Kamis, 28 Februari 2008

Si Pemalu yang Tidak Tahu Diri

Si Pemalu yang Tidak Tahu Diri


ENAM belas tahun silam, saya punya pengalaman buruk di dalam bus kota. Dalam perjalanan ke kampus, universitas swasta ternama di Jalan Kali Malang Jakarta, suatu sore, saya berdiri berdesakan di lantai 1 PPD 43, bus bertingkat Cililitan-Tanjung Priok.

Saya lupa melamunkan apa, namun yang saya ingat jelas sampai detik ini adalah saya nyaris korban pencopetan dua orang lelaki kekar setengah baya. Badannya tinggi besar, harus mendongak untuk melihat wajahnya. Seorang di antara mereka meminta yang satunya mendesak tubuh saya, mengimpit ke sudut. "Hapithon, hapithon," ujarnya setengah berbisik. Seorang lainnya meraba saku celana depan saya. Saya segera tersadar dan melindungi diri dari pencopetan.

Sebelum merantau dari kampung Sihaporas (Sumut) ke Jakarta, banyak omongan menyebut, kalau pencopetnya Batak takkan mencopet orang Batak. Ternyata adagium itu tidak terbukti. Entahlah, mungkin karena perilaku itu berevolusi sesuai perkembangan zaman.

Pengalaman membekas bukan sekadar trauma, lebih dari itu sempat membuat mental anjlok. Jati diri pun hilang. Setelah kejadian itu, saya jadi hanyut pada lelucon teman yang menggeneralisasi, bahwa raja copet orang Medan. Stigma itu sempat ikut memengaruhi pikiran, dan saya pun malu mengaku orang Medan, setiap berkenalan. Takut dianggap bagian dari kumpulan pencopet.

Perlu waktu 3 tahun memulihkan kepercayaan diri itu. Saya akhirnya menolak hukum generalisai pada perilaku. Bahwa setiap suku atau kawanan ada berperilaku menyimpang, ya. Tapi tak semua, dan tidak mewakili. Orang Batak ada yang baik, ada penjahat. Orang Jawa ada yang baik, ada juga jahat. Tinggal bagaimana menyikapinya.

Malu. Kata ini sering jadi dalil sebagai pembenar. Malu karena diejek lalu kalap, dan membunuh. Malu tak mampu mengikuti mode, lalu melacur. Contoh buruk yang terakhir diterapkan segelintir pelajar putri di Palembang, Sumsel. Dua di antaranya tertangkap basah, sedang melayani tamu di hotel sepulang sekolah. Kepada polisi, mereka beralih malu melihat keadaan orang tua yang pas-pasan. Malu kepada teman-teman yang berkecukupan karena tidak memiliki ponsel, jam tangan, sepatu dan pakaian.

Virus malu merasuk ke mana-mana. Malu mengakui budaya sendiri, malu orang desa, orang tak mampu, malu jadi orang jujur, orang saleh, dll. Menutupi malu itu, orang lebih suka menipu sendiri lalu berusaha menegasikan kebenaran jadi pribadi palsu.

Perilaku ini dekat dengan kita. Ada di rumah, dalam kehidupan sehari-hari. Ibu-ibu yang tak tahan melihat keserbacukupan tetangga, maka dia terus-terusan menggoda suami, bahkan sampai memaksa agar menambah jatah uang. Bukan menyalahkan kaum perempuan, namun jamak terjadi, hedonisme istri sering kali membuat suami-suami yang takut istri nekat menyelewengkan jabatan dan kedudukan, korupsi.

Budaya kita sebenarnya sejak dahulu banyak positifnya seperti ramah-tamah, sopan-santun, dan beradab. Namun kita malu dengan budaya itu. Kini malah lebih menyukai kekerasan, caci-maki, kerusuhan antarkelompok/agama, keributan dalam Pilkada, sampai teror bom. Entah budaya darimana hal yang seperti itu.

Saat kita malu terhadap budaya sendiri, negara lain justru meraup untung dari langkah menjiplak atau mengklaim hasil karya anak negeri. Malaysia mengklaim Reog, lagu Rasa Sayange, Angklung, Batik dan belakangan menyadur utuh cerpen bergambar kebanggan orang Medan. Jepang mempatenkan tahu-tempe produk buatan mereka.

Khusus mengenai Malaysia, negara ini memang sangat berkepentingan menyerobot semua hal unik dan memikat, terutama mengandung muatan tradisional-etnis dari semua negara di Asia. Bukankah tari-tarian semacam atraksinya kesurupan Reog, manusia memakan arang membara menjadi suguhan menarik buat pelancong mancanegara mencari dolar kalangan wisatawan.

Ketika Indonesia terpuruk oleh kasus terorisme yang dilancarkan dua ahli bom dari Malaysia, negara jiran itu justru menjadi tujuan wisata dunia di Asia. Kalau di Jakarta ada Taman Mini Indonesia Indah, maka Malaysia dengan multikultural-multietnisnya, telah berhasil menjadi miniatur Asia. Itulah yang dijual dengan promosi gencar termasuk kepada Piala FA di Inggris, dan negara lain di dunia, yakni slogan: Malaysia, Truly Asia. Pariwisata menjadi sektor industri penghasil devisa negara Malaysia setelah Migas dan industri. (Domuara Ambarita)

Tidak ada komentar: