Senin, 17 September 2007


Demi kalianlah buahhatiku, cucuran keringat dan darah ini


Silentium Magnum

"Diam itu emas." Lalu, "Lebih baik salah daripada tidak berbuat apa-apa." Dua adagium kontradiktif. Nasihat pertama sering kali saya dengar dari Ny Gultom, guru kelas saya ketika masih duduk di bangku kelas II SD yang terletak di dataran tinggi, deretan Bukit Barisan. Bangunan SD kami terletak tengah hijaunya dedaunan teh PTPN IV Bahbutong, Simalungun, Sumut. SDN Hutaurung, Panombean, Tiga Balata.

Lingkungan sekolah yang sangat heterogen. Suku Batak dan Jawa sama-sama dominan. Di sana lah saya mengalami inkulturasi, berbahasa Jawa abangan. Bahasa Jawatimuran, bukan kromo inggil. "Mas, arep nandi?" "Siopo jenengmu?" "Iki piro hargane?" Itulah beberapa penggal kata yang pertama-tama saya dengar, lalu hapal secara otomatis perlahan-lahan.

Dialeg halusnya kira-kira berturut-turut mengikuti kutipan di atas. "Tindak pundi mas?" "Mas, badhe tindak pundi?" "Sinten asmane?" "Niki pinten reginipun?" Kosa kata yang saya dapat dari hasil pembauran multikultur.

Bahasa Jawa kromo inggil-nya, perlahan saya dapatkan di Ungaran dan Ambarawa, Jateng, 15 tahun lalau, tahun 1992. Saya sering dan bahkan tinggal beberapa bulan di Jateng ikut kakak angkat, Mas Pur, mantan penyiar Sonora Jakarta. Saya tinggal di kontrakan mas Pur selama enam bulan, ketika semester terakhir dari satu tahun saya 'mencuri, ilmu di Jurusan Akuntansi, Fakulata Ekonomi, Universitas Borobudur. Mencuri, karena saya kabur ke Banjarmasin begitu lolos UMPTN padahal uang cicilan semesteran belum beres.


Sepatah dua kata pula saya dapatkan dari mas Rochim, mas Widjanarko, dan kawan-kawna dari Jawa Tengah ketika sama-sama masak 'jangan' di kos-kosan Haji Barlian, Kayu Tangi, Banjarmasin setahun berikutnya.

Kembali ke laptop, eh ke pepatah pembuka di atas. Bingungkah mendapat dua perintah berbeda? Sekilas yah. Namun deskripsi kondisi di atas tentu berbeda, dan kiranya dapat menjernihkan anekdot tadi.

Bu Guru Gultom memang terkenal tegas, dan 'killer'. Bu guru bahkan tidak segan-segan melibaskan lidi ke betis murid, atau memukulkan balok penghapus papan tulis kepada ujung jari- kuku. Bu Guru yang selalu naik pitam jika kami murid-muridnya ribut, seperti pedagang rombeng di pasar loak. Menghardik sambil menyuruh diam. Sesekali dia mengutip nasihat di atas, "Diam itu emas"

Sebelas hingga dua belas tahun menyusul, kebalaikannya sering saya dengar. Ketika kuliah mata kuliah manajemen sumber daya manusia, manajemen produksi, atau perilaku organisasi kata-kata pelecut semangat berikut kerap terlontar dari dosen.

Kata-kata mengandung motivasi agar bawahan/karyawan memiliki inovasi-inisiatif dan tidak berpangku tangan berkali-kali disampaikan pakar marketing dalam seminar-seminar buat para marketer. "Lebih baik salah daripada tidak berbuat apa-apa".

Bahkan diikuti motivasi yang lebih dahsyat untuk level pemimpin perusahaan. Seorang pemimpin bisnis yang sukses adalah yang berhasil menggerakkan segala sumber daya yang ada (faktor produksi: man, machine, money, method) menuju pertumbuhan perusahaan secara kontinyu dari waktu-ke waktu. Kalau tahun 2006, koran A sukses tumbuh secara oplah dan renenue 10 persen, tahun 2007 tumbuh 20 persen, maka tahun 2008 harus tumbuh 30 persen.

Untuk ukuran kaum bisnis tradisional, tentu tren itu sudah mantap, luar biasa. Namun belakangan, tidak cukup di situ. Ada teori menyebut, pimpinan harus memantau pesaing. Mengapa? Jawabannya, kalau tingkat pertumbuhan kompetitor ternyata tumbuh lebih pesat, pertumbuhan kita tadi belum seberapa.

Meminjam istilah fisika, kedua perusahaan dapat dihitung kecepatan dan percepatannya, maka pada titik tertentu akan terjadi tubrukan. Lalu siapa yang kemudian melaju dengan cepat dapat diketahui, syukur-syukur ia tidak menggulung pesaing yang konvensional. Praktik inilah yang belakangan memusingkan para manajer atau eksekutif muda di berabgai kota. Apakah semanagt Anda terlecut, atau justru kecut dan jadi pengecut?

Silentium Magnum

Di tengah pekerjaan yang boleh dibilang sibuk ya sibuk, santai yan memang santai, saya akhir pekan lalu diingatkan seorang sahabat dari Kupang melalui YM. Sesibuk apapun kata mungkin bermaksud sharing entah syiar, entahlah, saya mabil positifnya saja, cobalah berdiam sekejap. Tidak mengganggu pekerjaan kok. Cukup lima menit.

Duduk di kursi kerja, atau keliling-keliling kantor sambil merokok juga boleh. Intinya heningkan batin, pikiran dan ingatlah hal-hal yang patut kamu syukuri hari ini juga. hal-hal menggembirakan, bukan sebaliknya. Lalu camkan dalam batin, ucap syukur sambil menikmati kemurahan Tuhan. Mau diikuti ritual dalam hati juga boleh.

"Ini yang saya terapkan dalam bebrapa bulan ke belakang. Intinya ini silentium magnum. Keheningan batin penuh," ujarnya. Dengan praktik silentium magnum, mudah-mudahan kita akan jauh dari stres karena target-target pekerjaan. "Semoga. Saya akan coba ikuti," sahut saya. Untuk permenungan ini, saya memilih nasihat Bu Guru Gultom, "Diam itu emas!"

Tidak ada komentar: