Jumat, 28 Desember 2007

Menjadi Sahabat untuk Semua (Refleksi atas Terbunuhnya Benazir Bhutto)

Meski bersembah masih dibunuh. Nasibmu ibu, Benazir Bhutto

"CIKUKUNGUNYA? Apa itu Cikukungunya?" Demikian nada tanya saya ketika penyakit aneh itu menyerang dan melumpuhkan 218 orang warga Desa Mandalamukti dan Ciptagumati, Kecamatan Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung, awal tahun 2003. Virus, bakteri atau racunkah Cikukungunya bagi saya belum terang.

Menyusul kejadian luar biasa, yakni penyakit lumpuh layu menular di sejumlah desa di Kecamatan Cidahu dan Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Belasan anak-anak, sebagian Balita, mengalami lumpuh layu pada tulang-tulang seperti bagian kaki, tangan dan leher. Mereka diduga terserang virus polio liar, karena tidak diimunisasi polio.

"Wah, gawat nih. Lumpuh karena tidak immunisasi," kata hati saya menggerutu. "Bisa cilaka dua belas nih. Saya nggak pernah immunisasi, kan?" Ya, saya memang tidak pernah menjalani immunisasi sejak kecil. Ketika sedang bandal-bandalnya, seusia pra-sekolah, saya menghindari immunisasi massal di kampung. Saya lari, dan sembunyi di ladang kopi, sampai dokter pulang.

Seingat saya, ketika itu, petugas kesehatan datang ke desa, untuk menyuntik immunisasi cacar dan sejenisnya. Orang-orang dewasa sering menunjukkan bekas luka di lengan atas akibat disuntik, inilah yang selalu teringat, dan ini yang memprovokasi saya.

Dokter identik dengan jarum suntik, alat bantu pengobatan yang sangat menyakiitkan ketika ditusukkan ke bagian pinggul atau pantat. Mendengar kata dokter menjadi sesuatu yang menakutkan, jauh lebih menyeramkan dibandingkan polisi atau tukang sunat.

Apa yang saya alami bertolak belakang dengan putri sulung kami, Elisabeth Uli. Selain urusan vaksinasi, sejak usia tujuh bulan dia memang sering berurusan dengan dokter. Dia pernah terjangkit demam kejang. Sejak itu, ketika ada panas sedikit pun, kami lebih cepat membawanya ke dokter.

Mungkin karena sering bertemu dokter, kesan dia terhadap dokter berbeda dengan saya, ayahnya, yang berbeda usia tiga dekade lebih. Selain itu, dari faktor pasien, perubahan paradigma dokter pun turut mempengaruhi kesan saya, dan anak.

Sedikit panas pun, Elisabeth yang berusia tiga tahun lewat dua bulan, segera mengajak saya atau mamanya mengantarkan ke dokter. Dokter favorit dia adalah dokter anak di Depok dan Jakarta, dr Kriston Silitonga. Dia memanggilnya "dokter oppung Silitonga". Uli bahkan sangat antusias menjawab akan menjadi "dokter oppung Silitonga" kalau ditanya tentang cita-cita. Dia pun lebih patuh nasihat dokter, daripada orangtuanya, misalnya kalau dilarang jajan es krim atau cokelat.

Tempat praktek dokter anak saat ini, dikemas sedemikian rupa sehingga nyaman buat anak. Di banyak tempat disediakan arena bermain, mirip yang biasa ditemui di mal, sehingga membuat anak-anak tertarik dan dan menyenangkan. Tindakan dokter pun tidak melulu asal main suntik, kini banyak cara memberikan obat, kecuali pasien parah. Alhasil dokter saat ini sahabat buat anak-anak, bukan menyeramkan.

Dalam teori dan praktik bisnis, tindakan dokter anak yang menjadi sahabat buat pasien barangkali mengingat persaingan ketat merebut pelanggan. Perubahan paradigma ini sangat baik andai saja dapat diterapkan di banyak instansi, yang bertujuan laba maupun nirlaba terutama layanan publik. Muaranya adalah mendekatkan pelayanan kepada khalayak ramai.

***
DUA hari lagi, tahun 2007 tinggal kenangan. Catatan sejarah bagi mereka yang telah berbuat baik bagi sesama atau bangsanya. Tahun 2008 segera tiba, hiruk pikuk politik akan memanas menjelang Pilpres 2009.

Mari berharap, para penyelenggara negara pun mengubah paradigma berorientasi pada kemakmuran bersama, tidak semata-mata kepentingan politik. Harapan akan netralitasnya aparatur negara, lebih-lebih TNI-Polri terhadap sosok calin pemimpin negara pun sesuatu yang diidamkan, seperti ditekadkan Presiden Jenderal (Purnawirawan) Susilo Bambang Yudoyono dan Panglima TNI baru, Jenderal Djoko Santoso.

Sayang, ucapan semangat itu berbeda di lapangan. Kalau TNI netral, pemandangan seperti memamangkan baliho ibu negara, Ani Yudhoyono di lantai atas gedung Pusat Kesejarahan TNI di Jalan Gatot Subroto Jakarta, tidak perlu terjadi. Apa hubungannya Ibu Ani dengan TNI? Kalu mau netral yah netral lah, jangan setengah hati. Jangan ada kesenjangan perkataan dan perbuatan. Jangan membongongi publik.

Semoga gejala ini, tidak pertanda (ketidaknetralan) aparat keamanan, seperti diduga andil kematian mantan PM Pakistan, Benazir Bhutto, karena adanya pembiaran. Saatnya mengubah paradigma, tanpa harus mendahulukan semangat keberpihakan karena berasal dari sejarah dan latar belakang serupa (militer), l'espirit d'corps. Mengutip nasihat kalangan kesehatan, "mencegah lebih baik daripada mengobati."

Kekhawatiran terulangnya kasus pembunuhan Bhutto memang besar kemungkinan menjadi inspirasi pelaku kriminal di Indonesia. Ada beberapa faktor pendukung. Dari aspek politik, Indonesia saat ini menganut era demokrasi terbuka yakni pemilihan umum one man one vote dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan presidan, termasuk gubernur, walikota dan bupati.

Era demokrasi terbuka, persaingan terbuka -mengutip teori ekonomi, bahkan terjadi persaingan pasar sempurna- sehingga memungkinkan terjadi gesekan ideologi bahkan fisik calon atau pendukunganya. Ini rentan menimbulkan konflik horizontal, entah massal maupun gerakan bawah tanah ala intelijen.

Masih dari segi politik, atmosfer perpolitikan kedua negara saat ini mirip-mirip. Pemimpin kedua negara adalah mantan tentara, Susilo Bambang Yudhonono pensiunan jenderal demikian juga Perpez Musharraf. Dan motor oposan dipimpin mantan penguasa yang datang dari kaum perempuan yakni Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, dan Ketua Partai Rakyat Pakistan, Benazir Bhutto.

Mega memiliki rasa senasib dan sepenanggungan (l'espirit d'corps) dengan Bhutto. Selain latar belakang gender, mereka sering curhat. Jauh ke belakang, ayah mereka pun hampir bernasib sama, akhir hidupnya tragis karena 'dieksekusi' rezim pengganti yang sama-sama berlatar belakang militer.

Ayah Mega, sang Proklamator, Soekarno wafat dalam tahanan rumah di Wisma Yaso, Jakarta, 22 Juni 1970 di bawah pengawasan pemerintahan Soeharto. Adapun ayahnya Bhutto, mantan PM Pakistan Zulfikar Ali Bhutto tewas digantung tahun 1979, oleh rezim militer Muhammad Zia ul-Haq.

Kamis (27/12), Bhutto ditembak di dada dan dileher beberapa menit setelah berkampanye menjelang pemilu di Rawalpindi, Pakistan. Lalu penembaknya bunuh diri, yang menewaskan 20 orang lainnya dan melukai 56 orang.

Hal mengkhawatirkan lainnya, beberapa tahun ke belakang, bom sepertinya bukan barang langka di kedua negara. Ledakan-ledakan bom bunuh diri yang meluluh-lantakkan harta benda dan mencabut nyawa orang-orang tak berdosa pun menjadi peristiwa jamak.

Pilpres 2009 tinggal berselang setahun. Megawati sudah deklarasi sebagai betina tangguh, menghadapi pejantan-pejantan tangguh semacam presiden incumbent, SBY, atau calon lain yang diperkirakan menambah persaingan semacam Jusuf Kalla, Wiranto, Sultan HB X.

Risiko Mega sebagi oposan lebih besar sama dengan Bhutto, bila dugaan adanya konsiprasi pembiaran aparat keamanan. Semoga, ambisi politik atau kepentingan kekuasaan tidak membiarkan darah tertumpah lagi di republik ini. Cukuplah kerusuhan rentetan kerusuhan di masa lalu yang disetting elite politik darah terakhir yang tertumpah hanya untuk rebutan kursi kekuasaan.

Cukuplak korban berjatuhan pada Kerusuhan Situbondo (10 Oktober 1996), Tasikmalaya (6 Januari 1997), Kerusuhan Sanggau Ledo (17 Januari 1997), Kerusuhan Banjarmasin (23 Mei 1997), Kerusuhan Jakarta (13 Mei 1998), Kerusuhan Ambon (19 Januari 1999), Pembantaian Sambas (19 Januari 1999) Pembantaian Rasial Sampit (18 Februai 2001), Kerusuhan Poso (17 April 2000), dan lain-lain.

Stop, hentikan pembunuhan demi ambisi pribadi dan kelompok. Seperti kata film kartunis yang tersohor, si Dora Explorer, "Katakan lebih keras." "Stop kekerasan dan pembunuhan demi kepentingan politik sesaat. Jangan ada lagi pembunuhan. Kursi presiden yang hanya lima tau sepuluh tahun terlalu kecil daripada mencabut nyawa orang lain, yang sebetulnya prerogatif sang pentipta, Tuhan Allah Yang Maha Penyayang." Homo homini socious, bukan homo homini lupus. (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Sabtu, 22 Desember 2007

Bisa-Bisa Saya Disangka Preman

Kompas.com, Sabtu (22/12/2007) Pukul 02.07 WIB

Yusril Ihza Mahendra Semasa Kecil (3-Habis)

Bisa-Bisa Saya Disangka Preman


ASAL usul keluarga. Bagi orang Belitung haruslah menjelaskan kedua keluarga orang tua, ayah dan ibu. Orang Belitung menganut sistem kekeluargaan bilateral, artinya anak akan menarik garis keturunan kepada keluarga ayah dan sekaligus kepada keluarga ibu. Oleh sebab itu Hukum Adat Belitung membolehkan dua saudara sepupu untuk menikah.

Laki-laki boleh melamar perempuan menjadi istrinya. Sebaliknya juga perempuan boleh melamar laki-laki menjadi suaminya. Jadi berbeda dengan orang Batak yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal, yakni hanya menarik garis keturunan ke garis ayah, tidak ke garis ibu.

Laki-laki Batak harus melamar perempuan yang akan jadi istrinya. Mustahil ada perempuan Batak melamar seorang laki-laki menjadi suaminya. Hukum Adat Batak melarang dua saudara sepupu untuk menikah, jika kedua ayah mereka bersaudara kandung.

Berbeda pula dengan orang Minangkabau yang menganut sistem kekeluargaan matrilineal, yakni hanya menarik garis keturunan kepada garis ibu, tetapi tidak ke garis ayah. Hukum Adat Minangkabau melarang dua saudara sepupu untuk menikah, jika kedua ibu mereka bersaudara kandung. Perempuan Minangkabau, menurut adat, akan melamar laki-laki jadi bakal suaminya. Mustahil laki-laki Minang melamar perempuan jadi istrinya.

Ayah saya bernama Idris. Nama ini diambil dari nama seorang nabi setelah Nabi Adam AS, sebagaimana dikisahkan di dalam Kitab Taurat dan Al-Qur’an. Beliau anak keenam dari delapan bersaudara dari pasangan Haji Zainal Abidin bin Haji Ahmad dengan Aminah, yang setelah tua dipanggil Nek Kuset.

Saudara-saudara kandung ayah saya yang lainnya bernama Baziek, Baharum, Baksin, Abdul Kadir, Adam, Zauna dan Arba’ie. Saya mengenal seluruh saudara kandung ayah saya itu, kecuali Baziek yang sudah meninggal di Pontianak, Kalimantan Barat, sebelum saya lahir.

Ketika saya lahir nenek saya juga sudah meninggal dunia, sehingga saya tidak pernah bertemu dengan beliau. Namun ayah saya menyimpan selembar foto nenek saya itu yang dibuat sekitar tahun 1938, sehingga saya dapat melihat wajahnya. Haji Zainal, kakek saya itu adalah anak satu-satunya dari perkawinan antara Haji Ahmad bin Haji Taib dengan Raisah alias Nek Penyok.

Setelah berpisah dengan Raisah, Haji Ahmad menikah lagi dengan seorang wanita bernama Nek Rambai dan mendapat seorang putra bernama Hamzah. Setelah Nek Rambai wafat, Haji Ahmad kemudian menikah dengan seorang wanita bangsawan setempat, namanya Nyi Ayu Mastura. Dari perkawinan kedua ini beliau mempunyai beberapa anak, masing-masing bernama Moestar, Jusuf, Abdullah, Hawa, Aisyah dan Ya’kub. Haji Ahmad adalah putra dari Haji Taib.

Daftar silsilah yang tertulis pada lembaran kertas yang sangat panjang yang dimiliki ayah dan paman saya, berhenti sampai Haji Taib. Keluarga di atasnya tidak tercatat dalam urutan silsilah mereka. Kalau saya bertanya, di mana catatan silsilah di atas Haji Taib, mereka selalu mengatakan ada di Johor. Saya tidak tahu dengan siapa saya akan mendapatkan silsilah itu di Negeri Johor.

Haji Taib bukan orang asli Pulau Belitung. Ayah dan paman-paman saya mengatakan Haji Taib sebenarnya adalah seorang bangsawan bergelar tengku yang berasal dari Negeri Johor. Ibu kota Kesultanan Johor di masa itu mungkin masih berada di Pulau Lingga, Kepulauan Riau sekarang, sebelum ada Johor Bahru di Semenanjung Malaya.

Mungkin karena sebab-sebab keluarga dan politik, beliau beserta keluarganya hijrah ke Belitung pada awal abad ke 19. Beliau menanggalkan gelar kebangsawanannya dan hidup sebagai layaknya orang kebanyakan serta menjadi ulama. Kecintaannya kepada agama itu mendorongnya untuk berlayar ke Mekkah dengan perahu yang dibuatnya sendiri.

Anaknya Haji Ahmad juga mengikuti beliau berlayar menunaikan ibadah haji. Menurut kebiasaan masyarakat di awal abad ke 19, ketika perahu akan berlayar meninggalkan dermaga, orang sekampung berduyun-duyun mengantarkan perahu yang akan berlayar ke Jeddah, sambil membaca doa dan melantunkan shalawat. Ketika layar perahu menghilang dari pandangan, orang di kampung membaca talqin dan bersedekah setiap habis magrib sampai hari ke tujuh. Tradisi seperti itu lazimnya dilakukan ketika ada keluarga yang meninggal.

Mereka menganggap orang yang berlayar naik perahu ke Jeddah itu sama dengan orang mati. Betapa tidak. Di zaman itu, perahu tidak bermesin, hanya berlayar dan berdayung belaka. Tidak ada alat telekomunikasi seperti zaman sekarang untuk berhubungan. Kalau ingin menulis suratpun seandainya telah sampai ke Jeddah, siapa pula gerangan tukang pos yang akan mengantarkan surat itu ke kampung halaman.

Dalam perahu yang tak seberapa besar itu, Haji Taib dan Haji Ahmad --tentu saja mereka belum haji ketika itu -- berbekal beras, jagung, ikan asin, terasi dan daging kering sebagai bekal makanan. Mereka juga membawa emas dan perak sebagai bekal belanja. Pelayaran mereka menyusuri Selat Melaka dan menyusuri pantai Asia Selatan untuk sampai ke negeri Jeddah.

Mereka pun singgah di negeri-negeri yang tak mereka kenal, sekedar untuk mengambil air dan menambal layar yang koyak tertiup angin. Konon lebih tiga tahun kemudian baru mereka pulang ke Belitung. Dapat dibayangkan betapa bersykur dan sukacitanya sanak keluarga dan orang sekampung menyambut kedatangan mereka.

Orang pulang haji dengan naik perahu layar bisa pulang kembali dengan selamat adalah suatu peristiwa yang menakjubkan. Konon tidak sedikit mereka yang pergi haji dengan cara yang sama, tak pernah kembali lagi ke kampung halaman. Mungkin perahu mereka telah ditenggelamkan ombak dan badai yang ganas di Lautan Hindia.
***
SETELAH menguraikan panjang lebar kisah tentang keluarga saya dari pihak ayah, maka tibalah saatnya bagi saya sekarang untuk menuliskan kisah keluarga saya dari pihak Ibu. Ibu saya bernama Siha atau Nursiha, putri dari Jama Sandon dan Hadiah.

Beliau lahir 14 Juli 1929 di Kecamatan Gantung sekarang ini. Beliau adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Namun tiga kakaknya, yang semuanya perempuan meninggal dunia di masa kecil. Keluarga kakek dan nenek saya percaya bahwa mereka tidak bernasib baik untuk memiliki anak. Sebab itu, ketika lahir anak yang keempat, seorang laki-laki yang dinamai Bujang, bayi itu segera diberikan kepada orang lain, dengan kepercayaan anak itu tidak akan mati seperti kakak-kakaknya.

Sesudah Bujang diberikan kepada orang lain, lahirlah ibu saya, Siha. Namun rupanya anak perempuan ini tidak diberikan kepada orang lain. Kedua orang tua itu rupanya sangat sayang dengan anak ini. Karena itu mereka mengambil risiko memeliharanya dengan susah payah, dengan harapan agar tetap hidup.

Sebab itulah, kakek dan nenek saya selalu menganggap ibu saya sebagai anak tunggal, walau kenyataannya kakaknya, Bujang, yang diberikan kepada orang lain itu tetap hidup sampai tua dan wafat pada tahun 2003. Paman saya bernama Bujang itu, tidak tinggal di Belitung.

Beliau merantau dan tinggal di Pulau Kijang, Kepulauan Riau. Beliau bekerja di sana sebagai teknisi perusahaan bauksit. Saya baru bertemu dengan Bujang, setelah beliau lanjut usianya. Namun tiga anaknya yang tinggal di Tanjung Pandan, saya kenal dengan baik dan cukup akrab dengan saya, kakak-beradik.

Anak-anak Bujang itu namanya Muslim, Sulaiman dan Topyani. Ketika muda, Muslim itu menjadi jagoan dan preman di Tanjung Pandan. Dia tersohor karena sering berkelahi. Sampai-sampai ada dua polisi dia gebuki hingga babak belur.

Salah seorang polisi itu terpaksa dirawat di rumah sakit, karena perutnya luka ditusuk Muslim pakai obeng. Ketika saya masih muda, banyak orang Belitung tidak tahu kalau Muslim sang preman dan jagoan itu adalah saudara sepupu saya. Kalau tahu, bisa-bisa saya disangka preman juga.

Saya berusaha untuk menelusuri asal usul kakek saya, Jama Sandon itu dan bertanya ke sana ke mari. Namun riwayat keluarganya misterius dan bahkan bercampur-baur dengan dongeng. Kalau saya perhatikan wajah dan postur tubuh kakek saya itu, beliau tidak tampak seperti postur dan wajah orang Belitung, bahkan orang Indonesia pada umumnya. Nama beliau itupun tidak lazim bagi masyarakat Belitung. Tinggi di atas 170 cm, dengan badan tegap, hidung mancung dan matanya berwarna cokelat kebiruan. (Persda Network/http://yusril.ihzamahendra.com/Domuara Ambarita)



[+/-] Selengkapnya...

Untuk Makan Saja Sangat Susah

Kompas.com, Sabtu 922/12/2007) Pukul 01.50 WIB

Yusril Ihza Mahendra Semasa Kecil (2)
Untuk Makan Saja Sangat Susah


AYAH
bekerja mengajar agama dan berdakwah. Selain mengajar di sekolah, ayah juga mengajar polisi. Saya masih ingat kepala polisi di sana, namanya Abdullah Paloh. Beliau itu orang tua dari Pak Brewok, Surya Paloh yang belakangan hari tersohor namanya sebagai raja dunia media massa.

Kepala polisi lain, namanya Mohammad Said, yang begitu dekat persahabatannya dengan ayah saya. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, saya bertemu dengan Pak Said di Tanjung Karang, Lampung. Beliau sangat senang dan bahagia, dan bercerita banyak tentang persahabatannya dengan ayah saya di masa lalu.

Saya masih ingat juga, yang menjadi bupati di Belitung waktu itu ialah Zainal Abidin Pagar Alam, yang kemudian menjadi Gubernur Lampung. Anaknya saya kenal namanya Syahruddin Pagar Alam, yang sekarang menjadi Gubernur Lampung seperti ayahnya dahulu. Saya masih ingat, Zainal Abidin Pagar Alam itu tokoh PNI. Ayah saya aktivis Masyumi. Namun kedua orang itu bersahabat dan sering bertukar-pikiran.

Saya sering mendengarkan ayah saya berbicara dengan tokoh-tokoh itu. Karena masih kecil, tentu saya tidak mengerti. Sekarang saya tidak ingat lagi apa yang mereka bicarakan. Tetapi saya masih ingat orang-orang itu.

Saya juga masih ingat dengan Pak Djarot, ayah Eros dan Slamet Rahardjo. Mereka tinggal berdekatan dengan rumah kami. Pak Djarot waktu itu menjadi komandan Pangkalan Udara Tanjung Pandan. Saya sering bermain-main di halaman rumah Pak Djarot yang ukurannya besar dan terbuat dari beton.

Rumah itu tampaknya peninggalan zaman Belanda. Saya masih ingat Slamet Rahardjo pakai baju Pramuka -- waktu itu disebut Pandu -- dan terlihat gagah. Dia sering naik sepeda dengan teman-temannya. Di belakang hari Eros menjadi terkenal sebagai musisi dan sutradara film.

Slamet juga menjadi aktor besar dalam perfilman Indonesia. Kalau pagi hari saya melihat mereka pergi sekolah naik Jeep Angkatan Udara. Mungkin Jeep itu buatan Rusia, saya ingat warnanya biru. Waktu itu saya belum sekolah. Kakak-kakak saya pergi sekolah berjalan kaki. Kalau pagi mereka sekolah di Sekolah Rakyat (atau sekolah dasar sekarang). Kalau sore mereka sekolah lagi di madrasah. Ibu saya menyebut madrasah itu Sekolah Arab.

Tidak jauh di depan rumah kami itu ada keluarga Pak Sulaiman Talib. Beliau sebenarnya berasal dari Manggar juga, namun tampaknya sudah lama menetap di Tanjung Pandan. Keluarga kami sangat akrab dengan keluarga beliau, sehingga sudah seperti keluarga sendiri.

Di dekat rumah Pak Sulaiman Talib itu, di pertigaan jalan, hampir berdekatan dengan rumah Pak Djarot, tinggal keluarga Pak Ahmad. Beliau itu memiliki bengkel reparasi radio di rumahnya. Zaman itu belum ada televisi. Orang yang memiliki kulkas pun sangat jarang. Di rumah beliau itu ada peralatan bermain musik. Anak-anaknya pandai bermain gitar dan sering berlatih musik di rumahnya.

Saya selalu bermain-main di rumah itu dan melihat banyak sekali radio rusak yang sedang diperbaiki. Ayah saya tidak punya radio. Di zaman itu, radio adalah barang mewah yang tak semua orang sanggup membelinya. Jadi kami mendengar radio di rumah Pak Ahmad. Saya juga senang menonton mereka latihan musik. Saya mencoba mengingat nama anak-anak Pak Ahmad, tetapi hanya satu yang saya ingat, panggilannya Yar. Sampai sekarang saya tidak pernah bertemu lagi dengan mereka.

Walaupun keluarga kami hidup miskin dan bersahaja, saya merasakan orang tua kami begitu sayang kepada anak-anaknya. Mereka tidak pernah mampu membelikan mainan seperti anak-anak zaman sekarang. Jangankan untuk membeli mainan, untuk makan saja sudah sangat susah.

Dalam usia lima tahun itu, saya selalu menyaksikan ayah saya membaca buku, koran dan majalah. Suatu hal yang menurut saya waktu itu terlihat aneh pada beliau, ialah kebiasaanya membeli buku, dan berlanggaan koran dan majalah. Sering saya menerima paket kiriman dari Jakarta yang isinya ternyata buku pesanan ayah, atau majalah yang dikirim melalui pos.

Berbagai macam buku yang beliau beli itu disusun rapi dalam sebuah lemari. Saya yang belum sekolah, senang juga melihat gambar-gambar yang ada di buku, koran dan majalah. Sesekali saya bertanya kepada beliau tentang gambar yang saya lihat, dan beliau menerangkannya. Dari kebiasaan saya menemani beliau membaca itu, pelan-pelan akhirnya membuat saya mengenal huruf. Saya akhirnya bisa membaca, walau saya belum masuk sekolah.

Di waktu kecil itu saya heran melihat ayah saya. Teman-teman saya sepermainan, ada yang bilang ayah saya itu punya ilmu, yang membuat orang takut kepada beliau. Saya hanya setengah percaya setengah tidak. Baru jauh di belakang hari saya menyadari, bahwa bagi orang-orang yang hidup sederhana di kampung, manusia seperti ayah saya itu sungguh merupakan sosok yang disegani dan berwibawa di mata mereka. (Persda Network/http://yusril.ihzamahendra.com/Domuara Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Tidur Beralas Tikar Daun Pandan

KCM/ Glori K Wadrianto
Yusril Ihza Mahendra, mantan Menteri Sekretaris Negara,
menjawab pertanyaan wartawan dengan canda.
Kompas.com, Sabtu (22/12/2007) pukul 01.32 WIB

Yusril Ihza Mahendra Semasa Kecil (1)
Tidur Beralas Tikar Daun Pandan

MANTAN Mensesneg Yusril Ihza Mahendra kembali menjadi berita hangat. Jumat (21/12) siang, dia bertemu dan ngerumpi bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono --mantan atasannya di Kabinet Indonesia Bersatu. Bagaimana dan apa kesibukan laki-laki asal Belitung pasca-reshuffle, 7 Mei silam? Satu kegemaran Yusril adalah membuat blog, website personal. Setelah membuat blog klasik, kini Yusril menuangkan pengalaman dan pandangannya dalam blok modern dengan alamat http://yusril.ihzamahendra.com/. Di blog itu ia mengungkapkan kisah semasa kecilnya yang ditulis dengan gaya bertutur dalam beberapa seri. Berikut nukilannya.

SYAHDAN menurut ibu saya, saya dilahirkan Selasa, 5 Februari 1956 di Kampung Lalang, Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Tanggal kelahiran itu pasti, bukan rekaan, karena saya melihat buku harian ayah saya yang mencatat dengan teliti berbagai peristiwa penting dalam keluarga dan kehidupannya.

Saya dilahirkan di rumah kakek dari pihak ibu dalam sebuah kamar yang dapat saya saksikan sampai tahun lalu, sebelum rumah tua terbuat dari kayu itu dirobuhkan karena sudah dimakan rayap. Ibu saya sebenarnya ingin melahirkan saya di rumah sakit.

Namun ambulan yang dipanggil, rupanya sedang menjemput orang lain yang juga ingin melahirkan. Saya sudah lahir lebih dahulu, ketika ambulan tiba ke rumah. Hanya kakek dan nenek saya yang membantu ibu saya melahirkan. Setelah itu barulah bidan dan juru rawat datang ke rumah dan membantu, ketika bayi sudah dimandikan dan diberi baju .

Saya lahir sebagai anak yang ke enam.Sesudah saya, masih ada lima lagi anak-anak yang lahir dari orang tua saya. Seluruhnya ada sebelas orang. Dengan posisi anak keenam, saya berada di urutan tengah. Punya lima kakak dan punya lima adik.

Keluarga kami hidup dengan sederhana dan bersahaja. Rumah keluarga kami, terbuat dari kayu menggunakan dinding dari kulit kayu pula. Atapnya sebagian terbuat dari sirap kayu bulian, dan sebagiannya lagi terbuat dari daun nipah. Rumah itu terletak di belakang pekarangan rumah kakek. Saya tidak dapat lagi mengingat rumah itu. Namun foto rumah itu masih ada.

Tidak lama sesudah saya lahir, keluarga kami pindah ke rumah yang dibuat oleh ayah saya sendiri. Rumah itu terletak di Kampung Sekip. Rumah ini pun terbuat dari kayu, berdinding kulit kayu juga, dan beratapkan daun nipah. Foto rumah ini pun masih ada, yang dibuat ayah saya di tahun 1958.

Ayah saya menyimpan banyak foto lama berwarna hitam putih yang sampai sekarang masih disimpan ibu dengan baik. Ketika usia saya dua tahun, keluarga kami pindah ke Tanjung Pandan. Ayah saya, yang semula menjadi penghulu mengurus hal-ikhwal perkawinan, rupanya diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama di kota itu.

Saya mulai ingat sedikit-sedikit ketika kami tinggal di Tanjung Pandan. Ayah saya menyewa sebuah rumah, yang juga terbuat dari kayu, di Kampung Parit, Tanjung Pandan. Rumah itu tidak ada penerangan listriknya, sehingga saya melihat kakak-kakak saya belajar dengan penerangan lampu minyak tanah.

Saya masih ingat, peralatan rumah itu hanya ala kadarnya. Hanya ada empat kursi terbuat dari rotan, sebuah tempat tidur dan peralatan dapur yang sangat sederhana. Saya dan kakak-kakak saya tidur di lantai menggunakan tikar yang terbuat dari daun pandan.

Kendaraan satu-satunya yang dimiliki keluarga kami, hanyalah sebuah sepeda, yang selalu digunakan ayah saya untuk pergi bekerja, ke pasar atau mengajar di sebuah madrasah, dan pergi berdakwah di berbagai mesjid dan mushollah di kota itu. Saya sering dibonceng ayah saya pergi berdakwah dan saya bermain-main di mesjid dengan anak-anak yang lain. (Persda Network/Domuara Ambarita)



[+/-] Selengkapnya...

SBY Sering Ajak Yusril Berdiskusi

Kompas.com, Jumat (21/12/2007) 23.48 WIB

Laporan Wartawan Persda, Domuara Ambarita

JAKARTA, PERSDA--Mantan Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra diam-diam ternyata sering berkomunikasi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Pertemuan saya dengan Pak SBY biasa-biasa saja. Seringkali saya bertemu baik di Cikeas maupun di Istana Negara. Sering pula kami berbicara lewat telepon, meskipun saya sedang berada di luar negeri. Hari ini saya datang atas inisiatif saya. Kadang-kadang inisiatif datang dari beliau. Dua minggu yang lalu saya juga bertemu beliau. Jadi biasa-biasa saja. Tidak ada yang terlampau istimewa," ujar Yusril menjawab Persda Network, Jumat malam.

Kendati sudah didepak dari kabinet dan lingkaran istana, Yusril mengatakan bahwa dirinya tetap membantu apa yang diinginkan presiden. "Saya selalu berpikir, saya bekerja untuk bangsa dan negara. Siapa pun presidennya, saya akan membantu jika diperlukan."

Ia menambahkan, "Pak SBY memang sering mengajak saya mendiskusikan berbagai masalah yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara kita, baik di masa sekarang maupun di masa depan. Saya dimintai pandangan oleh beliau terkait dengan masalah konstitusi, hukum pada umumnya, dan struktur organisasi negara kita pasca amandemen UUD 1945. Kadang-kadang kami diskusikan secara lisan. Kadang-kadang analisis saya, saya kemukakan dalam bentuk tulisan, setelah itu kami diskusikan.

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 20 Desember 2007

Demi Kau dan Si Buah Hati: Lagunya Wartawan

AMBARITA FAMILY'S: My family: Lorentina Herawati Tmabun (my wife), and my daughters Elisabeth Uli Ovelya and Felisita Dorothy

"TIAP malam engkau kutinggal pergi
Bukan bukan bukannya aku sengaja
Demi kau dan si buah hati
Terpaksa aku harus begini"


SEBAIT lirik lagu karya Pance F Pondaag di atas satu dari sedikit lagu favorit saya. Saat karaokean di Vista Inul Plaza Semanggi, atau saat-sat bersantai di kantor, lagu ini sering kami dendangkan. Anehnya, kendati lagu kesukaan, lirik-liriknya tidak utuh saya hapal.


Maka ketika hujan menghunjam bumi Palmerah Kamis (20/12-2007), siang hingga malam, cuaca dingin membeku. Sementara saudara-saudaraku yang lain, sedang ayik memanggang sate kambing, atau sapi hasil dagung kurban Idul Adha 1428 H, kami dan segelintir kawan berusaha mengisi kedinginan dengan bernyanyi-nyanyi.

Umumnya lagu-lagu zadul (zaman dulu) atau tempo doeloe yang kami dendangkan. Mawar Berduri karya A Ariyanto, hitsnya GoD BLeSS; RuMaH KiTa, dan Panggung Sandiwara, hingga Demi Kau dan Si Buah Hati mahakarya Pance F Pondaag.

Bagi saya pribadi, lagu ini sarat makna. Bukan saja karakter nadanya yang cocok dengan suara, tetapi liriknya tepat dengan pribadi dan profesi yang sering begadang malam. Lagu Demi Kau dan Si Buah Hati ini pun kami namai dengan Lagunya Wartawan, dan merupakan lagu wajib kalau ada acara nyanyian.

Ya, sarat makna. Penuh nilai, arti dan malah pesan-pesan moral. Memiliki ideologi. Memiliki roh, mengandung pesan spiriual yang dapat memengaruhi kejiwaan orang yang mendendangkan atau bahkan sekadar pendengar. Tinggal bagaimana situasi dan kondisi saat lagu diperdengarkan.

Bila malam tiba, ya larut malam bahkan sampai hari berganti, saya --dan sebagian besar wartawan, melewatkan malam tidak bersama anak dan istri. Bagi saya, lagu ini mengena, karena istri bersama dua buah hati kami, Uli dan Dorthy, sebagai pelecut semangat untuk terus berjuang hidup. Lelah, capek, pusing, sesak, sesuatu hal lazim buat saya demi niat mengidupi anak-bini.

Itulah keunggulan lagu-lagu zadul. Banyak lagu biarpun usianya berpuluh tahun, masih tetap disuaki orang-orang modern, generasi millenium ketiga ini. Lagu-lagu tak lekang ditelan waktu, meskipun ada banyak juga yang tak menyukainya.

Bedanya, lagu-lagu saat ini, terkesan instan, ala kadarnya, yang penting propasar. Tujuan semata bukan lagi seni, tetapi pertimbangan ekonomi. Karena itu, boleh saja, lagunya tak bermakna namun menjadi hits. Boleh saja suara penyanyinya pas-pasan, tetapi ngetop.

Mumpung masih hangat di dalam ingatan kita, kontes Asian Idol perdana yang dimenangkan Hady Mirza, jawara Singapore Idol. Dalam dua kali tampil, mayoritas juri menilainya pas-pasan saja. Hady tidak masuk dalam katagori unggulan. Namun hasilnya, dia menjadi underdog yang menjunkirkan Mike Mohede, Abhijeet Sawant, Mau Marcelo, Jacyln Victor dan Phuong Vy.

***
JURI bukan segala-galanya pada ajang pencarian penyanyi berbakat, Asian Idol. Juri bukan pula pemegang keputusan mutlak, yang tak dapat diganggu-gugat. Posisi dewan juri bahkan kalah dibandingkan keputusan pemirsa, yang entah tidak tahu musik dan tarik suara, tetapi memiliki hak suara melalui pesan singkat telepon seluler atau SMS.

Kenyataan inilah yang dialami Mike Mohede, finalis Asian Idol 2007. Perjuangan jawara Indonesian Idol tahun 2005 itu untuk menjadi Idol Asia pertama berakhir sudah. Ia didepak perwakilan idola negara tetangga, yaitu Hady Mirza dari Singapura.

Meski kalah, Mike berusaha tegar. Ia mengaku tidak kecewa atas hasil yang diraihnya, dengan alasan telah mempersembahkan yang terbaik untuk negara dan pendukungnya. Menurut Mike, kali ini Tuhan memilih Hady daripada dirinya yang sebelum pembacaan hasil voting SMS, Minggu (16/12/2007) malam, sempat dijagokan para juri.

Era satelit. Teknologi menjadi panglima. Maklum dari bocah Balita hingga kakek-nenk, saat ini gandung dengan telepon seluler. Di mana-mana, ponsel menggelantung di saku celana atau kemeja. Lewat Ponsel pula, prediksi juri dijungkirbalikkan, oleh SMS yang dikirim mereka yang belum tentu tahu apa dan bagaimana nada yang pas. Tapi itulah faktanya, pasar menjadi sasaran utama. Lewat SMS, penyelenggara dapat meraup fulus jutaan bahkan miliaran rupiah.

Namun saya sedikit curiga. Bolehkan? Masih kah kita ingat, kepemilikan saham dua perusahaan telepon seluler juara satu dan runners-up dalam market share yang beroperasi di Indonesia sudah dikuasai atau dimonopoli Singapura.

Perusahaan yang berbasis di Singapura Temasek 'mencaplok' perusahaan ponsel kia. Melalui SingTel, Temasek menancapkan cakar kepemilikan pada ana perusahaan PT Telkom, yakni Telkomsel, dan melalui STT di Indosat (Isat). Kecurigaan saya, mungkinkan teknisi kedua ponsel itu mengutak-atik volume/angka SMS yang masuk? Mungkinkan SMS pendukung Mike dipending, sedangkan pendukung Hady diperbanyak?

Ah, entahlah. Kata orang, berburung sangka atau suudzon tidak baik. Namun naluri kewartawanan mencoba saya bertanya-tanya, entah terjawab atau tidak sambil mendendangkan mahakarya Pance F Pondaag berikut:

Demi Kau dan Si Buah Hati

Mengapa harus begini
Tiada lagi kehangatan
Memang kusadari sering kutinggalkan kau seorang diri

Bukannya aku sengaja
Meninggalkan kau sendiri
Aku menyadari bukan sandiwara kasihmu kepadaku

Tiap malam engkau kutinggal pergi
Bukan bukan bukannya aku sengaja
Demi kau dan si buah hati
Terpaksa aku harus begini

Tiap hari hingga malam berakhir
Kutahu kau tersiksa karna diriku
Sejujurnya aku katakan
Tiada satu pengganti dirimu

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 14 Desember 2007

Kaum Ibu dan Anak Korban Paling Menderita akibat Pemanasan Global

DESEMBER ini, putri bungsu kami, Felisita memasuki usia bulan kedelapan. Lahir di Depok, Jawa Barat, April silam, dengan berat badan 3,45 kg dan tinggi 49 cm. Tiga bulan berjalan, semua baik-baik saja. Pertumbuhan badan di atas rata-rata, berat badan mencapai 5 kg, lincah dan sehat.

Masuk bulan ke-4, masalah kecil mulai muncul. Badannya bintik-bintik merah. Keringat buntat pada sekujur tubuh, terutama pada perlipatan otot di lengan, paha, selangkangan, leher dan punggung tampak memerah. Biang keringat dibarengi demam, kemudian timpuki batuk.

Rasa iba terhadap si kecil amat mendalam. Kami bolak-balik ke dokter. Nyaris tak ada pekan terlewatkan tanpa ke dokter. Setiap ke dokter spesialis anak, bukannya ketenangan yang kami peroleh melainkan kekhawatiran luar biasa karena dokter menyebut ini dan itu yang intinya alergi Felisita teramat akut. Batuknya selalu kumat saat subuh, faktor pengganggu tidur. Selama beberapa bulan kami menumpang di rumah kakek-neneknya anak-anak.

Lalu saban dari dokter, dia kami cekoki beragam obat-obatan mulai meneggak antibiotik, obat puyer hingga inhalasi (fisioterafi). Dalam sepekan, frekwensi fisioterafi tiga sampai empat hari berturut-turut.

Kondisi ini memusingkan kepala tujuh keliling. Selain dipusingkan oleh beban biaya pengobatan di muka, meski akan diganti perusahaan, saya terus coba mencari tahu sebab-sebabnya. Sampailah pada hipotesa, penyebab batuknya tak pernah sembuh adalah embusan kipas angin hingga larut malam.

Ya, wajar. Bukankah para ilmuan menyimpulkan telah peningkatan suhu atau pemanasan bumi secara keseluruhan (global warning). Setelah menemukan penyebab batuk ialah udara tiupan kipas, saya dan istri sepakat harus segera pindah ke gubuk sendiri, masih di Depok. Atmosfernya juga masih panas, tetapi dengan view ke lembah angin bebas berhembus menembus banyakventilasi sehingga lebih dingin secara alami. Tidak lagi pengap, tak butuh lagi kipas hingga larut malam.

Syukurlah. Pilihan kami tepat. Hari kedua setelah pindah, batuk Felisita berkurang dan hingga kini, pecan ketiga, sudah hilang sama sekali. Mungkin karena bersamaan dengan musim penghujan sehingga cuaca agak dingin, keringat buntatnya juga telah lenyap.

Kasus Felisita hanya secuil contoh, namun banyak dirasakan banyak ibu-ibu yang kerepotan mengipasi anaknya. Bukan hanya di Depok, Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia, tetapi juga Negara lain di seluruh muka bumi, suhu memanas. Pertaannya, sudikah kita bumi yang hanya satu ini akan menjadi neraka buat kita?

Sejumlah tujuh organisasi perempuan telah memelopori gerakan reboisasi, menanam dan memelihara 10 juta pohon. Prakarsa mahakarya Ibu Negara, Ny Kristiani Susilo Bambang Yudhoyono dilakukan serempak di seluruh Indonesia, menanam 26 jenis tanaman. Gerakan yang didahului konferensi Kearifan Lokal Perempuan Indonesia dalam Perubahan Iklim Global.

Kearifan lokal? Ya, terminologi ini menarik dicermati. Mengapa mengungkit hal-hal berbau lokal, yang justru bagi kaum modernis mulai ditinggalkan dan ditanggalkan? Bukan kah saat ini sudah zaman serba global, mendunia, universal jadi mengapa harus mengadopsi cara-cara yang terbatas, lokalistis?

Basis massa pendukung program menanam dan memeliharan 10 juta pohon ini saja sudah unik, menyangkut gender yaitu perempuan. Ya, betul. Ini memang zaman serba modern. Tapi tidak salah jika perempuan dan nilai-nilai baik dari budaya dan adapt-istiadat dapat diesplorasi dan dipromosikan menjadi sesuatu yang dapat diterima khalayak ramai, universal. Program yang digelar bersamaan dengan United Nation Climate Change Conference (UNCCC) di Bali.

Mengingat semacam gerakan Keluarga Berencana yang pernah berhasil dengan mengedepankan perempuan, dalam pelestarian lingkungan pun boleh dicoba menyertakan prempuan. Dalam hal ini memang terkesan paradoksa, sebab perabahan hutan sering kali dilakukan laki-laki. Kaum Adam lah yang menjadi eksekutor pembabatan hutan, mereka tahan berbulan-bulan di tengah hutan, jauh dari anak dan istri.

Sekarang dengan melibatkan istri, diharapkan para suami mulai menyuarakan nurani, barang sekejap kalaupun tidak frontal langsung menolak penebangan hutan, setidaknya mengurangi. Kalaupun dia terbebani menafkahi anak istri, setidaknya dapat melakukan tebang pilih pada kayu-kayu ukuran besar dan di areal hutan produksi, bukan hutan konservasi.

Syukur-syukur lahir kesadaran baru, penebangan harus diikuti reboisasi: penanaman dan pemeliharaan pohon untuk menjamin kelangsungan fotosintesis, penghasil oksigen. Hidup tidak hanya hari ini dan besok, tetapi masih panjang, maka wariskanlah surga: alam yang nyaman dan sejuk untuk kehidupan anak-cucu, bukan menghadiahkan neraka. (domuara ambarita)


[+/-] Selengkapnya...

Pohon Kehidupan Persembahan Perempuan Indonesia

SIMARINGGA. Gugusan Bukit Barisan terletak di Tenggara Danau Toba, wilayah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Bukit petilasan atau pertapaan Tuan Sihaporas, Ompu Mamontang Laut Ambarita, dan Raja Siantar, Damanik. Lokasinya di puncak bukit, ke arah timur menjadi hulu sungai untuk daerah Simalungun, dan ke Selatan daerah aliran sungai ke Danau Toba.

Di masa kecil saya, kurang lebih seperempat abad silam, saya sering tertarik dan ikut acara mangalompas, yakni ritual melepas hewan ke hutan. Kadang melepas ayam, lain kali kambing. Masyarakat pesisir laut sering melakukan hal sejenis dengan melarung ke laut.

Prosesi membebaskan hewan, dibarengi membakar dupa-dupa berikut sesajen di bawah pohon besar. Di sekitarnya ada batu besar, landai atau datar. Hutan perawan dengan kayu-kayu berdiameter besar, tangan tiga orang dewasa yang coba melingkarkan tangan bersama-sama tidak bersentuhan mengelilingi pohon. Bukit yang kaya kayu-kayu alam, dan batu gunung.

Tradisi melepas hewan ke hutan digelar saban tahun, lazimnya setelah panen raya. Panen padi huma, tanaman darat. Dalam perjalanan waktu, tradisi adat ini semakin sering diperbincangkan warga desa terutama pendatang dari kota. Bahkan sekali waktu mulai digalang penentangan, dengan menyitir ayat-ayat suci dengan menamainya musyrik, menyembah berhala.

Lepas dari pro-kontra sudut pandang agama, tradisi ini memiliki hikmah atau makna spirual mendalam. Acara adat itu dapat diartikan menghargai alam, melestarikan lingkungan. Warga dan hutan atau alamnya seakan menyatu, saling membutuhkan. Warga menjaga kayu-kayu besar, tidak menebang, tidak sembarang menebang pohon dan menentang penjarahan.

Wajar karena mereka menggantungkan hidup pada kekayaan hutan. Untuk hidup warga memburu binatang, untuk mendapatkan uang warga menderes getah damar, kemenyan, pinus, mengambil rotan lalu menjualnya.

Upaya penentangan ritual adat tidak kalah seru. Kelompok penentang berdalih ayat-ayat suci. Tapi, ayat-ayat hanya tameng, motif yang dominan urusan ekonomi. Lalu mereka mulai bersiasat dengan pendekatan hitung-hitungan nominal. Pohon besar, tinggi dan lurus itu berkualitas bagus, mahal. Kalau pohon besar itu kita tebang, kira-kira lembaran papan yang dihasilkan sekian, balok sekian dan kalau dijual sekian uang kita dapat.

Dasar warga tradisional, masih banyak orang polos, malah buta aksara, tidak mengerti uang dan tidak sadar dipedaya. Siasat warga pendatang dari perkotaan tadi semakin mendalam, dan pengaruhnya kian menancap. Pendek kata, pohon besar habis ditebang.

Sejak itu, acara ritual ada menjadi hilang, mengalami desakralisasi. Tahun 1989, perambahan hutan sangat dahsyat. PT Inti Indorayon Utama, ditakui masyarakat setempat karena mengusung nama pemilik keluarga Soeharto, hutan perawan di bukit Simaringga pun habis ditebang. Bebatuan pun ditambang, untuk pengeras jalan dan bahan batu mengaspal.

Sekarang, 25 tahun kemudian, tidak ada lagi kayu besar 'berhala' kecuali kayu putih (eucalyptus), pepohonan yang rakus menghisap air dan unsure hara sehingga menyebabkan lahan tandus. Pengalaman warga desa dengan hutan adat (sebagaimana diakui oleh Undang undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan), tidak hanya penduduk Sihaporas. Beberapa kasus masyarakat tak kuasa melindungi hutan adatnya seperti di Buluhcina Kampar Riau, Hutan Sancang dan Kampung Naga Tasikmalaya Jawa Barat, Pegunungan Meratus di Kalsel, dan Bukit Soeharto di Kaltim.

Sayangnya, sekokoh apa pun upaya masyarakat lokal untuk tetap bersahabat dengan alam sekitarnya, tak kuasa melawan terjangan pengaruh globalisasi dan kapitalisme. Aktivitas penebangan hutan, baik pembalak liar maupun penebangan resmi oleh perusahaan pemilik hak pengusahaan hutan yang bermodal izin pejabat negara, terus berlangsung. Penebangan hutan di Indonesia rata-rata merambah 2,7 juta hektar per tahun.

Kini ada seonggok harapan, ketika ratusan perempuan yang diprakarsa Ibu Negara, Ani Yudhoyono menyamakan persepsi dan pemikiran untuk menemukan kembali kearifan lokal dalam memperjuangkan kelestarian alam dan lingkungan guna mengurangi laju pemanasan global.

Dan Ny Ani beserta tujuh organisasi perempuan telah mencanangkan penanaman 10 juta pohon. Ide cerdas, karena yang ditanami bukan pohon asal asalan, tetapi ada 26 jenis tanaman yang bermanfaat bagi manusia. Misalnya, pohon kecapi, durian, mangga, mahoni dan salam. Bahkan pohon yang memiliki nilai ekonomis tinggi, seperti jati emas.

Momennya pun tepat, karena gerakan massif ditautkan dengan pertemuan ribuan kaum cerdik pandai, pegiat dan ahli di bidang lingkungan dalam forum United Nation Climate Change Conference 2007 di Bali.

Bila pohon rimbun tumbuh di halaman rumah, ibu-ibu tidak perlu capek mengipasi anaknya karena kegerahan pada siang nan terik, cukup membawa anak bersenda-gurau di bawah dedaunan yang memproduksi oksigen.

Boleh dong bermimpi, 10 atau 20 tahun ke depan, anak cucu meraup untung dengan menjual pariwista alam sebagai produk unggulan. Semoga kita menikmati multiguna dari hutan dan pohon kehidupan yang dipersembahkan kaum perempuan Indonesia. Bumi kita hanya satu, mari selamatkan, kalau bukan kita lalu siapa? (www.domu-ambarita.blogspot.com)


[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 05 Desember 2007

Kecerdasan Emosi

RABU (5/12/2007) pagi, puluhan pengendara sepeda motor tampak merangsek di perempatan Kuningan, Jakarta. Saya berada di antaranya. Pagi itu, lampu hijau memberi giliran kami yang datang dari arah pancoran, untuk melintas menuju Semanggi. Namun kendaraan dari arah kanan masih menghadang di depan, terjebak macet. Sialan... Nggak bisa lewat.

Kring... kring.... (hahahah, kaya sepeda saja). Bunyi klakson memekakkan telinga, tapi apa lacur, metromini, Kopaja dan mobil-mobil lainnya bak tembok, di depan, tak memberi celah untuk sepeda angin sekalipun. Mereka merapatkan barisan, tidak ingin 'dipotong'.

Di antara sekian banyak pengendara sepeda motor di garda terdepan, seorang lelaki berbadan sedang, dari tubuhnya tampak masih agak mudah, wajahnya tak terlihat, karena dibungkus helm. Kemarahan dia tampak memuncak, melebihi yang lain.

Sambil mengegas motor bebeknya dengan menyentak hampir menabrakkan pada pintu sedan mewah, lalu dia menenda bodi mobil tadi. Aksi amarahnya rupanya tak dapat diterima motor yang ditungganginya, mungkin karena protes terhadap emosi tak terkontrol sang juragan, mesin motornya pun mati, mogok seketika.

Starter pun tak nyala, walau motor masih terlihat baru. Dia kemudian menggunakan pedal. Setelah mesin morot nyala, dia marahnya menjadi-jadi, lalu segera menerabas antrean, dari celah Kopaja yang sangat sempit. Dia nyaris terimpit, tertabrak Kopaja, yang juga sopirnya tak mau kehilangan momen. Sambil berlalu, sang 'pembalap' menoleh ke arah sopir Kopaja, tampaknya marah.

Ya, emosi. Jalanan dan macetnya arus lalu lintas memang sering kali membuat emosi pengendara meledak-ledak. Serempetan, atau senggolan kecil pun acapkali menjadi pemicu pertengkaran malah ditandai adu jotos antarketurunan Adam-Hawa. Ya, sekali lagi, emosi memuncak, tak terjaga.

Saya akan coba terus mengigat pesan orang-tua, yang mengatakan, jangan sampai tak dapat menguasai amarah. Dalam banyak hal, jangan pula terlalu maju, jangan ceroboh, jangan lamis. Unang pajolo bibir songon taltahul, alai papudi uhum. (Ucap dan tindakan jangan kemaruk, sampai mendahului/meniadakan hukum).

Dulu, ketika saya belajar Aljabar di kelas II SMP Negeri Tigabalata, Simalungun, Sumut, guru kami yang terkenal jenius dan pernah menjadi guru mate-matika tercerdas se-Sumut. Dialah Pak Napit. Dia cerdas, pintar, dan juara. Namun dalam hal mengajar, banyak murid mengaku sulit mencerna apa yang diajarkan. Metodologi pengajarannya terlalu canggih barangkali, sehingga tidak dapat tertangkap otak saya yang dungu ini, juga siswa-siswa lainya.

Pak Napit memang jarang marah dalam menagajar. Kalaupun kesal karena peserta didiknya bodoh, bandel dan tidak dapat memecahkan soal-sola mate-metika, pelajaran yang dibenci banyak siswa, dia tidak sampai meninggalkan bekas belebas/penggaris kayu, atau lidi di betis siswa.

Berbeda dengans eorang guru, Ibu Pardede. Dia terkenal guru killer. Setiap masuk kelas selalu membawa batang-batang tanaman lengkap dengan dedaunan merahnya. Setiap kali mengajar mate-metika, siswa pasti serius, saking seriusnya suasana berubah tegang. Amat tegang.

Bukan apa-apa, takut pada guru. Bukan itu saja, takut kalu tidak dapat menyelesaikan soal yang diajarkan ibu guru, sebab jika salah, maka batang tanaman dan dedaunan tadi akan menjadi saksi kebodohan. Tanaman akan dilibaskan ke tubuh, belakang badan, sehingga warna merah melekat pada kemeja.

Cilaka dua belas. Apalagi kalau pelajaran jam pertama, berati dua kali istirahat, sang siswa tidak akan ke luar ruangan, karena menyembunyikan aib. Dia akan menjadi bahan tertawaan, kalau ke luar dengan buliran pukulan dari guru, dan dapat dengan mudah ditebak, karen atolol mate- matikan.

Dua guru dengan metode yang berbeda dalam mengajar. Siswa-siswa yang diajari Pak Napit, lulusnya biasa-biasa saja nilai mate-matikanya. Sedangkan murid yang ditangani Ibu Pardede, lebih beruntung kalau murid diajar sejak kelas I, wah, kecakapan mate-matikanya pasi dijamin mak nyus dehhhhhhhh...

Selasa kemarin, seorang kawan wartawan menyesalkan sikap seorang bos, yang menangani peliputan pdaa koran daerah. Sang wartawan mengeluhkan sikap sang atasan karena meminta banyak hal, tanpa melihat realitas. Koran dia bekerja memang baru-baru ini menerapkan berita online secara real time.

Sang bos inginnya si wartawan segera mengirimkan berita setiap saat didapat, dari lokasi (on the spot). Sang bos mencontohkan, dan membandingkan dengan wartawan lain yang kebetulan dapat dengan cepat mengirim berita dengan fasilitas Ponsel yang memiliki perangkat internet, Communicator.

"Saya kira tidak fair. Masa saya disamakan dengan mas anu dan man polan. Mereka kan punya Communicator, sedangkan saya tidak. Bagaimana mau langsung kirim berita. Mestinya mas itu yang menelepon dari kantor untuk berita tercepat buat Online. Kalau menunggu saya, ya pasti sore, karena kembali ke kantor juga sore setelah itu mengetik berita," kata kawan saya cerewet.

"Yah, pimpinan memang beda-beda. Ada yang cerdas melihat situasi, ada juga yang melulu menonjolkan emosinya tanpa ada bijaksananya," ujar kawan tadi seakan sangat paham perbandingan antara kecerdasan emosi (emotion quotient), kecerdasan intelektual (intelligence quotient), serta spiriual quotient.

Ya, saya sependapat. Memecahkan masalah, apalagi dalam dunia wartawan yang serba underpressing kita mesti pitnar-pintar. Salah-salah, malah akan undercooptation. Bersabarlah," saran saya. (Domuara Ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 03 Desember 2007

I Hate Wednesday

"AYAH bagaimana sih. Wong masih Lebaran, kok tinggalkan rumah. Tamu-tamu dan keluarga siapa yang menemani. Aneh, ini kan masih libur panjang, cuti bersama, ayah kok sudah kerja. Perusahaan apa sih kerjaan ayah, nggak manusiawi sekali. Tidak beragama kali, benci. Benci......"

Tanggal 15 Oktober 2007, dua hari selepas Lebaran atau Idul Fitri 1428 H, atau tepatnya, seorang kawan redaktur pada satu koran di bawah Persda Network, mencurahkan isi hatinya. Dia seakan memuntahkan isi hatinya, uneg-unegnya, bahkan hal-hal yang sebetulnya rahasia keluarga. Urusan dalam negeri sendiri, atau konsumsi internal, bukan untuk dieskpose ke publik.

Rupaya kawan tadi tidak kuasa menahan gejolak hati. Dia coba memancing saya, dengan mengajukan pertanyaan apakah tidak menikmati cuti panjang Lebaran. Kami memang baru saling kenal nama lewat YM, face to face belum.

"Saya piket, bos. Mengisi waktu, saat kawan-kawna wartawan muslim merayakan hari rayanya, saya dan beberapa teman tugas piket dan meliput. Inilah arti indah dari keberagaman, saling mengisi. Saat yang lain menjalankan ritual agamanya, berslitaruhami dengan sanak-saudara, bernostalgia, dan lain-lain. Sedangkan sebagian lainnya tugas seperti biasa. Jadi pasokan berita, tetap ada. Apalagi kalau ada peristiwa besar, kita tetap dapat. Indah bukan keberagaman itu."

"Ya... ya... saya paham. Tapi..." tulis sobat pada Ymnya yang nongol di layar komputer saya. Disusul pengakuan dia yang sebenarnya masih rada kalut. Dia bekerja di satu kota, yang berjauhan dengan anak-istri. Pada hari-hari kerja normal, dia bekerja dua pekan, dan libur dua hari, untuk 'setoran'.

Sang sobat mengaku kadang-kala berpikir atas realits yang ada. Serba terbalik. Anomali. Misalnya, ketika orang lain bekerja pagi sampai sore, dia justru bekerja sore sampai malam. Ketika yang lain bangun pagi dan berangkat untuk mencari nafkah, dia masih tidur pulas di peraduan.

"Yah, beginilah hidup wartawan. Saya menyadari itu, dan mengatakan itulah risiko wartawan. Tetapi, kadang-kadang, istri dan keluarga tidak paham juga. Mereka minta dispensasi, setidaknya pada saat Hari Raya yang hanya sekali dalam setahun," kata kawan saya. "Ya, saya paham..."

Begitulah hidup wartawan. Bak kelelawar. Saya pun pernah mengalami. Hingga lima tahun pertama saya bekerja, ngalong, saya terus bertanya dan bermenung. "Apakah ini jalan hidupku? Apakah pilihan jadi wartawan sudah jalan terbaik? Apakah tidak ada pekerjaan yang lebih manusiawi? Bagaimana mendidik anak dan dekat dengan mereka kalau ayah lebih banyak di luar rumah, pergi pagi saat anak sekolah (saat anakku kelak beranjak gede) dan pulang setelah mereka terlelap."

Namun pertanyaan semacam itu sudah berlalu masanya. Sekarang saya sudah 'rela' menerima pekerjaan jurnalis, dan bahkan sudah menikmatinya. Kendati berangkat pagi, dan pulang larut malam. Kendati dalam perjalanan menunggang sepeda motor hampir dua jam sekali jalan (pagi- siang), menghirup debu-deru kota.

Pasca-Lebaran, kemacetan ibu kota kian menggila. Akhir-akhir ini, ketika proyek jalur khusus TransJakarta atau busway ala Jakarta terus dikembangkan, kemacetan Jakarta semakin tak terkendali. Hampir semua ruas jalan menjadi simpul kemacetan. Rute yang saya lalu, Depok- Pasar Rebo-Cililitan-Cawang-Pancoran-Senayan, sengaja saya alihkan melalui rute Pasar Minggu. Jalur ini pun bukan bebas macet, namun lebih mending dibandingkan rute pertama, pascaproyek busway.

Jika orang banyak menaruh benci pada hari Senin, karena beban kerja yang biasanya menumpuk. Mereka ngomel, I hate Monday. Bagi saya dan sebagian warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek), hari-hari yang paling dibenci adalah Rabu dan Jumat. I hate Wednesday. I hate Friday. Pada Rabu dan Jumat kemacetan Jakarta luar biasa, tidak semacet hari Senin dan hari lainnya.


Karena lelah di jalan, dan sering kurang tidur di rumah, saya seringkali sambil terkantuk-kantuk di jalan. Membunuh kantuk, saya sekejap menepikan sepeda motor, melelapkan mata barang lima menit di bawah pohon rindang, atau di SPBU guna menghindari kecelakaan fatal.

Tidak apa-apalah. Semua itu merupakan perjuangan. Dan kelak, semoga menghasilkan, sehingga ada yang dapat dibanggakan sebagai buah-buah ketekunan. Jika tidak, maka binasalah orang- orang yang tekun dalam doa dan karya. Mereka akan jera.

Saya masih percaya pada gurindam, "ida-ida do jolma na bosur, jala jora-jora ma jolma na male" (seseorang akan ketagihan berbuat baik jika mendapatkan imbalalan setimpal, sebaliknya dia akan jera karena balasnya tidak setimpal).

Inilah sebait lagu, yang sering saya dendangkan saat berkendara sekadar memacu optimisme hidup, atau sekadar menghilangkan sesak di dada:

ANAKKON HI DO HAMORAON DI AU

Reff.. Anakkon hi do hamoraon di au

Marhoi hoi pe au inang da tu dolok tu toruan
Mangalului ngolu-ngolu naboi parbodarian
Asal ma sahat gelleng hi da sai sahat tu tujuan
Anakkon hi do hamoraon di au

Nang so tarihut hon au pe angka dongan
Ndada pola marsak au disi
Marsedan marberlian, marcincin nang margolang
Ndada pola marsak au disi

Hugogo pe massari arian nang bodari
Lao pasikkolahon gellengki
Naikkon marsikkola satimbo-timbona
Sikkap ni natolap gogokki

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 29 November 2007

Matahari dari Timur

SELASA (27/11/2007), seorang sahabat lama menyapa dari seberang Laut Jawa. Kami berbicara ngaler ngidul via YM. Dialah Dade, kawan saya yang sama-sama memulai hidup jurnalistik di Borneo, koran ternama, Banjarmasin Post, sembilan tahun silam.

Sekali waktu, saya pernah iri padanya, ketika ia meninggalkan saya, sahabat baik di negeri Seribu Sungai, sebutan untuk Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Awal tahun 2000, Kang Dade yang asli Majalengka, Jawa Barat, dibutuhkan tenaganya untuk menyukseskan proyek baru, Koran Metro Bandung, kini Tribun Jabar. Koran ini terbit perdana 23 Februari 2000.

Ya, wajar saya iri, tapi tidak dengan embel-embel dengki. Di pikiran saya, begitu beruntungnya Kang Dade, perusahaan membutuhkan dia berarti karena kualitas, kredibilitas, integritas dan pengabdiannya luar biasa. Tekad saya adalah, bagaimana supaya bisa mengikuti jejaknya.

So, saya harus membuat yang terbaik. Bagaimana caranya? Sebagai jurnalis pemula, saya saat itu sering dan lebih sering membaca berita-berita apda banyak media cetak lokal maupun nasional sebagai pembanding sekaligus tempat berlajar, semakin sering berdiskusi, bertanya pada wartawan yang lebih senior, learning by doing atas beberapa kasus di lapangan.

Dan satu paling menempa saya adalah, panasnya suhu Banjarmasin. Tidak saja dalam artian iklim yang gerah, sumu, dan membuat keringat bercucur deras, tetapi panasnya atmosfer juga berbanding lurus dengan emosi kebanyakan warga. Bukan rahasia, tingkat kriminalitas terutama baku-bunuh sangat tinggi terjadi di Banjarmasin.

Peristiwa ini, semula kami sebut, berita dari langit. Berija kejadian, yang tidak dapat direncanakan si wartawan, kecuali memasang telinga, dan mata di mana-mana. Sebanyak mungkin bergaul dengan tukang ojek, penarik becak, sopir angkot, membangun jaringan dengan reserse, merangkul petugas UGD, bahkan sering-sering begadang atau bermalam di kamar mayat, adalah beberapa jalan untuk mendapatkan berita yang on the spot, uptodate, eksklusif, human interest dan mungkin multiangle.

Dari desk kriminal, sempat rolling ke politik, kemudian 'dibuang' di pelosok ke Tanjung, ibukota Kabupaten Tabalong, kemudian diterjunkan ke medan perang tradisional, mangayau pembantaian tebas leher antara etnis Dayak dengan Madura di Sampit, sejak 18 Februari 2001.

Sedikit banyak, saya memang telah minum garam kalimantan dan minum banyu Martapura. Anekdot orang Kalimantan, terutama suku Banjar meyakini, apabila sudah meneguk atau minum Banyu Martapura atau air dari Sungai Martapura, yang melintas membelah Kota Banjarmasin.

Awal tahun ini, saya dengan Kang Dade, kembali berpencar setelah lima tahun lebih bersama- sama di Metro Bandung/Tribun Jabar. Saya upgrade ke Persda guna membantu directing peliputan di Jakarta dan sekitarnya, sedangkan Kang Dade sedianya diincar untuk memperkuat Tribun Batam, namun hanya beberapa bulan di sana, kemudian tabulik pulang ke Banjarmasin Post karena sudah minum banyu Martapura. Hahahaa.a.a.a...

Beberapa pekan, kami tak berkomunikasi. Selasa itu, tanpa bas-basi, Kang Dade langsung menohok ke persoalan pencairan uang pada Jamsostek. Juli lalu, kami memang tak berhasil meraup uang segar yang sudah hampir sembilan tahun ngendon di brankas Jamsostek.

Dana yang cukup membeli satu pikap susu fomula itu tidak dapat diambil, karena memang Jamsostek menetapkan peraturan menara gading buat pekerja. Setiap pekerja didaftarkan perusahaan menjadi anggota Jamsostek, ia wajib menyetor iuran (plus tanggungan perusahaan) Jamsostek. Uang itu sebenarnya hak pekerja, tetapi oleh Jamsostek dibuat syarat yang bertele-te untuk mencairkannya.

Pengalaman saya, syarat mencairkan atau mengajukan klaim Jamsostek: 1) keanggotaan minimum 5 tahun, 2) Surat pengunduran diri/berhenti, KK/KTP asli, Kartu Jamsostek asli. Syarat lainnya, memiliki masa tunggu minimal 6 bulan, yang dibuktikan dengan surat C1 (penonaktifan kartu anggota dari perusahaan sebelumnya).

Bagaimana kalau ada pekerja tidak belum sampai lima tahun menjadi anggota? "Tidak boleh" Lalu ke mana uangnya, apakah jadi hak Jamsostek? "Mungkin, ya. Tapi boleh juga dilanjutkan lagi, jika pemilik kartu pindah kerja pada perusahaan yang juga menyertakan perusahaan menjadi anggota."

Bagaimana kalau seseorang pemilik kartu anggota, katakan sudah empat tahun 11 bulan bekerja, tapi dipecat/berhenti, lalu jadi wiraswasta? Entahlah, semoga dana yang bersangkutan tidak menjadi sumber dana untuk dimanipulasi/dikorup orang Jamsostek.

Perbincangan saya dengan kang Dade mengenai peluang meraup dana selama sembilan tahun, masih terganjal karena kami bedua hampir bersamaam non-aktif di Bandung, yakni Juli. Sedianya, Desember ini dapat dicairkan, namun belum jelas, karena kabar dari dia yang baru kembali ke kampung halaman di Majalengka, lalu menyempatkan diri mampir ke Jamsostek Jalan Suci Bandung, katanya urusan ini masih panjang.

Kini kami berada dalam jarang yang relatif jauh. Kang Dade memilih mendekat ke nyonya rumah yang calon dokter di kota Intan, Martapura, Kalsel, ada pun saya di Depok. Namun kami masih tetap berada dalam naungan perusahaan yang sama: Kompas Gramedia.

Hidup serba bersahaja atau lebih tepat melarat, saya masih tetap yakin motivasi bernuansa perumpaan yang beberapa dikumandangkan kang Dade, yakni kita mesti membuktikan diri, Matahari Terbit dari Timur, sekali waktu akan diberkahi Allah. Karena matarahi memang masih terbenam di barat hahahahahah........ (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Minggu, 25 November 2007

Jangan Tinggalkan Aku

MINGGU (25/11/2007), saya beserta lima kawan jurnalis, berbicang-bicang ringan di kantor, ruang redaksi Persda Netrok, Jalan Palmerah Selaatan 12, Jakarta. Ngerumpi kami ngaler ngidul. Tema politik, seputar gaya preman, koboi, penampilan bertabur emas dari beberapa pegiat pilitik di gedung DPR RI, Senayan, mampu mengumpulkan kami, kendati tak diperintah.

Berita politik memang tak ada matinya. Puncaknya pascaera reformasi yang ditandai antara lain euforia-kebablasan, sehingga sempat menyurutkan minat orang banyak, termasuk saya sendiri terhadap hiruk-pikuk perpolitikan nasional-lokal.

Akhir-akhir ini, atmosfer perpolitiakan kembali naik daun, asal bukan naik pitam. Suhu perpolitikan dipastikan akan terus meningkat sampai mendidih pada Pilpres 2009, semoga para politisi mampu mengendalikan diri dan massa sehingga 'ketel' tak sampai meledak. Dua tahun menjelang pesta rakyat itu, sejumlah tokoh politik sudah 'heboh' menohok dan menyodok ke sana ke mari, menambah hiruk-pikuk politik, sebagai calon presiden.

Sejumlah sosok sudah menyampaikan kesanggupan dan mulai 'jualan' memimpin bangsa ini. Ada yang terang-terangan, ada yang malu-malu. Calon yang terang-terangan mengatakan akan maju antara lain Iwan Cahyono dan Syafrul Agus yang deklarasikan diri sebagai pasangan Capres independen (meskipun gurang bergaung), Ketua Umum PDIP/mantan Presiden Megawati, mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.

Dalam obrolan sore itu, topik pun menyenggol aktivitas jurnalis di seputar panggung politik. Di luar wartawan yang jujur pada profesinya, ada beberapa nama yang disebut memiliki peran ganda. Selain wartawan untuk medianya, dia juga menjadi penghubung presiden dan wakil presiden dengan petinggi pada media tempat bekerja sang wartawan.

Ada orang yang semula sebagai officeboy di presss room gedung DPR, belakangan menjadi bos geng 'wartawan' yang mengorganisasi jumpa pers diikuti bagi-bagi fulus, atau menjadi calo orang-orang dari daerah dengan yang ingin bertemu legislator di Senayan. Mereka mengharapkan commitment fee. yang bagi sebagian orang adalah tabu tetapi dalam urusan lobi katagori hal wajar.

Seorang kawan wartawan senior, sudah puluhan tahun jadi jurnalis, sore itu menasihatkan wartawan lainnya, 'wartawan' tipe kedua di atas memang tampak lebih menguasai masalah dari wartawan pencari berita. Mereka pun dari memiliki akses yang terkesan luas dan dekat dengan sumber-seumber pokok berita untuk pencari berita. Ya, mereka menguasai: masalah dan orang.

Bahkan penampilan mereka lebih wah daripada wartawan, yang katanya saat ini mestinya berubah karena bukan lagi koran perjuangan melainkan industri pers. Industri: adalah era profesional, wartwan profesional memiliki kedudukan selevel dengan sumber daya lainya dalam perusahaan seperti modal, mesin dan metode (4M). Dengan demikian, jika pemilik media yang belakangan menggurita menjadi konglomerasi, maka wartawan pun berhak mendapat kehidupan yang semakin layak.


Mungkin paradigma ini yang menggugah kawan tadi melontarkan. "kalau tujuan anda segera kaya, maka dari sekrang mulailah mendekat kepada sosok-sosok entah calon anggota DPR atau calon presiden yang potensial tadhun 2009. Kalau dia jadi, Anda akan kaya. Rumah bisa di Kota Indah (barangkali maksudnya Pondok Indah) dan mobil tiga," ujarnya sambil tergelak tawa.

Ya, itulah arti dan konsekwensi pada kesetiaan. Setia memilih hidup sebagai jurnalis/wartawan, ya berarti setia miskin, atau setidaknya memiliki jiwa pro-miskin. Karena, konon, tugas wartawan sebangun dengan pewartaan: tanpa pamrih, layaknya mubalik, pastor, pendeta (ideal).

Jika tidak setia pada profesi dan kawan, jadilah pilihan-pilihan pragmatis. Demi hidup yang semakin sulit, maka haruse memilih, tetap miskin atau kaya. Ini memang paradoksal: Miskin tak ada untungnya, Kaya tak ada ruginya.

Saya jadi teringat pada putri bungsu kami, Elisabeth Uli Ovelya Ambarita, Sabtu (24/11/2007) malam. "Jangan tinggalkan aku. Ompung... tante, jangan tinggalkan Uli," katanya meraung dengan nada menjerit saat ditinggal nenek dan tantenya yang hendak pulang.

Sabtu itu adalah haribaik, dan kami jadikan untuk pindah rumah, menempati bangunan setengah jadi di Komplek Deppen Jalan Raya Bogor, Cisalak. Uli yang selama ini menganggap neneknya dalah ibu: sedari usia 6 bulan lebih sering tidur bersama ompungnya daripada kami ibu- bapaknya.

Usianya 3 tahun 1 bulan. Tapi omongan dan pikirnanya, seprtinya di atas usia itu (setidaknya bila dibandingkan dengan pengalaman saya, yang orang kampung...) Saat hendak ditinggal pulang, dia menjerit agar tidak ditinggal. Saya dan mamnya, sebenarnya tidak memaksa Uli tidur bersama kami malam itu. Kami maklum kalau dia ikut ompungnya. Tetapi akhirnya dia sendiri memutuskan, tinggal bersama kami, sembari mencium pipi ompungnya dan melambai tangan dadahhhh.... (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 22 November 2007

Era Digital

SEBELUM Tim Usia di Bawah 23 Tahun (U-23) PSSI dibantai Suria tujuh gol tanpa balas, tim senior dihajar tim yang sama di Jakarta, 4-1. Hasil ini makin mempertontonkan comping-camping persepakbolaan nasional, setelah pada Piala Asia, Juli lalu, juga tak berkutik di kandang sendiri.

Untung juga keok. Andai menang, mungkin Nurdin Halid, sang Ketua Umum yang menjadi pesakitan di LP Cipinang untuk kedua kali dalam kasus korupsi, akan menepuk dada. "Ini lho, kinerja PSSI. Di penjara saja, PSSI masih bertaji. Siapa bilang persepakbolaan Indonesia, mandul. Ngapain mesti mengganti saya."

Barangkali Nurdin tidka malu diwawancarai wartawan. Dia akan mengumbar pernyataan membabi buta dan tak terukur ke khlayak ramai melalui media, atau sekabatas bisik-bisik dengan pengurus PSSI lainya yang rajin menyambangi Nurdin di dalam bui.

Kembali pada pertandingan Timnas saat menjamu Suria di gelora Bung Karno dua pekan silam. Saya menyaksikan satu hal yang ironis, memilukan, sekaligus prihatin. Papan pergantian pemain yang diangkat inspektur pertandingan adalah bahal plastik manual.

Perangkat pendukung yang sering digunakan pada pertandingan klub-klub Tarkam (antarkampung). Perangkan manual yang jauh dari kelayakan pada level pertandingan internasional. Jika di negeri tetangga atau asing sudah menggunakan alat digital, PSSI masih setia dengan alat-alat manual.

Seperti halnya perusahaan-perusahaan minilik negara (BUMN) yang setia dengan monopoli, semacam Peramina, PLN, Telkom, hanya akan menjadi jago-jago kandang ketika dilindungi pemerintah. Menjadi katak dalam tempurung. Begitu era berubah, globalisasi dan liberalisasi menjalar ke mana-mana, semua tersapu akan angin perubahan, terseok-seok.

Rasanya, PSSI pun tinggal menunggu hadirnya, PSSI impor agar mau berubah. Entah PSSI impor dalam artian pembekuan dari FIFA, lalu, PSSI vakum dan muncul lagi penggant. Bila itu pilihannya, tanpa didahului kesdaran Nurdin dan pengurus PSSI yang ada tak berniat mundur/bubar, termat mahallah biaya yang ditanggung insan olahraga nasional.

Pak Nurdin, seburuk-buruknya Soeharto, Eyang masih mau undur diri. Lengser keprabon. Sebelum digilas, silakan minggir bossssss... Kasihan persepakbolaan nasional, yang sebenarnya tidak memajukan pesepabola lokal tetapi menafkahi pemain asing, dan menggemukkan agen pemain asing, serta menyuburkan KKN 'proyek' transfer dan gaji pemain asing. (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 15 November 2007

Sayangku pada Sebulir Padi

MASA kecilku, Amang-Inang, atau ayah bundaku, selalu menasihatkan agar tidak membuang- buang buliran nasi. Nasi yang sudah disendok ke piring harus habis dimakan. Tidak boleh menyisakan remah-remah. Piring bersih, bila perlu tidak usah pakai sabun untuk mencucinya.

Falsapah yang selalu mereka tanamkan kepada kami anak-anaknya adalah, untuk sebulir nasi dikorbankan peluh dan tak jarang darah. Nasi berasal dari beras, sebelumnya padi. Padi diyakini memiliki dewa yang disebut boraspatini tano. Agar padi tumbuh subur, petani harus tekun memanjatkan doa-doa permohonan kepada Allah melalui Sang Dewa. Andai Sang Dewa tak berkenan, tanaman padi akan puso, gagal panen. Kalaupun menghasilnya, tuaian tak menggembirakan.

Alasan lain, padi diidam-idamkan berbulan-bulan lamanya. Kalau padi sekarang bisa panen kurang dari 100 hari, di kampung saya, Lumban Ambarita Sihaporas, Kecamatan Sidamanik, Simalungun yang terletak di kaki bukit Simarjarungjung, tak jauh dari Danau Toba, umur padi lebih panjang. Padi ditanam di huma/hauma, lahan kering. Bukan sawah.

Dahulu, padi ditanam di atas lahan robean, atau areal pertanian yang ditanami perdana dari hutan perawan. Tanpa pupuk, kecuali unsur hara dari dedaunan dan batang pohon yang membusuk puluhan, ratusan atau ribuan tahun sebelumnya. Tuaian dari lahan robean, biasanya jauh lebih memuaskan dibandingkan hasil panen dari galunggung, lahan second atau yang sudah ditumbuhi semak-semak semacam ilalang.

Dengan hanya mengandalkan kesuburan tanah, tanpa pupuk kimia, kompos dan pupuk kandang, wajar jika peluang padi berhasil tidak begitu besar. Kalaupun padinya sangat subur, tidak akan pernah sebesar tuaian dari sawah, lahan beririgasi.

Faktor yang mendorong Amang dan Inang menasihatkan kami sangat sayang pada nasi adalah gangguan hama. Babi hutan, kera/monyet, tikus dan burung sangat ganas memangsa padi. Tidak jarang petani marjuma modom (mengidam di ladang) untuk menjaga ladang. Kalau pun tidak, pergi ke ladang subuh, dan pulang malam untuk mamuro menjaga padi dari sergapan kawanan burung pipit.

Petani pun sering dibayangi kekhawatiran badai hujan es. Akan sangat bahaya, buliran padi akan rontok dipipil hujan jika ini terjadi. Ini adalah force majeur bagi petani tradisionil.

Kerasnya usaha, beratanya beban dan pengorbanan untuk mendapat padi oleh para petani yang minim ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi itu, sangat wajar jika memperlakukan sebulir padi layaknya sekeping emas, atau mutiara.

Secara psikologis, sesajen dipersembahkan, gurindam dilantunkan, atau kumat-kamit membacakan mantera, untuk mengharapkan menuai padi yang cukup untuk penganan pokok selain singkong, ubi dan talas. Segenap jiwa dan raga dikerahkan untuk menghimpun buliran- buliran padi itu.

***
NUR Mahmudi Ismail, sudah setahun lebih memangku jabatan Walikota Depok. Sosok yang sebelumnya line-up di "Liga Utama" selaku Menteri Kehutanan terdegradasi pemain cdangan "Divisi I", sebelum dilantik 28 Januari 2006.

Lebih dari setahun, keluhan-keluhan atas lambannya pembangunan infrastruktur yang dia lakukan tidak sepi. Demo-demo bahkan sudah pada permintaan agar dia mundur. Jika kebanyak walikota terpilih segera membenahi infratruktur semacam mengaspal jalan, Nur Mahmudi rupanya taidak melakukan itu.

Jalan-jalan banyak berlubang, bahkan kubangan-kubangan besar. Dari jalur protokol hingga jalan arteri hampir semua ditandai jalan rusak. Jalan Raya Bogor, Tole Iskandar, Jalan Proklamasi, Jalan Bahagia. Permohonan (halus), keluhan dan hingga cemoohan (sarkasme) dilontarkan tidak juga dijawab. Sepertinya dia seribu bahasa.

Barulah sepekan ke belakang, tampak aktivitas pembangunan. Lumayan lah. Kubangan panjang di bawah rindangnya pohon persis di depan bekas Ramayana Cisalak Jalan Raya Bogor, dan pengecoran Simpangan (pertigaan Jalan Tole Iskandar dengan Jalan Raya Bogor), proyek lainnya terkesan asal-asalan. Asal ada maksudnya.

Di Jalan proklamasi, dekat Pasar Agung, cor-coran jalan raya malah dibongkar ulang oleh tangan-tangan tukang, kalau serius mestinya pakai alat berat, bukan dengan linggis atau palu kecil. DI Tole Iskandar, tak jauh dari Simpangan yang dibereskan di ujung got. Padahal pokok persoalan, genangan air di depan pabrik tekstil dibiarkan bak kubangan kerbau.

Sedangkan di tempat lain, ada yang membutuhkan pananganan. Jalan di Jalan Bahagia, seopanjang sekitar 500 meter jalan rusak parah. Kalau hujan, pasti penuh kubangan, sedangkan ketika musim kering jalan menebar debu.

Sinisme saya sempat muncul. Wah, gawat nih, padahal guru mengatakan kembangkanlah posotive thinking. Alasannya, kok baru sekarang perbaikan jalan yang sudah sangat parah itu dilakukan. Kenapa baru akhir tahun????

Jadi curiga. Jangan-jangan seperti sering diketahui dilakukan birokrat kita, tentang sisa anggaran. Bukan rahasia lagi, dana APBD untuk pembangunan yang sudar dianggarkan, konon harus habis pada tahun anggaran berjalan. Jika tidak, daerah harus mengembalikan ke kas negara.

Inikah dasarnya, sehingga dana harus segera dibelanjakan mengingat tahun ini tinggal menyisakan 45 hari lagi. Paradigma menghabiskan sisa anggaran kah yang menyulut proyek tidak tepat sasaran, maka corcoran yang masih bagus pun harus dirusak ulang untuk dibangun kembali? Jika dugaan itu ada, saatnya tim pengawas turun tangan mengaudit.

Sebab praktik pemborosan itu sangat kontradiktif di tengah upaya sekitar 37 juta penduduk Indonesia, terus mengetatkan ikat pinggang sekadar supaya besok masih bisa makan. Pemborosan yang dipraktekkan aparatur negara sangat kontras dengan perlakuan terhadap petani- petani di desa terhadap sebutir padi, beras, nasi. (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Malaysia Akhirnya Akui Rasa Sayange Milik RI

http://www.tribunkaltim.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2488&Itemid=1
Rabu, 14-11-2007 | 23:29:16
JAKARTA, TRIBUN -- Pemerintah Malaysia akhirnya menyerah soal polemik lagu Rasa Sayange. Menteri Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia Rais Yatim menyatakan bahwa Malaysia mengakui lagu Rasa Sayange sebagai lagu asli Indonesia. Pengakuan itu disampaikan Rais saat bertemu dengan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Jero Wacik.
Ketua Umum DPP Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI) Dharma Oratmangun mengatakan, dalam kunjungan ke Malaysia, lahir kesepahaman antara Jero Wacik dan Rais Yatim. "Persoalan lagu Rasa Sayange selesai. Secara de facto, Malaysia mengakui itu milik Indonesia," kata Dharma, Rabu (14/11).

Pernyataan eksplisit Rais Yatim, menurut Dharma, disampaikan saat acara Temu Jembatan Budaya di Kuala Lumpur Senin (12/11) lalu.. Dharma merupakan salah seorang anggota delegasi kebudayaan Indonesia. "Oleh Pak Menteri (Menbudpar Jero Wacik) disampaikan bahwa sebagai negara bertetangga, semua persoalan agar diselesaikan dalam konteks masing-masing. Adapun lagu Rasa Sayange sudah bisa dipahami sebagai warisan yang dipunyai Indonesia," ujarnya.

Lagu tersebut memang hidup di masyarakat secara luas hingga ke Malaysia. Karena itu, rakyat Malaysia juga mengenal dengan baik lagu tersebut. "Jadi, tidak ada masalah lagi," tegasnya. Jero Wacik saat dihubungi tadi malam membenarkan bahwa masalah lagu Rasa Sayange sudah tuntas. "Sebenarnya, tidak hanya masalah itu yang dibahas. Ada banyak hal," kata Jero.

Sebelumnya, Kementerian Kebudayaan Malaysia mengakui telah lalai menggunakan lagu Indonesia lainnya. Yakni, lagu Tiar Ramon karya musikus Minang, yang digunakan tarian delegasi Malaysia pada Asia Festival 2007 di Osaka.

Indonesia tidak akan memperkarakan lagu dan kesenian yang dipakai Malaysia. Sebab, Indonesia dan Malaysia masih serumpun. Namun, Indonesia meminta, jika Malaysia menggunakan kesenian Indonesia, harus diumumkan kepada publik bahwa itu berasal dari Indonesia.

Di Malaysia, selain menghadiri Temu Jembatan Budaya, Jero Wacik membuka Indonesia Trend (Trade, Tourism, and Investment) Expo 2007 di Kuala Lumpur. Itu merupakan pameran produk-produk ekspor Indonesia ke Malaysia. (myRMnews).


[+/-] Selengkapnya...

Senin, 12 November 2007

Front Liner, Kesan pada Pandangan Pertama

JAMAK sudah terdengar anekdot di dalam masyarakat ungkapan rada sarkastis berikut. Mentang-mentang kaya, Si Polan congkaknya luar biasa; Mentang-mentang pintar sombongnya kelewat amat, mentang-mentang berkuasa Si Anu sesuka hati dan otoriter; memang sih produknya laku tapi masa sih nggak bisa nego; perusahaan ini bagus tapi sayang kurang memerhatikan pelanggan.

Induk perusahaan tempat saya mengabdi, Kompas Gramedia, satu di antara perusahaan yang sangat mapan alias market leader. Bukan rahasia dominsi Kompas pada koran, dan Gramedia pada percetakan dan toko buku. Ya, mapan. Sehat.

Dalam beberapa bidang, layanan masih terbaik. Tapi yang namanya manusia, tidak ada yang sempurna. Entah karena menyadarai ketidaksempurnaan itu, atau ada sesuatu prediksi setelah menganilisis tanda-tanda zaman, setahun ke belakang, nuansa perubahan terjadi begitu kental. Salah satunya adalah orientasi pada memenangkan hati pelanggan: pada semua lini.

Lini paling depan, atau garda terdepan yang dibenahi yakni profesi yang paling dekat dengan pelanggan. Siapa mereka? Bukan para tampuk pimpinan semacam Presdir, bukan direktur, bukan pimred, bukan manajer, bukan pula kepala bagian, tetapi pegawai bawahan. Misalnya, operator telepon, Satpam, resepsionis, pramuniaga, teller, dan lain-lain.

Ya, mereka inilah yang lebih dekat dengan konsumen, yang setiap saat langsung berhubungan secara fisik maupun lisan dengan pelanggan, pembeli, pemasang iklan dan sebagainya. Orientasi memuaskan pelanggan: pembeli adalah raja/ratu.

Saya teringat konsep ini, karena Senin (12/11/2007) malam, saya kebetulan bepergian ke Plaza Semanggi, di Jalan Gatot Soebroto Jakarta. Bukan untuk dugem, shopping, tidak juga untuk melonggarkan tenggorokan bernyanyi di karaoke Inul Vista di lantai VI. Bukan, bukan untuk rekreasi, tetapi urusan dengan mengaktifkan simcard ponsel.

Sepulang dari lantai I, menuju basement tempat si Supra menanti, saya bertanya pada seorang anggota Satpam yang berdiri di samping meja pengawasan di pintu masuk. Mengenakan seragam hitam-hitam, mirip intelijen polisi, dia menggenggam pemindai logam (metal detector), dengan sigap memeriksa setiap barang bawaan tamu.

Sebelum saya bertanya di mana pintu menuju basement, hahahah... dasar udik, saya membiarkan si Satpam melayani seorang lelaku yang datang beserta teman wanitanya. Dari kulit dan wajah, dia bukan orang Asia Tenggara, kalaupun iya, mungkin blasteran. Dugaan saya, lelakinya orang India dan perempuan dari Jepang atau Korea.

Saya mendekat ke si Satpam, sembari berharap si tamu segera berlalu. Sambil menyodorkan tas ransel diperiksa si Satpam, pria tadi bertanya, I want to buy Simpati Simcard, Where is???

Sang Satpam tampak menyedengkan telinga kanannya. "Apa?" katanya. Lalu si tamu mengatakan lagi, "I want a Simpati simcard." Tampaknya si Satpam belum nyambung. Lalu saya coba memberanikan, 'intervensi', please, go there on the first floor!"

Saya mafhum, karena saya sama dengan sang satpam, pendidikan rendahan. Mungkin saja, kami sama-sama wong deso, yang kebetulan terdampar di Megapolitan. Lalu, kedua tamu tadi pergi ke dalam Pelangi (sebutan untuk Plaza Semanggi), dan saya pun bertanya kepada Satpam.

Garda terdepan. Ya, Satpam memang garda terdepan dalam perusahaan. Serendah apa pun pendidikan, seminim apa pun keterampilan atau kecakapan dia berkomunikasi, itulah faktanya, dia langsung berhubungan dengan pelanggan. Bukan saja orang se daerah yang bahasa sama, bia jadi dengan orang asing dengan logat, bahasa dan adat istiadat berbeda.

Bila paradigma lama, orang-orang front liner dianggap sebelah mata. Dianggap pekerjaan rendahan, sekadar pelengkap, sehingga tidak perlu dipertimbangkan latar belakang pendidikan, keterampilan bahasa, komunikasi dan dengan demikian upahnya pun ala kadarnya, mengingat perkembangan zaman yang terus menggelinding ke era liberalisasi-global, maka paradigma itu mau tak mau harus diubah.

Jadikanlah orang-orang yang bekerja sebagai satpam, resepsionis, marketer, AE, bahkan office boy orang- orang terampil. Tidak mesti berijazah sarjana, tetapi terampil. Kalaupun telanjur tidak mumpuni, mari, latih untuk menjadi frontliner yang bisa memikat pada pandangan pertama. Jika pada pandangan pertama saja mengesankan, pelanggan senang dan puas terlayani, maka selanjutnya terserah Anda. (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...

Sabtu, 10 November 2007

Tidak Malu Meminta Bimbingan Blogger Profesional

Yusril dengan bini muda, Rika. Foto Persda/Bian


Yusril Mulai Keranjingan Blog (3-Habis)

Laporan Wartawan Persda, Domuara Ambarita

KONTROVERSI identitas penulis di balik blog Yusril Ihza Mahendra berbuntut kopi darat, atau pertemuan tatap muka dengan sejumlah orang yang semula menuding Yusril hanya sebagai penyamar. Pembajak nama. Yusril dan sejumlah blogger sepakat bertemu langsung, bertatap muka di Billiton Bistro Plaza Senayan, milik Yusril. Yuril bertemu dengan Abi, Priyadi beserta istrinya Rina, Jay, Deden, dan Vavai.

Usai pertemuan itu, Yusril kembali menulis. Hingga Sabtu (10/11), Yusril baru memosting dua tulisan. Tulisan terbaru diupload Rabu, 7 November pukul 19.48 berjudul Ucapan Terima Kasih. Yusril menulis kalimat berikut, "Saya ingin mengungkapkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT, dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga, atas segala saran, sambutan dan komentar atas blog yang baru saya ciptakan ini. Saya menyimak dengan sungguh-sungguh semua masukan yang telah diberikan. Saya menganggap semua itu sangat berharga bagi saya, sebagai seorang pemula di dunia blog."

Dia mengaku bertemu langsung dengan beberapa orang yang lebih dulu menggeluti dunia blog, namun sempat sinis menyangsikan seorang mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra akan 'turun gunung' ke komunikasi informal, yakni blog.

Yusril bercerita tentang kopi darat dengan blogger profesional. Mereka berbincang-bincang lebih satu jam. Sambil minum dan makan malam di Billiton Bistro, Plaza Senayan, Jakarta, hari Rabu malam tanggal 7 November yang lalu. Bagi Yusril, pertemuan sungguh sangat berharga. Bukan saja dapat berkenalan secara langsung dengan mereka yang telah relatif lama berkecimpung di dunia perblogan, tetapi juga dapat menimba ilmu dengan mereka.

Dengan pertemuan itu, maka segala keraguan, spekulasi dan syak-wasangka yang semula ada, dapat diakhiri. "Kalau menggunakan istilah agama, rekan-rekan itu bukan saja "ainul yaqin" (percaya karena menyaksikan dengan mata kepala), tetapi juga menjadi "haqqul yaqin" (sungguh-sungguh percaya di alam pikiran dan hati). Atas kebaikan dan saran mereka, serta rekan-rekan yang lain, akhirnya saya membuat blog saya sendiri, sebagai wahana bertukar pikiran," tulis Yusril.

"Seperti telah saya ungkapkan dalam Kata Pengantar, saya hanyalah seorang hamba Allah yang dhaif. Pengetahuan saya sangatlah terbatas. Karena itu, saya berlindung kepada Allah SWT, agar saya dijauhkan dari sikap "ngotot" dan ingin benar sendiri.

Saya selalu mengemukakan pendapat dengan dilandasi oleh suatu argumen. Kalau ternyata, dalam suatu pertukar-pikiran, saya menemukan pendapat orang lain yang didukung oleh argumen yang lebih kokoh dibandingkan dengan argumen yang saya miliki, maka saya dengan tulus dan ikhlas akan meninggalkan pendapat saya, dan mengikuti pendapat orang lain itu."

Sebelum mengakhiri ungkapan terima kasihnya, Yusril mengajak pengunjung blognya untuk tetap menggunakan bahasa yang baik, sopan dan saling menghormati, walaupun mungkin berbeda dalam mengemukakan pendapat.

"Saya mohon maaf tentang penggunaan bahasa. Beberapa rekan mengkritik saya karena bahasa saya sangat dipengaruhi oleh Bahasa Melayu klasik. Saya mohon maaf atas semua itu. Namun anehnya, beberapa tahun yang lalu, saya dan Susilo Bambang Yudhoyono, pernah diberi penghargaan oleh Pusat Bahasa, sebagai penguna Bahasa Indonesia yang baik. Saya sendiri sebenarnya heran dengan penghargaan itu," kata Yusril.

[+/-] Selengkapnya...

Sempat Dicurigai Orang yang Menyamar

MESRA:Yusril Ihza Mahendra (kanan),
dan istrinya, Rika Tolentino Kato (kiri)
yang berdarah Jepang-Filipina terlihat mesra
saat meninggalkan rumah dinasnya di Jalan
Widya Chandra I Nomor 2, Jakarta Selatan, setelah
diberhentikan Presiden Yudhoyono, 8 Mei 2007.


Persda Network/Bian Harnansa




Yusril Mulai Keranjingan Blog (2)

Laporan Wartawan Persda, Domuara Ambarita

MULAI aktifnya Yusril Ihza Mahendra berkomunikasi lewat blog sempat diragukan banyak orang. Perdebatan muncul, meragukan kalau mantan Mensesneg itu adalah betul-betul pemilik alamat http://mahendra-ihza-yusril.blogspot.com. Maklum, bajak-membajak nama di dunia maya sangat kerap terjadi.

Muhammad Rivai Andargini, profesional TI, misalnya mengatakan, "Ketika pertama kali membaca ulasan Pak Priyadi mengenai blog Pak Yusril Ihza Mahendra, saya masih dalam tahap ragu antara percaya dan tidak." Vavay, sapaan Rivai di jagat maya, menuturkan sengaja memosting komentar pertama, untuk mengetes apakah pemilik blog tersebut benar Yusril atau bukan.

"Terus terang saya pribadi kurang percaya kalau ini benar pak Yusril," tulis Vavay sembari mengusulkan pelacakan melalui sahabat Yusri, Menhut MS Ka'ban dan adiknya, Yusron Ihza.

Keraguan Vavay, karena Yusril kurang akurat menulis nama Ketua Partai Demokrat, Budhisantoso menjadi Budisusilo. "Ini sangat aneh karena Pak Yusril orang yang sangat teliti pada detail. Karena sempat di PBB, saya jadi tambah yakin yang menyamar adalah orang yang tahu banyak soal Pak Yusril."

"Ini ada kekurangcermatan lagi pada blog yang di blogspot: Badan Komukasi Pemuda Masjid (BKPM). Sepertinya ini juga kurang cermat, baik singkatan BKPM maupun penulisan komukasi. Yang benar adalah BKPRMI, Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (http://www.bkprmi.org/). Memang benar dulunya organisasi ini bernama BKPMI. Waktu Pak Yusril jadi ketua umum PBB, ketua BKPRMI adalah KH Kholil Ridwan yang menjadi salah ketua di PBB."

Jie menyusul dengan komentar yang menarik, "Abis ini saya yakin "Pak Yusril" bakal komen di sini" Benar saja, tak lama kemudian ada balasan komentar dari "Pak Yusril"


"Terima kasih atas semua pandangan, saran dan komentar atas blog yang baru saya buat. Seperti telah saya jelaskan, saya baru dalam taraf belajar. Sebagai pemula, saya pikir, lebih baik saya gunakan blog gratis dulu. Saya mohon maaf, jika dalam posting saya di bog Jay, terdapat kekeliruan karena buru-buru," kata Yusril.

Jay yang disebut Yusril adalah pemilik nama lengkap Yulian Firdaus Hendriyana. Dia alumnus Departemen Arsitektur di ITB. Hobi yang kental seputar teknologi informasi dan komputer, terutama dunia Linux dan Open-Source membawa Jay dan kawan-kawan mendirikan KLuB Linux Bandung, bagian dari Kelompok Pengguna Linux Indonesia.

"Masih ada juga yang ragu-ragu kalau blog ini saya buat sendiri, dan posting di blog Jay serta sekarang ini, juga saya tulis sendiri. Tidak apa, wajar saja keraguan itu. Pernah ada yang membuat friendster atas nama saya, namun saya tidak pernah membuatnya. Saya telah mengundang Jay dan Achmadi untuk minum kopi agar kedua beliau "ainul yaqin" yang posting dan membuat blog itu adalah saya. Mudah-mudahan setelah itu akan meningkat menjadi "haqqul yaqin"," tulis Yusril<


Meski diklarifikasi, para blogger tetap meragukan keaslian Yusril di blog itu. "Hehehe, jika sebelumnya saya masih 68% ragu apakah ini benar Pak Yusril yang sedang blogwalking, kini keraguan saya meningkat menjadi 86%," lanjut Vavay sembari menguraikan ciri khas Yusril, antara lain teliti pada detail serta runtut dan tajam. jarang keliru.

[+/-] Selengkapnya...

Yusril Mulai Keranjingan Blog

JAGAD BLOG: Yusril Ihza Mahendra (kedua dari kanan)
bertemu dengan sejumlah blogger (dari kiri) Abi,
Rina, Priyadi, Jay, Deden, dan Vavai.
Para blogger profesional ini semula mencurigai Yusril
yang muncul di jagat maya blog sebagai penyamar
. Foto: BLOG_VAVAY



Laporan Wartawan Persda, Domuara Ambarita

MENGUTIP slogan promosi satu maskapai penerbangan, now everyone can fly, di jagat maya, semboyan senada sedang merasuki pegiat komunikasi via internet. Tidak lagi sebatas berkirim surat elektronik, atau chatting, friendster yang fiturnya masih terbatas, kini fenomena blog semakin semarak. Fasilitas website serba gratis.

Bukan hanya kalangan blogger yang melek di dunia teknologi informasi yang menggemarinya, mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mehandra pun mulai keranjingan blog. Yusril, kelahiran Belitung 5 Februari 1956, memiliki alamat http://mahendra-ihza-yusril.blogspot.com

Inilah aktivitas baru Yusril Izha Mahendra setelah pensiun dari jabatan supersibuk Menteri Sekretaris Negara, selain syuting bintang film serial Laksamana
Cheng Ho di Bangkok, Thailand.
Yusril perkenalan perdana lewat tulisan berjudul Kata Pengantar yang diposting 1 November lalu pukul 00.40. Beginilah tulisan Yusril, pendiri sekaligus mantan Ketua Umum Partai Bulan Bintang.

"Atas saran beberapa sahabat yang saya kenal melalui blog, maka hari ini saya menciptakan blog saya, sebagai wahana komunikasi bertukar pikiran secara jernih, intelektual dan simpatik, atas dasar prinsip saling hormat-menghormati."

Postingan ini, berselang empat hari dari Pesta Blogger 2007 yang digelar di Blitz Megaplex Grand Indonesia, Sabtu (27/10). Pemerintah, melalui Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh berharap pesta itu sebagai awal kebangkitan pemuda dan teknologi informasi Indonesia. M Nuh mencanangkan 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional.

Yusril pensiun dari jabatan Mensesneg, 8 Mei 2007, melanjutkan, "Melalui blog ini, saya ingin berbagai pemikiran, pengalaman dan gagasan, yang barangkali akan bermanfaat untuk menambah wawasan dalam menyikapi berbagai peristwa yang terjadi di sekitar kita. Apa yang saya ungkapkan, mungkin saja bersifat subyektif, karena didasarkan pada titik pandang, falsafah dan keyakinan keagamaan yang saya anut."

Ia kemudian menuliskan data pribadi, latar belakang pendidikan, berikut pengalaman berorganisasi, pekerjaan, kerier politik di partai politik, anggota DPR, hingga memasuki "Ring I" di istana selaku Mensesneg.

Melalui blog, Yusril coba menuangkan pemikiran-pemikiran, perasaan dan tanggapan terhadap berbagai peristiwa kemanusiaan yang sedang terjadi di masyarakat.

"Untuk berkomunikasi, saya mengajak menggunakan Bahasa Indonesia, Malaysia, Inggeris dan Tagalog. Saya dapat berbahasa Cina dialek Hakka dan sedikit Mandarin. Juga sedikit Bahasa Arab dan Urdu. Namun saya mohon, agar kedua bahasa terakhir ini tidak digunakan dalam komunikasi di blog ini. Saya juga tidak mampu berkomunikasi bahasa tulisan menggunakan huruf Cina," pinta Yusril.

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 08 November 2007

Anggota Wantimpres Usul MS Ka’ban Dicopot

Menteri Kehutanan
Malem Sambat Ka'ban,
diusulkan mundur
dari kursi menteri

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan
Buyung Nasution,
menuding Ka'ban memberi surat sakti, pegangan perambah hutan



Laporan Wartawan Persda, M Abduh/Domuara Ambarita

JAKARTA, PERSDA- Dewan Pertimbangan Presiden dikabarkan mengusulkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar mencopot Menteri Kehutanan Malem Sambat (MS) Ka’ban dari jabatannya. Pengacara senior yang saat ini menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution dalam kapasitas indivitu mengakui memiliki usul itu. Namun tidak kemungkinan akan dibawa ke dalam rapat Wantimpres.

Terungkapnya informasi itu berasal dari Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Kamis (8/11). "Saya sangat menyayangkan usulan Wantimpres agar presiden mencopot Ka’ban. Itu hal-hal politis yang seharusnya tidak diungkapkan," ujar Hidayat saat ditemui Persda Network dalam acara yang berlangsung di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia memberitahukan setelah menanggapi pertanyaan wartawan mengenai hilangnya Adelin Lis, terdakwa kasus korupsi dan pembalakan liar seusai divonis bebas Pengadilan Negeri (PN) Medan. Saat itu Hidayat juga berkomentar, hilangnya Adelis itu karena terjadi ketidakkompakan antara jajaran Kehutanan dan Kepolisian.

Ketika pernyataan Hidayat ini dikonfirmasi kepada anggota Wantimpres, Adnan Buyung Nasution, ia membantah bahwa dirinya mengeluarkan pernyataan tersebut dalam kapasitasnya di Wantimpres, melainkan sebagai pribadi. Buyung mengatakan usulan pribadi ini tidak tertutup akan dibawa ke Wantimpres dalam waktu dekat ini. "Tapi saya heran dengan komentarnya (Hidayat), letak persoalan politisnya di mana?" ujarnya saat dihubungi kemarin sore.

Ia mengatakan dirinya benar mengusulkan MS Ka’ban dicopot. Mengenai pernyataannya ini sebenarnya sudah pernah ia kemukakan saat berpidato di Kejaksaan Agung, 2 Juli 2007 lalu. Menurutnya, Ka’ban selaku menteri kehutanan tidak mendukung instruksi presiden tentang percepatan proses pemberantasan illegal logging, dengan mengirimkan surat sakti kepada majelis hakim yang menyidangkan perkara Adelin. "Dia itu harus bertanggungjawab, dia telah bermain dengan surat saktinya itu. Itu kesalahan besar," ujar Buyung dengan nada tinggi.

Ada dua dosa besar Ka’ban sehingga dirinya harus dicopot. Pertama, Buyung mengatakan bahwa Kaban mencampuri urusan peradilan dengan mengirimkan surat sakti kepada majelis hakim. Surat sakti yang dimaksud Buyung itu adalah surat yang ditulis Kaban berisi pernyataan bahwa terdakwa kasus illegal logging yang disidangkan di PN Medan itu bukanlah pelanggaran pidana, tapi hanya admnistratif.

Surat sakti itu dipakai hakim sehingga para terdakwa kasus illegal logging bisa bebas. Dosa besar kedua yang membuat lebih parah, surat sakti itu sering dijadikan alasan hakim untuk mengatakan penebangan hutan yang disertai proses izin kehutanan, menjadi sah semua. Hal ini bisa berdampak penilaian negatif masyarakat terhadap pemerintahan SBY.

"Ini bahaya buat negara ini, disaat kita semangat memberantas illegal logging malah ada menteri yang mengeluarkan kebijakan berbeda. Kalau begini pemerintahan SBY gagal dong namanya, tidak bisa menjalankan program hukum berantas illegal loggingnya. Di satu sisi polisi ingin penegakan hukum tapi harus berhadapan dengan MS Kaban yang berbeda pendapat," kata Buyung.

Hingga berita ini ditulis, Menteri Kehutanan MS Ka’ban yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) belum dapat dihubungi. Telepon selulernya yang didial beberapa kali namun tidak menyahut. Sekjen PBB Sahar L Hasan saat dikontak Persda Network berjanji menyampaikan informasi itu segera. Namun sejam kemudian dihubungi ulang, Sahar mengatakan, "Telepon saya juga belum diangkat pak Ka’ban."

[+/-] Selengkapnya...