Kamis, 15 November 2007

Sayangku pada Sebulir Padi

MASA kecilku, Amang-Inang, atau ayah bundaku, selalu menasihatkan agar tidak membuang- buang buliran nasi. Nasi yang sudah disendok ke piring harus habis dimakan. Tidak boleh menyisakan remah-remah. Piring bersih, bila perlu tidak usah pakai sabun untuk mencucinya.

Falsapah yang selalu mereka tanamkan kepada kami anak-anaknya adalah, untuk sebulir nasi dikorbankan peluh dan tak jarang darah. Nasi berasal dari beras, sebelumnya padi. Padi diyakini memiliki dewa yang disebut boraspatini tano. Agar padi tumbuh subur, petani harus tekun memanjatkan doa-doa permohonan kepada Allah melalui Sang Dewa. Andai Sang Dewa tak berkenan, tanaman padi akan puso, gagal panen. Kalaupun menghasilnya, tuaian tak menggembirakan.

Alasan lain, padi diidam-idamkan berbulan-bulan lamanya. Kalau padi sekarang bisa panen kurang dari 100 hari, di kampung saya, Lumban Ambarita Sihaporas, Kecamatan Sidamanik, Simalungun yang terletak di kaki bukit Simarjarungjung, tak jauh dari Danau Toba, umur padi lebih panjang. Padi ditanam di huma/hauma, lahan kering. Bukan sawah.

Dahulu, padi ditanam di atas lahan robean, atau areal pertanian yang ditanami perdana dari hutan perawan. Tanpa pupuk, kecuali unsur hara dari dedaunan dan batang pohon yang membusuk puluhan, ratusan atau ribuan tahun sebelumnya. Tuaian dari lahan robean, biasanya jauh lebih memuaskan dibandingkan hasil panen dari galunggung, lahan second atau yang sudah ditumbuhi semak-semak semacam ilalang.

Dengan hanya mengandalkan kesuburan tanah, tanpa pupuk kimia, kompos dan pupuk kandang, wajar jika peluang padi berhasil tidak begitu besar. Kalaupun padinya sangat subur, tidak akan pernah sebesar tuaian dari sawah, lahan beririgasi.

Faktor yang mendorong Amang dan Inang menasihatkan kami sangat sayang pada nasi adalah gangguan hama. Babi hutan, kera/monyet, tikus dan burung sangat ganas memangsa padi. Tidak jarang petani marjuma modom (mengidam di ladang) untuk menjaga ladang. Kalau pun tidak, pergi ke ladang subuh, dan pulang malam untuk mamuro menjaga padi dari sergapan kawanan burung pipit.

Petani pun sering dibayangi kekhawatiran badai hujan es. Akan sangat bahaya, buliran padi akan rontok dipipil hujan jika ini terjadi. Ini adalah force majeur bagi petani tradisionil.

Kerasnya usaha, beratanya beban dan pengorbanan untuk mendapat padi oleh para petani yang minim ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi itu, sangat wajar jika memperlakukan sebulir padi layaknya sekeping emas, atau mutiara.

Secara psikologis, sesajen dipersembahkan, gurindam dilantunkan, atau kumat-kamit membacakan mantera, untuk mengharapkan menuai padi yang cukup untuk penganan pokok selain singkong, ubi dan talas. Segenap jiwa dan raga dikerahkan untuk menghimpun buliran- buliran padi itu.

***
NUR Mahmudi Ismail, sudah setahun lebih memangku jabatan Walikota Depok. Sosok yang sebelumnya line-up di "Liga Utama" selaku Menteri Kehutanan terdegradasi pemain cdangan "Divisi I", sebelum dilantik 28 Januari 2006.

Lebih dari setahun, keluhan-keluhan atas lambannya pembangunan infrastruktur yang dia lakukan tidak sepi. Demo-demo bahkan sudah pada permintaan agar dia mundur. Jika kebanyak walikota terpilih segera membenahi infratruktur semacam mengaspal jalan, Nur Mahmudi rupanya taidak melakukan itu.

Jalan-jalan banyak berlubang, bahkan kubangan-kubangan besar. Dari jalur protokol hingga jalan arteri hampir semua ditandai jalan rusak. Jalan Raya Bogor, Tole Iskandar, Jalan Proklamasi, Jalan Bahagia. Permohonan (halus), keluhan dan hingga cemoohan (sarkasme) dilontarkan tidak juga dijawab. Sepertinya dia seribu bahasa.

Barulah sepekan ke belakang, tampak aktivitas pembangunan. Lumayan lah. Kubangan panjang di bawah rindangnya pohon persis di depan bekas Ramayana Cisalak Jalan Raya Bogor, dan pengecoran Simpangan (pertigaan Jalan Tole Iskandar dengan Jalan Raya Bogor), proyek lainnya terkesan asal-asalan. Asal ada maksudnya.

Di Jalan proklamasi, dekat Pasar Agung, cor-coran jalan raya malah dibongkar ulang oleh tangan-tangan tukang, kalau serius mestinya pakai alat berat, bukan dengan linggis atau palu kecil. DI Tole Iskandar, tak jauh dari Simpangan yang dibereskan di ujung got. Padahal pokok persoalan, genangan air di depan pabrik tekstil dibiarkan bak kubangan kerbau.

Sedangkan di tempat lain, ada yang membutuhkan pananganan. Jalan di Jalan Bahagia, seopanjang sekitar 500 meter jalan rusak parah. Kalau hujan, pasti penuh kubangan, sedangkan ketika musim kering jalan menebar debu.

Sinisme saya sempat muncul. Wah, gawat nih, padahal guru mengatakan kembangkanlah posotive thinking. Alasannya, kok baru sekarang perbaikan jalan yang sudah sangat parah itu dilakukan. Kenapa baru akhir tahun????

Jadi curiga. Jangan-jangan seperti sering diketahui dilakukan birokrat kita, tentang sisa anggaran. Bukan rahasia lagi, dana APBD untuk pembangunan yang sudar dianggarkan, konon harus habis pada tahun anggaran berjalan. Jika tidak, daerah harus mengembalikan ke kas negara.

Inikah dasarnya, sehingga dana harus segera dibelanjakan mengingat tahun ini tinggal menyisakan 45 hari lagi. Paradigma menghabiskan sisa anggaran kah yang menyulut proyek tidak tepat sasaran, maka corcoran yang masih bagus pun harus dirusak ulang untuk dibangun kembali? Jika dugaan itu ada, saatnya tim pengawas turun tangan mengaudit.

Sebab praktik pemborosan itu sangat kontradiktif di tengah upaya sekitar 37 juta penduduk Indonesia, terus mengetatkan ikat pinggang sekadar supaya besok masih bisa makan. Pemborosan yang dipraktekkan aparatur negara sangat kontras dengan perlakuan terhadap petani- petani di desa terhadap sebutir padi, beras, nasi. (domuara ambarita)

Tidak ada komentar: