Kamis, 10 Januari 2008

Inflasi Harga dan Kata-kata Sama-sama Menyengsarakan

RABU (9/1/2007) pagi saya bangun lebih dini. Tidak seperti biasa, masih sempat berguling-guling di kasur, menghilangkan letih badan yang selalu kurang tidur. Pagi itu saya menemani istri mengantar putri sulung kami berobat ke dokter.

Putri kami terserang batuk, dan radang tenggorokan. Ini bermula dari cuaca ekstrem selama sepekan, beberapa hari silam di Depok dan sekitarnya. Angin bertiup kencang sepanjang hari, di luar tekanan normal. Sore hingga malam, atmosfer terasa dingin sekali, membuat menggigil anak-anak.

Kami konsultasi kepada dokter spesialis pada salah satu rumah sakit anak ternama di Depok. Sebentar saja, hanya sekitar dua menit bersama dokter. Sambil bernyanyi sekenanya, sang dokter memeriksa anak kami. "Oh, radang tenggorokan. Jangan banyak makan es ya, juga yang manis-manis," saran dia.

"Apa, madu? Oh, tidak. Madu juga tidak bisa dimakan saat batuk, karena madu membikin batuk," kata dokter mencerocos ketika mendengar saya mengatakan kegemaran anak saya mengonsumsi madu.

Seuai periksa, saya membawa resep dokter menuju apotek. Saat bersamaan istri membawa putri kami menuju ruang penguapan atau inhalasi. Kwitansi dari apotek keluar kemudian ke kasir. Pura-pura tidak melihat angka yang terpampang di layar mesin penghitung kasir, saya sengaja bertanya sampai dua kali berapa harga yang harus saya bayar. Saya butuh kepastian apakah ada kesalahan atau tidak.

Kenapa? "Apakah bianya berobat naik?" pikirku. Ya. Ternyata naik. Kali ini biaya konsultasi dokter Rp 90.000 sedangkan sebelumnya Rp 80.000 menjadi Rp 90.000, naik Rp 10.000 atau 12,5 persen. Biaya inhalasi atau penguapan dari 58.500 meningkat 8,5 persen menjadi Rp 63.500.

Saya jadi teringat keluhan tetangga, pemilik warung kelontongan. Ketika saya puji keberhasilan dia membangun warung yang sekilas pandang banyak pembeli. Si pemilik warung langsung berkeluh kesah, kesulitan belanja karena semua produk mengalami kenaikan harga rata-rata di atas 10 persen. Tidak saja terkendala kekurangan modal, di sisi lain, daya beli konsumen menurun. Jika menimbun barang, berarti 'uang akan terparkir'.

Perihal lonjakan biaya berobat dan harga-harga menjadi bahan baku yang diolah otak saya sepulang dari rumah sakit. "Pantasan istri minta tambahan uang ke dapur," pikir saya. Betul. Banyak ibu-ibu rumah tangga mengeluhkan kenaikan harga komoditas kebutuhan primer.

Istri misalnya, tanggal 23 Desember masih menyimpan uang untuk belanja. Lalu sisanya, ia depositokan Rp 1 juta. Tahun baru baru berlalu tiga hari, istri mengeluh sudah kehabisan uang, termasuk menguras deposito. "Mama heran, uang sejuta nggak ada artinya sekarang. Padahal tidak belanja apa-apa, tidak juga pergi ke mana-mana, cuma beli keperluan dapur dan susu anak-anak," katanya.

Ya, inflasi secara konkret memang melambung tinggi Ilmu ekonomi menjelaskan, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan kontinu. Inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara terus-menerus.

Sejak hari raya Idul Fitri 2006 ketika terjadi kelangkaan komoditas kebutuhan pokok, dan disusul kenaikan harga-harga secara tak terkendali, hingga menit ini tidak ada pengumuman secara resmi terjadi deflasi (kebalikan inflasi). Bukan berganti bulan, inflasi terus terjadi.

Deputi Statistik Distribusi dan Jasa BPS Ali Rosidi, mengakui permintaan masyarakat meningkat. Namun ia mengatakan Januari-Desember 2007 inflasi sebesar 6,59 persen. Angka ini di atas target APBNP 2007 dari 6 persen dan target inflasi dari BI sebesar 6 persen lebih atau kurang 1 persen.

Bukan rahasia, kalu data BPS merupakan angka orderan pemerintah. Satu kecaman ketika menyodorkan angka kemiskinan menurun tahun 2006, dan menjadi pidato Presiden Yudhoyono, sedangkan kenyataan di dekat kita, penganggur, tingkat kriminal, pengemis dan orang bunuh diri karena beban ekonomi terus bertambah. Angka infalsi dapat dimainkan untuk Asal Bapak/Ibu Senang.

Bukan saja inflasi harga-harga yang menyengsarakan, inflasi kata-kata para elite politik, pemimpin negara dan pejabat publik, pun turut menyiksa dan memperberat beban yang ditanggung konsumen. Bual, kebohongan publik, dan kesenjangan kata dengan laku: perbuatan tidak sejalan dengan kata, menambah hebat penipu-penipu berdasi yang mengimpit kaum kebanyakan, jolma napogos, wong cilik. Pemerintah rupanya senang membuat inflasi, yang tidak disadari telah membuat popularitasnya terdeflasi. (domuara ambarita)


Tidak ada komentar: