Senin, 01 Oktober 2007

Menghargai Kuli dengan Layak



Orang Kebanyakan: potret para pekerja kasar,
kaum kebanyakan di republik ini.
Foto kuli/blogkotatua




INILAH kisah seri ketiga saya, yang menyinggung pekerjaan bertukang mengisi hari libur, sehari dalam sepekan, Minggu. Di pengujung September kemarin, saya kembali bertukang, sepulang misa. Pertama-tama bolak-balik dua kali pangkalan penjual bambu di Jalan Raya Bogor, tak begitu jauh dari persimpangan Cilodong, Jawa Barat.

Saya sudah memesan 48 ikat bambu yang sudah dibelah dan dibersihkan, kemudian 50 batang bambu dibelah lebih besar untuk bahan tulang, dan 30 potong tiang bambu bulat. Salah paham, antara saya dengan pengirim bambu. Sayan menduga mereka menggunakan pikap, ternyata angkot. Sehingga tersamar.

Saya mencari-cari mereka, tidak bertemu, sebaliknya Mang Mariom dan tiga kawan juga mencari-cari rumah saya, tidak ketemu. Mereka rupanya sudah melibat saya, tapi pangling, karena masih pakaian rapi, sepulang misa.

Usai menurunkan muatan bambu, saya membututi satu pikap pengatan bunga-bungaan, tanaman hias. Saya berpikir, dia sekali jalan, kalau disewa/carter, pasti lebih murah, daripada saya mencari pikap sewaan ngetem.

Betul saja, harga sewa uang kerta bergambang I gusti Ngurah Rai-Danau Beratan ditambah uang bergambar Sultan Mahmud Badarudin II- Rumah Limas, masing-masing selembar, saya mengangkut barang-barang pidahan dari Pondok Tirta Mandala ke Komplek Deppen, Depok, jaraknya sekitar 3 km. Gubuk kami belum 100 persen siap ditempati, karena itu, istri sempat ngomel ketika barang-barang perabot yang sebenarnya tak berharga itu dipindahkan ke rumah kosong.

Satu trip mengangkut barang-barang. Untung, adik iparku si bungsu, Lae James baik hati mengeluarkan tenaga menaikkan dan menurunkan barang-barang, di bantu dua tetangga, kerabat kami. Sekembali ke PMI (Pondok Mertua Indah), saya ikut membereskan dan merapihkan barang-barang yang masih tertinggal. Makan siang, eh lupa, belum sempat serapan. Kemudian selepas tengah hari, saya lanjutkan pertukangan.

Mertuaku bilang, got pembuangan air dari dapur tidak mumpuni menampung hujan yang turun tak seberapa lebat, pertengahan pekan silam. Akibatnya, hujan sempat menggenang dan nyaris menerobos dari pintu belakang ke ruang tengah. Padahal Minggu lalu, saya sudah bercucur keringat menggali got seorang diri, mencakul, memasukkan tanah ke ember lalu menumpuknya bersama brangkal.

Siang itu, terik matahari sangat menyengat. Prioritas saya kembali menggali got: melebarkan dan memperdalam. Kira-kira dua jam nonstop, saya menggali got kedalaman sekitar 20-30, makin ke ujung makin dangkal, dan sempanjang kurang-lebih 10 meter. Syukur pada Tuhan atas tenaga yang dan kekuatan yang diberikanNYA, dan akhirnya got saya rampungkan.

Gubuk kami mengarah ke utara. Pososinya hook, dengan jalan di sisi barat (kiri) dan utara (depan). Got yang barusan saya bikin berada di samping kiri, sehingga terik langsung menghantam, tak ada perlindungan dari pohon atau rumah.

Matahari condong ke barat, namun masih tetap terik. Saya pindah ke got depan. Air mengalir dari pembuatan para tengga di sebelah timur. Saya mengambil cangkul, sekop dan potongan tripleks.

Tripleks saya letakkan di atas got, lalu mulai mencangkul, sehingga tanah tidak menutupi got, yang membuat dua kali kerja. Begitu tanah menutupi tripleks, saya ambil sekop, badan membungkuk, mengayunkan sekop lalu melempar tanah sejauh mungkin ke selatan, ke tanah pekarangan. Posisi tanah lebih tinggi dari got, sektiar 150 cm.

Baru sekitar dua meter panjangnya saya meratakan tanah untuk pemancangan tiang pagar bambu, pinggang terasa pegal, napas pun ngos-ngosan. Tidak pernah secapai itu rasanya, dari sebulan lebih pertukangan serial: membuat jalan berbagi sisa brangkal/bekas galian, menyemen, atau membuat got kecil. Kali ini lelah sekali. Jantung serasa berdetak lebih sering, dan frekwensi paru-paru lebih tinggi.

Saya putuskan istirahan, berebah di atas sofa mini yang diangkut paginya. Sekitar sepuluh menit saya coba ritual napas, senam pernapasan sambil tiduran, olahraga yang sering saya lakukan kalau betul-betul lelah di kantor. Senang napas tidak juga meredakan kelelahan.

"Apakah karena terlambat serapan, dan perus terasa lapar sore in." pikir saya. Saya memang mengurangi porsi nasi. Tidak sebanyak seperti semasa di Bandung atau sebelum-sebelumnya, seperti memindahkan bukit. (hahahah) Lalu ada bunyi terompet, seperti biasa penjual roti lewat. Bubur kacang hijau," kata si paman tukang jualan pikul menawarkan dagangannya.

"Boleh mang. Berapa?" Dia menyahut, "Dua ribu" "Tambahilah lima ratus lagi, lapar nih," saya bilang. Betul saja, semangkuk penuh. Saat membayar ternyata, Mamang pedang hanya meatok harga dua ribu. "Memang harganya segitu, tidak muat lagi kalau ditambah. Porsinya memang begitu," jawab dia. Saya menilai pedagang ini jujur, padahal dia berpeluang mencari uangtung lebih dari saya, setidaknya Rp 500 perak, atas perrmintaan pembeli sendiri

***
Kaum Kecil
Sering kali, kata-kata melecehkan atau merendahkan yang dirahkan korang berduit kepada kaum kecil, pekerja kasar seperti kuli bangunan, petani, nelayan, pengangkut sampah-pemulung, dan sebagainya. Apa daya, nasib mereka memang tak sebagus bapak-bapak terhormat di gedung DPR, presiden/wapres, bapak dan ibu menteri, para gubernur, bupati/Walikota, Dirjen, KPK, KY, BPK, MA dan eksekutif muda yang mengkalim seakan berbuat paling banyak buat negara sehingga berhak pula mengambil pamrih lebih banyak.

Kuli kasar memang rakyat jelata. Orang-orang dari kebanyakan, yang belum terbiasa atai tidak pernah berdasi, masuk gedung-gedung ber-AC, naik mobil mewah, telepon seluler super canggih, dan kemewahan lainnya. Ya, kuli adalah kaum terpinggirkan.

Namun begitu, jangan sekali-kali meremehkan apalagi menafikan mereka. Tanpa kuli bangunan, bapak-bapak terhormat tentu tak akan nyaman ngantor digedung pencakar lagit.

Jangan pula pernah menghina petani, sebab tanpa mereka, cacing di pusar anda akan terus keroncongan.

Jangan pernah menganggap tidak ada para kuli pabrik, sebab tanpa mereka, tubuh anda tak pernah ditutupi sehelai benagpun, kaki dijaga sepatu/sandal mewah.

Jangan pernah mencueki penangkap ikan dan gembala, sebab tanpa mreka kandungan omega, DHA, ARA, gizi dan kandungan lainnya yang mencerdaskan putara-putri tercinta.

Jangan pernah meniadakan pemulung atau tukang sampah, sebab seminggu saja mereka tidak mengais sisa pembuangan kekayaan Anda, maka lingkungan hunian niscaya ditebari semerbak bau busuk. Lalar-lalar pun akan beterbangan membawa bakteri.

Andai bapak-bapak/ibu-ibu terhormat, penguasa dan pengusaha pernah coba melakuoni seperti peran para kaum kecil itu, tentu empati sangatlah penuh. Tidak lagi setengah hati, apalagi hampa dalam menetukan upah harian, atau upah minimum regional.

Dengan berempati kepada kaum kecil, pekerja kasar, kita berharap kaum berduit memberi penghargaan yang layak, bukan sekadar cukup makan, tetapi saya seperti pejabat, kuli bangunan pun mestinya bisa menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi, Merka juga berhak liburan, baju yang baru, emas permata, mobil dan rumah mewah. Kaum papa pun juga manusia. Bedanya: Mereka tidak seberuntung kita. (domuara ambarita)
?

Tidak ada komentar: