Selasa, 18 Maret 2008

Chepy Nasution: Jangan Takut jadi Pilot

http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.03.18.00122290&channel=1&mn=10&idx=12

JAKARTA, SENIN- Pengamat penerbangan Cheppy Nasution mengatakan permintaan terhadap pilot dari industri penerbangan domestik maupun mancanegara sangat besar. Hingga 10 tahun ke depan, permintaan diperkirakan belum akan terpenuhi. Dengan cerahnya prospek pilot, para orangtua dianjurkan menyekolahkan anak ke sekolah pilot, dan tak perlu takut akan kecelakaan pesawat terbang.

"Sekarang, investasi paling baik untuk orangtua adalah menyekolahkan anak ke sekolah pilot, jadi penerbang," ujar Cheppy Nasution, seorang pilot dan sering mengikuti reli penerbang, kepada Persda Network, Senin (17/3) .

Biaya yang diperlukan selama pendidikan calon penerbang pesawat komersial dalam negeri berkisar Rp 300 juta- Rp 400 juta. Di Australia, biaya pendidikan lebih kecil karena harga bahan bakar lebih murah. Selain itu waktu menyelesaikan pendidikan lebih cepat, hanya sekitar setahun hingga setahun setengah, sedangkan di Indonesia
rata-rata dua tahun.

Biaya sekolah penerbang memang relatif mahal. Penyebabnya karena bahan bakar pesawat yakni Avgas seliter mencapai Rp 22.000. Sekolah penerbngan bisanya mengutip biaya berbasis waktu per jam.

"Tapi jangan takut, return of invesmentnya tinggi sekali. Daripada orangtua menguliahkan anak ke S1 yang butuh waktu sampai enam tahun. Lulus dari sana belum tentu kerja. Ini kalau sekolah penerbangan, hingga lima sampai 10 tahun mendatang industri penerbangan di dunia diperkirakan masih akan kekurangan pilot," kata Chepy.

Chepy menuturkan, gaji pemula pada penerbangan domestik, seperti dengan jabtan second officer rata-rata Rp 7 juta per bulan. gaji ini belum termasuk uang bonus terbang, dan lain- lain. "Andai saja orangtua meminjam uang untuk menguliahkan anak, setelah si anak bekerja, mencicil Rp 2 juta per bulan saja tidak akan kesulitan "Anak tidak akan pernah menganggur," tuturnya.

Saat ini ini misalnya banyak penerbangan baru, atau penerbangan yang mengembangkan bisnis. Lion Air, misalnya sedang mengontrak 130 pewawat baru. Satu pesawat butuh tiga sampai lima set kru. Kalau satu pesawat saja butuh tiga set kru berari 130 kali 6 sudah dibutuhkan 780 orang kapten pilot dan copilot. "Itu baru Lion Air. Jadi Indonesia masih kekurangan pilot."

Risiko pilot memang tinggi, seperti kecelakaan atau pesawat terbang jatuh. Apakah ini cukup menjadi alasan takut bagi orangtua menyetujui anaknya jadi pilot? "Musibah itu relatif. Wong saya saja pernah jatuh kok, nyatanya sampai sekarang masih hidup. Kalau ngomong jatuh itu, sama halnya mati dan jodoh, itu urusan Allah. Selama dia bekerja pada perusahaan yang safety marginnya tinggi, dalam perusahaan penerbangan, pasti safety marginnya tinggi, itu tidak masalah. Sekarang mari kita bandingkan banyakan mana kecelakan pesawat dengan bus?" kata Chepy yang memiliki komunitas penerbang di Pondok, Cabe, Tangerang.

Menurut Chepy, pilot tidak akan menganggur. Sebab sekarang demand pilot sangat tinggi. "Kalau pilot- pilot AdamAir keluar, sudah banyak yang nungguin. Bukan saja di Indonesia, di Timur Tengah seperti di
Qatar pun permintaan akan pilot sangat tinggi," tambahnya.

Sekarang di Jakarta ada tiga sekolah penerbang yang eksis. Itu saja siswanya sudah pada di-booking semua. Mereka langsung diikat perusahaan penerbangan, apalagi pilot yang sudah jadi di penerbangan komersial, pasti tidak akan nganggur.

Lulusan Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug, salah satu yang paling diminati. Seperti dilaporkan (AngkasaOnline, edisi 12 September 2007), hingga Juni 2007, STPI Curug sudah mengantungi pesanan 535 fresh graduate pilot. Sebelum lulus, mereka sudah dipesan maskapai dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Pemesan calon pilot itu adalah Garuda Indonesia sebanyak 60 orang pilot, Lion Air (60 orang), Merpati Airlines (25 orang), Sky Train-China (120 orang), Individual (20 orang), Global Wing-Malaysia (250 orang), Idea Flying
School (80 orang).

Chepy meneruskan, pendidikan untuk pilot tidak lama. Di Indonesia, misalnya pada Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia, Curug, Banten, butuh waktu dua tahun. Di Australia, waktu yang dibutuhkan lebih pendek, cukup satu sampai satu setengah tahun. Ada berbapa kategori kelulusan pilot, seperti Private Pilot License (PPL), Commercial Pilot License (CPL), kemudian perlu mendapatkan rating pesawat bermesin jet.(Persda Network/Domuara Ambarita)

1 komentar:

Ryan Tan mengatakan...

kalau menyangkut masalah biaya, seandainya orang yang tidak mampu secara ekonomi bagaimana solusinya???