Jumat, 28 Desember 2007

Menjadi Sahabat untuk Semua (Refleksi atas Terbunuhnya Benazir Bhutto)

Meski bersembah masih dibunuh. Nasibmu ibu, Benazir Bhutto

"CIKUKUNGUNYA? Apa itu Cikukungunya?" Demikian nada tanya saya ketika penyakit aneh itu menyerang dan melumpuhkan 218 orang warga Desa Mandalamukti dan Ciptagumati, Kecamatan Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung, awal tahun 2003. Virus, bakteri atau racunkah Cikukungunya bagi saya belum terang.

Menyusul kejadian luar biasa, yakni penyakit lumpuh layu menular di sejumlah desa di Kecamatan Cidahu dan Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Belasan anak-anak, sebagian Balita, mengalami lumpuh layu pada tulang-tulang seperti bagian kaki, tangan dan leher. Mereka diduga terserang virus polio liar, karena tidak diimunisasi polio.

"Wah, gawat nih. Lumpuh karena tidak immunisasi," kata hati saya menggerutu. "Bisa cilaka dua belas nih. Saya nggak pernah immunisasi, kan?" Ya, saya memang tidak pernah menjalani immunisasi sejak kecil. Ketika sedang bandal-bandalnya, seusia pra-sekolah, saya menghindari immunisasi massal di kampung. Saya lari, dan sembunyi di ladang kopi, sampai dokter pulang.

Seingat saya, ketika itu, petugas kesehatan datang ke desa, untuk menyuntik immunisasi cacar dan sejenisnya. Orang-orang dewasa sering menunjukkan bekas luka di lengan atas akibat disuntik, inilah yang selalu teringat, dan ini yang memprovokasi saya.

Dokter identik dengan jarum suntik, alat bantu pengobatan yang sangat menyakiitkan ketika ditusukkan ke bagian pinggul atau pantat. Mendengar kata dokter menjadi sesuatu yang menakutkan, jauh lebih menyeramkan dibandingkan polisi atau tukang sunat.

Apa yang saya alami bertolak belakang dengan putri sulung kami, Elisabeth Uli. Selain urusan vaksinasi, sejak usia tujuh bulan dia memang sering berurusan dengan dokter. Dia pernah terjangkit demam kejang. Sejak itu, ketika ada panas sedikit pun, kami lebih cepat membawanya ke dokter.

Mungkin karena sering bertemu dokter, kesan dia terhadap dokter berbeda dengan saya, ayahnya, yang berbeda usia tiga dekade lebih. Selain itu, dari faktor pasien, perubahan paradigma dokter pun turut mempengaruhi kesan saya, dan anak.

Sedikit panas pun, Elisabeth yang berusia tiga tahun lewat dua bulan, segera mengajak saya atau mamanya mengantarkan ke dokter. Dokter favorit dia adalah dokter anak di Depok dan Jakarta, dr Kriston Silitonga. Dia memanggilnya "dokter oppung Silitonga". Uli bahkan sangat antusias menjawab akan menjadi "dokter oppung Silitonga" kalau ditanya tentang cita-cita. Dia pun lebih patuh nasihat dokter, daripada orangtuanya, misalnya kalau dilarang jajan es krim atau cokelat.

Tempat praktek dokter anak saat ini, dikemas sedemikian rupa sehingga nyaman buat anak. Di banyak tempat disediakan arena bermain, mirip yang biasa ditemui di mal, sehingga membuat anak-anak tertarik dan dan menyenangkan. Tindakan dokter pun tidak melulu asal main suntik, kini banyak cara memberikan obat, kecuali pasien parah. Alhasil dokter saat ini sahabat buat anak-anak, bukan menyeramkan.

Dalam teori dan praktik bisnis, tindakan dokter anak yang menjadi sahabat buat pasien barangkali mengingat persaingan ketat merebut pelanggan. Perubahan paradigma ini sangat baik andai saja dapat diterapkan di banyak instansi, yang bertujuan laba maupun nirlaba terutama layanan publik. Muaranya adalah mendekatkan pelayanan kepada khalayak ramai.

***
DUA hari lagi, tahun 2007 tinggal kenangan. Catatan sejarah bagi mereka yang telah berbuat baik bagi sesama atau bangsanya. Tahun 2008 segera tiba, hiruk pikuk politik akan memanas menjelang Pilpres 2009.

Mari berharap, para penyelenggara negara pun mengubah paradigma berorientasi pada kemakmuran bersama, tidak semata-mata kepentingan politik. Harapan akan netralitasnya aparatur negara, lebih-lebih TNI-Polri terhadap sosok calin pemimpin negara pun sesuatu yang diidamkan, seperti ditekadkan Presiden Jenderal (Purnawirawan) Susilo Bambang Yudoyono dan Panglima TNI baru, Jenderal Djoko Santoso.

Sayang, ucapan semangat itu berbeda di lapangan. Kalau TNI netral, pemandangan seperti memamangkan baliho ibu negara, Ani Yudhoyono di lantai atas gedung Pusat Kesejarahan TNI di Jalan Gatot Subroto Jakarta, tidak perlu terjadi. Apa hubungannya Ibu Ani dengan TNI? Kalu mau netral yah netral lah, jangan setengah hati. Jangan ada kesenjangan perkataan dan perbuatan. Jangan membongongi publik.

Semoga gejala ini, tidak pertanda (ketidaknetralan) aparat keamanan, seperti diduga andil kematian mantan PM Pakistan, Benazir Bhutto, karena adanya pembiaran. Saatnya mengubah paradigma, tanpa harus mendahulukan semangat keberpihakan karena berasal dari sejarah dan latar belakang serupa (militer), l'espirit d'corps. Mengutip nasihat kalangan kesehatan, "mencegah lebih baik daripada mengobati."

Kekhawatiran terulangnya kasus pembunuhan Bhutto memang besar kemungkinan menjadi inspirasi pelaku kriminal di Indonesia. Ada beberapa faktor pendukung. Dari aspek politik, Indonesia saat ini menganut era demokrasi terbuka yakni pemilihan umum one man one vote dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan presidan, termasuk gubernur, walikota dan bupati.

Era demokrasi terbuka, persaingan terbuka -mengutip teori ekonomi, bahkan terjadi persaingan pasar sempurna- sehingga memungkinkan terjadi gesekan ideologi bahkan fisik calon atau pendukunganya. Ini rentan menimbulkan konflik horizontal, entah massal maupun gerakan bawah tanah ala intelijen.

Masih dari segi politik, atmosfer perpolitikan kedua negara saat ini mirip-mirip. Pemimpin kedua negara adalah mantan tentara, Susilo Bambang Yudhonono pensiunan jenderal demikian juga Perpez Musharraf. Dan motor oposan dipimpin mantan penguasa yang datang dari kaum perempuan yakni Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, dan Ketua Partai Rakyat Pakistan, Benazir Bhutto.

Mega memiliki rasa senasib dan sepenanggungan (l'espirit d'corps) dengan Bhutto. Selain latar belakang gender, mereka sering curhat. Jauh ke belakang, ayah mereka pun hampir bernasib sama, akhir hidupnya tragis karena 'dieksekusi' rezim pengganti yang sama-sama berlatar belakang militer.

Ayah Mega, sang Proklamator, Soekarno wafat dalam tahanan rumah di Wisma Yaso, Jakarta, 22 Juni 1970 di bawah pengawasan pemerintahan Soeharto. Adapun ayahnya Bhutto, mantan PM Pakistan Zulfikar Ali Bhutto tewas digantung tahun 1979, oleh rezim militer Muhammad Zia ul-Haq.

Kamis (27/12), Bhutto ditembak di dada dan dileher beberapa menit setelah berkampanye menjelang pemilu di Rawalpindi, Pakistan. Lalu penembaknya bunuh diri, yang menewaskan 20 orang lainnya dan melukai 56 orang.

Hal mengkhawatirkan lainnya, beberapa tahun ke belakang, bom sepertinya bukan barang langka di kedua negara. Ledakan-ledakan bom bunuh diri yang meluluh-lantakkan harta benda dan mencabut nyawa orang-orang tak berdosa pun menjadi peristiwa jamak.

Pilpres 2009 tinggal berselang setahun. Megawati sudah deklarasi sebagai betina tangguh, menghadapi pejantan-pejantan tangguh semacam presiden incumbent, SBY, atau calon lain yang diperkirakan menambah persaingan semacam Jusuf Kalla, Wiranto, Sultan HB X.

Risiko Mega sebagi oposan lebih besar sama dengan Bhutto, bila dugaan adanya konsiprasi pembiaran aparat keamanan. Semoga, ambisi politik atau kepentingan kekuasaan tidak membiarkan darah tertumpah lagi di republik ini. Cukuplah kerusuhan rentetan kerusuhan di masa lalu yang disetting elite politik darah terakhir yang tertumpah hanya untuk rebutan kursi kekuasaan.

Cukuplak korban berjatuhan pada Kerusuhan Situbondo (10 Oktober 1996), Tasikmalaya (6 Januari 1997), Kerusuhan Sanggau Ledo (17 Januari 1997), Kerusuhan Banjarmasin (23 Mei 1997), Kerusuhan Jakarta (13 Mei 1998), Kerusuhan Ambon (19 Januari 1999), Pembantaian Sambas (19 Januari 1999) Pembantaian Rasial Sampit (18 Februai 2001), Kerusuhan Poso (17 April 2000), dan lain-lain.

Stop, hentikan pembunuhan demi ambisi pribadi dan kelompok. Seperti kata film kartunis yang tersohor, si Dora Explorer, "Katakan lebih keras." "Stop kekerasan dan pembunuhan demi kepentingan politik sesaat. Jangan ada lagi pembunuhan. Kursi presiden yang hanya lima tau sepuluh tahun terlalu kecil daripada mencabut nyawa orang lain, yang sebetulnya prerogatif sang pentipta, Tuhan Allah Yang Maha Penyayang." Homo homini socious, bukan homo homini lupus. (domuara ambarita)

Tidak ada komentar: