Jumat, 21 September 2007






Foto rusuh di Sampit. Tengah/AP, kiri/Tempo, kanan/web

Peran Mistik Panglima Burung
* Kepala Manusia Dipersembahkan untuk Mendapat Pahala

KERUSUHAN antaretnis yang melanda Sampit, Kotawaringin Timur sejak 18 Februari 2001, boleh dikata sebagai tragedi kemanusiaan terbesar di Kalimantan. Kerusuhan Jumat Kelabu Banjarmasin 23 Mei 1997, kerusuhan Kumai atau Kereng Pangi awal tahun 2001, sepertinya belum setara bila dibandingkan dengan yang satu ini. bagaiman atidak, cakupan teritorialnya sangat luas, tingkat keganasan lebih ngeri, dan jumlah korban yang berjatuhan pun jauh lebih besar.

Korban meninggal dunia di kedua belah pihak bertikai berdasarkan data Pemkab Kotawaringin Timur (Kotim) hingga Minggu (25/2) sebanyak 270 jiwa, luka-luka delapan orang dan luka ringan 3 orang.

Sedangkan Polres setempat pada hari yang sama melaporkan terjadi pembantaian lagi 118 jiwa di satu tempat terbuka yang letaknya dekat kantor Camat Parenggean, Kotim. Dengan begitu telah jatuh korban 388 jiwa. Sementara perusakan rumah mencapai 196 bangunan dan dibakar 583 rumah.

Ada kejanggalan yang mengundang pertanyaan. Fakta-fakta memilukan ini tentu perlu dikaji, apa sebenarnya faktor pemicu mengapa terjadi amuk massa yang demikian besar? Mengingat ini konflik di tengah masyarakat, perlu dicarikan alasan-alasan sosial apa yang mendukungnya?

Berdasarkan informasi yang didapat di lapangan, banyak faktor sebagai penyulut terjadinya kerusuhan. Dari sekian banyak yang disebut-sebut adalah akibat akumulasi kekesalan warga penduduk asli (belakangn media berani baru vulgar menyebut Dayak) terhadap pendatang (Madura). Disebutkan pula, warga asli sudah kehabisan kesabaran.

Kemudian ada lagi faktor kesenjangan sosial ekonomi sampai kepada kepentingan politik lokal, daerah, nasional atau mungkin mendunia.

Terlepas dari sentimen yang dapat dikaji secara nalar itu, ada pula rumor yang santer disebut-sebut. Patut disimak, hal itu bersinggungan dengan alam gaib atau lebih tepat terkait keyaninan tradisi atau budaya masyarakat lokal.

Masyarakat Dayak memercayai ada suatu makhluk yang disebut-sebut agung, sakti dan berwibawa. Dialah Panglima, yang oleh orang Dayak pedalaman disebut Pangkalima atau Panglima Burung.

Ada dua versi soal sosok panglima Burung ini. Yang pertama menyebutkan, dia adalah Panglima Soedirman- nya Indonesia saat perjuangan fisik dahulu. Ia disebut-sebut datang dari pedalaman Kalimantan, yakni perbatasan wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantang Barat yang nama tepatnya tidak dipastikan.

Sosok kedua, Panglima Burung digambarkan sebagai sosok priayi, kalam, pemberani, tangguh, kebal dan sakti. Jika dia turun gunung, diasumsikan bahwa dia dalam kondisi emosi dan batas kesabarannya berada pada titik pengujung.

Dalam versi itu, banyak informasi di lapangan termasuk rumor di kalangan wartawan, pengaruh Panglima Burung sangat besar di masyarakat Dayak pedalaman. Dia memiliki banyak pengikut. Posisinya semacam guru spirituallah. Konon dia memiliki sejumlah pasukan khusus yang kebal dan sakti, bisa menjelma menjadi makhluk halus dan bisa terbang.

Namun sebagian kesan ini dimentahkan Abdul Hadi Bondo, seorang temenggung atau tetua masyarakat etnis Dayang Katingan. Abdul hadi yang penganut Islam dan pemuka Muhammadiyah Sampit mengisahkan, sosok Panglima Burung sebenarnya bukan manusia hidup, melainkan sosok khayalan.

Disebut panglima, terang Abdu Hadi, sebab pribadi sang tokoh sangat teguh, sakti, kebal dan tidak suka bikin onar. Ia penyabar, namun jika batas kesabaran sudah habis, perkara jadi lain. "Dia bisa menjelma menjadi seorang pemurka."

Panglima Burung, dalam kacamata Abdu Hadi, adalah seorang tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada. Meski demikian, dapat diajak berkomunikasi melalui roh, layaknya manusia. Komunikasi ini dilakukan melalui upacar kebudayaan dan diikuti suatu ritual.

Saat pertemuan dan dialog dengan manusia bisa, segala sesuatu dapat dimintakan dari Panglima Burung. Termasuk misalnya, perintah terhadap apsukan-pasukan khususnya. Karena itulah, ia bisa seperti panglima di militer, tinggal main perintah. Namun dalam situasi genting, panglima kadang-kala turun tangan sendiri. Dia diyakini dapat menghilang --tak terlihat-- saat datang demikian juga saat beraksi di medan perang. Wujudnya tak tampak.

Masih dalam bingkai spiritual dan kepercayaan tadi, ada kaitan Panglima Burung dengan sadisme pembunuhan. Konon, pasukan khususnya telah dibekali ilmu kebal sebelum terjun ke arena konflik.

Mereka disuguhi minuman yang diyakini membuat tubuh kebal, minuman yang masyarakat setempat mengenalnya dengan minyak Cap Bintang. Diyakini pula, minyak ini memiliki kekuatan magis luar bisa, dan mukjizatnya dapat menghidupkan orang mati. Entah sugesti atau bukan, dengan keyakinan itulah, para pasukan khusus tidak takut bertempur, karena kebal dan kalaupun menjadi korban, dia akan kembali hidup. Syaratnya ketika bintang muncul di langit, korban hidup kembali. Reinkarnasi.

Di bagian lain didoktrinkan suatu aturan main kepada anggota pasukan, jika seseorang dari pasukan berhasil mengalahkan musuh maka sebagai bukti, anggota tubuh --biasanya dari leher ke kepala, harus dibawa. Kepala yang ditebas atau dikenal dengan istilah mangayau lalu dipersembahkan di dahapan panglima. Jika kepala tidak diusung, sang prajurit akan menanggung sanksi berat. Sebaliknya, prajurit yang berhasil mempersembahkan kepala tadi akan mendapat penghargaan besar. Semacam pahala.

Tidakkah para anggot pasukan khusus itu tidka merasa berdosa membunuh, dan mangayau? "Korban memang sudah banyak. Secar hati kecil itu tak boleh, tetapi untuk mengubah 'sistem', itu memang harus dilakuka," ujar Abdul Hadi yang terus terang mengaku kagum pada sosok Panglima Burung atas kesederhanaan dan wibawaya.

Dikemukakan, dari sudut agama --apapun juga agama yang dianut, prajurit pasukan khusus sadar perbuatan mangayau adalah salah dan dosa. Meski begitu, dalam kasus kerusuhan Sampit ini, mereka lebih berpegang pada tradisi dna doktrin Panglima Burung. Itulah yang membuat penganiyaan terus mengganas, pembantaian pun sulit diatasi, bahkan pembantaian meluas.

Sungguhlah bijak jika aparat keamanan dan pemerintah menempuh cara lain mengatasi konflik. Tidak melulu melakukan pendekatan formal, mengirim pasukan pemukul entara dan polisi dengan kekuaran senjata modern. Sebab dalam pantauan di lapangan, para prajurit pasukan khusus tadi tidak takut terhadap berondongan peluru.

Terbukti, ketika sejumlah personel Brimob Kelapa Dua Depok yang baru tiba di Sampit menegur beberapa orang pasukan khusus Dayak yang ikut konvoi bersama warga Minggu (25/2) malam, malah memunculkan keributan. Saat itu personel Brimob coba mengingatkan beberapa pemuda yang menghunus-hunuskan mandau, yakni parang khas Kalimantan, di tengah keramaian. Hampir semua massa yang konvoi memang menenteng mandau, namun masih di dalam kumpang. Panjangnya rata-rata semeter. Tindakan itu terkesan mengintimidasi belasan ribu pengungsi yang berada di kompleks Pemkab Kotim.

Ditegur personel Brimob orang-orang yang membawa mandau berang, malah menantang balik agar ditembak saja ketika anggota Brimob coba mengokang senjata SS-nya. Entah karena kebal, atau semata gertak sambal balik, entahlah. Untungnya si Brimob mengalah.

Dengan melihat fakta-fakta yang di luar logika dan aturan hukum itu, pemerintah dan aparat keamanan perlu menempuh pendekaran kuutral. Misalnya, melibatkan tokoh-tokoh masyarakat adat untuk meredam amuk massa yang terdoktrin adat-istiadat. Setelah memungkinkan, baru diambil tindakan hukum tegas. (domuara ambarita)

* Banjarmasin Post, 28 Februari 2001

Tidak ada komentar: