Sabtu, 15 September 2007

SOROT
Stop Asingsasi Aset

Domuara Ambarita
INDUSTRI rokok nasional kembali menjadi bahan perbincangan para investor di pasar modal. Senin (31/7), tersiar kabar, raksasa rokok kretek terbesar di Indonesia, PT Gudang Garam Tbk akan dibeli perusahaan raja rokok dunia, PT British American Tobacco (BAT). BAT kabarnya minta porsi saham mayoritas GG.

Maret tahun lalu, PT Handjaja Mandala Sampoerna Tbk (HM Sampoerna) mengalami nasib serupa. Tanpa gonjang-ganjing, tidak ada badai, dan saat harga sahamnya masih top gain, produsen rokok terbesar kedua, PT HM Sampoerna tiba-tiba diakuisisi Philip Morris, perusahaan asal Amerika. Saham mayoritas Sampoerna jatuh ke tangan asing. Produsen rokok Marlboro itu mengakuisisi 40 persen atau 1.753. 200.000 lembar saham senilai Rp 18,58 triliun. Ketika itu, milik keluarga Sampoerna tinggal 5 persen, sisanya di tangan publik.

Jika kabar ini benar, maka tak ada lagi perusahaan penguasa pasar rokok kretek terbesar di Indonesia yang menjadi tuan di negerinya sendiri. Sejauh ini segmen kretek filter masih dirajai Gudang Garam dengan pangsa pasar 42,5 persen, disusul Sampoerna (18,9 persen). Kalaupun PT Djarum Kudus masih eksis, ia hanya berada di posisi ketiga (17,4 persen).


Bukan hanya perusahaan swasta, yang nota bene sehat dan menguntungkan, sedang diincar perusahaan asing. Badan usaha milik negara (BUMN) pun sudah banyak yang dikuasai asing, dan tampaknya akan terus berlangsung. Setelah penjualan PT Indosat Tbk ke Singapura yang menghebohkan tiga tahun lalu, kini pemerintah akan melego perusahaan pengelola jalan tol, PT Jasa Marga, dan anak perusahaan PLN, PT Indonesia Power.

Menteri Negara BUMN, Sugiharto mengatakan kedua perusahaan itu segera go public. Walaupun terang-
terangan menjual ke publik, tentu siapa pun dan dari negara mana pun pemilik uang dapat membeli sahamnya lewat pasar modal, Sugiharto menampiknya sebagai asingisasi.

Tingginya hasrat penguasaan pemodal asing terhadap aset-aset kita tentu membanggakan. Ternyata investor mancanegara mulai percaya. Dan ini mendorong iklim investasi, dolar pun masuk ke Indonesia. Masuknya dolar akan menguatkan nilai tukar, dan efek seterusnya ke arah pertumbuhan. Sekali lagi, kita wajar bangga.

Namun di balik itu, ada kekhawatiran teramat dalam. Rumah tangga yang secara finansial tidak memadai, minus, kehidupan sehari-hari ditalangi utang. Bila begini, niscaya ketahanan keluarga itu rapuh. Perekonomian kita pun seperti itu. Dorongan reformasi yang mengelorakan semangat kemandirian dari utang dan campur tangan lembaga ekonomi dunia-asing, lambat laun semakin jelas utofia belaka.

Inilah persoalan maha besar di hadapan 220 juta penduduk yang masing-masing kepala menanggung utang negara lebih dari Rp 6 juta. Angan-angan membangun bangsa yang bermartabat, mandiri dan merdeka dalam arti sesungguhnya semakin jauh.

Itulah tugas berat kita semua. Kiranya tidak melulu berdebat remeh-temeh yang justru kontraproduktif, seakan-
akan serius menata bangsa, tapi saat yang sama --sadar atau tidak-- justru membuang energi menggali kubur sendiri. Saatnya, usahawan menyehatkan perusahaan (swasta maupun BUMN) bukan untuk dijual, dan birokrat memulihkan perokonomian tidak untuk tujuan agar dipercaya asing mengutang lagi, tetapi sungguh menuju kemandirian. Stop asingisasi aset nasional. Wujudkan bangsa berkecukupan, bangsa swasembada, bukan peminta-minta. (*)

* Tribun Jabar (1/08/2006)

Tidak ada komentar: