Sabtu, 15 September 2007

SOROT
Menanti Suku Bunga Rendah

Domuara Ambarita
DEWAN Gubernur Bank Indonesia (BI) pertama kali menerapkan BI rate sebagai instrumen pengendali suku bunga induk atau suku bunga acuan, Juli 2005. Mengadopsi sistem yang diterapkan bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed), BI menaikkan atau menurunkan BI rate dalam satuan basis poin.

Sebelumnya yang dipakai adalah suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang besarannya dicapai lewat tawar-menawar melalui lelang SBI. Saat itu, BI rate langsung dipatok 8,5 persen.

Kemudian naik 25 basis poin (0,25 persen) menjadi 8,75 persen, disusul lagi menjadi 9,5 persen. Selanjutnya, suku bunga acuan terus naik, secara beruntun hingga mencapai puncaknya 12,75 persen di akhir tahun.

Alasan bank sentral, BI rate sengaja dipacu untuk meredam melangitnya harga-harga (inflasi), meredam gejolak nilai tukar (kurs) dan menarik investor (cash flow) berduit dolar. Mengikuti kebijakan bank sentral ini, perbankan dan lembaga keuangan pun berpacu menaikkan suku bunga. Dengan alasan agar tidak terjadi negative spread, perbankan sekejap menaikkan suku bunga kredit.


Misalnya, ada bank yang mematok suku bunga simpanan termasuk deposito hingga mencapai 12,5 persen, dan saat bersamaan melonjakkan bunga kredit ke level 18 persen. Bahkan ada leasing yang mematok suku bunga hingga 23 persen. Saat itu, selisih suku bunga kredit dengan simpanan rata-rata 6-8 persen.

BI rate 12,75 persen bertahan hingga Juni 2006, sampai waktunya turun. Seperti kenaikannya, penurunan BI rate pun cenderung beruntun. Pekan ini, untuk keenam kalinya, Dewan Gubernur BI kembali menurunkan BI rate menjadi 9,75 persen, sedikit di atas BI rate pada September 2005.

Bedanya, jika saat kenaikan suku bunga, bank dan lembaga keuangan hampir serempak mengumumkan kenaikan suku bunga, mereka tidak melakukan itu.

Kalaupun ada bank yang menurunkan suku bunga, tampaknya rada malu-malu, tidak sekencang saat menggeber kenaikan suku bunga.

Padahal, inilah saatnya nasabah atau masyarakat menikmati suku bunga rendah dari perbankan. Bukan tanpa alasan. Faktor-faktor terkait sudah sangat mendukung. Yaitu BI rate terus turun, inflasi mulai terjaga, untuk Oktober misalnya inflasi hanya 0,86 persen, atau 6,29 persen year on year (YoY), makro ekonomi membaik, kurs rupiah relatif stabil di kisaran Rp 9.100 per dolar AS, suku bunga dolar AS yang tetap 5,25 persen.

Rasanya mustahil menunggu BI menurunkan suku bunga seperti kebijakan Bank Sentral Jepang yang berkisar 0,5 persen, supaya dapat menikmati suku bunga ringan dari bank.

Demi bergeraknya ekonomi dan kegiatan bisnis terutama sektor riil, tak cukup dalih perbankan tetap mempertahankan suku bunga.

Keculai bank-bank bermodal cekak yang mati-matian menghimpun dana (modal), sampai menjual bank ke orang asing/akuisisi, untuk mendekati angka ideal yang diatur Arsitektur Perbankan Indonesia (API), bank-bank milik negara wajib mengedepankan fungsi ekonomi-sosial. Bank-bank yang tergabung dalam Himbara mustinya menjadi pion kredit berbunga murah, menuju suku bunga kredit ideal 12-13 persen seperti terjadi sebelum krismon.

Dengan bunga rendah, bukan hanya kredit konsumtif yang berkibar tetapi lebih-lebih kredit produktif, seprti modal kerja atau investasi. Mempertahankan suku bunga tinggi, di kisaran 15 persen, sama-sama tak berfaedah maksimal, buat nasabah maupun bank. Gagasan BI mengenakan insentif dan disinsentif kepada bank dalam penyaluran kredit menuju target rasio kucuran kredit 70 persen sangat ditunggu-tunggu. (*)

* Tribun Jabar ( 9/12/2006)

Tidak ada komentar: