Sabtu, 06 Oktober 2007

Darah Kita Sama-sama Merah

Sederajat: egalite fraternity


PMI DKI Jakarta membutuhkan darah, Sabtu (6/10/07). Dalam perbincangan pada satu radio swasta di Jakarta tadi pagi, H-7 menjelang Lebaran pihak Palang Merah Indonesia Jakarta mengimbau warga mendonorkan darahnya sebelum mudik Lebaran. Sebab saat bulan puasa ini stok darah menipis.

Pada sesi tanya jawab, seorang ibu dari kalangan ekolem sambil tersedu mengiba pendengar agar sudi kiranya menyumbangkan sebagian tetesan darah segarnya demi menyelamatkan nyawa anaknya yang tengah menjalani operasi radang/kanker usus.

Bulan suci ramadan, ketika saudara-saudara kita umat Muslim menunaikan ibadah puasa, wajar memang kalau mereka juga puasa mendonorkan darah. Dalam kondisi itu, wajar pula kantong- kantong darah di PMI menipis. Persoalannya, permintaan darah tidak bisa diajak puasa. Ini menyangkut keselamatan jiwa dan nyawa manusia, maka tidak dapat ditunda-tunda.

Pengalaman pada tahun-tahun lalu, dewan paroki tempat saya kebaktian Gereja Pandu di Jalan Pandu, Bandung, selalu terpampang spanduk yang mengimbau ummat mendonorkan darah. Dewan Paroki bekerja sama dengan PMI Bandung, menggelar acara donor darah seusai misa, di aula gereja.

Acara donor darah dari kaum non muslim menjadi alternatif pemenuhan permintaan darah. Masyarakat non muslim yang tidak berpuasa, berkesempatan dan seyogianya rela menyumbangkan darah bagi penyelamatan sesama. Dan agar ketersediaan labu darah-labu darah tetap terisi saat bulan puasa, Departemen/Dinas Kesehatan beserta PMI lebih giat menggelar acara donor darah ke mal-mal atau jemut bole ke gereja-gereja sambil mengajak warga non muslim mendonor.

Ya, darah kita memang sama-sama berwarna merah. Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Malim, Kaharingan, Kejawen atau apapun keyakinan orang lepas per orang, tidak ada yang berdarah hijau, kuning. Julukan berdarah biru untuk bangsawan memang ada, tapi darah mereka tidak biru, bukan? Orang dusun atau kota, pejabat negara atau petani, konglomerat atau kuli, darahanya sama-sama merah, dan satu sama lain mungkin saling mengisi.

Bila nasib berkata demikian, darah seorang miskin, yang sehari-hari mengonsumsi ikan asin, tahu tempe, sangat mungkin mengalir pada tubuh seorang jutawan sekalipun. Hak hidup bukan hanya milik orang kaya, bukan pula monopoli sekelompok orang atas nama keyakinan, suku, golongan dan ras. Justru dalam keberagaman itu, kita bisa saling mengisi.

Christian, seorang Dayak dan Kristen jangan berkata, "Untuk apa saya donorkan dara untuk, Muhammad Encep. Biar teman, tapi dia kan muslim". Muhammad Encep, seorang Sunda dan muslim, jangan pula berkata, "Oh, jangan. Saya lebih baik mati, daripada mendapat darah Christian. Haram, dia kan Kristen."

Tidak. Tidak perlu mendikotomi seperti itu. suku boleh beda. Keyakinan berlainan. Kekayaan dan penguasaan atas harta benda pun tak sama. Status kekaryawanan berbeda. Tapi kita sama- sama manusia yang sederajat di mata Sang Pencipta, Tuhan. Tuhan hanya ada satu, cuma sebutan berbeda-beda, dan nabi yang banyak.


Contoh lain perlu mempertahankan keberagaman adalah dalam menetapkan petugas piket ketika pemerintah menetapkan cuti bersama 11 hari, untuk Idul Fitri, 1 Syawal 1428 Hijriyah. Untuk menjaga agar layanan kantor tetap berjalan, atau setidaknya aktivitas tetap ada atau sekadar menjaga kantor, kantor-kantor biasanya menunjuk petugas piket.

Siapakah personel piket pada saat Lebaran? Jawabannya umumnya adalah karyawan yang non muslim. Ya, kalangan non muslimlah yang seharusnya berjaga-jaga ketika rekan-rekan kaum muslim merayakan hari kebesarannya. Bos senang, karyawan muslim pun dapat mengikuti shalat Idul Fitri dengan khusuk. Inilah beberapa contoh konkret bahwa keberagaman tak perlu dibinasahan, tetapi dilestarikan. Bhinneka Tunggal Ika.

Selamat mudik, tetap semangat berpuasa hingga tiba hari kemenangan, Idul Fitri 1428 H. (domuara ambarita)

Tidak ada komentar: