Jumat, 14 Desember 2007

Kaum Ibu dan Anak Korban Paling Menderita akibat Pemanasan Global

DESEMBER ini, putri bungsu kami, Felisita memasuki usia bulan kedelapan. Lahir di Depok, Jawa Barat, April silam, dengan berat badan 3,45 kg dan tinggi 49 cm. Tiga bulan berjalan, semua baik-baik saja. Pertumbuhan badan di atas rata-rata, berat badan mencapai 5 kg, lincah dan sehat.

Masuk bulan ke-4, masalah kecil mulai muncul. Badannya bintik-bintik merah. Keringat buntat pada sekujur tubuh, terutama pada perlipatan otot di lengan, paha, selangkangan, leher dan punggung tampak memerah. Biang keringat dibarengi demam, kemudian timpuki batuk.

Rasa iba terhadap si kecil amat mendalam. Kami bolak-balik ke dokter. Nyaris tak ada pekan terlewatkan tanpa ke dokter. Setiap ke dokter spesialis anak, bukannya ketenangan yang kami peroleh melainkan kekhawatiran luar biasa karena dokter menyebut ini dan itu yang intinya alergi Felisita teramat akut. Batuknya selalu kumat saat subuh, faktor pengganggu tidur. Selama beberapa bulan kami menumpang di rumah kakek-neneknya anak-anak.

Lalu saban dari dokter, dia kami cekoki beragam obat-obatan mulai meneggak antibiotik, obat puyer hingga inhalasi (fisioterafi). Dalam sepekan, frekwensi fisioterafi tiga sampai empat hari berturut-turut.

Kondisi ini memusingkan kepala tujuh keliling. Selain dipusingkan oleh beban biaya pengobatan di muka, meski akan diganti perusahaan, saya terus coba mencari tahu sebab-sebabnya. Sampailah pada hipotesa, penyebab batuknya tak pernah sembuh adalah embusan kipas angin hingga larut malam.

Ya, wajar. Bukankah para ilmuan menyimpulkan telah peningkatan suhu atau pemanasan bumi secara keseluruhan (global warning). Setelah menemukan penyebab batuk ialah udara tiupan kipas, saya dan istri sepakat harus segera pindah ke gubuk sendiri, masih di Depok. Atmosfernya juga masih panas, tetapi dengan view ke lembah angin bebas berhembus menembus banyakventilasi sehingga lebih dingin secara alami. Tidak lagi pengap, tak butuh lagi kipas hingga larut malam.

Syukurlah. Pilihan kami tepat. Hari kedua setelah pindah, batuk Felisita berkurang dan hingga kini, pecan ketiga, sudah hilang sama sekali. Mungkin karena bersamaan dengan musim penghujan sehingga cuaca agak dingin, keringat buntatnya juga telah lenyap.

Kasus Felisita hanya secuil contoh, namun banyak dirasakan banyak ibu-ibu yang kerepotan mengipasi anaknya. Bukan hanya di Depok, Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia, tetapi juga Negara lain di seluruh muka bumi, suhu memanas. Pertaannya, sudikah kita bumi yang hanya satu ini akan menjadi neraka buat kita?

Sejumlah tujuh organisasi perempuan telah memelopori gerakan reboisasi, menanam dan memelihara 10 juta pohon. Prakarsa mahakarya Ibu Negara, Ny Kristiani Susilo Bambang Yudhoyono dilakukan serempak di seluruh Indonesia, menanam 26 jenis tanaman. Gerakan yang didahului konferensi Kearifan Lokal Perempuan Indonesia dalam Perubahan Iklim Global.

Kearifan lokal? Ya, terminologi ini menarik dicermati. Mengapa mengungkit hal-hal berbau lokal, yang justru bagi kaum modernis mulai ditinggalkan dan ditanggalkan? Bukan kah saat ini sudah zaman serba global, mendunia, universal jadi mengapa harus mengadopsi cara-cara yang terbatas, lokalistis?

Basis massa pendukung program menanam dan memeliharan 10 juta pohon ini saja sudah unik, menyangkut gender yaitu perempuan. Ya, betul. Ini memang zaman serba modern. Tapi tidak salah jika perempuan dan nilai-nilai baik dari budaya dan adapt-istiadat dapat diesplorasi dan dipromosikan menjadi sesuatu yang dapat diterima khalayak ramai, universal. Program yang digelar bersamaan dengan United Nation Climate Change Conference (UNCCC) di Bali.

Mengingat semacam gerakan Keluarga Berencana yang pernah berhasil dengan mengedepankan perempuan, dalam pelestarian lingkungan pun boleh dicoba menyertakan prempuan. Dalam hal ini memang terkesan paradoksa, sebab perabahan hutan sering kali dilakukan laki-laki. Kaum Adam lah yang menjadi eksekutor pembabatan hutan, mereka tahan berbulan-bulan di tengah hutan, jauh dari anak dan istri.

Sekarang dengan melibatkan istri, diharapkan para suami mulai menyuarakan nurani, barang sekejap kalaupun tidak frontal langsung menolak penebangan hutan, setidaknya mengurangi. Kalaupun dia terbebani menafkahi anak istri, setidaknya dapat melakukan tebang pilih pada kayu-kayu ukuran besar dan di areal hutan produksi, bukan hutan konservasi.

Syukur-syukur lahir kesadaran baru, penebangan harus diikuti reboisasi: penanaman dan pemeliharaan pohon untuk menjamin kelangsungan fotosintesis, penghasil oksigen. Hidup tidak hanya hari ini dan besok, tetapi masih panjang, maka wariskanlah surga: alam yang nyaman dan sejuk untuk kehidupan anak-cucu, bukan menghadiahkan neraka. (domuara ambarita)


Tidak ada komentar: