Rabu, 23 Januari 2008

Indeks Anjlok 600 Poin dalam 10 Hari

Indeks Anjlok 600 Poin dalam 10 Hari
* Resesi Ekonomi Amerika Hantam Pasar Modal
Ada kekhawatiran, resesi perekonomian
Amerika mengulang kasus subprime mortgage
yang melanda banyak perusahaan,
dan merugikan sampai miliaran dolar

Farial Anwar
Pengamat Mata Uang


Sentimen negatif ini masih dipicu
oleh kekhawatiran atas prospek
pertumbuhan ekonomi AS
yang mempengaruhi kinerja ekspor
negara-negara di kawasan regional

Kiki Widyasari
Kepala Divisi Humas BEI


Jakarta, Persda- Dampak resesi perekonomian Amerika Serikat semakin menggila dan kian terasa. Pasar modal di kawasan Asia Pasifik, termasuk Bursa Efek Indonesia (BEI) pun bergolak sepanjang Selasa (22/1). Indeks harga saham gabungan (IHSG) anjloknya tak terkendali, hanya dalam waktu sepuluh hari melorot 600 poin.

Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup pada level Rp 2.294,524 melorot 191,355 atau melemah 7,70 dari sehari sebelumnya di level Rp 2.485,879. Saham 45 perusahaan liquid (LQ45) merosot 45,687 poin atau 8,65 persen dari 528,426 menjadi 482,739, dan saham 100 perusahaan top (Kompas-100) melemah 8,28 persen atau 51,417 poin dari 621,259 menjadi 569,842.

Hanya ada sedikit perusahaan yang menguat antara lain PT Sarasa Nugraha Tbk (SRSN), PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA), PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF), PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA), dan PT Resource Alam Indonesia Tbk (KKGI)

Sedangkan saham paling besar terpukul berutur-turut mulai PT Telkom Tbk (TLKM), PT Astra Insternasional Indonesia Tbk (ASII), PT International Nickel Indonesia Tbk (INCO), PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI).

Managing Director Currency Management Group/ Pengamat Mata Uang Farial Anwar mengatakan pelemahan ini sebagai fenomena gila-gilaan.

"Ini fenomena gila-gilaan. Ini dampak dari resesei perekonomian di Amerika. Ada kekahwatiaran, resesi perekonomian di sana tidak terselesaikan, dan bahkan bisa mengulang subprime mortgage yang melanda banyak perusahaan, fund manager dan investor dan merugikan sampai miliaran dolar sejak pertengahan tahun 2007," ujar Farial dalam perbicangan dengan Persda Network, Selasa (22/1).

Farial mencatat, pada 11 Januari 2008, IHSG mencapai level tertinggi tahun ini, yakni 2.830. "Hari ini IHSG ditutup di level 2.200-an, ini artinya dalam sepuluh harian anjlok 600 poin. Ini betul-betul gilaan-gilaan. Inilah konsekuensi dari pasar yang bubble, menggelembung tanpa fondasi yang kuat. Indeks maju tak gentar, tapi tidak didukung fundamental perusahaan yang baik. Ketika terjadi suatu isu, pasar langsung panik maka terjadilan panic selling," terang Farial.

Kepala Divisi Humas BEI, Friderica Widyasari Dewi melontarkan pernyataan senada dengan Farial Anwar. Kiki, panggilan Friderica Widyasari Dewi, mengatakan pergerakan IHSG pada sepanjang Selasa kembali dipengaruhi oleh panic selling yang melanda bursa saham di Asia Pasifik sehingga membuat saham semakin anjlok.

"Sentimen negatif ini masih dipicu oleh kekhawatiran atas prospek pertumbuhan ekonomi AS yang mempengaruhi kinerja ekspor negara-negara di kawasan regional," ujar Kiki Widyasari, Finalis Putri Ayu Tingkat Nasional tahun 1996 dan Fotomodel/Peragawati Terbaik Yogyakarta tahun 1997 dalam pernyataan tertulisnya.

Bukan hanya Bursa Efek Indonesia yang bergolak, melainkan hampir semua pasar modal Asia Pasifik. "Bahkan bursa saham di Mumbai di Indian, sempat menghentikan sementara perdagangannya karena indeks di bursa tersebut sempat terpuruk hingga lebih dari 10 persen," tandas Kiki.

Ia mengatakan, saham-saham serktor pertambahan dan pertanian yang sebelumnya mampu menopang pergerakan indeks turut melemah seiring turunnya harga-harga komoditas di pasar internasional.

Pada 1 Agustus 2007, kasus subprime mortgage di AS menjadi penyebab krisis finansial dunia. Bank dan lembaga pembiayaan memberikan prime mortgage kepada konsumen dengan track record pembayaran baik (prime consumer). Sedangkan subprime mortgage diberikan kepada individu dengan catatan kredit yang kurang baik (subprime consumer).

Pendanaan subprime mortgage meningkat seiring dengan booming sektor perumahan, namun diduga terjadi kekeliruan manajemen kredit. Banyak konsumen subprime yang memiliki rumah besar di luar kemampuan dia untuk mencicilnya karena bunga yang ditawarkan lebih murah dari yang seharusnya.

Akibatnya, kredit subprime menjadi bermasalah alias kredit macet yang melilit banyak perbankan dan perusahaan di pasar modal seperti Citi Bank , UBS, dan Merrill Lynch. Dampak selanjutnya, kata farial Anwar, indeks di DowJones ambruk seterusnya merambat ke hampir seluruh pasar uang dunia, di Eropa hingga Asia, termasuk di Indonesia. (Persda Nework/domuara ambarita)

Tidak ada komentar: