Selasa, 08 Januari 2008

Wedding Kiss

WEDDING KISS: Kalau adegan begini, masih oke. Jangan adu bibir dong.

"BAPAK-IBU, hadirin yang terhormat, setelah bersantap malam bersama, marilah kita berkumpul di depan, dekat panggung. Mendekatlah ke sini. Kita arahkan pandangan ke arah kedua mempelai. Kita akan menyaksikan selebrasi wedding kiss. Caranya, hadirin memberi tepuk tangan. Dan selama tepuk tangan belum berhenti, kedua mempelai tidak boleh menghentikan wedding kiss."

Pengumuman itu berkali-kali dilontarkan seorang emcee alias master of ceremonies atau MC dalam resepsi pernikahan seorang kawan, akhir pekan lalu. Mendengar imbauan itu, para hadirin, anak-anak di antaranya para putri ayu hingga orang dewasa mendekat panggung.

Beberapa untaian lagu menyelingi acara menambah romantisme suasana menuju selebrasi ciuman pengantin.

Sang emcee mengomando hadirin untuk bertepuk tangan. Sepertinya tak seorang pun hadirin yang rela melewatkan peristiwa geeeeeeeeerrrrrr itu. Semua membelalakkan mata. Ciuman tanpa ditutupi atau dihalangi selubung kerudung atau apa pun.

Dengan sedikit malu-malu, bukan munafik tapi karena pengantain perempuan masih saudara, saya merasa malu menyaksikan mereka ciuman. Sebentar saya intip dari antara pot bunga, lalu saya lewatkan hingga adegan lempar buket bunga ke arah hadirin.

Sekitar 45 detik, kedua mempelai menempelkan bibir, satu sama lain. Sekali lagi, mereka menempelkan bibir di hadapan anak-anak, bocah-bocah yang sebenarnya barang kali tidak tahu arti ciuman itu, kecuali bagi orang berumur yang sudah tahu ngeressss. Meski begitu, saya pribadi berpendapat, ciuman pengantain di depan anak-anak dan hadirin, termasuk orang tua yang besanan, kurang cocok. Kurang sreg.

Kalaulah cara itu sekadar mengadopsi cara-cara selebritas ternama, yang mengumbar sandiwara, tapi belakangan pun, banyak keluarga orang-orang tersohot itu tidak berjalan semesra saat di pelaminan.

Selebrasi ciuman di depan hadiri, terutama disaksikan anak-anak, bukan pertontonan yang tidak bisa ditiadan. Tanpa adegan itu, toh resepsi tidak batal. Tanpa mengecup bibir pasangan bukan berarti kesahan pernikahan tidak afdol. Kasih sayang tidak harus lewat adu bibir, mungkin lebih menyentuh jika ciup kening atau pipi, atau kelopak mata.

Beradu bibir justru dapat diduga sebagai pelampiasan nafsu orang dewasa. Jika keabsahan untuk melampiaskan nafsu, sebagai ukuran bahwa mereka tidak lagi dianggap berzina, itu maksudnya, maka tidak bisakah menunggu satu atau dua jam kemudian.

Dan di dalam ajaran gereja pun, tidak ada yang mewajibkan berciuman saat kedua mempelai resmi disatukan oleh sakramen perkawinan. Saya pun yakin, pada agama-agama lain tidak ada
anjuran yang mengajarkan hal itu.

Sekali lagi, saya tidak munafik urusan arus bawah ini, benci urusan cara kita memperlakukan anugrah Illahi yang kurang sopan dan pantas yang menjadi obyek protes. Bukankah para orangtua cerewet luar biasa jika ada adegan bermesum-ria di televisi atau layar lebar. Tetapi kenapa pada acar sakral demikian, dihadapan relasi yang saling kenal, justru mempertontonkan adegan semacam ini.

Saya masih belum habis pikir... kebiasaan dari mana ini diadopsi dan menjadi 'budaya' Indonesia. Memang perkawinan ini digelar secara modern, bukan pesta adat. Tidak fair, kita meminta orang lain menjaga tata krama, ketika kita mulai dari rumah tangga justru menjadi sarang dan habitat ketidaknormalan, ketidaksopanan, ketidaktahuan pada tatakrama. (Domuara Ambarita)

1 komentar:

wahyu nurdiyanto mengatakan...

hehe, manrik menarik, baru tahu saya kalo ada kawinan semacam itu. dulu ada temen yang menikah, memang ada ciuman bibir setelah ucap janji
`i do`, tapi ya ga sampe ditepuki sama undangan, cukup dicium bentar trus udahan...

sukses terus bang domu....