Sabtu, 22 Desember 2007

Untuk Makan Saja Sangat Susah

Kompas.com, Sabtu 922/12/2007) Pukul 01.50 WIB

Yusril Ihza Mahendra Semasa Kecil (2)
Untuk Makan Saja Sangat Susah


AYAH
bekerja mengajar agama dan berdakwah. Selain mengajar di sekolah, ayah juga mengajar polisi. Saya masih ingat kepala polisi di sana, namanya Abdullah Paloh. Beliau itu orang tua dari Pak Brewok, Surya Paloh yang belakangan hari tersohor namanya sebagai raja dunia media massa.

Kepala polisi lain, namanya Mohammad Said, yang begitu dekat persahabatannya dengan ayah saya. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, saya bertemu dengan Pak Said di Tanjung Karang, Lampung. Beliau sangat senang dan bahagia, dan bercerita banyak tentang persahabatannya dengan ayah saya di masa lalu.

Saya masih ingat juga, yang menjadi bupati di Belitung waktu itu ialah Zainal Abidin Pagar Alam, yang kemudian menjadi Gubernur Lampung. Anaknya saya kenal namanya Syahruddin Pagar Alam, yang sekarang menjadi Gubernur Lampung seperti ayahnya dahulu. Saya masih ingat, Zainal Abidin Pagar Alam itu tokoh PNI. Ayah saya aktivis Masyumi. Namun kedua orang itu bersahabat dan sering bertukar-pikiran.

Saya sering mendengarkan ayah saya berbicara dengan tokoh-tokoh itu. Karena masih kecil, tentu saya tidak mengerti. Sekarang saya tidak ingat lagi apa yang mereka bicarakan. Tetapi saya masih ingat orang-orang itu.

Saya juga masih ingat dengan Pak Djarot, ayah Eros dan Slamet Rahardjo. Mereka tinggal berdekatan dengan rumah kami. Pak Djarot waktu itu menjadi komandan Pangkalan Udara Tanjung Pandan. Saya sering bermain-main di halaman rumah Pak Djarot yang ukurannya besar dan terbuat dari beton.

Rumah itu tampaknya peninggalan zaman Belanda. Saya masih ingat Slamet Rahardjo pakai baju Pramuka -- waktu itu disebut Pandu -- dan terlihat gagah. Dia sering naik sepeda dengan teman-temannya. Di belakang hari Eros menjadi terkenal sebagai musisi dan sutradara film.

Slamet juga menjadi aktor besar dalam perfilman Indonesia. Kalau pagi hari saya melihat mereka pergi sekolah naik Jeep Angkatan Udara. Mungkin Jeep itu buatan Rusia, saya ingat warnanya biru. Waktu itu saya belum sekolah. Kakak-kakak saya pergi sekolah berjalan kaki. Kalau pagi mereka sekolah di Sekolah Rakyat (atau sekolah dasar sekarang). Kalau sore mereka sekolah lagi di madrasah. Ibu saya menyebut madrasah itu Sekolah Arab.

Tidak jauh di depan rumah kami itu ada keluarga Pak Sulaiman Talib. Beliau sebenarnya berasal dari Manggar juga, namun tampaknya sudah lama menetap di Tanjung Pandan. Keluarga kami sangat akrab dengan keluarga beliau, sehingga sudah seperti keluarga sendiri.

Di dekat rumah Pak Sulaiman Talib itu, di pertigaan jalan, hampir berdekatan dengan rumah Pak Djarot, tinggal keluarga Pak Ahmad. Beliau itu memiliki bengkel reparasi radio di rumahnya. Zaman itu belum ada televisi. Orang yang memiliki kulkas pun sangat jarang. Di rumah beliau itu ada peralatan bermain musik. Anak-anaknya pandai bermain gitar dan sering berlatih musik di rumahnya.

Saya selalu bermain-main di rumah itu dan melihat banyak sekali radio rusak yang sedang diperbaiki. Ayah saya tidak punya radio. Di zaman itu, radio adalah barang mewah yang tak semua orang sanggup membelinya. Jadi kami mendengar radio di rumah Pak Ahmad. Saya juga senang menonton mereka latihan musik. Saya mencoba mengingat nama anak-anak Pak Ahmad, tetapi hanya satu yang saya ingat, panggilannya Yar. Sampai sekarang saya tidak pernah bertemu lagi dengan mereka.

Walaupun keluarga kami hidup miskin dan bersahaja, saya merasakan orang tua kami begitu sayang kepada anak-anaknya. Mereka tidak pernah mampu membelikan mainan seperti anak-anak zaman sekarang. Jangankan untuk membeli mainan, untuk makan saja sudah sangat susah.

Dalam usia lima tahun itu, saya selalu menyaksikan ayah saya membaca buku, koran dan majalah. Suatu hal yang menurut saya waktu itu terlihat aneh pada beliau, ialah kebiasaanya membeli buku, dan berlanggaan koran dan majalah. Sering saya menerima paket kiriman dari Jakarta yang isinya ternyata buku pesanan ayah, atau majalah yang dikirim melalui pos.

Berbagai macam buku yang beliau beli itu disusun rapi dalam sebuah lemari. Saya yang belum sekolah, senang juga melihat gambar-gambar yang ada di buku, koran dan majalah. Sesekali saya bertanya kepada beliau tentang gambar yang saya lihat, dan beliau menerangkannya. Dari kebiasaan saya menemani beliau membaca itu, pelan-pelan akhirnya membuat saya mengenal huruf. Saya akhirnya bisa membaca, walau saya belum masuk sekolah.

Di waktu kecil itu saya heran melihat ayah saya. Teman-teman saya sepermainan, ada yang bilang ayah saya itu punya ilmu, yang membuat orang takut kepada beliau. Saya hanya setengah percaya setengah tidak. Baru jauh di belakang hari saya menyadari, bahwa bagi orang-orang yang hidup sederhana di kampung, manusia seperti ayah saya itu sungguh merupakan sosok yang disegani dan berwibawa di mata mereka. (Persda Network/http://yusril.ihzamahendra.com/Domuara Ambarita)

Tidak ada komentar: