Kamis, 28 Februari 2008

Terinspirasi Aksi Teror 911

MAS Selamat Kastari, merupakan orang yang paling dicari-cari pemerintah Singapura, lima tahun silam. Maklum, laki-laki kelahiran di Indonesia 23 Januari 1961 namun berkewarganegaraan negeri Singa itu memimpin sayap militer Jemaah Islamiyah (JI), organisasi yang dicap Amerika Serikat dan tentu Singapura selaku sekutu dekatnya.

Saat pemerintah Singapura dan Malaysia bekerjsa sama dalam oeprasi memburu para teroris tahun 2001, pascaserangan di menara kembar WTC, New York, Amerika Serikat, Selamat Kastari berhasil menyeberangi Selat Malaka, dan melarikan diri Indonesia.

Dia lama bersembunyi di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Belakangan media asing menyebut Kastari berencana meniru aksi peledakan WTC 9 September 2001. Kejadian tragis yang lebih terkenal dengan sebutan 911, menewaskan 2.749 korban.

Selamat kastari sempat ditangkap polisi dengan dakwaan pemalsuan dokumen keimigrasian, tahun 2003. Dia memalsukan identitas berupa paspor Indonesia menggunakan samaran Edy Heriyanto. Atas pelanggaran itu, dia diganjar 18 bulan penjara.

Setelah tahu dia diawasi polisi di Kepulauan Riau, Selamat Kastari hidup berpindah-pindah di wilayah Indonesia. Dia lama tinggal di wilayah Jawa Timur. Tiga tahun setelah ditangkap pertama kali, 20 Januari 2006, dia ditangkap lagi si Jawa Timur, ketika mengunjungi anaknya pada satu pondok pesantren di Tuban, Jawa Timur.

Dua pekan kemudaian, dia diekstradisi ke Singapura. Di sana dia meringkuk dua tahun di penjara di pusat penahanan Jalan Withley, Singapura, dan berhasil melarikan diri saat meminta izin ke toilet, Rabu (27/2) sore.

Kastari bersama Hambali alias Ridwan Ishamuddin alias Encep pernah berencana membajak pesawat terbang yang akan digunakan meledakkan Bandara Internasional Changi, Singapura, pada 2002. Hambali kelahiran Cianjur, Jawa Barat yang disebut-sebut sebagai pemimpin Al-Qaidah kawasan Asia Tenggara dan telah ditahan di penjara Guantanamo. (Persda Nework/amb)

[+/-] Selengkapnya...

Soeripto: Tindak Tegas Obligor BLBI

JAKARTA, KAMIS--Nasib dua orang obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) -- Syamsul Nursalim dan Anthony Salim-- akan ditentukan Kejaksaan Agung (Kejagung), Jumat (29/2) besok. Kejagung akan mengeluarkan pengumuman terbuka kepada publik, apakah kasus penyerahan aset pelunasan utang BLBI kedua obligor ditingkatkan ke tahap penyidikan atau tidak.

"Tunggu besok. Jam 10.00 WIB akan saya umumkan hasilnya," ujar Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman, Kamis (28/2). Kemas mengaku dalam pertemuan dengan Jaksa Agung Hendarman Supandji, ia telah menyampaikan hasil penyelidikan dua kasus BLBI.

Sebelumnya, penyelidikan kasus BLBI dibuka 22 Juli 2007, bertepatan dengan Hari Adhyaksa (Kejaksaan). Untuk menyelidiki dan membongkar kasus itu, Hendarman merekrut 35 jaksa andal dari seluruh Indonesia. Target tiga bulan pertama ternyata tak tercapai. Karena itu harus diperpanjang selama dua bulan.

Akhir tahun 2007, ternyata tidak tuntas juga. Kemas meminta waktu lagi selama dua bulan lagi. Lalu apa hasilnya? Masih rahasia. Tapi yang pasti, Kejaksaan Agung akan blak-blakan mengumuman hasil penyelidikannya kepada publik. Kemungkinannya (alternatif satu), hasil penyelidikan diketemukan bukti tindak pidana sehingga akan ditingkatkan ke tahap penyidikan.

Alternatif kedua, kerugian negara diketemukan, akan tetapi tidak ada perbuatan melawan hukum. Jika skenario dua itu benar, maka kasus tersebut akan dilimpahkan ke Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) untuk dilakukan gugatan perdata. Sedangkan alternatif ketiga, tidak diketemukan kerugian negara maupun perbuatan melawan hukum. Bila skenario ketiga itu benar, maka kasus tersebut akan dihentikan penyelidikannya.

Anggota DPR RI dari PKS Soeripto hanya berharap kejaksaan mau bersikap keras yaitu menindak tegas para obligor. "Harapan saya, tindak saja semua obligor BLBI supaya mereka yang diperiksa dapat dijerat. Tidak ada alasan bahwa bukti-bukti tidak ada, cukup kuat bukti untuk diusut," kata Soeripto kepada Persda Network, Kamis.

Mantan Direktur Badan Koordinator Intelijen Negara (sekarang BIN) itu mengaku, mendengar adanya informasi yang menyebutkan bahwa berkas-berkas yang terkait Anthony Salim sangat minim. "Kalau tidak salah, berkas-berkas itu terbakar ketika kantor BI terbakar beberapa tahun lalu. Tapi itu tidak berarti bukti-bukti tidak kuat. Mengapa? Karena hasil audit BPK sudah cukup, ditambah lagi dengan hasil tim hukum dari Departemen Keuangan yang menyebut semua obligor itu bermasalah," kata Soeripto.

Dia mengaku tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan ada obligor yang kooperatif, dan ada juga yang tidak kooperatif. "Kalau dalam perkembangannya, seakan-seakan ada yang kooperatif dan ada juga yang sebaliknya. Saya tidak setuju," katanya.

Dengan audit BPK dan hasil kajian tim ahli hukum Depkeu, Soeripto merasa yakin hasil penyelidikan Kejaksaan Agung yang diumumkan besok itu bisa saja menyebutkan bahwa ada kerugian negara, namun tidak ada perbuatan melawan hukum. Atau alternatif kedua, tidak diketemukan kerugian negara maupun perbuatan melawan hukum, sehingga penyelidikan kasus akan dihentikan. "Jika itu yang terjadi, saya kira tidak tepat," tambahnya.

Dua kasus BLBI ini terjadi ketika Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi 1998. Bank Central Asia (BCA) yang mengalami rush mendapat kucuran BLBI sebesar Rp 52,7 trilyun. Untuk melunasi hutangnya, pemegang saham yakni Anthony Salim dan keluarganya menyerahkan 110 aset perusahaan. Saat pemerintahan Megawati Soekarnoputri berkuasa pada tahun 2004, dikeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL). Namun setelah diaudit BPK, aset yang diserahkan keluarga Salim hanya Rp 19 trilyun.

Begitu juga Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Saat krisis ekonomi, memperoleh kucuran BLBI sebesar Rp 27 trilyun. Untuk melunasi hutangnya, Anthony menyerahkan asetnya ke pemerintahan Megawati dan kemudian mendapat SKL. Namun setelah diaudit BPK, aset yang ia serahkan hanya senilai Rp 2,4 trilyun. (persda network/yls/amb)

[+/-] Selengkapnya...

Si Pemalu yang Tidak Tahu Diri

Si Pemalu yang Tidak Tahu Diri


ENAM belas tahun silam, saya punya pengalaman buruk di dalam bus kota. Dalam perjalanan ke kampus, universitas swasta ternama di Jalan Kali Malang Jakarta, suatu sore, saya berdiri berdesakan di lantai 1 PPD 43, bus bertingkat Cililitan-Tanjung Priok.

Saya lupa melamunkan apa, namun yang saya ingat jelas sampai detik ini adalah saya nyaris korban pencopetan dua orang lelaki kekar setengah baya. Badannya tinggi besar, harus mendongak untuk melihat wajahnya. Seorang di antara mereka meminta yang satunya mendesak tubuh saya, mengimpit ke sudut. "Hapithon, hapithon," ujarnya setengah berbisik. Seorang lainnya meraba saku celana depan saya. Saya segera tersadar dan melindungi diri dari pencopetan.

Sebelum merantau dari kampung Sihaporas (Sumut) ke Jakarta, banyak omongan menyebut, kalau pencopetnya Batak takkan mencopet orang Batak. Ternyata adagium itu tidak terbukti. Entahlah, mungkin karena perilaku itu berevolusi sesuai perkembangan zaman.

Pengalaman membekas bukan sekadar trauma, lebih dari itu sempat membuat mental anjlok. Jati diri pun hilang. Setelah kejadian itu, saya jadi hanyut pada lelucon teman yang menggeneralisasi, bahwa raja copet orang Medan. Stigma itu sempat ikut memengaruhi pikiran, dan saya pun malu mengaku orang Medan, setiap berkenalan. Takut dianggap bagian dari kumpulan pencopet.

Perlu waktu 3 tahun memulihkan kepercayaan diri itu. Saya akhirnya menolak hukum generalisai pada perilaku. Bahwa setiap suku atau kawanan ada berperilaku menyimpang, ya. Tapi tak semua, dan tidak mewakili. Orang Batak ada yang baik, ada penjahat. Orang Jawa ada yang baik, ada juga jahat. Tinggal bagaimana menyikapinya.

Malu. Kata ini sering jadi dalil sebagai pembenar. Malu karena diejek lalu kalap, dan membunuh. Malu tak mampu mengikuti mode, lalu melacur. Contoh buruk yang terakhir diterapkan segelintir pelajar putri di Palembang, Sumsel. Dua di antaranya tertangkap basah, sedang melayani tamu di hotel sepulang sekolah. Kepada polisi, mereka beralih malu melihat keadaan orang tua yang pas-pasan. Malu kepada teman-teman yang berkecukupan karena tidak memiliki ponsel, jam tangan, sepatu dan pakaian.

Virus malu merasuk ke mana-mana. Malu mengakui budaya sendiri, malu orang desa, orang tak mampu, malu jadi orang jujur, orang saleh, dll. Menutupi malu itu, orang lebih suka menipu sendiri lalu berusaha menegasikan kebenaran jadi pribadi palsu.

Perilaku ini dekat dengan kita. Ada di rumah, dalam kehidupan sehari-hari. Ibu-ibu yang tak tahan melihat keserbacukupan tetangga, maka dia terus-terusan menggoda suami, bahkan sampai memaksa agar menambah jatah uang. Bukan menyalahkan kaum perempuan, namun jamak terjadi, hedonisme istri sering kali membuat suami-suami yang takut istri nekat menyelewengkan jabatan dan kedudukan, korupsi.

Budaya kita sebenarnya sejak dahulu banyak positifnya seperti ramah-tamah, sopan-santun, dan beradab. Namun kita malu dengan budaya itu. Kini malah lebih menyukai kekerasan, caci-maki, kerusuhan antarkelompok/agama, keributan dalam Pilkada, sampai teror bom. Entah budaya darimana hal yang seperti itu.

Saat kita malu terhadap budaya sendiri, negara lain justru meraup untung dari langkah menjiplak atau mengklaim hasil karya anak negeri. Malaysia mengklaim Reog, lagu Rasa Sayange, Angklung, Batik dan belakangan menyadur utuh cerpen bergambar kebanggan orang Medan. Jepang mempatenkan tahu-tempe produk buatan mereka.

Khusus mengenai Malaysia, negara ini memang sangat berkepentingan menyerobot semua hal unik dan memikat, terutama mengandung muatan tradisional-etnis dari semua negara di Asia. Bukankah tari-tarian semacam atraksinya kesurupan Reog, manusia memakan arang membara menjadi suguhan menarik buat pelancong mancanegara mencari dolar kalangan wisatawan.

Ketika Indonesia terpuruk oleh kasus terorisme yang dilancarkan dua ahli bom dari Malaysia, negara jiran itu justru menjadi tujuan wisata dunia di Asia. Kalau di Jakarta ada Taman Mini Indonesia Indah, maka Malaysia dengan multikultural-multietnisnya, telah berhasil menjadi miniatur Asia. Itulah yang dijual dengan promosi gencar termasuk kepada Piala FA di Inggris, dan negara lain di dunia, yakni slogan: Malaysia, Truly Asia. Pariwisata menjadi sektor industri penghasil devisa negara Malaysia setelah Migas dan industri. (Domuara Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...