Senin, 12 November 2007

Front Liner, Kesan pada Pandangan Pertama

JAMAK sudah terdengar anekdot di dalam masyarakat ungkapan rada sarkastis berikut. Mentang-mentang kaya, Si Polan congkaknya luar biasa; Mentang-mentang pintar sombongnya kelewat amat, mentang-mentang berkuasa Si Anu sesuka hati dan otoriter; memang sih produknya laku tapi masa sih nggak bisa nego; perusahaan ini bagus tapi sayang kurang memerhatikan pelanggan.

Induk perusahaan tempat saya mengabdi, Kompas Gramedia, satu di antara perusahaan yang sangat mapan alias market leader. Bukan rahasia dominsi Kompas pada koran, dan Gramedia pada percetakan dan toko buku. Ya, mapan. Sehat.

Dalam beberapa bidang, layanan masih terbaik. Tapi yang namanya manusia, tidak ada yang sempurna. Entah karena menyadarai ketidaksempurnaan itu, atau ada sesuatu prediksi setelah menganilisis tanda-tanda zaman, setahun ke belakang, nuansa perubahan terjadi begitu kental. Salah satunya adalah orientasi pada memenangkan hati pelanggan: pada semua lini.

Lini paling depan, atau garda terdepan yang dibenahi yakni profesi yang paling dekat dengan pelanggan. Siapa mereka? Bukan para tampuk pimpinan semacam Presdir, bukan direktur, bukan pimred, bukan manajer, bukan pula kepala bagian, tetapi pegawai bawahan. Misalnya, operator telepon, Satpam, resepsionis, pramuniaga, teller, dan lain-lain.

Ya, mereka inilah yang lebih dekat dengan konsumen, yang setiap saat langsung berhubungan secara fisik maupun lisan dengan pelanggan, pembeli, pemasang iklan dan sebagainya. Orientasi memuaskan pelanggan: pembeli adalah raja/ratu.

Saya teringat konsep ini, karena Senin (12/11/2007) malam, saya kebetulan bepergian ke Plaza Semanggi, di Jalan Gatot Soebroto Jakarta. Bukan untuk dugem, shopping, tidak juga untuk melonggarkan tenggorokan bernyanyi di karaoke Inul Vista di lantai VI. Bukan, bukan untuk rekreasi, tetapi urusan dengan mengaktifkan simcard ponsel.

Sepulang dari lantai I, menuju basement tempat si Supra menanti, saya bertanya pada seorang anggota Satpam yang berdiri di samping meja pengawasan di pintu masuk. Mengenakan seragam hitam-hitam, mirip intelijen polisi, dia menggenggam pemindai logam (metal detector), dengan sigap memeriksa setiap barang bawaan tamu.

Sebelum saya bertanya di mana pintu menuju basement, hahahah... dasar udik, saya membiarkan si Satpam melayani seorang lelaku yang datang beserta teman wanitanya. Dari kulit dan wajah, dia bukan orang Asia Tenggara, kalaupun iya, mungkin blasteran. Dugaan saya, lelakinya orang India dan perempuan dari Jepang atau Korea.

Saya mendekat ke si Satpam, sembari berharap si tamu segera berlalu. Sambil menyodorkan tas ransel diperiksa si Satpam, pria tadi bertanya, I want to buy Simpati Simcard, Where is???

Sang Satpam tampak menyedengkan telinga kanannya. "Apa?" katanya. Lalu si tamu mengatakan lagi, "I want a Simpati simcard." Tampaknya si Satpam belum nyambung. Lalu saya coba memberanikan, 'intervensi', please, go there on the first floor!"

Saya mafhum, karena saya sama dengan sang satpam, pendidikan rendahan. Mungkin saja, kami sama-sama wong deso, yang kebetulan terdampar di Megapolitan. Lalu, kedua tamu tadi pergi ke dalam Pelangi (sebutan untuk Plaza Semanggi), dan saya pun bertanya kepada Satpam.

Garda terdepan. Ya, Satpam memang garda terdepan dalam perusahaan. Serendah apa pun pendidikan, seminim apa pun keterampilan atau kecakapan dia berkomunikasi, itulah faktanya, dia langsung berhubungan dengan pelanggan. Bukan saja orang se daerah yang bahasa sama, bia jadi dengan orang asing dengan logat, bahasa dan adat istiadat berbeda.

Bila paradigma lama, orang-orang front liner dianggap sebelah mata. Dianggap pekerjaan rendahan, sekadar pelengkap, sehingga tidak perlu dipertimbangkan latar belakang pendidikan, keterampilan bahasa, komunikasi dan dengan demikian upahnya pun ala kadarnya, mengingat perkembangan zaman yang terus menggelinding ke era liberalisasi-global, maka paradigma itu mau tak mau harus diubah.

Jadikanlah orang-orang yang bekerja sebagai satpam, resepsionis, marketer, AE, bahkan office boy orang- orang terampil. Tidak mesti berijazah sarjana, tetapi terampil. Kalaupun telanjur tidak mumpuni, mari, latih untuk menjadi frontliner yang bisa memikat pada pandangan pertama. Jika pada pandangan pertama saja mengesankan, pelanggan senang dan puas terlayani, maka selanjutnya terserah Anda. (domuara ambarita)

Tidak ada komentar: