngomong begini, "Dedek sehat ya, dan pintar nanti ya, lebih pintar dari kakak." Kakaknya memang kami anggap pintar dan cerdas. Bukan hanya kami, banyak orang kengatakan seperti itu. Dan semoga tidak tidak takabur.

"Eh, jangan gitu," kat istri menyela. "Dede juga pintar nanti. Dede pintranya tersendiri yah. Kakak Uli juga pintar, tapi dede juga pintar. Tapi mungkin bede-beda," kata istri saya sambil memainkan sesendok biskuit ke bibir Dorthy.

Saya tersadar kembali, mengingat beberapa kali nasihat psikolog dalam rubrik konsultasi beberapa koran yang menyebut, sebaiknya tidak membanding-bandingkan anak. Jika kebetulan satu anak membuat salah, janganlah mengatakan dia nakal, lalu membandingkan, "tirulah kakakmu". "Kamu bodoh, tidak seperti kakaknya atau adiknya juara, dapat beasiswa". "Kamu sakit-sakitan, sedangkan kakakmu tidak".

Padahal saya pernah protes karena saudara amat sering membanding-bandingkan anak-anaknya. Saya berpikir, masing-masing individu punya karakter berdea. Sifat yang unik. Bukankah Tuhan meniupkan roh kepada masing-masing manusia secara individu atau perseorangan? Tidak ada yang kolektif. Saya bertekad, tidak akan membanding-bandingkan Uli dan Dorthy lagi. Semoga mereka tumbuh kembang dari fisik, mental, pengetahuan, budi pekerti dan cinta kasih. Cinta kepada makhluk, cinta kepada sesama manusia dan cinta kepada Tuhannya. (Domuara Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...






Foto rusuh di Sampit. Tengah/AP, kiri/Tempo, kanan/web

Peran Mistik Panglima Burung
* Kepala Manusia Dipersembahkan untuk Mendapat Pahala

KERUSUHAN antaretnis yang melanda Sampit, Kotawaringin Timur sejak 18 Februari 2001, boleh dikata sebagai tragedi kemanusiaan terbesar di Kalimantan. Kerusuhan Jumat Kelabu Banjarmasin 23 Mei 1997, kerusuhan Kumai atau Kereng Pangi awal tahun 2001, sepertinya belum setara bila dibandingkan dengan yang satu ini. bagaiman atidak, cakupan teritorialnya sangat luas, tingkat keganasan lebih ngeri, dan jumlah korban yang berjatuhan pun jauh lebih besar.

Korban meninggal dunia di kedua belah pihak bertikai berdasarkan data Pemkab Kotawaringin Timur (Kotim) hingga Minggu (25/2) sebanyak 270 jiwa, luka-luka delapan orang dan luka ringan 3 orang.

Sedangkan Polres setempat pada hari yang sama melaporkan terjadi pembantaian lagi 118 jiwa di satu tempat terbuka yang letaknya dekat kantor Camat Parenggean, Kotim. Dengan begitu telah jatuh korban 388 jiwa. Sementara perusakan rumah mencapai 196 bangunan dan dibakar 583 rumah.

Ada kejanggalan yang mengundang pertanyaan. Fakta-fakta memilukan ini tentu perlu dikaji, apa sebenarnya faktor pemicu mengapa terjadi amuk massa yang demikian besar? Mengingat ini konflik di tengah masyarakat, perlu dicarikan alasan-alasan sosial apa yang mendukungnya?

Berdasarkan informasi yang didapat di lapangan, banyak faktor sebagai penyulut terjadinya kerusuhan. Dari sekian banyak yang disebut-sebut adalah akibat akumulasi kekesalan warga penduduk asli (belakangn media berani baru vulgar menyebut Dayak) terhadap pendatang (Madura). Disebutkan pula, warga asli sudah kehabisan kesabaran.

Kemudian ada lagi faktor kesenjangan sosial ekonomi sampai kepada kepentingan politik lokal, daerah, nasional atau mungkin mendunia.

Terlepas dari sentimen yang dapat dikaji secara nalar itu, ada pula rumor yang santer disebut-sebut. Patut disimak, hal itu bersinggungan dengan alam gaib atau lebih tepat terkait keyaninan tradisi atau budaya masyarakat lokal.

Masyarakat Dayak memercayai ada suatu makhluk yang disebut-sebut agung, sakti dan berwibawa. Dialah Panglima, yang oleh orang Dayak pedalaman disebut Pangkalima atau Panglima Burung.

Ada dua versi soal sosok panglima Burung ini. Yang pertama menyebutkan, dia adalah Panglima Soedirman- nya Indonesia saat perjuangan fisik dahulu. Ia disebut-sebut datang dari pedalaman Kalimantan, yakni perbatasan wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantang Barat yang nama tepatnya tidak dipastikan.

Sosok kedua, Panglima Burung digambarkan sebagai sosok priayi, kalam, pemberani, tangguh, kebal dan sakti. Jika dia turun gunung, diasumsikan bahwa dia dalam kondisi emosi dan batas kesabarannya berada pada titik pengujung.

Dalam versi itu, banyak informasi di lapangan termasuk rumor di kalangan wartawan, pengaruh Panglima Burung sangat besar di masyarakat Dayak pedalaman. Dia memiliki banyak pengikut. Posisinya semacam guru spirituallah. Konon dia memiliki sejumlah pasukan khusus yang kebal dan sakti, bisa menjelma menjadi makhluk halus dan bisa terbang.

Namun sebagian kesan ini dimentahkan Abdul Hadi Bondo, seorang temenggung atau tetua masyarakat etnis Dayang Katingan. Abdul hadi yang penganut Islam dan pemuka Muhammadiyah Sampit mengisahkan, sosok Panglima Burung sebenarnya bukan manusia hidup, melainkan sosok khayalan.

Disebut panglima, terang Abdu Hadi, sebab pribadi sang tokoh sangat teguh, sakti, kebal dan tidak suka bikin onar. Ia penyabar, namun jika batas kesabaran sudah habis, perkara jadi lain. "Dia bisa menjelma menjadi seorang pemurka."

Panglima Burung, dalam kacamata Abdu Hadi, adalah seorang tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada. Meski demikian, dapat diajak berkomunikasi melalui roh, layaknya manusia. Komunikasi ini dilakukan melalui upacar kebudayaan dan diikuti suatu ritual.

Saat pertemuan dan dialog dengan manusia bisa, segala sesuatu dapat dimintakan dari Panglima Burung. Termasuk misalnya, perintah terhadap apsukan-pasukan khususnya. Karena itulah, ia bisa seperti panglima di militer, tinggal main perintah. Namun dalam situasi genting, panglima kadang-kala turun tangan sendiri. Dia diyakini dapat menghilang --tak terlihat-- saat datang demikian juga saat beraksi di medan perang. Wujudnya tak tampak.

Masih dalam bingkai spiritual dan kepercayaan tadi, ada kaitan Panglima Burung dengan sadisme pembunuhan. Konon, pasukan khususnya telah dibekali ilmu kebal sebelum terjun ke arena konflik.

Mereka disuguhi minuman yang diyakini membuat tubuh kebal, minuman yang masyarakat setempat mengenalnya dengan minyak Cap Bintang. Diyakini pula, minyak ini memiliki kekuatan magis luar bisa, dan mukjizatnya dapat menghidupkan orang mati. Entah sugesti atau bukan, dengan keyakinan itulah, para pasukan khusus tidak takut bertempur, karena kebal dan kalaupun menjadi korban, dia akan kembali hidup. Syaratnya ketika bintang muncul di langit, korban hidup kembali. Reinkarnasi.

Di bagian lain didoktrinkan suatu aturan main kepada anggota pasukan, jika seseorang dari pasukan berhasil mengalahkan musuh maka sebagai bukti, anggota tubuh --biasanya dari leher ke kepala, harus dibawa. Kepala yang ditebas atau dikenal dengan istilah mangayau lalu dipersembahkan di dahapan panglima. Jika kepala tidak diusung, sang prajurit akan menanggung sanksi berat. Sebaliknya, prajurit yang berhasil mempersembahkan kepala tadi akan mendapat penghargaan besar. Semacam pahala.

Tidakkah para anggot pasukan khusus itu tidka merasa berdosa membunuh, dan mangayau? "Korban memang sudah banyak. Secar hati kecil itu tak boleh, tetapi untuk mengubah 'sistem', itu memang harus dilakuka," ujar Abdul Hadi yang terus terang mengaku kagum pada sosok Panglima Burung atas kesederhanaan dan wibawaya.

Dikemukakan, dari sudut agama --apapun juga agama yang dianut, prajurit pasukan khusus sadar perbuatan mangayau adalah salah dan dosa. Meski begitu, dalam kasus kerusuhan Sampit ini, mereka lebih berpegang pada tradisi dna doktrin Panglima Burung. Itulah yang membuat penganiyaan terus mengganas, pembantaian pun sulit diatasi, bahkan pembantaian meluas.

Sungguhlah bijak jika aparat keamanan dan pemerintah menempuh cara lain mengatasi konflik. Tidak melulu melakukan pendekatan formal, mengirim pasukan pemukul entara dan polisi dengan kekuaran senjata modern. Sebab dalam pantauan di lapangan, para prajurit pasukan khusus tadi tidak takut terhadap berondongan peluru.

Terbukti, ketika sejumlah personel Brimob Kelapa Dua Depok yang baru tiba di Sampit menegur beberapa orang pasukan khusus Dayak yang ikut konvoi bersama warga Minggu (25/2) malam, malah memunculkan keributan. Saat itu personel Brimob coba mengingatkan beberapa pemuda yang menghunus-hunuskan mandau, yakni parang khas Kalimantan, di tengah keramaian. Hampir semua massa yang konvoi memang menenteng mandau, namun masih di dalam kumpang. Panjangnya rata-rata semeter. Tindakan itu terkesan mengintimidasi belasan ribu pengungsi yang berada di kompleks Pemkab Kotim.

Ditegur personel Brimob orang-orang yang membawa mandau berang, malah menantang balik agar ditembak saja ketika anggota Brimob coba mengokang senjata SS-nya. Entah karena kebal, atau semata gertak sambal balik, entahlah. Untungnya si Brimob mengalah.

Dengan melihat fakta-fakta yang di luar logika dan aturan hukum itu, pemerintah dan aparat keamanan perlu menempuh pendekaran kuutral. Misalnya, melibatkan tokoh-tokoh masyarakat adat untuk meredam amuk massa yang terdoktrin adat-istiadat. Setelah memungkinkan, baru diambil tindakan hukum tegas. (domuara ambarita)

* Banjarmasin Post, 28 Februari 2001

[+/-] Selengkapnya...



Foto Danu/Kompas
Truk polisi dibakar massa di Budaran Besar Palangka Raya

100 Menit di Bundaran Besar

JAUH hari sebelum terjadinya tragedi berdarah di Bundaran Besar Palangka Raya, Sabtu (10/3), Kadit Sabhara Polda Kalteng Selaku Pelaksana Harian Penanggulangan Kamtibmas di Sampit, Komisaris Besar Polisi Tato Suprapto pernah mengeluarkan warning bahwa upaya menghindari meluasnya konflik antaretnis di Kalteng memerlukan kearifan ekstra.

Alasan dia, psikologi massa masih sangat emosional sehingga rentan tersulut. Dia memerintahkan, pasukan pengamanan sekalipun tidak boleh sembarang dalam bersikap. Tidak boleh teledor. Dalih penegakan hukum, kalau saja aparat menembak massa dalam situasi panas ini, situasi bisa menjadi lain. Kejadian selanjutnya bukan saja konflik horzontal antaretnis, melainkan menjadi-jadi konflik vertikal rakyat berhadap-hadapan dengan aparat.

Penegasan itu dikemukakan Tato Suprapto dalam perbincangan dengan sejumlah unsur Muspida Kabupaten Kotawaringin Timur, ketika evakuasi 3.850 pengungsi dari Sampit tujuan Tanjung Emas Semarang oleh KM Tilong Kabila, Minggu (25/2).


Kekhawatiran Tato tidak berlebihan. Buktinya, hanya berselang dua hari dari ketika dia melontarkan imbauannya, situasi Kota Sampit yang sempat realtif aman, tiba-tiba memanas kembali. Bahkan keadaan menjadi mencekam karena aparat keamanan sendiri terlibat bntrok bersenjata.

Baku tembak aparat Satuan Brigade Mobil (Brimob) Polri versus TNI AD di Pelabuhan Sampit. Tato sendiri akhirnya meninggal beberapa bulan kemudian.

Penanganan konflik antaretnis Sampit belum tuntas, meskipun sejumlah pejabat negara telah berkunjung ke sana. Ketua DPR Akbar Tandjung elah meninjau bersama Wapres Megawati Soekarnoputri, kemudian Presiden Abdurrahman Wahid mengunjungi wilayah yang tinggal puing-puing itu.

Lagi-lagi, kekhawatiran Kombes Tato sangat beralasan. Tak dinyana, pertikaian vertikal meletus di ibu kota Kalteng, Palangka Raya. Penyulutnya dalam penembakan membabibuta aparat Brimob sehingga menewaskan empat orang masyarakat warga setempat. Sang polisi, yang belum diketahui identitasnya, kalap ketika massa pengunjuk rasa merangsek ke arah rombongan Presiden Abdurrahman Wahid yang melintasi Bundaran Besar. Empat tewas, tujuh luka-luka di pihak sipil dan tiga orang luka-luka dari pihak polisi.

Terlepas dari beragam versi pemicu dan kronologis tragedi, pescapenembakan menarik disimak. Gambaran situasi lebih tegang dan arus pusaran massa lebih besar.

Ekses tragedi Bundaran Besar tersebut, membakar amarah massa Palangka Raya. Apalagi sudah terkuak kalau aparat menghamburkan peluru tajam dengan posisi senjata mendatar, yang terbukti dari temuan tiang-tiang besi listrik berlubang diterjang peluru. Minggu kemarin, warga menemukan banyak proyektil peluru. Satu di antaranya dikeluarkan dari tiang linstik yang berlobang karena peluru. Timah peluru masih ditemukan melekat di bagian dalam tiang.

Seorang tokoh masyarakat Palangka Raya, Drs Menteng Asmin merasa yakin, peluru tajamlah yang merenggut nyawa empat warka kota itu. Bukan peluru karet, seperti dikemukakan pihak Polda. Penjelasan petugas piket Denpom Vi/3 saat mengatarkan barang bukti, pecahan proyektil dan selongsongan, Jumat (9/3), sedari pagi tak terlihat seorang pun polisi melintas di Bundaran Besar. Semua pasukan konsentrasi di markas Polda. Wajar, karena massa memang membalas dengas sweeping aparat.

Lewat tengah hari, massa mencegat dan merazia pelintas. Mereka meneliti satu persatu angkutan yang lewat, dari sepeda motor hingga mobil, termasuk angkutan perkotaan. Jika ada pengguna jalan yang mengenakan seragam polisi, massa segera memburu, menyetop, lalu melucutinya. Seorang polisi yang bernasib sial, tak berkutik saat dikerubungi warga. Warga mengamuk, lalu memaksa merampas helm bertulis polisi, kemudian dibakar. Beruntung dia sempat melarikan diri.

Kemurkaan terus berlanjut hingga membumihanguskan pos polisi di pusat kota itu, serta membakar seunit mobil pikap juga milik Polisi. Kebrutalan menjadi-jadi, bahkan truk polisi yang sedang diperbaiki pada satu bengkel di Jalan Tjilik Riwut di dekat bundaran didorong paksa, lalu dibakar ramai-ramai.

Bak suasana perang betulan. Keadaan Kota Cantik itu betul-betul menegangkan. Warga sipil menjadi polisi bagi polisi sungguhan, sedangkan aparat polisi mengumpet atau hanya bertahan di markas sekadar mempertahankan kantor dan aset-aset. Kemudian massa menyasar ke arah kediaman Kapolda. Dalam hitungan menit, massa sudah menumpuk di depan rumah Kapolda di Jalan Imam Bonjol, bertetangga dengan Hotel Batang Garing, disipahkan Jalan DI Panjaitan.

"Ayo lempar... Bakar. Hancurkan," demikian provokasi entah siapa yang berada di tengah kerumunan massa. Seruan itu seperti perintah. Massa serempak langsung melepar bebatuan dan benda keras lainnya ke arah rumah Kapolda berbintang satu. Massa semakin merangsek dan mendekat, dari luar rumah itu tampak kosong, tanpa penjaga.

Sebelum seseorang melempar tumpukan kertas yang dibakar, tiba-tiba seregu polisi bersenjata lengkap bergegas keluar dari rumah berlantai satu itu. Mereka segera melepaskan tembakan ke angkasa. Dar... der.. dor... Lima kali suara tembakan muncrat. Suasana makin kacau, panik. Massa berhambur, sebagian berlari ke arah Bundaran Besar, sebagian lagi menyelamatkan diri ke dalam Hotel Batang Garing dan lainnya ke segala penjuru.

Kini giliran polisi yang bergerak menghalau massa. Dentuman lontaran peluru silih berganti membuat riuh- rendah di seputar Bundaran Besar. Massa diusir dengan tembakan tak henti dari senjata AK/SS-1 anggota polisi, dan mereka sudah bergerak ke jalan. Lalu disambut tembakan membabi buta dari senjata Brimob yang menumpang water canon, muncul dari Mapolda di Jalan Tjilik Riwut.

"Tiarap, mundur!" Perintah dari tengah massa, lagi-lagi sangat ampuh sebagai komando. Dalam hitungan detik, semua massa, termasuk belasan wartawan segera minggir. Saya beserta Danu Kusworo fotografer Kompas, Tommy (Reuters) segera tiarap, sambil berlindung di balik pohon mahoni berdiameter kira-kira 40 cm di tepi Jalan Imam Bonjol, kurang-lebih 30 meter dari sumber tembakan. Saya membaringkan dada-perut ke rumput gajah sambil mengamati desingan peluru mengarah datar dan sebagian ke atas.




Sekitar tiga menit tembakan reda. Waktu 'jeda' itulah saya manfaatkan berlari, segera melojmpat masuk pagar hotel Batang Garing, sebelah utara daru sumber tembakan.

Di balik tembok WC luar lantai dasar, sudut barat hotel, saya mengendap-endap. Sesekali menjulurkan wajah di balik siku hotel, mengintip posisi Brimob. Tampak dari balik, pagar besi bulat dan lambaian tanaman palm, sekitar satu regu pasukan berseragam Brimob masih dengan gagah berani memuntahkan peluru. Suasana menegangkan ini berlangsung sektiar 100 menit, dari pukul 15.20 WIB hingga pukul 17.00.

Seorang pemuda berambut gondrong luruh, celana pendek cokelat, T-shirt abu-abu, gelang rotan hitam tampak pucat pasi mengendap di balik tempat sampah, tiga meter dari WC. Sesekali dia amasih menongolkan kepala. Sekitar 40 menit ia terperangkap di sana, sebelum mengendap-endap melompat ke luar.

Sebentar kemudian, rentetan tembakan bertalu-talu dari arah Bundaran besar. Rupanya pasukan Brimob melintas. bak film perang, ketika pimpinan regu berpindah di arena perang, maka rekan setregu harus melontarkan tembakan ke arah lawan sebagai taktik melindungi komandan, demikian pula yang dilakukan Brimob ini dari atas mobil sambil bergerak memperkuat benteng pertahanan dan prajurit di kediaman Kapolda.

Demi menuruti naluri mencari situasi di pusat Budanran, saya sempat hendak turun ke jalan, namun begitu suara tembakan makin terdengar dan mendekat, urunglah niat. Satu truk Julidog roda empat ukuran besar melintas sarat polisi. Kemudian saya mencoba masuk ke loby hotel Batang Garing, ternyata di dalam puluhan orang telah berkumpul. Ada pegawai hotel, tamu hotel, nasabah bank, dan sebagain massa yang berhasil bersembunyi tampak pucat dan gugup. Mereka mengamati situasi di jalanan dari kaca-kaca hotel.

Wajar orang-rang yang berkumpul di dalam hotel ketakutan karena mereka dapat menyaksikan bagaimana aksi polisi yang memberondong peluru dari sebelah. Saya kemudian naik ke atas hotel. Di gang-gang lantai 1 sampai lantai 6 hotel itu banyak orang bergenrombol. Di lantai tujuh, atap hotel, beberapa wartawan mengamati keadaan kota dari ketinggian. Keadaan baru pulih pukul 17.00, kendati tembakan masih mendentum sekali dua kali, saat konsentrasi massa sudah cair dan arus lalu-lintas mulai melintasi Bundaran Besar. (domuara ambarita)

* Banjarmasin Post, 11/03/2001


[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 19 September 2007


Sorot/Domuara Ambarita

Rentenir, Satolop, Yunus dan BNI
PEKAN lalu, seorang kerabat menelepon saya. Dia mengabarkan dua hal. Pertama, baru saja ia menikah, dan kedua, memutuskan meninggalkan pekerjaan lama sebagai bank berjalan. Rentenir. Ia menjalankan uang milik satu koperasi simpan pinjam di Pasar Parung, Kabupaten Bogor. Sekarang ia membuka usaha sendiri di bidang yang sama, menggandakan uang kepada para pedagang di pasar tradisional dan di sekitarnya.

"Om, bolehkah saya minta bantuan? Saya belum punya KK di Parung, KTP di sini pun nggak ada. Saya butuh sepeda motor supaya pergerakan lebih cepat. Nasabah saya sudah mulai banyak, sampai kewalahan menagih. Selama sebulan ini saya terpaksa jalan kaki. Mumpung belum Lebaran, saya ingin kredit motor, tapi dealer tidak percaya karena nggak punya KK dan KTP. Jadi sebagai jaminan, saya mau minta bantuan om."

Esok paginya, kami bertemu. Sambil menyeruput segelas teh, tamu saya seakan mempresentasikan prospektus usaha rentenir yang dia jalankan. "Dari pengalaman memutar uang, saya berpikir hanya usaha sangat baik. Coba bayangkan, kalau nasabah pinjam 300 ribu, dia hanya dapat 270 ribu. 30 ribu dipotong untuk biaya administrasi dan tabungan koperasi. Lalu saya akan tagihan setiap hari, dan harus lunas dalam 30 hari menjadi 360 ribu. Saya dapat 90 ribu. Berarti bunganya 30 persen dalam sebulan," kata dia.

Batin saya geram. "Kok masih ada biaya administrasi untuk koperasi? Lho, katanya usaha sendiri, bukan koperasi?" Ia menjawab, "Yah, ini sekadar mengikuti permainan pasar. Saya bisa saja memberi dana bulat, tanpa dipotong, tapi kalau ketahuan koperasi lain, saya akan dihabisi. Itu sudah mekanisme pasar." "Mekanisme pasar?" kataku sembari terangguk-angguk, lalu beranjak ke dealer motor. Dia memilih motor bebek warna hitam, dan besoknya endrayen.

Saya seketika teringat protes para ulama yang diwadahi MUI Cianjur, sehingga memutuskan fatwa haram pada rentenir sehingga masyarakat dilarang meminjami uang. Di sisi lain, saya coba membolak-balik pikiran sembari mencari tahu jawaban mengapa begitu. Adakah andil tingginya suku bunga yang disertai sulitnya prosedur mengakses kredit perbankan?

Pertanyaan lainnya, mengapa seorang Muhammad Yunus sukses menghadirkan bank untuk para kaum papadi Bangladesh. Grameen Bank yang dirintisnya tahun 1976 berhasil mengantarkan Yunus meraih Nobel Perdamaian 30 tahun kemudian.

Jika nasihat "jangan melawan arus" yang berseliweran mengintimidasi kita, M Yunus dari negeri seberang, dan Hosman Hutabalian dari Siborongborong, Sumatera Utara seakan tidak peduli dengan itu. Mereka melawan arus global, saat lembaga keuangan hanya mau mengucurkan kredit kepada nasabah yang bankabel, yakni bonafide, asset, dan casflow lancar.

Yunus mengucurkan kredit pada rakyat miskin, sehingga dia disebut banker of the poor. Ada pun Hutabalian mengelola Koperasi Credit Union Satolop kepada para petani bermodal cekak. Bermodal kepercayaan Koperasi Natolop beroperasi 31 tahun. Kini memutar dana total 15 miliar lebih pada 4.700 anggota dengan beban bunga hanya 3 persen, hanya sepertujuh bunga bank.

Andai industri perbankan mengubah paradigma, membuat program melawan arus, tentu saja para nasabah disenangkan. Andai beban kredit ringan, prosedur serta syarat meminjam dipermudah, tentu nasabah tak perlu ulama turun tangan membasmi rentenir. Sebab sesuai hukum pasar, dia akan bangkrut dengan sendirinya karena tidak laku.

Baru-baru ini satu bank nasional, yakni PT (Persero) Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk melakukan langkah strategis, privatisasi. Bank BUMN ini melakukan secondary offering disusul right issue ke lantai bursa dengan total 3,9 miliar lembar saham dan meraup dana lebih 8,1 triliun.

Selain menutupi utang jangka pendek, dana itu sangat berati bagi usahawan kecil dan menengah di pasar-pasar tradisional dan pedesaan. BNI punya peluang mengisi pasar ini, sebab BRI sudah mulai meninggalkannya dan menggarap segmen konsumer perkotaan. Jika BNI masuk, maka Danamon mempunyai mitra untuk meraup untung melalui fitur Dana Simpan Pinjamnya di pasar-pasar.

Sekali lagi melawan arus. Bank umum mesti berani beda. Mumpu bank-bank asing belum merambah ke desa-desa, iilah saatnya bank BUMN segera bergiat diri. Memang berisiko. Namun jika framenya selalu mendahulukan nasabah corporat dengan plafon kredit triliunan rupiah dan dalam tenor pendek, celakalah usahawan kecil. Padahal semua tahu, UKM lah sektor usaha yang terbukti kebal dihajar krismon.

Dan kalau pelaku usaha UKM membandal, kreditnya macet, rasanya mereka tidak akan punya dana kabur ke lura negeri apalagi bersembunyi di negara lain, beralih kewarganegaraan seperti dilakukan para debitor BLBI yang bandel. Lagi pula, dana untuk seorang debitor kakap bisa disebar ke 1.000 UKM. Andai 10 persen yang gagal (dua kali lipat dari batas normal NPL)

sesuai, masih ada 900 pengusaha yang sukses ganda: sukses menciptakan lowongan kerja, dan sukses pula mengembalikan pinjaman ke bank. Semoga perbankan berani melawan arus, beralih memberi kredit kepada nasabah miskin dan UKM. (*) Sorot Tribun Jabar, 20/09/2007

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 18 September 2007



Foto/Blog-Blontank

PBB: Soeharto Pencuri (3)
* Menguras 15-35 Miliar Kekayaan Negara
* Nomor Urut Satu di Dunia

Tidak Terkait Kekalahan Times
DIREKTUR Transparansi Indonesia dan sekaligus kuasa hukum majalah Time Edisi Asia Todung Mulya Lubis membantah berada di balik laporan PBB dan Bank Dunia yang menyebutkan mantan Presiden Soeharto berada di urutan teratas daftar pemimpin politik dunia yang mencuri kekayaan negara dalam jumlah besar.

Menurut Todung, kalaupun ada kesamaan antara yang ditulis majalah Time beberapa waktu lalu dengan hasil laporan Bank Dunia, itu memang kenyataannya seperti itu. Dunia sudah mengakui adanya hal itu. Dan apa yang ditulis oleh majalah Time bukanlah mengada-ada. Tapi merupakan hasil investigasi.

"Sebenarnya hasil yang launching Bank Dunia ini tidak mengagetkan. Itu sudah lumrah. Sebab sebelumnya beberapa media masa sudah menuliskan dugaan seperti itu. Hanya tidak sistematis dan sifatnya sepotong-sepotong," jelas Todung.

Todung menjelaskan, apa yang dikeluarkan Bank Dunia tersebut tidak ada kaitannya dengan kekalahan majalah Time di tingkat Kasasi dalam kasus gugatan melawan mantan Presiden Soeharto. Time yang dijatuhi vonis membayar denda Rp 1 triliun itu tidak bisa mempengaruhi Bank Dunia.

"Ini tidak ada kaitannya. Yang diloucing itu bukan hanya Indonesia saja. Tapi pemimpin- pemimpin politik dan penguasa di seluruh dunia. Hanya kebetulan saja Pak Harto masuk di dalamnya dan berada diurutan teratas pemimpin politik yang mengambil harta kekayaan negara dalam jumlah besar," ujarnya.

Menurut Todung, laporan Bank Dunia itu dilouncing karena menemukan banyak simpanan uang dan aset yang diduga hasil merampas kekeyaan negara hilang. Tren itu terjadi di banyak negara. Padahal kalau uang dan aset tersebut bisa diambil kembali oleh negara dapat menyejahterakan rakyat miskin di negara-negara tersebut.

"Yang terjadi bukan hanya di Indonesia. Banyak negara didunia yang dikuasai oleh militer terjadi seperti itu. Jadi laporan itu bukan hanya untuk Indonesia, tapi untuk dunia," tandasnya.
Todung menyambut gembira adanya laporan Bank Dunia ini. Ia berharap laporan yang dikeluarkan Bank Dunia ini akan menguatkan data-data temuan majalah Time. Pihaknya akan segera mencari laporan lengkapnya.

"Kami sudah kontak untuk meminta laporan secara lengkap. Mungkin besok kami sudah mendapatkannya. Kami akan mempelajarinya. Tidak menutup kemungkinan data temuan Bank Dunia ini akan kami pakai sebagai bahan pendukung majalah Time untuk melakukan proses hukum berikutnya," jelas Todung. (Persda Network/ugi)

[+/-] Selengkapnya...


Foto/PERSDA NETWORK/ISMANTO

PBB: Soeharto Pencuri (2)
* Menguras 15-35 Miliar Kekayaan Negara
* Nomor Urut Satu di Dunia

Kembalikan kepada Negara
PRESIDEN Bank Dunia Robert B Zoellick mengungkapkan bahwa StAR Inisiative dapat membantu memperkuat kemampuan tim nasional suatu negara untuk mengembalikan harta yang dicuri bekas pemimpinnya.

Untuk itu, ujar Zoellick, diperlukan antara lain dukungan perundang undangan di negara yang bersangkutan, pelatihan dan peningkatan kemampuan bagi pihak pihak terkait di bidang hukum serta kerjasama antar negara dalam mengumpulkan kembali kekayaan yang diparkir di suatu negara tertentu.

Berkaitan dengan itu, Direktur UNODC Antonio Maria Costa mengatakan, pengembalian kekayaan yang diparkir di luar negeri juga akan memerlukan perjanjian ekstradisi antara negara-negara yang bersangkutan.

Selain Soeharto, pemimpin politik dunia lainnya yang diperkirakan mencuri kekayaan negara adalah Ferdinand Marcos dari Filipina (1972-1986) dengan 5 hingga 10 miliar dolar AS; Mobutu Sese Seko dari Zaire (1965-1997) dengan lima miliar dolar AS; Sani Abacha dari Nigeria (1993-1998) dengan 2-5 miliar dolar AS serta Slobodan Milosevic dari Serbia/Yugoslavia (1989-2000) dengan satu miliar dolar AS.

Di bawah mereka, terdapat nama Jean Claude Duvalier dari Haiti (1971-1986) yang diperkirakan mencuri 300 800 juta dolar AS; Alberto Fujimori dari Peru (1990-2000) dengan 600 juta dolar AS, Pavio Lazarenko dari Ukraina (1996-1997) dengan 114 hingga 200 juta dolar AS; Arnoldo Aleman dari Nikaragua (1997-2002) dengan 100 juta dolar AS dan Joseph Estrada dari Filipina (1998-2001) dengan 70 hingga 80 juta dolar AS.

Daftar Perkiraan Dana yang Kemungkinan Dicuri dari sembilan Negara disiapkan oleh Transparency Internasional (TI) dan Bank Dunia.

Namun menurut TI, pemimpin dunia yang tercantum dalam daftar tersebut tidak berarti menjadi sembilan pimpinan dunia terkorup.

TI juga mengungkapkan bahwa sumber sumber yang dijadikan bahan untuk membuat daftar tersebut didapat melalui informasi dari berbagai media massa.

Satu satunya informasi yang didapatkan secara resmi dari sumber suatu negara adalah dari Peru, yaitu berkaitan dengan kemungkinan keterlibatan Alberto Fujimori dalam menghilangkan kekayaan negara tersebut.

Menurut catatan PBB Bank Dunia, Filipina akhirnya memperoleh kembali 624 juta dolar dari uang yang diparkir Ferdinand Marcos di Swiss. Antara Agustus 2001 2004, Peru dapat memperoleh kembali sekitar 180 juta dolar yang dicuri oleh Vladimiro Montesinos dari beberapa tempat, seperti Swiss, Cayman Islands dan Amerika Serikat.

Nigeria antara September 2005 dan awal tahun 2006 berhasil mengumpulkan kembali 505 juta dolar AS dari Sani Abacha, yang kekayaannya dibekukan oleh pihak berwenang Swiss.

Juli 2006, pihak berwenang Inggris mengembalikan 1.9 juta dolar AS yang dicurigai sebagai aset yang dikumpulkan secara ilegal oleh Diepreye Alamieyeseigha, Gubernur Bayelsa, negara bagian di Nigeria yang dikenal kaya akan minyak.

Namun PBB Bank Dunia mengingatkan bahwa pengembalian aset negara yang dicuri akan sangat memakan waktu, memerlukan kredibilitas dan upaya yang berkelanjutan serta keinginan politik yang kuat dari suatu negara. (ant)

[+/-] Selengkapnya...





PBB: Soeharto Pencuri A (1)



* Menguras 15-35 Miliar Kekayaan Negara
* Nomor Urut Satu di Dunia

Daftar 10 Pencuri Kekayaan Negara
No Urut Nama Masa Memimpin Kerugian Negara
1. Soeharto (Indonesia) 1967-1998 15-35 miliar dolar AS
2. Ferdinand Marcos (Filipina) 1972-1986 5-10 miliar dolar AS
3. Mobutu Sese Seko (Zaire) 1965-1997 5 miliar dolar AS
4. Sani Abacha (Nigeria) 1993-1998 2-5 miliar dolar AS
5. Slobodan Milosevic (Serbia/Yugoslavia) 1989-2000 1 miliar dolar AS
6. Jean Claude Duvalier (Haiti) 1971-1986 300-800 juta dolar AS
7. Alberto Fujimori (Peru) 1990-2000 600 juta dolar AS
8. Pavio Lazarenko (Ukraina) 1996 1997 114- 200 juta dolar S
9. Arnoldo Aleman (Nikaragua) 1997-2002 100 juta dolar AS
10.Joseph Estrada (Filipina) 1998-2001 70- 80 juta dolar AS


New York,
Mantan Presiden Soeharto kembali menjadi perhatian dunia. Bekas penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu menyandang predikat sebagai pemimpin politik dunia yang diperkirakan mencuri kekayaan negara dalam jumlah berkisar 15 miliar dolar hingga 35 miliar dolar AS. Tidak tanggung-tanggung, Soeharto menempati urutan pertama dari sembilan daftar mantan kepala negara berpengaruh di dunia.

Daftar ini tercantum dalam buku panduan yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Bank Dunia bersamaan dengan peluncuran Prakarsa Penemuan Kembali Kekayaan Yang Dicuri (Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative di Markas Besar PBB, New York, Selasa (18/9) WIB.

Peluncuran prakarsa dihadiri Sekjen PBB Ban Ki-moon, Presiden Bank Dunia Robert B Zoellick, dan Direktur Kantor PBB untuk Masalah Obat-obatan Terlarang dan Kejahatan (UNODC) Antonio Maria Costa. Turut hadir para pejabat tinggi sejumlah negara anggota PBB, termasuk Deputi Wakil Tetap RI untuk PBB Adiyatwidi Adiwoso, dan Direktur Perjanjian Internasional Deplu RI Arif Havas Oegroseno.

Daftar tersebut mencantumkan Mohamad Soeharto (1967 1998) pada urutan teratas tabel "Perkiraan Dana yang Kemungkinan Dicuri dari sembilan Negara', dengan kekayaan yang diperkirakan dicuri Soeharto berjumlah 15 miliar dolar hingga 35 miliar dolar AS.
Temuan PBB Bank Dunia itu menyebutkan perkiraan total PDB Indonesia setiap tahunnya pada rezim Soeharto 1970-1998 sebesar 86,6 miliar dolar AS. Indonesia, seperti yang diungkapkan Arif Havas Oegroseno, akan mengajukan permintaan bantuan kepada StAR Initiative untuk berusaha mengembalikan kekayaan negara yang diperkirakan dicuri Soeharto.


Menurut rencana, Havas, bertemu dengan pihak Bank Dunia di Washington DC untuk membahas rencana Indonesia tersebut, Jumat (21/9). Pembahasan di Washington nanti, kata Havas yang ditemui sebelum peluncuran StAR Initiative, akan berkisar kepada penaksiran kemungkinan mengumpulkan kembali kekayaan yang diperkirakan dicuri Soeharto serta langkah langkah apa saja yang akan dilakukan setelah itu.

Dengan demikian, saat ini belum diketahui di mana saja kekayaan yang diperkirakan dicuri Soeharto tersebar dan dapat dikumpulkan kembali.

Muhammad Assegaf, kuasa hukum Soeharto, mengungkapkan kekagetannya atas pengumuman itu badan dunia terhadap kejahatan yang dilakukan mantan presiden Soeharto. "Wah, itu suatu hal yang sangat aneh. Sangat aneh buat saya, kalau satu institusi semacam PBB mengurusi hal- hal harga kekayaan negara semacam ini. Biasanya PBB bisanya konsen dan cepat bereaksi kalau ada menyangkut hak asasi manusia dan penyiksaan," ujar Assegaf ketika dihubungi Persda Network di Jakarta, Selasa (18/9).

"Saya merasa kaget. Tidak bisaanya PBB mengrurusi hal-hal seperti ini. Kecuali masalah- masalah HAM biasanya PBB sangat konsen. Tapi kalau terkait kekayaan negara semacam ini, saya tidak pernah mendengar PBB mengurusinya," kata Assegaf.

EKSEKUSI
M Assegaf justru menaruh curiga, karena ada keterkaitan organisasi antikorupsi internasional, yakni Transparansi Internasional di sana. Di Indonesia, TI dipimpin pengacara Todung Mulya Lubis yang juga kuasa hukum majalah Times saat perkara melawan Soeharto. Pekan lalu, vonis perkara kasasi MA, Times dikalahkan, berbeda dari dua vonis di dua tingkatan pengadilan yang lebih rendah sebelumnya.

"Komentar saya apakah, tidak ada kaitannya ini dengan kekalahan Times di Pengadilan kemarin. Kalau orang menduga ke situ sangat beralasan. Kenapa, karena timingnya bersamaan dengan kekalahan Times, apalagi Todung menjadi pengacara Times dan kebetulan Todung juga koordinator TII di Indoneisia," ucapnya

Apakah Soeharto pernah mengemukakan punya harta yang disimpan di luar negeri, atau dialihkan kepada orang lain? Kami tidak pernah mendengar. Sejak awal kami menolak karena tidak bisa dibuktikan. Tapi dari kasus Times saja, justru karena Times tidak dapat membuktikan ada harta atau simpanan Soharto yang ditaruh di luar negeri, sehingga Pak Harto mengalahkan Times. Saya tidak yakin dengan temuan itu, karena ini harus iduji kebenarannya karena dari dulu terus-menerus dikembangkan, dan lebih aneh karena badan dunia yang mengumumkan," katanya sembari mengatakan agar putusan kasasi MA segera dieksekusi jaksa.

Apakah klien anda berencana mengugat PBB, Bank Dunia dan pihak-pihak yeng menyebut pak Harto mencuri kekayaan negara? "Kami belum bersikap, kami akan meeting dulu, karena baru tahu dari anda. Kami akan tunggu dulu perkembangan, termasuk dari pemberitaan media," ujar Assegaf.

Direktur Transparansi Indonesia, Todung Mulya Lubis membantah berada di balik laporan PBB dan Bank Dunia yang menyebutkan mantan Presiden Soeharto berada di urutan teratas daftar pemimpin politik dunia yang mencuri kekayaan negara. Dia mengatakan pengumuman itu tidak terkait dengan kekalahan majalah Times Edisi Asia atas berita Soeharto Inc pada peradilan kasasi MA.

Todung menjelaskan, apa yang dikeluarkan Bank Dunia tersebut tidak ada kaitannya dengan kekalahan majalah Time di tingkat Kasasi dalam kasus gugatan melawan mantan Presiden Soeharto. Time yang dijatuhi vonis membayar denda Rp 1 triliun itu tidak bisa mempengaruhi Bank Dunia.

"Ini tidak ada kaitannya. Yang dilanching itu bukan hanya Indonesia. Tapi pemimpin-pemimpin politik dan penguasa di seluruh dunia. Hanya kebetulan Pak Harto masuk di dalamnya, dan berada di urutan teratas pemimpin politik yang mengambil harta kekayaan negara dalam jumlah besar," ujarnya.

Dihubungi terpisah Juru Bicara Kepresidenan, Andi Mallarangeng mengatakan belum membaca informasi tentang pengumuman PBB dan Bank Dunia. "Jadi saya belum bisa kasih banyak komentar. Tapi yang jelas bahwa sudah ada menjadi komitmen Presiden untuk memberantas korupsi dan kemudian juga mengejar pelaku-pelaku korupsi," kata Andi.

Menurut dia, andai ada kekayaan negara yang disimpan di luar negeri oleh siapa pun, pemerintah akan terus berjuang mengembalikannnya kepada negara. "Kita tengah berusaha untuk menggalang kerjasama ekstradisi dengan berbagai negara, termasuk Singapura, Cina, Kanada, Malaysia, Australia dan Swiss. Ini sebagai upaya agar kekayaan negara yang disimpan di luar Indonesia dapat kembali. Langkah tersebut dilakukan secara bilateral dan multilateral," ujarnya. (Persda Network/ade/amb/ugi/ant)

[+/-] Selengkapnya...



Berkelit

SELASA pagi, saya menunggang si ramping irit, Supra Fit menuju kantor. Saban hari, Pondok Tirta - Palmerah, pulang pergi kurang lebih 72 kilometer. Pagi menyusuri Jalan Tole Iskandar Depok, Simpangan, Jalan Raya Bogor lurus ke Cililitan, UKI, belok kiri ke Cawang, Gatot Soebroto, memutari gedung DPR/MPR, tembus Pasar Palmerah. Rute malam, Palmerah ke Pancoran, belok kanan babalas terus ke Pasar Minggu, UI, Margonda, Tole Iskandar menuju Simpangan.

Rute malam dan pagi berbeda dengan pertimbangan efisiensi. Dari segi jarak sih, Depok - Pasar Minggu - Pancoran - Palemerah lebih dekat, tapi kalau pagi, macetnya ya ampeuuuuuuun, nggak tahan. Kawasan Lenteng Agung sampai Pancoran nyaris tak bisa bergerak.

Dalam hati kadang kala saya angkat topi buat para kaum beruang eh berduit yang sabar, mempu mengendalikan emosi, berlama-lama terjebak dalam kemacetan di balik kemudi. Jangankan rodak empat, kendaraan roda dua saja sulit melintas, sehebat apapun penungganggnya bermanuver, sulit menerobos sempitnya celah-celah antarmobil atau sepeda motor.


Rute via Cililitan baru saya tempuh dalam tiga bulan ke belakang. Tadinya saya, coba banding- bandingkan, jaraknya memang berbeda, lebih panjang sekitar kurang lebih kilometer. Hitung- hitung kalau sepuluh kali saya dari rute ini, akan lebih boros sekitar satu liter Pertamax. Harganya lumayan, Rp 6.400.

Akhirnya saya harus memilih, pertimbangan tingkat keekonomian atau ketertekanan emosi (stress) menghadapi kemacetan. Mengutip satu saran Stephen R Covey dalam Tujuh Kebiasaan Manusia yang Paling Efektif, saya harus mendahulukan yang harus didahulukan. Membuat prioritas. Pilihan jatuh pada menjaga kestabilan emosi, sehingga sesampainya di kantor, energi boleh terkuras, tapi stamina otak alias konsentrasi masih tersisa.

Pilihan harus saya putuskan, lebih boros pada biaya bahan bakar. Namun ada siasat lainnya, tadinya selalu meminumi si Supra dengan BBM beroktan tinggi, belakangan saya alihkan dengan jenis yang lebih rendah kualitas, premium. Utak-atik kalkulator menunjukkan angka mengirit Rp 39 ribu dalam sebulan.

Hitung-hitungan seperti ini memang pilihan sadar, mau tidak mau, harus saya lakukan mengingat program pengetatan ikat pinggang setidaknya untuk tiga tahun ke depan buat keluarga saya. Juga antisipasi terhada tanda-tanda zaman edan yang semakin edan, ekonomi global kian guncang, dan siapa tahu betul, warning tante Sri Mulyani betul kalau Indonesia akan disegrap krismon jilid dua.

***
TADI pagi, seperti biasa, saya senantiasi bersenandung setidaknya bersiul mendendangkan lagu entah apapun sekadar menghilangkan stress atas kesemrawutan jalanan ibu kota. Pengendara yang satu dengan yang lain saling salib, dahulu-mendahului.

Di Simpang Lima Cililitan, persis di lampu merah dekat terminal Cililitan yang kini disulap menjadi perbelanjaan megah Pusat Grosir Cililitan, saya mengerem di deretan ketiga dari sepeda motor yang duluan dihentikan lampu merah. Sekitar dua menit toleh kanan kiri, lampu hijau menyala. Saya perlahan, tidak seperti kawan-kawan pemilik dua tak dengan gas kontannya, melaju ke utara, arah UKI.

Sekelebat, saya menaruh curiga, ada apakah itu? Pikir saya. Ularkah atau benda apa? Dasar mata sudah minus. Lalu saya picingkan intipan lewat bantuan satu-satunya kaca mata saya yang sudah berusia delapan tahun, di depan ada seekor kadal. Dia berlari nyaris mendahului pada pembalap jalanan, curi start, saat lampu merah baru menyala. Dia berlari sejadi-jadinya, searah dengan makhluh termulia di dunia.

Terbayang olehnya, seekor binatang reptil, berekor panjang dan berlari seperti seekor dinosaurus perusak dalam Durasik Park. Dia menggok kanan dan kiri sambil terus belari ke arah Tanjungpriok. Satu, dua, tiga, empat, hingga belasan sepeda motor melaju dengan raungan kanlpot yang memekik, sang kadal selamat dari gilasan ban motor.

Punya pikiran kah dia menghindari petaka? Ataukah sensor, ataukah spion? Ah tidak. Tapi kok pintar berkelit, menyelamatkan diri dari desi mesin-mesin yang melaju. Yah, dia memang pintar bermanuver, untuk kelasnya, sang kadal melebihi lihainya pengendara motor.

Giliran saya, sedikit saya perlambat dengan harapan agar hak sidup sang kadal terjamin. Kalaupun ternyata takdir dia berkata lain, setidaknya bukan ban Supra saya yang melindas. Sampai saya lewat, dia masih selamat, menepi ke arah kiri jalan. Entahlah nasib dia di belakang saya. Memang sulit rasanya sang kadal selamat dari pijakan ban mobil yang sangat banyak mengantre di belakang.

***
SAYA segera tersadar dari lamunan atau bayangan akan nasib sang kadal. Senandung siul pun berhenti. Saat tersendat oleh kemacetan yang disebabkan ulah sopir angkor yang berhenti sesukanya di badan jalan, serta marka jalan pembatas jalur TransJakarta (Busway), saya segera menyimak suara ngebas penyiar radio Elshinta pada telinga kiri. Satu earphone memang tak pernah lepas dari radio pada MP3, sekalipun dalam perjalanan.

Sang penyiar menginformasikan, mantan Ketua Umum Koperasi Dagang Indonesia Nurdin Halid telah diringkus aparat Kejagung di Menteng. Ah, gombal pikir saya. Sebab tadi malam, Acok, reporter Persda Network berhasil wawancara by phone panjang lebar dengan Nurdin, terkait status napi yang dikenakan MA atas perkara kasasi dari vonis bebas murni kendati dituntut 20 tahun tuntutan. Nurdin terpidana atas dugaan korupsi Rp 169,7 dana distribusi minyak goreng Bulog.

Pemreintah kembali tebar pesona, pikir saya sekali lagi. MA sengaja meluncurkan kasus ini, karena dimaki dalam vonis Time yang dimenangkan dinasti Cendana, yang dimpimpin Raja Soeharto. Kejaksaan pun tebar pesona sebab sehari sebelumnya, Nurdin yang masih menjabat Ketua Umum PSSI dan baru sepekan diangkat menjadi Anggota DPR, pengganti antarwaktau Andi Matalatta (politisi Partai Golar) yang jadi Menteri, juga dapat ditelepon Acok.

Sambil berlalu, saya tersungging. Bak kadal yang lihai berkelit, kayaknya Nurdin pun seperti pendekar silat yang cekatan menangkis 'pukulan' aparat hukum. Dia terus dan terus mencari celah. Seperti sang kadal yang entah terlindas kemudian, Nurdin pun mampu mengelabui penyidik kejaksaan, setidaknya sampai dia membuat adrenalin Hendarman Supandji memuncak. Entahlah SBY dan JK?

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 17 September 2007


Demi kalianlah buahhatiku, cucuran keringat dan darah ini


Silentium Magnum

"Diam itu emas." Lalu, "Lebih baik salah daripada tidak berbuat apa-apa." Dua adagium kontradiktif. Nasihat pertama sering kali saya dengar dari Ny Gultom, guru kelas saya ketika masih duduk di bangku kelas II SD yang terletak di dataran tinggi, deretan Bukit Barisan. Bangunan SD kami terletak tengah hijaunya dedaunan teh PTPN IV Bahbutong, Simalungun, Sumut. SDN Hutaurung, Panombean, Tiga Balata.

Lingkungan sekolah yang sangat heterogen. Suku Batak dan Jawa sama-sama dominan. Di sana lah saya mengalami inkulturasi, berbahasa Jawa abangan. Bahasa Jawatimuran, bukan kromo inggil. "Mas, arep nandi?" "Siopo jenengmu?" "Iki piro hargane?" Itulah beberapa penggal kata yang pertama-tama saya dengar, lalu hapal secara otomatis perlahan-lahan.

Dialeg halusnya kira-kira berturut-turut mengikuti kutipan di atas. "Tindak pundi mas?" "Mas, badhe tindak pundi?" "Sinten asmane?" "Niki pinten reginipun?" Kosa kata yang saya dapat dari hasil pembauran multikultur.

Bahasa Jawa kromo inggil-nya, perlahan saya dapatkan di Ungaran dan Ambarawa, Jateng, 15 tahun lalau, tahun 1992. Saya sering dan bahkan tinggal beberapa bulan di Jateng ikut kakak angkat, Mas Pur, mantan penyiar Sonora Jakarta. Saya tinggal di kontrakan mas Pur selama enam bulan, ketika semester terakhir dari satu tahun saya 'mencuri, ilmu di Jurusan Akuntansi, Fakulata Ekonomi, Universitas Borobudur. Mencuri, karena saya kabur ke Banjarmasin begitu lolos UMPTN padahal uang cicilan semesteran belum beres.


Sepatah dua kata pula saya dapatkan dari mas Rochim, mas Widjanarko, dan kawan-kawna dari Jawa Tengah ketika sama-sama masak 'jangan' di kos-kosan Haji Barlian, Kayu Tangi, Banjarmasin setahun berikutnya.

Kembali ke laptop, eh ke pepatah pembuka di atas. Bingungkah mendapat dua perintah berbeda? Sekilas yah. Namun deskripsi kondisi di atas tentu berbeda, dan kiranya dapat menjernihkan anekdot tadi.

Bu Guru Gultom memang terkenal tegas, dan 'killer'. Bu guru bahkan tidak segan-segan melibaskan lidi ke betis murid, atau memukulkan balok penghapus papan tulis kepada ujung jari- kuku. Bu Guru yang selalu naik pitam jika kami murid-muridnya ribut, seperti pedagang rombeng di pasar loak. Menghardik sambil menyuruh diam. Sesekali dia mengutip nasihat di atas, "Diam itu emas"

Sebelas hingga dua belas tahun menyusul, kebalaikannya sering saya dengar. Ketika kuliah mata kuliah manajemen sumber daya manusia, manajemen produksi, atau perilaku organisasi kata-kata pelecut semangat berikut kerap terlontar dari dosen.

Kata-kata mengandung motivasi agar bawahan/karyawan memiliki inovasi-inisiatif dan tidak berpangku tangan berkali-kali disampaikan pakar marketing dalam seminar-seminar buat para marketer. "Lebih baik salah daripada tidak berbuat apa-apa".

Bahkan diikuti motivasi yang lebih dahsyat untuk level pemimpin perusahaan. Seorang pemimpin bisnis yang sukses adalah yang berhasil menggerakkan segala sumber daya yang ada (faktor produksi: man, machine, money, method) menuju pertumbuhan perusahaan secara kontinyu dari waktu-ke waktu. Kalau tahun 2006, koran A sukses tumbuh secara oplah dan renenue 10 persen, tahun 2007 tumbuh 20 persen, maka tahun 2008 harus tumbuh 30 persen.

Untuk ukuran kaum bisnis tradisional, tentu tren itu sudah mantap, luar biasa. Namun belakangan, tidak cukup di situ. Ada teori menyebut, pimpinan harus memantau pesaing. Mengapa? Jawabannya, kalau tingkat pertumbuhan kompetitor ternyata tumbuh lebih pesat, pertumbuhan kita tadi belum seberapa.

Meminjam istilah fisika, kedua perusahaan dapat dihitung kecepatan dan percepatannya, maka pada titik tertentu akan terjadi tubrukan. Lalu siapa yang kemudian melaju dengan cepat dapat diketahui, syukur-syukur ia tidak menggulung pesaing yang konvensional. Praktik inilah yang belakangan memusingkan para manajer atau eksekutif muda di berabgai kota. Apakah semanagt Anda terlecut, atau justru kecut dan jadi pengecut?

Silentium Magnum

Di tengah pekerjaan yang boleh dibilang sibuk ya sibuk, santai yan memang santai, saya akhir pekan lalu diingatkan seorang sahabat dari Kupang melalui YM. Sesibuk apapun kata mungkin bermaksud sharing entah syiar, entahlah, saya mabil positifnya saja, cobalah berdiam sekejap. Tidak mengganggu pekerjaan kok. Cukup lima menit.

Duduk di kursi kerja, atau keliling-keliling kantor sambil merokok juga boleh. Intinya heningkan batin, pikiran dan ingatlah hal-hal yang patut kamu syukuri hari ini juga. hal-hal menggembirakan, bukan sebaliknya. Lalu camkan dalam batin, ucap syukur sambil menikmati kemurahan Tuhan. Mau diikuti ritual dalam hati juga boleh.

"Ini yang saya terapkan dalam bebrapa bulan ke belakang. Intinya ini silentium magnum. Keheningan batin penuh," ujarnya. Dengan praktik silentium magnum, mudah-mudahan kita akan jauh dari stres karena target-target pekerjaan. "Semoga. Saya akan coba ikuti," sahut saya. Untuk permenungan ini, saya memilih nasihat Bu Guru Gultom, "Diam itu emas!"

[+/-] Selengkapnya...



Selamat Berpuasa

MINGGU adalah hari libur ku dari kerja. Ya, libur sehari dalam sepekan. Lazimnya, saya menghabiskan waktu bersama dua putri, Uli dan Dorthy beserta ibunya seharian di rumah 'induk semang'. Sudah empat bulan kami menumpang di kediaman mertua di Depok. Tahun ini memang zaman mengencangkan ikat pinggang' bagi kami. Kami biasanya bercanda gurau di pondok mertua indah alias rumah mertua seharian. Jarang shopping, bertamasya, apalagi melancong ke luar negeri tentu tidak ada dalam benak ini.

Pekan lalu, Minggu (9/9), kembali ke rumah menjelang sore. Sudah tiga pekan terakhir seperti itu. Kaus biru --yang biasa saya pakai saat main bola, celana pendek, badan kotor, bau keringat, dan tangan berlumur semen. Kepala berselubung topi bundar hitam yang saya beli dari Jalan Malabar Bandung, dua tahun lalu. Mau apek pokoknya.

Saya menumpang Supra Fit jagoanku. Tiba dari belakang rumah mertua, sisi kiri, saya berpapasan dengan mertua laki (batak: amang simatua doli). Saya heran, sedikit terperangah, karena menemui mertua berikut mobil Zabra butut di samping rumah. "Apakah nggak jadi ke Sukabumi, Amang?" tanyaku. "Nggak jadi," jawab mertua singkat namun tetap ramah.

Hati saya seketika berkecamuk. Haru campur merasa bersalah. Ada dua penyebab. Minggu pagi itu kami absen memuji Tuhan, tidak mengikuti kebaktian di gereja, suatu kelaziman. Biasanya saya dan istri dan Dorthy, si bungsu, misa di Gereja Katolik Santo Markus Depok. Adapun Uli, si sulung, ikut oppungnya ke HKBP, yang lokasinya berhadap-hadapan, hanya berjarak sekitar 15 meter dengan tempat kami.

Kegundahan kedua, sedari bangun, istri sudah menginformasikan menjelang siang, kami sekeluarga akan beranjangsana ke Sukabumi. Sekembali membelikan Dephacene, obat sirup dwimingguan buat Uli, istri kembali mengingatkan. Kali ini malah mengajak. "Pah, nanti kita ke Sukabumi ya. Ke tempat Tulang, ini kan mau ramadan. Sudah bisaya begitu, setiap mau puasa mama dan bapak pergi ke rumah Tulang, silaturahmi." "Huuu," jawab saya sekenanya.

Saat sata bersiap-siap, mempersiapkan peralatan 'termpur', seperti palu, skop semen, linggis dan air minum, istri mulai bernada mendesak sembari sewot. "Pah," katanya meninggi. "Ayo, kan mau ke Sukabumi. Nggak usah bertukang dulu apa! Mikirin rumah terus. Nanti-nanti kan bisa."Saya menyahut, "Biar cepat selesai, Supaya bisa ditempati. Kan musti saya kerjakan sendiri, tidak ada uang bayar tukang."

Saya lalu pamit kepada ibu mertua perempuan (inang simatua boru) dan mertua laki mengatakan tidak ikut ke Sukabumi. Tangan kanan mengendarai motor, dan tangan kiri memegangi tiga batang balok di bahu kiri.

Rumah mertua di Pondok Tirta Mandala ke Komplek Deppen, Cisalak, berjarak kurang lebih 2,5 km. Di komplek ini kami sedang merampungkan renovasi gubuk derita yang baru dibeli atas dorongan 'kenekatan', dan berkat kebaikan banyak pihak. Saya berkendara dengan tangan satu, sambil memikul beban tanpa istirahat. Pegal juga sih...

Seharian saya menyemen, menguas semen pada batako di ruang belakang, karena kekurangan dana, terpaksa tidak diaci atau diplester. Saya bekerja sampai sore, ditemani Parlin, keponakan yang baru tiba Parung.Juga sempat ditingkahi kesibukan 'boru panggoaran' Uli. Untungnya dia pulang lebih awal bersama oppungnya.

Dua hari berselang, para ulama dan pemuka agama Islam mulai mengintip isbat untuk menentukan awal 1 Ramadhan 1824 Hijriah, saya merasa bersalah sendiri. Hingga saat ini, sengaja belum bertanya kepada istri apa alasannya tidak berangkat ke Sukabumi. Kendati tidak dijawab, mungkin bisa saya raba: mereka batal bersilaturahmi karena saya taidak ikut.

Tapi untung juga tidak berangkat, sebab seharian itu pun, saya bekerja sembari berdoa dalam hati, semoga rombongan keluarga besarku selamat menuju rumah paman, adik dari ibu mertuaku yang mualaf setelah menyunting putri idamannya, generasi Pasundan. Saya takut terjadi sesuatu, apalagi saat kerap terjadi musibah (semoga tidak).

Kiranya angin sepoi-sepoi menyampaikan permohonan maaf saya dan keluarga kepada roh Tulang dan keluarga di Sukabumi. Bukan kecongkakan iman, bukan juga mengingkari perbedaan keyakinan, melainkan karena kecerobohan pertimbangan duniawi.

Sembari memohonkan mohon maaf lahir bathin, dan selamat berpuasa, saya menyadari silaturahmi kekeluargaan harus tetap dibina. Berbuat kepada sesama adalah kasih tak terhingga nilainya. Seperti tubuh jika tanpa roh, tubuh itu adalah mati, demikian juga iman sebesar apa pun kadarnya jika tanpa perbuatan adalah iman yang kosong. Iman tanpa perbuatan adalah iman yang mati. Mari hidupkan iman dengan berbuat. Selamat Menunaikan Ibadah Puasa 1428 H. (*)

[+/-] Selengkapnya...