Sabtu, 22 Desember 2007

Tidur Beralas Tikar Daun Pandan

KCM/ Glori K Wadrianto
Yusril Ihza Mahendra, mantan Menteri Sekretaris Negara,
menjawab pertanyaan wartawan dengan canda.
Kompas.com, Sabtu (22/12/2007) pukul 01.32 WIB

Yusril Ihza Mahendra Semasa Kecil (1)
Tidur Beralas Tikar Daun Pandan

MANTAN Mensesneg Yusril Ihza Mahendra kembali menjadi berita hangat. Jumat (21/12) siang, dia bertemu dan ngerumpi bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono --mantan atasannya di Kabinet Indonesia Bersatu. Bagaimana dan apa kesibukan laki-laki asal Belitung pasca-reshuffle, 7 Mei silam? Satu kegemaran Yusril adalah membuat blog, website personal. Setelah membuat blog klasik, kini Yusril menuangkan pengalaman dan pandangannya dalam blok modern dengan alamat http://yusril.ihzamahendra.com/. Di blog itu ia mengungkapkan kisah semasa kecilnya yang ditulis dengan gaya bertutur dalam beberapa seri. Berikut nukilannya.

SYAHDAN menurut ibu saya, saya dilahirkan Selasa, 5 Februari 1956 di Kampung Lalang, Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Tanggal kelahiran itu pasti, bukan rekaan, karena saya melihat buku harian ayah saya yang mencatat dengan teliti berbagai peristiwa penting dalam keluarga dan kehidupannya.

Saya dilahirkan di rumah kakek dari pihak ibu dalam sebuah kamar yang dapat saya saksikan sampai tahun lalu, sebelum rumah tua terbuat dari kayu itu dirobuhkan karena sudah dimakan rayap. Ibu saya sebenarnya ingin melahirkan saya di rumah sakit.

Namun ambulan yang dipanggil, rupanya sedang menjemput orang lain yang juga ingin melahirkan. Saya sudah lahir lebih dahulu, ketika ambulan tiba ke rumah. Hanya kakek dan nenek saya yang membantu ibu saya melahirkan. Setelah itu barulah bidan dan juru rawat datang ke rumah dan membantu, ketika bayi sudah dimandikan dan diberi baju .

Saya lahir sebagai anak yang ke enam.Sesudah saya, masih ada lima lagi anak-anak yang lahir dari orang tua saya. Seluruhnya ada sebelas orang. Dengan posisi anak keenam, saya berada di urutan tengah. Punya lima kakak dan punya lima adik.

Keluarga kami hidup dengan sederhana dan bersahaja. Rumah keluarga kami, terbuat dari kayu menggunakan dinding dari kulit kayu pula. Atapnya sebagian terbuat dari sirap kayu bulian, dan sebagiannya lagi terbuat dari daun nipah. Rumah itu terletak di belakang pekarangan rumah kakek. Saya tidak dapat lagi mengingat rumah itu. Namun foto rumah itu masih ada.

Tidak lama sesudah saya lahir, keluarga kami pindah ke rumah yang dibuat oleh ayah saya sendiri. Rumah itu terletak di Kampung Sekip. Rumah ini pun terbuat dari kayu, berdinding kulit kayu juga, dan beratapkan daun nipah. Foto rumah ini pun masih ada, yang dibuat ayah saya di tahun 1958.

Ayah saya menyimpan banyak foto lama berwarna hitam putih yang sampai sekarang masih disimpan ibu dengan baik. Ketika usia saya dua tahun, keluarga kami pindah ke Tanjung Pandan. Ayah saya, yang semula menjadi penghulu mengurus hal-ikhwal perkawinan, rupanya diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama di kota itu.

Saya mulai ingat sedikit-sedikit ketika kami tinggal di Tanjung Pandan. Ayah saya menyewa sebuah rumah, yang juga terbuat dari kayu, di Kampung Parit, Tanjung Pandan. Rumah itu tidak ada penerangan listriknya, sehingga saya melihat kakak-kakak saya belajar dengan penerangan lampu minyak tanah.

Saya masih ingat, peralatan rumah itu hanya ala kadarnya. Hanya ada empat kursi terbuat dari rotan, sebuah tempat tidur dan peralatan dapur yang sangat sederhana. Saya dan kakak-kakak saya tidur di lantai menggunakan tikar yang terbuat dari daun pandan.

Kendaraan satu-satunya yang dimiliki keluarga kami, hanyalah sebuah sepeda, yang selalu digunakan ayah saya untuk pergi bekerja, ke pasar atau mengajar di sebuah madrasah, dan pergi berdakwah di berbagai mesjid dan mushollah di kota itu. Saya sering dibonceng ayah saya pergi berdakwah dan saya bermain-main di mesjid dengan anak-anak yang lain. (Persda Network/Domuara Ambarita)



Tidak ada komentar: