Selasa, 23 Oktober 2007

Kerajaan Koruptor

Foto Persda Network/Bian Harnansa


LIMA tahun lalu, ketika DPR baru saja selesa menyeleksi 11 anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), tiba-tiba publik dihebohkan mundurnya dua anggota KPU, yakni rohaniwan Mudji Sutrisno dan cendikia Imam Prasojo. Bukan karena kemaruk uang atau imbalan. Mereka mundur karena dalam perjalanannya, anggota KPU diwajibkan mundur dari basis awal. Artinya anggota KPU harus fulltime, dan meninggalkan pekerjaan awal. Bukan sekadar cuti, tetapi cabut dari pekerjaan awal. Romo Mudji yang merasa dibesarkan dan mengabdikan panggilan imamat kepada STF Driyarkara, dia ogah dicabut dari akar. Foto Suara Merdeka
Imam pun tidak rela, kampus yang membesarkannya, yakni Universitas Indonesia.
Konsekwensinya, keduanya kehilangan fulus jutaan rupiah dari upah mengurusi penyelenggaraan Pemilu. Mereka pun redup dari hiruk-pikuk publikasi di media massa, sedangkan anggota KPU lainnya menjadi narasumber top yang diburu wartawan semua media. Namun ada hikmahnya. Andai Romo Mudji dan Imam tak memiliki sikap dan keteguhan hati, barangkali mereka terlena dalam kubangan uang atas aneka macam proyek KPU. Kata orang, tidak ada mata yang tak terbuai oleh lembaran-lembaran uang. Bahkan sebagain telah mempertuhankan uang, money is the second God.
Mundurnya anggota KPU itulah pukulan pertama kepada DPR, karena tidak menyiapkan perangkat sedari awal. Pukulan kedua dan lebih telak, ketika Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin, anggota KPU Mulyana W Kusumah, dan mantan Sekjen Safder Yusack 'digonikan', dan dijebloskan ke dalam penjara atas dakwaan dugaan korupsi. Bulan ini, lima tahun kemudaian atau 60 bulan atau 1.825 hari berikutnya, anggota DPR walupun orang berbeda melakukan kesalahan yang ekuivalen. Komisi II DPR memilih tujuh anggota KPU dari 21 kandidat yang diseleksi panitia bentukan presiden. Sejak semula sudah banyak menuai kritik karena hanya meloloskan calon kelas teri --panitia seleksi dinilai tidak kredibel karena menggugurkan calon-calon populer dan berpengalaman, belakangan DPR disalahkan karena ternyata satu anggota yang dipilih yakni Prof Dr Syamsulbahri (bukan Syamsul Bahri), merupakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana proyek Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (Kimbun) di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 1,18 miliar. Kerugian yang ditimbulkan Syamsulbahri selaku Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Brawijaya Malang sendiri sebesar Rp 489,3 juta, sedangkan tersangka lainnya adalah Drs Ahmad Santoso, mantan sekretaris kabupaten Malang diperiksa, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang Hendro Susantodan mantan Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Malang Freddy Talahatu. Ketika dicaci maki karena meloloskan sesorang koruptor menjai penyelenggara negara yang akan menangani pemilihan figur untuk memipin bangsa lima tahun ke depan, DPR berdalih, "kami kan hanya melanjutkan apa yang sudah dikerjakan presiden melalui tim seleksi. Kok aneh, kami merasa dikambinghitamkan." Menurut saya, justru DPR yang aneh. Sesauai alur kerja, dan statuta hukum, bukankah posisi DPR lebih tinggi dari tim panitia seleksi. Dengan demikian, kalau anggota DPR memiliki otoritas moral, tidak kah mereka berhak menggugurkan calon yang nyata-nyata koruptor. Andai mereka lalai, karena kekurangan data atau karena kedunguan, pada kesempatan pascamencuatnya persoalan ini ke publik, mestinya anggota DPR seger ameminta maaf. Bukan sebaliknya melempar cemoohoan kepada rim seleksi. Atau jangan-jangan ini sudah diboncengi kepentingan parpol dan calon presiden pada Pemilu- Pilpres 2009. Bukan rahasia lagi, kalau pada Pemilu 2004, Abdurrahman Wahid, calon presiden yang gugur di awal-awal merasa sengaja dijegal KPU karena kepentingan calon lain, dan parpol lain di luar PKB. Kalau begitu, siapa yang bermain ingin meloloskan Syamsulbahri, sangat mudah terlihat dari cuap-cuap mereka yang mati-matian membela tersangka. Latarbelakang uang atau poltik, entahlah. Ini dengan mudah dimengerti masyarakat melalui media massa. Kita tinggal memvonis, bahwa partai ini atau kelompok inilah yang prokorupsi sehingga harus dijauhi, jangan dipilih pada Pemilu mendatang. Simpel bukan? Dengan demikian mereka akan tersingkir, dari pusat kekuasan. Inilah peran kita pemilih. Jika kita diam, maka kejaraan koruptor akan terus membolongi lumbung NKRI dan akhirnya karam. *** Setelah melewatkan libur Lebaran, hiruk-pikuk polemik seputar pemilihan Syamsulbahri oleh DPR, kembali mencuat. Puncaknya, Selasa (23/10/07), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berani mengambil langkah berseberangan dengan DPR. Entah karena bimbang atau tidak, terlepas dari peragu atau bukan, kali ini, keberanian SBY menjegal Syamsulbahri layak diacungi dua jempol. Selasa sore, SBY hanya melantik enam orang anggota KPU, yakni Abdul Hafiz Anshari, Sri Nuryanti, Endang Sulastri, I Gusti Puti Artha, Andi Nur Pati, dan Abdul Aziz. UU tentang pemilihan KPU memang membatasi kewenangan presiden, tidak bisa menggugurkan anggota KPU yang telah ditetapkan DPR. Presiden hanya sebagai administrator, mengeluarkan Keppres, lalu melantik. Harapan lebih dari itu disandarkan kepada presiden, presiden sebaiknya mengugurkan selamanya pencalonan Syamsulbahri. Jijik rasanya, negeri ini terus dikuasai para koruptor yang menggerayani semua lembaga, bukan hanya di DPR/D, PSSI, Komisi Yudisial, menteri, Kabulog dan seterusnya. Kalau presiden saja tidak berani, kapan negeri ini terbebas dari kerajaan koruptor. Sudikah kita, negeri ini terus-terus menyandang predikat Republik Parakoruptor. (domuara ambarita)

Tidak ada komentar: