Selasa, 18 September 2007



Berkelit

SELASA pagi, saya menunggang si ramping irit, Supra Fit menuju kantor. Saban hari, Pondok Tirta - Palmerah, pulang pergi kurang lebih 72 kilometer. Pagi menyusuri Jalan Tole Iskandar Depok, Simpangan, Jalan Raya Bogor lurus ke Cililitan, UKI, belok kiri ke Cawang, Gatot Soebroto, memutari gedung DPR/MPR, tembus Pasar Palmerah. Rute malam, Palmerah ke Pancoran, belok kanan babalas terus ke Pasar Minggu, UI, Margonda, Tole Iskandar menuju Simpangan.

Rute malam dan pagi berbeda dengan pertimbangan efisiensi. Dari segi jarak sih, Depok - Pasar Minggu - Pancoran - Palemerah lebih dekat, tapi kalau pagi, macetnya ya ampeuuuuuuun, nggak tahan. Kawasan Lenteng Agung sampai Pancoran nyaris tak bisa bergerak.

Dalam hati kadang kala saya angkat topi buat para kaum beruang eh berduit yang sabar, mempu mengendalikan emosi, berlama-lama terjebak dalam kemacetan di balik kemudi. Jangankan rodak empat, kendaraan roda dua saja sulit melintas, sehebat apapun penungganggnya bermanuver, sulit menerobos sempitnya celah-celah antarmobil atau sepeda motor.


Rute via Cililitan baru saya tempuh dalam tiga bulan ke belakang. Tadinya saya, coba banding- bandingkan, jaraknya memang berbeda, lebih panjang sekitar kurang lebih kilometer. Hitung- hitung kalau sepuluh kali saya dari rute ini, akan lebih boros sekitar satu liter Pertamax. Harganya lumayan, Rp 6.400.

Akhirnya saya harus memilih, pertimbangan tingkat keekonomian atau ketertekanan emosi (stress) menghadapi kemacetan. Mengutip satu saran Stephen R Covey dalam Tujuh Kebiasaan Manusia yang Paling Efektif, saya harus mendahulukan yang harus didahulukan. Membuat prioritas. Pilihan jatuh pada menjaga kestabilan emosi, sehingga sesampainya di kantor, energi boleh terkuras, tapi stamina otak alias konsentrasi masih tersisa.

Pilihan harus saya putuskan, lebih boros pada biaya bahan bakar. Namun ada siasat lainnya, tadinya selalu meminumi si Supra dengan BBM beroktan tinggi, belakangan saya alihkan dengan jenis yang lebih rendah kualitas, premium. Utak-atik kalkulator menunjukkan angka mengirit Rp 39 ribu dalam sebulan.

Hitung-hitungan seperti ini memang pilihan sadar, mau tidak mau, harus saya lakukan mengingat program pengetatan ikat pinggang setidaknya untuk tiga tahun ke depan buat keluarga saya. Juga antisipasi terhada tanda-tanda zaman edan yang semakin edan, ekonomi global kian guncang, dan siapa tahu betul, warning tante Sri Mulyani betul kalau Indonesia akan disegrap krismon jilid dua.

***
TADI pagi, seperti biasa, saya senantiasi bersenandung setidaknya bersiul mendendangkan lagu entah apapun sekadar menghilangkan stress atas kesemrawutan jalanan ibu kota. Pengendara yang satu dengan yang lain saling salib, dahulu-mendahului.

Di Simpang Lima Cililitan, persis di lampu merah dekat terminal Cililitan yang kini disulap menjadi perbelanjaan megah Pusat Grosir Cililitan, saya mengerem di deretan ketiga dari sepeda motor yang duluan dihentikan lampu merah. Sekitar dua menit toleh kanan kiri, lampu hijau menyala. Saya perlahan, tidak seperti kawan-kawan pemilik dua tak dengan gas kontannya, melaju ke utara, arah UKI.

Sekelebat, saya menaruh curiga, ada apakah itu? Pikir saya. Ularkah atau benda apa? Dasar mata sudah minus. Lalu saya picingkan intipan lewat bantuan satu-satunya kaca mata saya yang sudah berusia delapan tahun, di depan ada seekor kadal. Dia berlari nyaris mendahului pada pembalap jalanan, curi start, saat lampu merah baru menyala. Dia berlari sejadi-jadinya, searah dengan makhluh termulia di dunia.

Terbayang olehnya, seekor binatang reptil, berekor panjang dan berlari seperti seekor dinosaurus perusak dalam Durasik Park. Dia menggok kanan dan kiri sambil terus belari ke arah Tanjungpriok. Satu, dua, tiga, empat, hingga belasan sepeda motor melaju dengan raungan kanlpot yang memekik, sang kadal selamat dari gilasan ban motor.

Punya pikiran kah dia menghindari petaka? Ataukah sensor, ataukah spion? Ah tidak. Tapi kok pintar berkelit, menyelamatkan diri dari desi mesin-mesin yang melaju. Yah, dia memang pintar bermanuver, untuk kelasnya, sang kadal melebihi lihainya pengendara motor.

Giliran saya, sedikit saya perlambat dengan harapan agar hak sidup sang kadal terjamin. Kalaupun ternyata takdir dia berkata lain, setidaknya bukan ban Supra saya yang melindas. Sampai saya lewat, dia masih selamat, menepi ke arah kiri jalan. Entahlah nasib dia di belakang saya. Memang sulit rasanya sang kadal selamat dari pijakan ban mobil yang sangat banyak mengantre di belakang.

***
SAYA segera tersadar dari lamunan atau bayangan akan nasib sang kadal. Senandung siul pun berhenti. Saat tersendat oleh kemacetan yang disebabkan ulah sopir angkor yang berhenti sesukanya di badan jalan, serta marka jalan pembatas jalur TransJakarta (Busway), saya segera menyimak suara ngebas penyiar radio Elshinta pada telinga kiri. Satu earphone memang tak pernah lepas dari radio pada MP3, sekalipun dalam perjalanan.

Sang penyiar menginformasikan, mantan Ketua Umum Koperasi Dagang Indonesia Nurdin Halid telah diringkus aparat Kejagung di Menteng. Ah, gombal pikir saya. Sebab tadi malam, Acok, reporter Persda Network berhasil wawancara by phone panjang lebar dengan Nurdin, terkait status napi yang dikenakan MA atas perkara kasasi dari vonis bebas murni kendati dituntut 20 tahun tuntutan. Nurdin terpidana atas dugaan korupsi Rp 169,7 dana distribusi minyak goreng Bulog.

Pemreintah kembali tebar pesona, pikir saya sekali lagi. MA sengaja meluncurkan kasus ini, karena dimaki dalam vonis Time yang dimenangkan dinasti Cendana, yang dimpimpin Raja Soeharto. Kejaksaan pun tebar pesona sebab sehari sebelumnya, Nurdin yang masih menjabat Ketua Umum PSSI dan baru sepekan diangkat menjadi Anggota DPR, pengganti antarwaktau Andi Matalatta (politisi Partai Golar) yang jadi Menteri, juga dapat ditelepon Acok.

Sambil berlalu, saya tersungging. Bak kadal yang lihai berkelit, kayaknya Nurdin pun seperti pendekar silat yang cekatan menangkis 'pukulan' aparat hukum. Dia terus dan terus mencari celah. Seperti sang kadal yang entah terlindas kemudian, Nurdin pun mampu mengelabui penyidik kejaksaan, setidaknya sampai dia membuat adrenalin Hendarman Supandji memuncak. Entahlah SBY dan JK?

Tidak ada komentar: