Selasa, 04 Maret 2008

Pengacara TPM Anggap Urip Jaksa Arogan

http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.03.03.23082355&channel=1&mn=1&idx=1
Senin, 3 Maret 2008 | 23:08 WIB

JAKARTA, SENIN- Anggota Tim Pembela Muslim (TPM) menilai jaksa Urip Tri Gunawan sebagai jaksa arogan. Saat berindak selaku jaksa penuntut umum untuk kasus Bom Bali I, TPM kerapkali berhadap-hadapan secara diametral dengan Urip, dan dari sanalah terekam perangai jaksa yang tertangkap tangan menerima uang suap senilai Rp 6,1 miliar dari Artalyta Suryani (AS), orang dekat Syamsul Nursalim, obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Minggu (2/3).

"Saya sering berkomunikasi dengan dia (Jaksa Urip) waktu penututan kasus Bom Bali. Saya menilai jaksa Urip ini kurang supel. Selama proses persidangan saya menangkap dia ini terkesan arogan," ujar Achmad Midhan dalam perbincangan dengan Persda Network, Senin (3/3).

Mei 2003, Urip menjadi jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati untuk tiga pelaku peledakan Bom Bali I, yakni Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudera. Ketiganya memang diputus bersalah dan saat ini masih mendekam di LP batu, Nusakambangan, Cilacap, menunggu eksekusi hukuman mati. Saat itu, Achmad Midhan salah satu pengacara yang mendapingi para terdakwa.


Ahmad Midan menerangkan, lazimnya dalam penuntutan perkara ketika hendak melimpahkan berkas perkara ke pengadilan, seorang jaksa penuntut umumnya seyogianya memberikan kemudahan kepada pihak pengacara untuk mendapatkan berkas perkara. Sedangkan yang dilakukan Jaksa ini justru mempersulit pihak terdakwa.

"Pengalaman saya, turunan berkas perkara seyogianya sudah diberikan sebelum jadwal persidangan ditentukan. Faktanya, kalu kami minta tapi selalu dipersulit. Ya ketus begitulah," ujarnya.

Contoh keangkuhan Urip, menurut Midan, dia seringkali menyulitkan. "Misalnya, terdakwa meskipun orang telah disangka berdasarkan bukti-bukti, dia belum dapat disebut sebagai orang bersalah karena kita menganut hukum praduga tak bersalah. jadi kalau misalnya menempatkan klien kami, sebagai orang yang bersalah ya begitulah jadinya, maka untuk mendapatkan berkas perkara saja dipersulit," kata Achmad Midhan mengeluh.

"Saya agak kecewa bukan sebagai pribadi, tetapi sebagai profesi jaksa yang memiliki tugas mulia namun harus tetap berpegang pada asas. Nah kalau menurut asas, kita belum dapat mengatakan seseorang bersalah sebelum ada putusan pengadilan berkekuatan tetap. (Persda Network/domuara ambarita)

Tidak ada komentar: