Jumat, 14 Desember 2007

Pohon Kehidupan Persembahan Perempuan Indonesia

SIMARINGGA. Gugusan Bukit Barisan terletak di Tenggara Danau Toba, wilayah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Bukit petilasan atau pertapaan Tuan Sihaporas, Ompu Mamontang Laut Ambarita, dan Raja Siantar, Damanik. Lokasinya di puncak bukit, ke arah timur menjadi hulu sungai untuk daerah Simalungun, dan ke Selatan daerah aliran sungai ke Danau Toba.

Di masa kecil saya, kurang lebih seperempat abad silam, saya sering tertarik dan ikut acara mangalompas, yakni ritual melepas hewan ke hutan. Kadang melepas ayam, lain kali kambing. Masyarakat pesisir laut sering melakukan hal sejenis dengan melarung ke laut.

Prosesi membebaskan hewan, dibarengi membakar dupa-dupa berikut sesajen di bawah pohon besar. Di sekitarnya ada batu besar, landai atau datar. Hutan perawan dengan kayu-kayu berdiameter besar, tangan tiga orang dewasa yang coba melingkarkan tangan bersama-sama tidak bersentuhan mengelilingi pohon. Bukit yang kaya kayu-kayu alam, dan batu gunung.

Tradisi melepas hewan ke hutan digelar saban tahun, lazimnya setelah panen raya. Panen padi huma, tanaman darat. Dalam perjalanan waktu, tradisi adat ini semakin sering diperbincangkan warga desa terutama pendatang dari kota. Bahkan sekali waktu mulai digalang penentangan, dengan menyitir ayat-ayat suci dengan menamainya musyrik, menyembah berhala.

Lepas dari pro-kontra sudut pandang agama, tradisi ini memiliki hikmah atau makna spirual mendalam. Acara adat itu dapat diartikan menghargai alam, melestarikan lingkungan. Warga dan hutan atau alamnya seakan menyatu, saling membutuhkan. Warga menjaga kayu-kayu besar, tidak menebang, tidak sembarang menebang pohon dan menentang penjarahan.

Wajar karena mereka menggantungkan hidup pada kekayaan hutan. Untuk hidup warga memburu binatang, untuk mendapatkan uang warga menderes getah damar, kemenyan, pinus, mengambil rotan lalu menjualnya.

Upaya penentangan ritual adat tidak kalah seru. Kelompok penentang berdalih ayat-ayat suci. Tapi, ayat-ayat hanya tameng, motif yang dominan urusan ekonomi. Lalu mereka mulai bersiasat dengan pendekatan hitung-hitungan nominal. Pohon besar, tinggi dan lurus itu berkualitas bagus, mahal. Kalau pohon besar itu kita tebang, kira-kira lembaran papan yang dihasilkan sekian, balok sekian dan kalau dijual sekian uang kita dapat.

Dasar warga tradisional, masih banyak orang polos, malah buta aksara, tidak mengerti uang dan tidak sadar dipedaya. Siasat warga pendatang dari perkotaan tadi semakin mendalam, dan pengaruhnya kian menancap. Pendek kata, pohon besar habis ditebang.

Sejak itu, acara ritual ada menjadi hilang, mengalami desakralisasi. Tahun 1989, perambahan hutan sangat dahsyat. PT Inti Indorayon Utama, ditakui masyarakat setempat karena mengusung nama pemilik keluarga Soeharto, hutan perawan di bukit Simaringga pun habis ditebang. Bebatuan pun ditambang, untuk pengeras jalan dan bahan batu mengaspal.

Sekarang, 25 tahun kemudian, tidak ada lagi kayu besar 'berhala' kecuali kayu putih (eucalyptus), pepohonan yang rakus menghisap air dan unsure hara sehingga menyebabkan lahan tandus. Pengalaman warga desa dengan hutan adat (sebagaimana diakui oleh Undang undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan), tidak hanya penduduk Sihaporas. Beberapa kasus masyarakat tak kuasa melindungi hutan adatnya seperti di Buluhcina Kampar Riau, Hutan Sancang dan Kampung Naga Tasikmalaya Jawa Barat, Pegunungan Meratus di Kalsel, dan Bukit Soeharto di Kaltim.

Sayangnya, sekokoh apa pun upaya masyarakat lokal untuk tetap bersahabat dengan alam sekitarnya, tak kuasa melawan terjangan pengaruh globalisasi dan kapitalisme. Aktivitas penebangan hutan, baik pembalak liar maupun penebangan resmi oleh perusahaan pemilik hak pengusahaan hutan yang bermodal izin pejabat negara, terus berlangsung. Penebangan hutan di Indonesia rata-rata merambah 2,7 juta hektar per tahun.

Kini ada seonggok harapan, ketika ratusan perempuan yang diprakarsa Ibu Negara, Ani Yudhoyono menyamakan persepsi dan pemikiran untuk menemukan kembali kearifan lokal dalam memperjuangkan kelestarian alam dan lingkungan guna mengurangi laju pemanasan global.

Dan Ny Ani beserta tujuh organisasi perempuan telah mencanangkan penanaman 10 juta pohon. Ide cerdas, karena yang ditanami bukan pohon asal asalan, tetapi ada 26 jenis tanaman yang bermanfaat bagi manusia. Misalnya, pohon kecapi, durian, mangga, mahoni dan salam. Bahkan pohon yang memiliki nilai ekonomis tinggi, seperti jati emas.

Momennya pun tepat, karena gerakan massif ditautkan dengan pertemuan ribuan kaum cerdik pandai, pegiat dan ahli di bidang lingkungan dalam forum United Nation Climate Change Conference 2007 di Bali.

Bila pohon rimbun tumbuh di halaman rumah, ibu-ibu tidak perlu capek mengipasi anaknya karena kegerahan pada siang nan terik, cukup membawa anak bersenda-gurau di bawah dedaunan yang memproduksi oksigen.

Boleh dong bermimpi, 10 atau 20 tahun ke depan, anak cucu meraup untung dengan menjual pariwista alam sebagai produk unggulan. Semoga kita menikmati multiguna dari hutan dan pohon kehidupan yang dipersembahkan kaum perempuan Indonesia. Bumi kita hanya satu, mari selamatkan, kalau bukan kita lalu siapa? (www.domu-ambarita.blogspot.com)


Tidak ada komentar: