Minggu, 25 November 2007

Jangan Tinggalkan Aku

MINGGU (25/11/2007), saya beserta lima kawan jurnalis, berbicang-bicang ringan di kantor, ruang redaksi Persda Netrok, Jalan Palmerah Selaatan 12, Jakarta. Ngerumpi kami ngaler ngidul. Tema politik, seputar gaya preman, koboi, penampilan bertabur emas dari beberapa pegiat pilitik di gedung DPR RI, Senayan, mampu mengumpulkan kami, kendati tak diperintah.

Berita politik memang tak ada matinya. Puncaknya pascaera reformasi yang ditandai antara lain euforia-kebablasan, sehingga sempat menyurutkan minat orang banyak, termasuk saya sendiri terhadap hiruk-pikuk perpolitikan nasional-lokal.

Akhir-akhir ini, atmosfer perpolitiakan kembali naik daun, asal bukan naik pitam. Suhu perpolitikan dipastikan akan terus meningkat sampai mendidih pada Pilpres 2009, semoga para politisi mampu mengendalikan diri dan massa sehingga 'ketel' tak sampai meledak. Dua tahun menjelang pesta rakyat itu, sejumlah tokoh politik sudah 'heboh' menohok dan menyodok ke sana ke mari, menambah hiruk-pikuk politik, sebagai calon presiden.

Sejumlah sosok sudah menyampaikan kesanggupan dan mulai 'jualan' memimpin bangsa ini. Ada yang terang-terangan, ada yang malu-malu. Calon yang terang-terangan mengatakan akan maju antara lain Iwan Cahyono dan Syafrul Agus yang deklarasikan diri sebagai pasangan Capres independen (meskipun gurang bergaung), Ketua Umum PDIP/mantan Presiden Megawati, mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.

Dalam obrolan sore itu, topik pun menyenggol aktivitas jurnalis di seputar panggung politik. Di luar wartawan yang jujur pada profesinya, ada beberapa nama yang disebut memiliki peran ganda. Selain wartawan untuk medianya, dia juga menjadi penghubung presiden dan wakil presiden dengan petinggi pada media tempat bekerja sang wartawan.

Ada orang yang semula sebagai officeboy di presss room gedung DPR, belakangan menjadi bos geng 'wartawan' yang mengorganisasi jumpa pers diikuti bagi-bagi fulus, atau menjadi calo orang-orang dari daerah dengan yang ingin bertemu legislator di Senayan. Mereka mengharapkan commitment fee. yang bagi sebagian orang adalah tabu tetapi dalam urusan lobi katagori hal wajar.

Seorang kawan wartawan senior, sudah puluhan tahun jadi jurnalis, sore itu menasihatkan wartawan lainnya, 'wartawan' tipe kedua di atas memang tampak lebih menguasai masalah dari wartawan pencari berita. Mereka pun dari memiliki akses yang terkesan luas dan dekat dengan sumber-seumber pokok berita untuk pencari berita. Ya, mereka menguasai: masalah dan orang.

Bahkan penampilan mereka lebih wah daripada wartawan, yang katanya saat ini mestinya berubah karena bukan lagi koran perjuangan melainkan industri pers. Industri: adalah era profesional, wartwan profesional memiliki kedudukan selevel dengan sumber daya lainya dalam perusahaan seperti modal, mesin dan metode (4M). Dengan demikian, jika pemilik media yang belakangan menggurita menjadi konglomerasi, maka wartawan pun berhak mendapat kehidupan yang semakin layak.


Mungkin paradigma ini yang menggugah kawan tadi melontarkan. "kalau tujuan anda segera kaya, maka dari sekrang mulailah mendekat kepada sosok-sosok entah calon anggota DPR atau calon presiden yang potensial tadhun 2009. Kalau dia jadi, Anda akan kaya. Rumah bisa di Kota Indah (barangkali maksudnya Pondok Indah) dan mobil tiga," ujarnya sambil tergelak tawa.

Ya, itulah arti dan konsekwensi pada kesetiaan. Setia memilih hidup sebagai jurnalis/wartawan, ya berarti setia miskin, atau setidaknya memiliki jiwa pro-miskin. Karena, konon, tugas wartawan sebangun dengan pewartaan: tanpa pamrih, layaknya mubalik, pastor, pendeta (ideal).

Jika tidak setia pada profesi dan kawan, jadilah pilihan-pilihan pragmatis. Demi hidup yang semakin sulit, maka haruse memilih, tetap miskin atau kaya. Ini memang paradoksal: Miskin tak ada untungnya, Kaya tak ada ruginya.

Saya jadi teringat pada putri bungsu kami, Elisabeth Uli Ovelya Ambarita, Sabtu (24/11/2007) malam. "Jangan tinggalkan aku. Ompung... tante, jangan tinggalkan Uli," katanya meraung dengan nada menjerit saat ditinggal nenek dan tantenya yang hendak pulang.

Sabtu itu adalah haribaik, dan kami jadikan untuk pindah rumah, menempati bangunan setengah jadi di Komplek Deppen Jalan Raya Bogor, Cisalak. Uli yang selama ini menganggap neneknya dalah ibu: sedari usia 6 bulan lebih sering tidur bersama ompungnya daripada kami ibu- bapaknya.

Usianya 3 tahun 1 bulan. Tapi omongan dan pikirnanya, seprtinya di atas usia itu (setidaknya bila dibandingkan dengan pengalaman saya, yang orang kampung...) Saat hendak ditinggal pulang, dia menjerit agar tidak ditinggal. Saya dan mamnya, sebenarnya tidak memaksa Uli tidur bersama kami malam itu. Kami maklum kalau dia ikut ompungnya. Tetapi akhirnya dia sendiri memutuskan, tinggal bersama kami, sembari mencium pipi ompungnya dan melambai tangan dadahhhh.... (domuara ambarita)

Tidak ada komentar: