Sabtu, 15 September 2007

SOROT
Menyongsong Hari Raya Buruh

Domuara Ambarita
SETIAP kaum punya hari-hari bersejarah. Hari raya, hari jadi, atau momen spesial diperingati dengan suasana khusus pula. Ketika memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia setiap 17 Agustus, suasana hiruk-pikuk dijumpai dari gang sempit hingga jalan raya, dari kawasan perdesaan ke perkotaan, dari rumah sederhana hingga hotel berbintang, sampai istana.

Seluruh lapisan masyarakat merayakan kemerdekaan dengan suka cita. Persiapannya pun digelar jauh hari melalui kegiatan massal, seperti gerak jalan yang kadang kala justru mengganggu kelancaran arus lalu-lintas. Panggung hiburan yang memakan sebagian atau seluruh badan jalan.

Kegembiraan tidak berlaku bagi kaum buruh. Kelas pekerja itu memiliki 'hari rayanya' yang jatuh setiap tanggal 1 Mei, yakni Hari Buruh Internasional. Bebarapa tahun ke belakang, Hari Buruh diperingati rutin di Indonesia. Jika kaum republik Tujuhbelasan dengan riang dalam suasana lomba atau hiburan, sedangkan buruh memperingatinya dalam kegalauan, kerisauan, atau keprihatinan. Hari Buruh Internasional yang populer disebut May Day lazimnya diisi kegiatan unjuk rasa menuntut perbaikan hak-hak buruh.

Tahun ini, Hari Buruh Internasional diperingati Senin (1/5). Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, isu-isu diusung kalangan pekerja kali ini terkesan lebih kencang, yakni penolakan terhadap rencana Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla merevisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Peraturan yang diundangkan di era Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nua Wea yang juga mantan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.

Revisi UU 13/2003 ditolak karena dianggap berpotensi mengebiri hak-hak pekerja yang sudah dijamin UU terdahulu. Dalam UU 13, masa kontrak pekerja maksimal 1 tahun sedangkan dalam draf revisi boleh lima tahun; hak uang cuti (dalam revisi dihilangkan); karyawan yang mengundurkan diri saja dapat uang penghargaan sesuai masa kerja (dalam revisi karyawan bergaji di atas Rp 1 juta tidak mendapat pesangon).

Rupanya, rencana peringatan hari buruh, membuat kalangan aparatur negara gerah. Birokrasi membujuk buruh agar membatalkan aksinya, peringatan itu pun dibayang-bayangi penangkapan atau penembakan jika anarkis. Memang kewajiban aparat polisi menjaga ketertiban. Namun jangan keterlaluan. Biarlah buruh bersuka cita di hari jadinya. Cukup beril rambu-rambu, dan pengawalan ketat demi keamanan bukan penyusupan dan provokasi penenyulut kerusuhan.

Bagaimana pun buruh juga bagian dari kita. Mereka hanyalah mencari nafkah (sebagai mana disebutkan dalam Pasal 1 UU No 13/2003, pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain).

Demi kemanusiaan dan hak untuk hidup, buruh sesunguhnya sebarisan dengan presiden atau aparat polisi yang menggantungkan hidup pada orang lain. Pengusaha pun demikian menggantungkan hidup pada pihak lain termasuk buruh. Saling mengakui dan saling menghormati menuju kelangsungan hidup rasanya lebih mulia, daripada menebar ancaman apalagi saling meniadakan. Satu pihak boleh beraksi dan pihak lain bereaksi, namun dalam bingkai keharmonisan. Buruh juga manusia normal yang ingin hidupnya layak, walau tidak sehebat penguasa dan pengusaha. Selamat Hari Buruh. (*)

* Tribun Jabar (29/04/2006)



Tidak ada komentar: