Jumat, 18 April 2008

Mempelajari Kematian

KAMIS (17/4/2008). Udara Jakarta amat gerah, pegap padahal matahari tidak begitu terik. Bukan juga hujan. Sinar matahari agak temeram bukan karena menjelang senja, atau mendung, melainkan ditutupi kabut. Tidak ada pembakaran hutan, kalau pun Hotel Grand Indonesia terbakar, itu sore harinya, dan rasanya tidak cukup untuk menutupi angkasa Jakarta.

Kabut ini, barangkali, lebih berbahaya dari kabut Sumatera atau Kalimanan yang dihasilkan pembakaran lahan, sebab kabut Jakarta kemungkinan polutan carbon dioksida kelas tinggi yang dimuntahkan dari cerobong pabrik atau kenalpot kendaraan bermotor.


Matahari tepat di atas kepala, sengatan siarnya tidak sedemikian menyengat tubuh. Butuh waktu sekitar satu jam mengendarai sepeda motor dari Palmerah Selatan, putar arah Pejompongan, Pondok Indah, dan RS Fatmawati, sinar matahari rad temeram. Kalaupun perasaan pengat dan gerah, bukan karena sengatan matahari.

Belum ada satu jam sata tiba di kantor, datang kabar dari istri, kalau mertua perempuan saya msuk UGD Fatmawati. "Hah, ada apa? Kenapa," tanyaku. "Tensi mama naik, kayaknya kambuh seperti kejadian dulu," jawa istriku dengan nada yang sangat terasa gemetar, lirih.

Enam tahun lalu, tepatnya 23 Februri, yang bertepatan dengan hari penyembelihan hewan kurban bagi umat Islam, di luar dugaan, yang bersangkutan mengalami tekanan darah sangat tinggi: 230/180. Pemicunya diduga, kelelahan dan kurang tidur karena mengikuti prosesi penyemayaman hingga pemakaam saudara yang meninggal. Ketika itu, saya dan masih pacaran dengan perempuan yang sekarang memberiku dua putri. Saya sedang tugas di Koran Metro Bandung sedangkan calon masih kuliah di Banjarmasin.

Serangan hipertensi saat itu membuat calon mertua, sempat kehilangan kendali. Sekarat. Berbicara tidak bisa, bahkan mengenali suami dan anak-anak pun tak mampu. Sektiar tiga minggu dirawat di ICU RS Fatmawati. Banyak yang berkomentar, kecil kemungkinan, pasien dapat sembuh karena pembuluh darah telanjur pecah.

Tapi Tuhan berkendak baik. Terjadi mukjizat. Setelah berobat dalam penanganan Dokter Bambang, ibu mertua dapat pulih dan sembuh. Pasien boleh kembali ke rumah namun dengan perawatan ekstra hati-hati: tidka boleh mengonsumsi makanan yang menggunakan bumbu penyedap rasa, garam berlebihan, dan makanan berlemak.

***
Enam tahun. Ya, selama itu, mertua tidak pernah mengalami serangan kembali, atau penyakitnya kambuh. Obat-obatan dari dokter pun hanya beberapa bulan pertama. yang dilakukan mertua adalah mengonsumsi mengkudu atau pace, rutin. Semua rata-rata tiga seloki dua kali sehari, pagi dan sore, secara perlahan diturunkan hanya satu seloki, dan kemudian sekali sehari.

Dasar manusia, diberi kesempatan malah diabaikan. Seminggu ke belakang, mertua coba menanggalkan meneguk mengkudu, obat-obatan alami. "Coba dulu ah, kayaknya sudha sembuh," begitu kata mertua laki.

Karuan saja, Kamis itu, mertua pusing-pusing dan harus dilarikan ke rumah sakit. Dan harus dirawat inap, bahkan agak sedikit parah, karena diagnosa awal diketahui telah terjadi komplikasi dengan jantung.

***

Semua bed UGD penuh. Beberapa pasien bahkan sudha menunggu dua hari di sana, belum dapat masuk kamar perawatan dengan alasan kamar-kamar rawat inap penuh dihuni pasien. Ibu mertua pu, hingga Jumat masih di UGB.

Di saat membezoek mertua yang terbaring di UGD Fatmawati, pandangan saya dan pasien beserta keluarganya yang berjaga di UGD tertuju pada satu bed. Di sudut sana, paramedis dan dokter terlihat sangat sibuk. Ada yang menyeret selang oksigen dengan terburu-buru, ada yang menggeser perangkat obat-obatan, pemacu jantung, dan lain-lain.

Sesosok bayi tergolek lemas. Seorang petugas melekatkan alat kejut jantung dadanya, seorang lainnya menjulurkan selan ke dalam tenggorokan untuk menyedot cairan, dan yang lain memasukkan alat bantu pernapasan ke hidungnya.

Sejurus kemudian, seorang wanita dokter membawa alat pencetak (printer) detak jantung. kalau bisa kita melihat grafik naik turun, kali ini saya menyaksikan garis nyaris linier, mendatar. Sang dokter lalu meraba nadi, kemudian mendekatkan telinga ke lubang hidung, dia menggeleng lalu membisikkan sesuatu. Seorang dokter lainnya memanggil ibu si bayi itu, dan langsung menangis histeris. "Anak kuu, bangun nak...." katanya sambil menciumum anaknya.

Si ibu yang bertubuh kecil lalu menghampiri suami yang tampak tegar, tanpa tangis dan tidak pula mendekati jasad anaknya. "Pa, gimana ini. Anak kit ameninggal?"

Ya, saat itu saya baru saja melihat secara langsung satu dari tiga hal didunia yang di luar kehendak manuasia: yakni kematian. Mata kepala ini menyaksikan proses dan saat-saat akhir, seorang anak manusia mengembuskan napasnya. Yang saya tak bia lihat adalah, bagaimana roh bocah itu menghadap Sang Khalik, Tuhan Yang Maha Esa.

Bayi itu meninggal setelah beberapa kali dalam tiga hari terakhir mengalami Kejang Demam atau stip. Tampaknya pihak orangtua terlambat memberi pertolongan, bantaun pernapasan.

Saya menangis. Bukan saja karena menyaksikan kematian, tapi jugaterharu sambil mendekap dada, karena putri pertama kami, sempat mengalami Kejang Demam, sekatu umum 1 hingga dua tahun. Hingga April ini, dia turin mengonsumsi obat Dephaken, setiap puku 08.00 dan 20.00.

Saya pun teringat nasihat spiritual yang menyebut, kematian dan maut bak pencuri, datang tanpa mengetuk pintu. Tiba-tiba ajal tanpa didahului aba-aba Siap Grak, atau tidak ada pemberitahuan. Jadi, belajarlah melihat kematian, maka kita akan tahun, dunia ini jangan dicinati secara berlebihan.

Harta, jabatan, perempuan untuk laki-laki, laki-laki untu premepuan, boleh saja dimiliki dan dikejar dengan susah payah. Tapi jangan berlebihan, dan menistakan prosedur alamiah, apalgi sampai meniadakan atau membinasakan yang lain. Sebab itu semua tak ada guna, bila ajal menghampiri. Daging dan napas pasti diambil (mati), tetapi apakah roh akan kembali dan layak berada di sisi Tuhan, itu yang belum pasti. Banyak faktor pendukung dan penghambat, itulah yang harusnaya kita cermati, belajar atau mempelajari kematian.... (Domuara Ambarita)

Tidak ada komentar: