Rabu, 05 Desember 2007

Kecerdasan Emosi

RABU (5/12/2007) pagi, puluhan pengendara sepeda motor tampak merangsek di perempatan Kuningan, Jakarta. Saya berada di antaranya. Pagi itu, lampu hijau memberi giliran kami yang datang dari arah pancoran, untuk melintas menuju Semanggi. Namun kendaraan dari arah kanan masih menghadang di depan, terjebak macet. Sialan... Nggak bisa lewat.

Kring... kring.... (hahahah, kaya sepeda saja). Bunyi klakson memekakkan telinga, tapi apa lacur, metromini, Kopaja dan mobil-mobil lainnya bak tembok, di depan, tak memberi celah untuk sepeda angin sekalipun. Mereka merapatkan barisan, tidak ingin 'dipotong'.

Di antara sekian banyak pengendara sepeda motor di garda terdepan, seorang lelaki berbadan sedang, dari tubuhnya tampak masih agak mudah, wajahnya tak terlihat, karena dibungkus helm. Kemarahan dia tampak memuncak, melebihi yang lain.

Sambil mengegas motor bebeknya dengan menyentak hampir menabrakkan pada pintu sedan mewah, lalu dia menenda bodi mobil tadi. Aksi amarahnya rupanya tak dapat diterima motor yang ditungganginya, mungkin karena protes terhadap emosi tak terkontrol sang juragan, mesin motornya pun mati, mogok seketika.

Starter pun tak nyala, walau motor masih terlihat baru. Dia kemudian menggunakan pedal. Setelah mesin morot nyala, dia marahnya menjadi-jadi, lalu segera menerabas antrean, dari celah Kopaja yang sangat sempit. Dia nyaris terimpit, tertabrak Kopaja, yang juga sopirnya tak mau kehilangan momen. Sambil berlalu, sang 'pembalap' menoleh ke arah sopir Kopaja, tampaknya marah.

Ya, emosi. Jalanan dan macetnya arus lalu lintas memang sering kali membuat emosi pengendara meledak-ledak. Serempetan, atau senggolan kecil pun acapkali menjadi pemicu pertengkaran malah ditandai adu jotos antarketurunan Adam-Hawa. Ya, sekali lagi, emosi memuncak, tak terjaga.

Saya akan coba terus mengigat pesan orang-tua, yang mengatakan, jangan sampai tak dapat menguasai amarah. Dalam banyak hal, jangan pula terlalu maju, jangan ceroboh, jangan lamis. Unang pajolo bibir songon taltahul, alai papudi uhum. (Ucap dan tindakan jangan kemaruk, sampai mendahului/meniadakan hukum).

Dulu, ketika saya belajar Aljabar di kelas II SMP Negeri Tigabalata, Simalungun, Sumut, guru kami yang terkenal jenius dan pernah menjadi guru mate-matika tercerdas se-Sumut. Dialah Pak Napit. Dia cerdas, pintar, dan juara. Namun dalam hal mengajar, banyak murid mengaku sulit mencerna apa yang diajarkan. Metodologi pengajarannya terlalu canggih barangkali, sehingga tidak dapat tertangkap otak saya yang dungu ini, juga siswa-siswa lainya.

Pak Napit memang jarang marah dalam menagajar. Kalaupun kesal karena peserta didiknya bodoh, bandel dan tidak dapat memecahkan soal-sola mate-metika, pelajaran yang dibenci banyak siswa, dia tidak sampai meninggalkan bekas belebas/penggaris kayu, atau lidi di betis siswa.

Berbeda dengans eorang guru, Ibu Pardede. Dia terkenal guru killer. Setiap masuk kelas selalu membawa batang-batang tanaman lengkap dengan dedaunan merahnya. Setiap kali mengajar mate-metika, siswa pasti serius, saking seriusnya suasana berubah tegang. Amat tegang.

Bukan apa-apa, takut pada guru. Bukan itu saja, takut kalu tidak dapat menyelesaikan soal yang diajarkan ibu guru, sebab jika salah, maka batang tanaman dan dedaunan tadi akan menjadi saksi kebodohan. Tanaman akan dilibaskan ke tubuh, belakang badan, sehingga warna merah melekat pada kemeja.

Cilaka dua belas. Apalagi kalau pelajaran jam pertama, berati dua kali istirahat, sang siswa tidak akan ke luar ruangan, karena menyembunyikan aib. Dia akan menjadi bahan tertawaan, kalau ke luar dengan buliran pukulan dari guru, dan dapat dengan mudah ditebak, karen atolol mate- matikan.

Dua guru dengan metode yang berbeda dalam mengajar. Siswa-siswa yang diajari Pak Napit, lulusnya biasa-biasa saja nilai mate-matikanya. Sedangkan murid yang ditangani Ibu Pardede, lebih beruntung kalau murid diajar sejak kelas I, wah, kecakapan mate-matikanya pasi dijamin mak nyus dehhhhhhhh...

Selasa kemarin, seorang kawan wartawan menyesalkan sikap seorang bos, yang menangani peliputan pdaa koran daerah. Sang wartawan mengeluhkan sikap sang atasan karena meminta banyak hal, tanpa melihat realitas. Koran dia bekerja memang baru-baru ini menerapkan berita online secara real time.

Sang bos inginnya si wartawan segera mengirimkan berita setiap saat didapat, dari lokasi (on the spot). Sang bos mencontohkan, dan membandingkan dengan wartawan lain yang kebetulan dapat dengan cepat mengirim berita dengan fasilitas Ponsel yang memiliki perangkat internet, Communicator.

"Saya kira tidak fair. Masa saya disamakan dengan mas anu dan man polan. Mereka kan punya Communicator, sedangkan saya tidak. Bagaimana mau langsung kirim berita. Mestinya mas itu yang menelepon dari kantor untuk berita tercepat buat Online. Kalau menunggu saya, ya pasti sore, karena kembali ke kantor juga sore setelah itu mengetik berita," kata kawan saya cerewet.

"Yah, pimpinan memang beda-beda. Ada yang cerdas melihat situasi, ada juga yang melulu menonjolkan emosinya tanpa ada bijaksananya," ujar kawan tadi seakan sangat paham perbandingan antara kecerdasan emosi (emotion quotient), kecerdasan intelektual (intelligence quotient), serta spiriual quotient.

Ya, saya sependapat. Memecahkan masalah, apalagi dalam dunia wartawan yang serba underpressing kita mesti pitnar-pintar. Salah-salah, malah akan undercooptation. Bersabarlah," saran saya. (Domuara Ambarita)

Tidak ada komentar: