Rabu, 10 Oktober 2007

Rumpun Bambu PKI

Siapa Menipu Siapa: DN Aidit(kanan),
TNI tangkap Simpatisan PKI (tengah,
dan Soeharto (bawah)





HINGGA hari ini, milis-milis masih memperguncingkan DN Aidit, komunis dan PKI, barang 'haram' di Indonesia. Kata yang sepertinya hanya monopoli pemerintah, sehingga dia tidak sama dengan parpol, lembaga terhormat yang mengantarkan para bapak/ibut terhotmar ke DPR, presiden, gubernur, walikota, bupati dan bahkan lembaga negara lainnya. PKI berkonotasi negatif, sedangkan PNI, Golkar, PDIP, PKB, PD, PAN, PKS, PPP, PBB, PDS dan sebagainya positif.

Pelajaran sejarah nonkurikulum pendidikan formal banyak beredar di tengah masyarakat. Mungkin jumlahnya tak sebanding dengan pelajaran di sekolah. Walupun faktanya mungkin sangat layak masuk sejarah, namun karena dilarang penguasa, maka dia tinggallah obrolan dari mulut ke mulut yang dari hari ke hari kian berkurang, kemudian sekadar mitos, atau paparan kata-kata 'konon'.

Banyak fakta dan data di dalamnya, berupa kesaksian, pengalaman pribadi orang-orang dari berbagai elemen warga bangsa. Seputar komunis atau Gerakan 30 September/PKI, misalnya. Hingga sewindu silam, sejarah versi pemerintah banyak dipublikasi. Film dokumenter G 30 S/PKI menjadi tontonan wajib saban malam 30 September.

Kita dapat menyaksikan keganasan gerombolan bersenjata yang dicitrakan pasukan Partai Komunis Indonesia, menghabisi para perwira tinggi tentara. Tujuh orang jenderal tewas. Film yang sama mempertontonkan fase awal kontra G 30 S/PKI. Versi masyarakat juga banyak. Sebagai kalangan bawah, yang jauh dari elite penguasa, sejarah yang mereka saksikan pun tentu yang terjadi di lapangan.

Beberapa kesaksian istri atau pewaris korban dalam penumpasan sisa-sisa PKI pascapembunuhan Pelda Sujono, prajurit TNI AD yang dikaryakan di PT PPN Karet IV di Bandar Betsi, Pematang Siantar (Sumut), 14 Mei 1965, menyebutkan pembalasan bagi tewasnya Pelda Sujono, lebih dahsyat.

Penumpasan bergerak cepat dan terbuka. Mereka menyisir desa lepas desa, mencari anggota PKI dan simpatisan. Mati sanksinya. Tidak ada data yang mencatat angka korban.

Jangankan menemukan prasasti, kuburan pun tak diketahui. Namun cerita orang tua menyebut ada tanda pembantaian, yakni rumpun pohon bambu yang tumbuh di bawah jembatan, di tepi jalan raya, adalah kuburan massal korban anti-PKI. Korban biasanya dilempar ke lubang, lalu pusaranya ditanami bambu.

Waktu saya mudik, dan mandi di Sungai, kata-kata 'merinding' masih sering terdengar dari warga desa ketika melintasi rumpun bambu di sisi jembatan, yang tumbuh subur di tepi sungai. Di bawah bambu itu, konon, ditumpuk mayat-mayat korban kontraPKI. Oleh pasukan TNI-pro Soeharto, mereka dicari ke kampung-kampung, dari gang ke gang, dari rumah ke rumah.

Kalau kedapatan pernah aktif dalam organisasi underbow PKI, atau sekadar orang buta huruf yang masuk list orang penerima bantuan cangkul atau alat tani dari barisan tani, maka dia diseret. Digiring bak binatang, disiksa atau ditembak. Kemudian mayat-mayat atau orang yang masih hidup dibawa ke kuburan massa di tepi sungai. Sebagai pertanda, orang desa, yang ingin agar kuburan ayah atau orang-orang yang mereka cintai tidak hilang ditelan masa, pusaran kuburan massal itu ditanami pohon bambu.

Bukan hanya di satu tempat. Konon di banyak lokasi, praktinya rata-rata sama. Maka saya pun kesetrum, ikut-ikutan merinding jika sekali waktu pergi ke sungai yang ditumbuhi rumpun bambu lebat. Jangan-jangan tulang-belulang mereka korban keberingasan kontraPKI terkubur di bawah sana. Jangan-jangan ... Entahlah. Walaupun fakta menunjukkan, tanamam bambu dan tumbuhan lainnya memang memiliki habitat yang baik di tepi sungai.

Di Blitar, Jawa Timur, Operasi Trisula, 6 Juli 1968, yang menumpas sisa-sisa PKI meringkus 850 orang aktivis PKI. Tahun lalu, sejumlah keluarga korban menuntut pemerintah agar meluruskan sejarah, sambil mengusut tuntas penembakan ratusan orang di gua-gua di kawasan Blitar Selatan.

Di era reformasi ini, banyak analisis yang menyebut G 30 S/PKI adalah peristiwa perebutan kekuasan RI yang disponsori asing, di antaranya Amerika.

Kebencian terhdap komunis tidak hanya berlangsung di Indonesia. Bekas provinsi ke 27 RI, Timor Timur, contoh lain. Hari-hari terakhir, negara muda itu bekecamuk. Perang saudara. Baku tembak, saling bunuh. Belakangan mencuat analisis yang menyebut pihak asing di antaranya Amerika dan Australia tidak suka terhadap sosok Perdana Menteri, Mari Alkatiri. Ia dituding berhaluan komunis, so segera diamputasi.

Amerika mencitrakan komunis dengan seterunya saat Perang Dingin yakni Rusia (plus Cina). Kalau kita menuduh komunis sebgai pembunuh, tak beradab, tak ber-Tuhan, mari kita bandingkan kekejaman liberal-kapitalis.

Berapa orang yang telah dibunuh regim negara komunis China dan Rusia. Rasanya tidak banyak jika dibandingkan dengan korban keserakahan liberalis-kapitalis di Abepura dan Timika terkait pertambangan Freeport. Juga penindasan di Irak dan Afganistan, dan sebentar lagi mungkin Iran. Amerika pintar membiaskan isu, termasuk ideologi, padahal tujuan akhirnya mengeruk keuntungan, seperti melimpahnya minyak dari Timur Tengah.

Dalam persaingan ekonomi-teknologi global, terbersit betapa ketatnya persaingan bangsa-bangsa. Diramalkan terjadi pergeseran hegemoni Amerika dan Eropa ke Asia, yakni Cina dan India. Hal inilah yang ditakutkan Amerika selama ini. Memusuhi Cina dengan stigma komunis, lebih kental muatan ekonomi. Kalau bagitu, masihkah layak kita memperdebatkan ideologi Komunis atau Pancasila. Masihkah ada bahaya laten komunis?

Rasanya tidak. Setahun lagi atmosfer politik Indonesia akan kembali panas. Pemilu dan Pilpres atau Pilkada akan digelar. Kita mesti lebih waspada terhadap bahaya yang ditebar orang-orang ambisius politik dan kekuasan. Terbukti dalam banyak peristiwa, pergolakan di masyarakat adalah ulah segelintir elite politik atau penguasa yang bersaing merebut kue kekuasaan. (domuara ambarita)

Tidak ada komentar: