Kamis, 20 Desember 2007

Demi Kau dan Si Buah Hati: Lagunya Wartawan

AMBARITA FAMILY'S: My family: Lorentina Herawati Tmabun (my wife), and my daughters Elisabeth Uli Ovelya and Felisita Dorothy

"TIAP malam engkau kutinggal pergi
Bukan bukan bukannya aku sengaja
Demi kau dan si buah hati
Terpaksa aku harus begini"


SEBAIT lirik lagu karya Pance F Pondaag di atas satu dari sedikit lagu favorit saya. Saat karaokean di Vista Inul Plaza Semanggi, atau saat-sat bersantai di kantor, lagu ini sering kami dendangkan. Anehnya, kendati lagu kesukaan, lirik-liriknya tidak utuh saya hapal.


Maka ketika hujan menghunjam bumi Palmerah Kamis (20/12-2007), siang hingga malam, cuaca dingin membeku. Sementara saudara-saudaraku yang lain, sedang ayik memanggang sate kambing, atau sapi hasil dagung kurban Idul Adha 1428 H, kami dan segelintir kawan berusaha mengisi kedinginan dengan bernyanyi-nyanyi.

Umumnya lagu-lagu zadul (zaman dulu) atau tempo doeloe yang kami dendangkan. Mawar Berduri karya A Ariyanto, hitsnya GoD BLeSS; RuMaH KiTa, dan Panggung Sandiwara, hingga Demi Kau dan Si Buah Hati mahakarya Pance F Pondaag.

Bagi saya pribadi, lagu ini sarat makna. Bukan saja karakter nadanya yang cocok dengan suara, tetapi liriknya tepat dengan pribadi dan profesi yang sering begadang malam. Lagu Demi Kau dan Si Buah Hati ini pun kami namai dengan Lagunya Wartawan, dan merupakan lagu wajib kalau ada acara nyanyian.

Ya, sarat makna. Penuh nilai, arti dan malah pesan-pesan moral. Memiliki ideologi. Memiliki roh, mengandung pesan spiriual yang dapat memengaruhi kejiwaan orang yang mendendangkan atau bahkan sekadar pendengar. Tinggal bagaimana situasi dan kondisi saat lagu diperdengarkan.

Bila malam tiba, ya larut malam bahkan sampai hari berganti, saya --dan sebagian besar wartawan, melewatkan malam tidak bersama anak dan istri. Bagi saya, lagu ini mengena, karena istri bersama dua buah hati kami, Uli dan Dorthy, sebagai pelecut semangat untuk terus berjuang hidup. Lelah, capek, pusing, sesak, sesuatu hal lazim buat saya demi niat mengidupi anak-bini.

Itulah keunggulan lagu-lagu zadul. Banyak lagu biarpun usianya berpuluh tahun, masih tetap disuaki orang-orang modern, generasi millenium ketiga ini. Lagu-lagu tak lekang ditelan waktu, meskipun ada banyak juga yang tak menyukainya.

Bedanya, lagu-lagu saat ini, terkesan instan, ala kadarnya, yang penting propasar. Tujuan semata bukan lagi seni, tetapi pertimbangan ekonomi. Karena itu, boleh saja, lagunya tak bermakna namun menjadi hits. Boleh saja suara penyanyinya pas-pasan, tetapi ngetop.

Mumpung masih hangat di dalam ingatan kita, kontes Asian Idol perdana yang dimenangkan Hady Mirza, jawara Singapore Idol. Dalam dua kali tampil, mayoritas juri menilainya pas-pasan saja. Hady tidak masuk dalam katagori unggulan. Namun hasilnya, dia menjadi underdog yang menjunkirkan Mike Mohede, Abhijeet Sawant, Mau Marcelo, Jacyln Victor dan Phuong Vy.

***
JURI bukan segala-galanya pada ajang pencarian penyanyi berbakat, Asian Idol. Juri bukan pula pemegang keputusan mutlak, yang tak dapat diganggu-gugat. Posisi dewan juri bahkan kalah dibandingkan keputusan pemirsa, yang entah tidak tahu musik dan tarik suara, tetapi memiliki hak suara melalui pesan singkat telepon seluler atau SMS.

Kenyataan inilah yang dialami Mike Mohede, finalis Asian Idol 2007. Perjuangan jawara Indonesian Idol tahun 2005 itu untuk menjadi Idol Asia pertama berakhir sudah. Ia didepak perwakilan idola negara tetangga, yaitu Hady Mirza dari Singapura.

Meski kalah, Mike berusaha tegar. Ia mengaku tidak kecewa atas hasil yang diraihnya, dengan alasan telah mempersembahkan yang terbaik untuk negara dan pendukungnya. Menurut Mike, kali ini Tuhan memilih Hady daripada dirinya yang sebelum pembacaan hasil voting SMS, Minggu (16/12/2007) malam, sempat dijagokan para juri.

Era satelit. Teknologi menjadi panglima. Maklum dari bocah Balita hingga kakek-nenk, saat ini gandung dengan telepon seluler. Di mana-mana, ponsel menggelantung di saku celana atau kemeja. Lewat Ponsel pula, prediksi juri dijungkirbalikkan, oleh SMS yang dikirim mereka yang belum tentu tahu apa dan bagaimana nada yang pas. Tapi itulah faktanya, pasar menjadi sasaran utama. Lewat SMS, penyelenggara dapat meraup fulus jutaan bahkan miliaran rupiah.

Namun saya sedikit curiga. Bolehkan? Masih kah kita ingat, kepemilikan saham dua perusahaan telepon seluler juara satu dan runners-up dalam market share yang beroperasi di Indonesia sudah dikuasai atau dimonopoli Singapura.

Perusahaan yang berbasis di Singapura Temasek 'mencaplok' perusahaan ponsel kia. Melalui SingTel, Temasek menancapkan cakar kepemilikan pada ana perusahaan PT Telkom, yakni Telkomsel, dan melalui STT di Indosat (Isat). Kecurigaan saya, mungkinkan teknisi kedua ponsel itu mengutak-atik volume/angka SMS yang masuk? Mungkinkan SMS pendukung Mike dipending, sedangkan pendukung Hady diperbanyak?

Ah, entahlah. Kata orang, berburung sangka atau suudzon tidak baik. Namun naluri kewartawanan mencoba saya bertanya-tanya, entah terjawab atau tidak sambil mendendangkan mahakarya Pance F Pondaag berikut:

Demi Kau dan Si Buah Hati

Mengapa harus begini
Tiada lagi kehangatan
Memang kusadari sering kutinggalkan kau seorang diri

Bukannya aku sengaja
Meninggalkan kau sendiri
Aku menyadari bukan sandiwara kasihmu kepadaku

Tiap malam engkau kutinggal pergi
Bukan bukan bukannya aku sengaja
Demi kau dan si buah hati
Terpaksa aku harus begini

Tiap hari hingga malam berakhir
Kutahu kau tersiksa karna diriku
Sejujurnya aku katakan
Tiada satu pengganti dirimu

Tidak ada komentar: