Senin, 17 September 2007


Demi kalianlah buahhatiku, cucuran keringat dan darah ini


Silentium Magnum

"Diam itu emas." Lalu, "Lebih baik salah daripada tidak berbuat apa-apa." Dua adagium kontradiktif. Nasihat pertama sering kali saya dengar dari Ny Gultom, guru kelas saya ketika masih duduk di bangku kelas II SD yang terletak di dataran tinggi, deretan Bukit Barisan. Bangunan SD kami terletak tengah hijaunya dedaunan teh PTPN IV Bahbutong, Simalungun, Sumut. SDN Hutaurung, Panombean, Tiga Balata.

Lingkungan sekolah yang sangat heterogen. Suku Batak dan Jawa sama-sama dominan. Di sana lah saya mengalami inkulturasi, berbahasa Jawa abangan. Bahasa Jawatimuran, bukan kromo inggil. "Mas, arep nandi?" "Siopo jenengmu?" "Iki piro hargane?" Itulah beberapa penggal kata yang pertama-tama saya dengar, lalu hapal secara otomatis perlahan-lahan.

Dialeg halusnya kira-kira berturut-turut mengikuti kutipan di atas. "Tindak pundi mas?" "Mas, badhe tindak pundi?" "Sinten asmane?" "Niki pinten reginipun?" Kosa kata yang saya dapat dari hasil pembauran multikultur.

Bahasa Jawa kromo inggil-nya, perlahan saya dapatkan di Ungaran dan Ambarawa, Jateng, 15 tahun lalau, tahun 1992. Saya sering dan bahkan tinggal beberapa bulan di Jateng ikut kakak angkat, Mas Pur, mantan penyiar Sonora Jakarta. Saya tinggal di kontrakan mas Pur selama enam bulan, ketika semester terakhir dari satu tahun saya 'mencuri, ilmu di Jurusan Akuntansi, Fakulata Ekonomi, Universitas Borobudur. Mencuri, karena saya kabur ke Banjarmasin begitu lolos UMPTN padahal uang cicilan semesteran belum beres.


Sepatah dua kata pula saya dapatkan dari mas Rochim, mas Widjanarko, dan kawan-kawna dari Jawa Tengah ketika sama-sama masak 'jangan' di kos-kosan Haji Barlian, Kayu Tangi, Banjarmasin setahun berikutnya.

Kembali ke laptop, eh ke pepatah pembuka di atas. Bingungkah mendapat dua perintah berbeda? Sekilas yah. Namun deskripsi kondisi di atas tentu berbeda, dan kiranya dapat menjernihkan anekdot tadi.

Bu Guru Gultom memang terkenal tegas, dan 'killer'. Bu guru bahkan tidak segan-segan melibaskan lidi ke betis murid, atau memukulkan balok penghapus papan tulis kepada ujung jari- kuku. Bu Guru yang selalu naik pitam jika kami murid-muridnya ribut, seperti pedagang rombeng di pasar loak. Menghardik sambil menyuruh diam. Sesekali dia mengutip nasihat di atas, "Diam itu emas"

Sebelas hingga dua belas tahun menyusul, kebalaikannya sering saya dengar. Ketika kuliah mata kuliah manajemen sumber daya manusia, manajemen produksi, atau perilaku organisasi kata-kata pelecut semangat berikut kerap terlontar dari dosen.

Kata-kata mengandung motivasi agar bawahan/karyawan memiliki inovasi-inisiatif dan tidak berpangku tangan berkali-kali disampaikan pakar marketing dalam seminar-seminar buat para marketer. "Lebih baik salah daripada tidak berbuat apa-apa".

Bahkan diikuti motivasi yang lebih dahsyat untuk level pemimpin perusahaan. Seorang pemimpin bisnis yang sukses adalah yang berhasil menggerakkan segala sumber daya yang ada (faktor produksi: man, machine, money, method) menuju pertumbuhan perusahaan secara kontinyu dari waktu-ke waktu. Kalau tahun 2006, koran A sukses tumbuh secara oplah dan renenue 10 persen, tahun 2007 tumbuh 20 persen, maka tahun 2008 harus tumbuh 30 persen.

Untuk ukuran kaum bisnis tradisional, tentu tren itu sudah mantap, luar biasa. Namun belakangan, tidak cukup di situ. Ada teori menyebut, pimpinan harus memantau pesaing. Mengapa? Jawabannya, kalau tingkat pertumbuhan kompetitor ternyata tumbuh lebih pesat, pertumbuhan kita tadi belum seberapa.

Meminjam istilah fisika, kedua perusahaan dapat dihitung kecepatan dan percepatannya, maka pada titik tertentu akan terjadi tubrukan. Lalu siapa yang kemudian melaju dengan cepat dapat diketahui, syukur-syukur ia tidak menggulung pesaing yang konvensional. Praktik inilah yang belakangan memusingkan para manajer atau eksekutif muda di berabgai kota. Apakah semanagt Anda terlecut, atau justru kecut dan jadi pengecut?

Silentium Magnum

Di tengah pekerjaan yang boleh dibilang sibuk ya sibuk, santai yan memang santai, saya akhir pekan lalu diingatkan seorang sahabat dari Kupang melalui YM. Sesibuk apapun kata mungkin bermaksud sharing entah syiar, entahlah, saya mabil positifnya saja, cobalah berdiam sekejap. Tidak mengganggu pekerjaan kok. Cukup lima menit.

Duduk di kursi kerja, atau keliling-keliling kantor sambil merokok juga boleh. Intinya heningkan batin, pikiran dan ingatlah hal-hal yang patut kamu syukuri hari ini juga. hal-hal menggembirakan, bukan sebaliknya. Lalu camkan dalam batin, ucap syukur sambil menikmati kemurahan Tuhan. Mau diikuti ritual dalam hati juga boleh.

"Ini yang saya terapkan dalam bebrapa bulan ke belakang. Intinya ini silentium magnum. Keheningan batin penuh," ujarnya. Dengan praktik silentium magnum, mudah-mudahan kita akan jauh dari stres karena target-target pekerjaan. "Semoga. Saya akan coba ikuti," sahut saya. Untuk permenungan ini, saya memilih nasihat Bu Guru Gultom, "Diam itu emas!"

[+/-] Selengkapnya...



Selamat Berpuasa

MINGGU adalah hari libur ku dari kerja. Ya, libur sehari dalam sepekan. Lazimnya, saya menghabiskan waktu bersama dua putri, Uli dan Dorthy beserta ibunya seharian di rumah 'induk semang'. Sudah empat bulan kami menumpang di kediaman mertua di Depok. Tahun ini memang zaman mengencangkan ikat pinggang' bagi kami. Kami biasanya bercanda gurau di pondok mertua indah alias rumah mertua seharian. Jarang shopping, bertamasya, apalagi melancong ke luar negeri tentu tidak ada dalam benak ini.

Pekan lalu, Minggu (9/9), kembali ke rumah menjelang sore. Sudah tiga pekan terakhir seperti itu. Kaus biru --yang biasa saya pakai saat main bola, celana pendek, badan kotor, bau keringat, dan tangan berlumur semen. Kepala berselubung topi bundar hitam yang saya beli dari Jalan Malabar Bandung, dua tahun lalu. Mau apek pokoknya.

Saya menumpang Supra Fit jagoanku. Tiba dari belakang rumah mertua, sisi kiri, saya berpapasan dengan mertua laki (batak: amang simatua doli). Saya heran, sedikit terperangah, karena menemui mertua berikut mobil Zabra butut di samping rumah. "Apakah nggak jadi ke Sukabumi, Amang?" tanyaku. "Nggak jadi," jawab mertua singkat namun tetap ramah.

Hati saya seketika berkecamuk. Haru campur merasa bersalah. Ada dua penyebab. Minggu pagi itu kami absen memuji Tuhan, tidak mengikuti kebaktian di gereja, suatu kelaziman. Biasanya saya dan istri dan Dorthy, si bungsu, misa di Gereja Katolik Santo Markus Depok. Adapun Uli, si sulung, ikut oppungnya ke HKBP, yang lokasinya berhadap-hadapan, hanya berjarak sekitar 15 meter dengan tempat kami.

Kegundahan kedua, sedari bangun, istri sudah menginformasikan menjelang siang, kami sekeluarga akan beranjangsana ke Sukabumi. Sekembali membelikan Dephacene, obat sirup dwimingguan buat Uli, istri kembali mengingatkan. Kali ini malah mengajak. "Pah, nanti kita ke Sukabumi ya. Ke tempat Tulang, ini kan mau ramadan. Sudah bisaya begitu, setiap mau puasa mama dan bapak pergi ke rumah Tulang, silaturahmi." "Huuu," jawab saya sekenanya.

Saat sata bersiap-siap, mempersiapkan peralatan 'termpur', seperti palu, skop semen, linggis dan air minum, istri mulai bernada mendesak sembari sewot. "Pah," katanya meninggi. "Ayo, kan mau ke Sukabumi. Nggak usah bertukang dulu apa! Mikirin rumah terus. Nanti-nanti kan bisa."Saya menyahut, "Biar cepat selesai, Supaya bisa ditempati. Kan musti saya kerjakan sendiri, tidak ada uang bayar tukang."

Saya lalu pamit kepada ibu mertua perempuan (inang simatua boru) dan mertua laki mengatakan tidak ikut ke Sukabumi. Tangan kanan mengendarai motor, dan tangan kiri memegangi tiga batang balok di bahu kiri.

Rumah mertua di Pondok Tirta Mandala ke Komplek Deppen, Cisalak, berjarak kurang lebih 2,5 km. Di komplek ini kami sedang merampungkan renovasi gubuk derita yang baru dibeli atas dorongan 'kenekatan', dan berkat kebaikan banyak pihak. Saya berkendara dengan tangan satu, sambil memikul beban tanpa istirahat. Pegal juga sih...

Seharian saya menyemen, menguas semen pada batako di ruang belakang, karena kekurangan dana, terpaksa tidak diaci atau diplester. Saya bekerja sampai sore, ditemani Parlin, keponakan yang baru tiba Parung.Juga sempat ditingkahi kesibukan 'boru panggoaran' Uli. Untungnya dia pulang lebih awal bersama oppungnya.

Dua hari berselang, para ulama dan pemuka agama Islam mulai mengintip isbat untuk menentukan awal 1 Ramadhan 1824 Hijriah, saya merasa bersalah sendiri. Hingga saat ini, sengaja belum bertanya kepada istri apa alasannya tidak berangkat ke Sukabumi. Kendati tidak dijawab, mungkin bisa saya raba: mereka batal bersilaturahmi karena saya taidak ikut.

Tapi untung juga tidak berangkat, sebab seharian itu pun, saya bekerja sembari berdoa dalam hati, semoga rombongan keluarga besarku selamat menuju rumah paman, adik dari ibu mertuaku yang mualaf setelah menyunting putri idamannya, generasi Pasundan. Saya takut terjadi sesuatu, apalagi saat kerap terjadi musibah (semoga tidak).

Kiranya angin sepoi-sepoi menyampaikan permohonan maaf saya dan keluarga kepada roh Tulang dan keluarga di Sukabumi. Bukan kecongkakan iman, bukan juga mengingkari perbedaan keyakinan, melainkan karena kecerobohan pertimbangan duniawi.

Sembari memohonkan mohon maaf lahir bathin, dan selamat berpuasa, saya menyadari silaturahmi kekeluargaan harus tetap dibina. Berbuat kepada sesama adalah kasih tak terhingga nilainya. Seperti tubuh jika tanpa roh, tubuh itu adalah mati, demikian juga iman sebesar apa pun kadarnya jika tanpa perbuatan adalah iman yang kosong. Iman tanpa perbuatan adalah iman yang mati. Mari hidupkan iman dengan berbuat. Selamat Menunaikan Ibadah Puasa 1428 H. (*)

[+/-] Selengkapnya...


Bambang Trihatmojo Berburu Singa Hingga ke Benua Afrika (3-Habis)
Pilih Pensiun Dini Aktivitas Bisnis
DI usianya ke-53 tahun, putra ketiga mantan Presiden Soeharto, Bambang Triatmojo mengaku telah pensiun dari kegiatan usaha dan kesibukan mengurusi kerajaan bisnis, PT Bimantara Citra Tbk. Bulan depan Bambang akan genap 54 tahun. Mustinya usia pensiun 55 tahun. "Saya sudah pensiun," ujar Bambang Tri.

Bimantara didirikan Bambang Tri pada 30 Juni 1981. Pada mulanya perusahaan pada bidang industri dan perdagangan. Lalu sempat ekspansi pada banyak bidang termasuk media massa dan penyiaran, telekomunikasi, infrastruktur, transportasi dan otomotif, industri kimia, hotel dan properti, finansial dan investasi.

Setelah 14 tahun beroperasi, Bimantara mulai membuka diri ke masyarakat melalui penawaran saham perdana ke publik melalui Bursa Efek Jakarta 17 Juli 1995. Kemudian, tahun 2000, manejmen memutuskan perusahaan konsentrasi hanya pada tiga bidang bisnis utama, yakni media dan penyiaran, transportation dan Logistik, serta Telekomunikasi.

Saham Bimantara Citra berdasarkan data Indoexchage 28 Februari 2007, dikuasai lima pihak, yakni empat perusahaan dan publik. Komposisinya adalah PT Bhakti investama Tbk sebesar 48,98 persen, PT Asriland (13,83 %), MS + Co Inc Client AC (7,70 %), Astoria Development Limited (5,48 %) dan publik (24,02 %).

Di awal tahun 1990-an, Bimantara sempat meramiakan industri otomotif dengan memasok mobil buatan Korea. Bimantara bersaing dengan perusahaan milik Tommy Soeharto, Humpuss Group yang mengimpor completly build up mobil Korea dan disulap menjadi mobil nasional, Timor. Saat ini, Bimantara menjadi raksasa bisnis media melalui Media Nusantara Citra (MNC) memiliki tiga televisi, RCTI, TPI dan Global TV, ada media cetak seperti harian Sindo. (Persda Network/domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...


Bambang Trihatmojo Berburu Singa Hingga ke Benua Afrika (2)
Hidung Digigit Kutu Gajah
MENGGIRING belasan anjing galak. Membawa jaring-jaring penjerat. Tombak atau pisau, atau panah beracun. Mencari objek buruan semacam babi hutan, atau rusa. Setelah menambatkan untaian jerat, pemburu mulai mengepung hewan buruan dengan anjing. Jika berhasil ditangkap langsung baik, bila tidak digiring ke arah jaring. Terjerat lalu ditombak. Begi-tulah gambaran pemburu tradisionil yang banyak dijumpai di daerah pedesaan.

Berburu tradisional itu jauh ketinggalan dibandingkan kaum berduit, seperti pengalaman Bambang Trihatmojo. "Berburu kambing gunung atau disebut Canus di New Zeland, pemburu biasanya naik helikopter. Kalau di Alaska, Kanada, untuk berburu beruang kita naik pesawat. Biasanya pesawat berpenumpang tiga orang. Dari pesawat berputar-putar ke hutam mencari beruang. Kalau sudah lihat beruang besr, baru mendarat," kata Bambang.

Lain lagi kalau berburu gajah, badak, macan tutul atau singa. Pemburu biasanya mengendarai mobil ke hutan. Untuk memburu macan tutul, misalnya, pemburu biasanya harus terlebih dulu menembak babi hutan. Binatang hasil tembakan itu digantung di dahan pohon sebagai umpan. Lalu pemburu menunggu di dekat umpan.


Biasanya, macan tutul mencari mangsa sore. "Kita harus siap. Kalau macannya datang, tinggal menembak," ujarnya Bambang sembari menyebut hewanhewan buruan bukan gratis.

Kendati bersenjata bedil, tidak berarti penembak boleh sembarangan menghabisi binatang. Ada aturan dan tata krama. Ternyata semangat sportivitas dan fairplay dengan binatang pun tetap dijunjung.

Penembak tidak boleh menggunakan bedil otomatis, tetapi yang manual. Dilarang mengisi peluru sebelum melihat objek buruan. "Ini untuk memberikan kesempatan kepada binatang itu, apakah pergi atau saya tembak. Jadi harus fairplay," kata mantan bos PT Bimantara Citra Tbk.

Kejadian apa yang paling mengesankan saat berburu? "Waktu berburu gajah di Afrika. Lalu kami foto-foto dekat gajah yang jadi objek. Sehari kemudian, hidung saya terasa sakit, saya tiba-tiba pusing. Lalu pergi ke depan kaca, saya lihat lobang hidung ternyata ada kutu gajah menggigit. Sakitnya luar biasa, kepala nyut-nyut sampai ke ubun-ubun. Dicabut sulit karena menempel, lalu saya ambil pakai obat nyamuk yang diolesi ke kapas."

Pernah mengalami peristiwa menakutkan ketika menembak, misalnya binatang buas melawan? "Waktu menembak bear (beruang) di Alaska, Kanada dari jarak 50 meter. Pada tembakan pertama, beruang malah berdiri dan menyerang saya. Saya cepat-cepat memasukkan peluru, baru pada tembakan kedua dia roboh," kata Bambang.

Bambang berkomentar pendek tentang banyaknya `kecelakaan' anggota kepolisian yang memegang senjata api akhir-akhir ini? "Yang bahaya bukan senjatanya. Sebab senjata, kalau ditaruh di meja, 10 tahun pun akan tetap di sana asal jangan dipegang. Jadi ketika dipeganglah, pistol baru berbahaya," ujarnya sembari menyebut sebagian anggota Perbakin berasal dari kalangan militer/polisi. (Persda Network/domuara ambarita) Sriwijaya Post, 29/05/2007

[+/-] Selengkapnya...


Bambang Trihatmojo Berburu Singa Hingga ke Benua Afrika (1)
Kursus Menembak pada Pak Harto

HOBI. Bagi banyak orang hobi atau kegemaran tidak terperi harganya. Betapa dalam pun kocek dirogoh, dan ke belahan bumi mana saja tidak peduli asalkan hobi tersalurkan. Yang penting puas.

Bambang Trihatmojo, bulan depan genap berusia 54 tahun, satu di antara orang yang memiliki prinsip seperti di atas. Putra ketiga mantan presiden Soeharto ini gemar menembak. Meletuskan mesiu, mendesingkan peluru dan mendengar dar der dor suara senapan adalah kesukaannya.

"Sejak kecil saya suka menembak. Waktu masih kelas lima SD, saya mulai diajak bapak (Soeharto, Red) ikut berburu. Saat itu bapak sering berburu belibis di Serang dan Ancol. Dulu Ancol itu masih rawarawa," ujar Bambang ketika diwawancara khusus Sripo di arena kejuaraan menembak, Jakarta Challenge 2007 putaran kedua di lapangan tembak, Senayan, Jalan Gelora, Jakarta Pusat, Sabtu (26/5) siang.

Soeharto sering mengajak anak-anak laki-lakinya ikut berburu. Bambang kecil dibawa serta bersama putra sulung Soeharto dengan Siti Hartinah (Ibu Tien), Sigit Hardjoyudanto, dan si bungsu Hutomo Mandala Putra (Tommy).


Menurutnya, ini merupakan suatu kehormatan bagi Tien), Sigit Harjoyudanto, dan si bungsu Hutomo Mandala Putra (Tommy). "Rupanya, cuma ke saya hobi menembak bapak turun. Saya kursus menembak, gurunya ya bapak," ucapnya dengan suara pelan bahkan sering hilang ditelan suara dentuman bedil.

Sabtu kemarin, 10 klub mengikuti Jakarta Challenge 2007 putaran kedua di lapangan tembak, Senayan. Di antaranya Bimantara Shooting Club, yang dirintis Bambang Tri. Bambang mengenakan celana jins pendek, kaus kerah perpaduan warna merah dan putih bertuliskan Indonesia dengan logo IPSC (The International Practical Shooting Confederation), induk organiasi Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu Seluruh Indonesia (Perbakin). Sepatu kets hitam juga bermerek IPSC.

Bambang menyediakan waktu diwawancarai di bawah pohon kersen yang lindung di arena, tepat bersebelahan dengan gerbang selatan gedung DPR di tengah dentuman ledakan mesiu dari pistol-pistol.

Kegemaran menembak tumbuh berbarengan dengan usia. Tembak Burung Liar Beranjak remaja, ia kian sering ikut berburu bersama sang presiden. Jika masih anak-anak ia sering mengenggam revolver kaliber 22, setelah remaja, Bambang mulai menggunakan shoot gun. Maka burung-burung liar seperti belibis menjadi incarannya. Bukan burung yang tertidur lelap, atau hinggap dahan, tapi bergerak.

Ya, Pak Harto melatihnya agar jitu menembak belibis terbang. Hari berganti hari, dan tahun demi tahun berlalu, Bambang pun dewasa. Selain menembak, ia mulai tertarik mengayunkan stik dan memukul bola kecil.

Kesukaannya bertambah, main golf. "Tapi mungkin karena sejak kecil suka menembak, saya akhirnya tinggalkan golf. Lebih mudah menyesuaikan diri dengan menembak," kata suami dari Siti Halimah, dan belakangan menikahi juga Mayang Sari, penyanyi pop Indonesia.

Terampil dalam menembak, mengatarnya beberapa kali meraih juara pertama dan kedua dalam kejuaraan nasional. Bambang tidak puas dan berhenti kendati pun merebut gelar dalam perlombaan. Ia terus melanglang buana, berburu binatang-binatang liar dan buas di hutan rimba. Ia berdalih. "Berburu out door lebih sulit. Ada tantangannya, ada kepuasan tersendiri. Apalagi kalau tepat mengenai sasaran yang disebut bulls eyes, puas rasanya."

Demi memuaskan batin itulah, Bambang bersedia mengeluarkan banyak dana berkelana ke berbagai benua di Asia, Afrika, hingga Amerika. Dari hutan rimba hingga kutub nan bersalju. Bambang mengaku pernah berburu ke Aljazair, Afrika Selatan, Zimbabwe, Tanjania, Selandia Baru, dan Kanada.

Menembak binatang liar tak berbahaya, sampai menundukkan hewan buas. Kambing gunung (Camus), badak, gajah, beruang, macan tutul hingga singa yang dikenal raja hutan Afrika. (JBP/domuara ambarita) Sriwijaya Post, 28/05/2007


[+/-] Selengkapnya...



Syarwan Hamid:
Riau Ancam Angkat Senjata
* Otonomi Khusus Harus Kita Rebut

JAKARTA- Mantan Menteri Dalam Negeri Syaran Hamid sedang gigih-gigihnya menuntut status otonomi khusus (Otsus)untuk Provinsi Riau. Ia sering pergi pulang Jakarta-Pekanbaru untuk mengorganisasi massa pro-otsus. Laki-laki putra asli Siak, Riau ini mengaku prihatin melihat provinsi yang sumber daya alamnya diperlakukan sekadar sapi perahan. Ketika kandungan alamnya masih melimpah, pemerintah pusat terus menguras dan hasilnya diangkut ke Jakarta, tanpa memikirkan pengembalian dana ke daerah asal berupa pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan sumber daya manusia setempat. Namun jika potensi alamnya habis, daerah tadi ditinggalkan begitu saja, bak kata pepatah habis manis sepah dibuang.
Agar daerah, terutama yang kaya sumber daya alamnya, tidak sekadar penyumbang devisa negara, dibutuhkan aturan tegas yang berkeadilan. Dan itu dapat dipenuhi melalui status otonomi khusus yang ditetapkan Undang-undang. Di Indonesia, ada dua provinsi yang berstatus otonomi khsusus yakni daerah paling barat dan daerah paling timur Indonesia, yakni Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua.
Ada beberapa sasaran tuntutan mendesak otonomi daerah di Riau antara lain untuk perbaikan pelayanan umum kepada masyarakat; memaksa pemerintah pusat bersikap adil; mewujudkan pembagian keuangan hasil minyak sebesar 60 persen untuk daerah dan 40 persen untuk pusat; dan perlu menunjuk putra Melayu untuk jabatan setrategis seperti menteri dan Dubes.
Syarwan Hamid, berdalih tuntutan masyarakat Riau terhadap status otonomi khusus bukan mengada-ngada. "Otonomi khusus justru sebagai solusi agar Negara Kesatuan Republik (NKRI) tetap utuh. Berbicara NKRI, yang sering kita dengar adalah, NKRI sudah final. Artiny tidak bisa lagi diganggu gugat. Padahal tidak demikian. NKRI kalau mau utuh, perlakuan harus adil terhadap semua bangsa ini. Kata kuncinya keadilan. Dengan keadilan pemerintah pusat akan disebut sebagai orangtua yang bijak dan berkeadilan. Tidak semua yang enak dimakan sendiri," ujar Syarwan ketika menerima Jaringan Basket Persda (JBP) di kediamannya di Kota Wisata Cibubur, Minggu (15/4) pagi.
Dalam perjalanannya, pemerintah pusat sering mengingkari cita-cita para pendiri bangsa (founding fathers), maka NKRI itu bukanlah sesuatu yang final. "Kita harus terus berupaya membuatnya sebagai rumah yang nyaman. Kalau itu tidak terwujud, maka gejolak seperti di Aceh dan Papua akan terus muncul."
Padahal bangsa ini terbentuk bukan saja setelah mengusir penjajah, tetapi juga atas kesepakatan daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Founding fathers bersedia meleburkan diri ke dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan harapan membentuk suatu bangsa besar, dan tetap menjunjung keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat hingga ke daerah-daerah. Namun cita-cita membentuk satu wadah yang memberi kesejahteraan dan keadilan kepada seluruh rakyat Indonesia tidak juga terwujud hingga kini, bahkan kesenjangan semakin jauh, yang kaya semakin kaya dan miskin kian miskin.
"Faktanya pembangunan di Pulau Jawa sangat maju, sedangkan di daerah di luar Jawa sangat tertinggal padahal sumber daya banyak di daerah. Lihatlah kekayaan alamnya diambil, dikuras tetapi fasilitas umum dan infrastruktur tidak diperhatikan. Coba kita lihat di Jawa, semua provinsi ada jalan tol. Sedangkan di Sumatera, hanya di Medan yang ada jalan tol itu pun cuma sepenggal. Di Riau mana ada, air bersih saja masih minim dan listrik tergantung dari pasokan Sumbar," papar Syarwan, purnawirawan Letnan Jenderal.
Banyak contoh kasus daerah dijadikan 'sapi perah' pemerintah pusat. Pulau Bintan di Provinsi Kepulauan Riau, misalnya, beberapa dekade silam sangat tersohor sebagai sentra produksi biji alumunium (bauksit). Eksploitasi bauksit di Pulau Bintan dimulai sejak 1935 hingga 2002 menguras habis sebanyak 46.451.312 ton, dengan ekspor 45.127.911 ton. Sejak tahun 1970, ekspor bauksit per tahun mencapai 1 juta ton.
Setiap bulan sedikitnya 12 juta dolar AS dihasilkan dari ekspor biji bauksit ke Jepang dan Cina. Setelah hasil bumi bauksit ditambang selama 67 tahun, sekarang yang tersisa hanyalah bongkahan-bongkahan bekas penggalian bauksit terutama di tiga tempat kawasan penambangan, yaitu Pari, Wacopek, dan Lomesa.
"Kita tahu, puluhan tahun Bintan sebagai penghasil bauksit. Tapi setelah habis kandungan bauksitnya, Bintan sekarang tinggal kubangan-kubangan besar yang ditelantarkan. Riau pun terancam seperti itu. Dulu Riau menghasilkan 1 juta barel minyak per hari, sekarang menurun menjadi 500 ribu barel. Kami tidak mau, Riau dijadikan seperti itu. Kami tidak mau Riau tinggal sumur-sumur tua setelah minyaknya dikuras habis ke Jakarta," tandasnya.
Ketika menjabat Mendagri dalam Kebinet Reformasi Pembangunan Syarwan bersaksi, sempat merasakan praktik sentralistik kendati pun sistem pemerintahan sudah menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah. Kala itu, banyak pejabat di Jakarta yang tidak ikhlas kewenangannya dipreteli dan dibagi-bagikan kepada pejabat di daerah.
Atas ketidakadilan pemerintah pusat itulah, Syarwan kini gencar menggalang kekuatan untuk mendesak penerapan otonomi khusus di Riau. Ia menilai komunitas Melayu di Riau yang menyumbangkan bahasanya menjadi lingua franca bahkan menjadi bahasa pemersatu, dan kekayaan kandungan alam, layaklah jika Riau diperlakukan setara dengan Aceh dan Papua.

Berikut petikan wawancara reporter Persda Domuara Ambarita dan juru kamera Bian Harnansa dengan Syarwan Hamid.

Anda pernah terang-terangan mengatakan mendukung bentuk negara federal. Boleh diterangkan latar belakang pemikiran itu?
Bangsa ini terbentuk atas kesepakatan daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Para Founding Fathers bersedia meleburkan diri ke dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan harapan membentuk suatu bangsa besar, dan tetap menjunjung keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat hingga ke daerah-daerah.
Kerajaan Siak, salah satu kerajaan di tanah air yang bersedia menyerahkan kedaulatan kepada NKRI. Saking percayanya, malah keleleran. Awalnya, terlalu percaya kalau cita-cita founding fathers untuk suatu negara kesatuan yang mampu menciptakan keadilan dan kemakmuran. Namun ternyata setelah merdeka, perlakuan untuk adil sangat kurang. Faktanya pembangunan di Pulau Jawa sangat maju, sedangkan di daerah di luar Jawa sangat tertinggal padahal sumber daya banyak di daerah. Lihatlah kekayaan alamnya diambil, dikuras tetapi fasilitas umum dan infrastruktur tidak diperhatikan.
Coba kita lihat di Jawa, semua provinsi ada jalan tol. Sedangkan di Sumatera, hanya di Medan yang ada jalan tol itupun cuma sepenggal. Di Riau mana ada, air bersih saja masih minim dan listrik tergantung dari pasokan Sumbar.

Anda kan mantan petinggi TNI yang biasanya sangat NKRI. Tidak saja menyandang pangkat bintang tiga, juga mantan Mendagri dan pernah Wakil Ketua DPR/MPR. mengapa sampai terkesan keluar dari rel?
Berbicara NKRI, yang sering kita dengar adalah, NKRI sudah final. Tidak bisa lagi diganggu gugat. Padahal tidak demikian. NKRI kalau mau utuh, perlakuan harus yang adil terhadap semua bangsa ini. Kata kuncinya keadilan sehingga pemerintah pusat akan disebut sebagai orangtua yang bijak dan berkeadilan. Tidak semua yang enak dimakan sendiri. Karena NKRI tidak telah mengingari cita-cita para Founding Fathers, maka NKRI itu bukanlah sesuatu yang final. Kita harus terus berupaya membuatnya sebagai rumah yang nyaman. Kalau itu tidak terwujud, maka gejolak seperti di Aceh dan Papua akan terus muncul.

Mengapa selepas menjabat di pemerintahan, terurama setelah turun dari Mendagri, Anda baru terlihat menaruh perhatian terhadap otonomi khusus di Riau?
Orang Riau terkenal dengan topologi orang Melayu. Orang Melayu lebih suka mengalah. Orang tua dulu menganggap mengalah sebagai kebajikan. Namun celaka, karena terus mengalah, pemerintah pusat menganggap semuanya beres, dianggap nggak perlu apa-apa. Karena itulah, saya mengajak temen-teman di Riau juga di daerah lain seperti di Kaltim, agar kita berani. Kita bukan mengemis kepada pemerintah pusat. Pemerintah pusat jangan menunggu dijuluk-juluk (seperti menjolok mangga) agar membagi dana ke daerah. Tapi kalau tidak diminta, mana pernah presiden, siapa pun orangnya, memikirkan orang Riau untuk jabatan Dubes atau menteri. Sedangkan orang Papua, atau Aceh atau Padang, atau Batak selalu ada menteri. Yang diingat pemerintah pusat dari Riau hanya minyak, dan kandungan laut atau sawit. Tapi kalau memberi tidak pernah ingat. Selalu lewat.

Usul konkret untuk mengegolkan tuntutan otonomi daerah?
Otonomi khusus itu harus kita perjuangkan. Otsus harus kita rebut. Kita tidak bisa tinggal diam. Otsus itu untuk perbaikan. Tapi lebih penting lagi harga diri. Riau tidak mau terus dilecehkan Jakarta. Kawan-kawan di Riau sampai ngomong begini. Pak Syarwan, kalau tuntutan kita meminta Otsus tidak dikabulkan, kita angkat senjata saja lah. Kami siap. Tapi saya bilang, jangan. Saya ini pengalaman Danrem di Aceh. Perjuangan dengan senjata selalu merugikan masyarakat sipil. Sebab kalau berjuang dengan senjata, pasti menggunakan tameng masyarakat kan, jadi korban kebanyakan rakyat biasa. Jadi selagi saya masih hidup, saya masih bisa meredam tidak akan merdeka dan angkat senjata di Riau. NKRI harus dipertahankan dengan format semi federal seperti sekarang ini yang ditandai perwakilan DPD.

Apakah tuntutan Otsus ini terinspirasi atas sukses Aceh dan Papua mendapat status otnomi khusus, bahkan di Aceh, mantan orang GAM bisa memimpin daerahnya?
Secara jujur, itu ituk mendorong kami. Mengapa selama ini, Menteri selalu ada putra Papua adan Aceh. Demikian juga penunjukan Dubes oleh Presiden. Sedangkan orang Riau selalu leat. Bukan untuk saya, tetapi untuk teman-teman saya asal Riau sana. Bahkan untuk Kalimantan Timur pun, sewaktu saya Mendagri saya bilang ke Suwara (Gubernur Kaltim Non- aktif Suwarna AF, Red), dia kan teman saya. Sudah lah serahkanlah jabatan itu kepada putra daerah. Masa sampai saat ini tidak ada orang asli Kaltim yang jadi Gubernur apalagi Menteri.

Otonomi khusus dalam bidang apa yang Anda dambakan?
Pemerintahan yang dianggap berpihak pada rakyat, karena semangat otonomi adalah perbaikan pelayanan. Kemudian, Riau itu identik dengan Melayu. Ada ciri khas kemelayuan dalam arti luas, bukan untuk tujuan politis tetapi tetap dalam bingkai NKRI. Jadi perbaikan yang kami tuntut, bukan riau merdeka. Riau daerah kaya. Minyaknya saya 500 ribu barel per hari, kami minta dibagi ke daerah. Kalau Aceh bisa menuntut pembagian penghasilan daerah 70 persen berbanding 30 persen untuk pusat, dan Papua 80 berbanding 20, kami menargetkan perbandingan 60-40 persen untuk 25 tahun ke depan. Dana itu akan digunakan untuk perbaikan sarana pendidikan, infrastruktur jalan, aliran listrik dan sebagainya. (Persda Network/amb)

[+/-] Selengkapnya...

Siasat Belanja Siklus 45 Hari
BANK Indonesia (BI) berulang kali meminta perbankan agar menambah kucuran dana kredit kepada kalangan usahawan dan sektor riil lainnya. Sebab selama tahun 2006, kucuran pembiayaan dari bank sangat kecil. Kalaupun ada dana yang dipinjamkan, kebanyakan dalam bentuk kredit konsumtif. Di antaranya kredit pemilikan mobil/motor dan kartu kredit.

Dalam meraih nasabah kartu kredit, bank penerbit kartu kredit memang terkesan bak mengecer jajanan. Mereka tidak lagi menunggu nasabah masuk bank. Tenaga pemasar semacam sales promotion girls kartu kredit menjajakan produknya di pusat-pusat perbelanjaan. Jamak terlihat pemasar kartu kredit kepada konsumen sehabis berbelanja, dari toko serba ada hingga hipermart.

Tidak jelas mana yang duluan, karena potensi pasarnya yang sangat besar, ataukah karena mudahnya memperoleh uang belanja dari kartu kredit, sehingga nasabah pengguna kartu kredit pun semakin banyak. Istilah, "kan tinggal gesek" pun semakin merakyat. Sekarang menjadi pemandangan biasa, orang-orang membayar belanjaan dengan menggesekkan kartu kredit.


Salahnya, sebagian konsumen menganggap kartu kredit sebagai tempat mengutang baru. Inilah yang disayangkan Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi A Sarwono. Menurutnya, kartu kredit merupakan pembayaran non tunai, bukan dijadikan seperti teman pengutangan baru. Akibat salah guna itu, banyak nasabah kartu kredit justru terbebani dengan beratnya biaya bunga yang berkisar 2,25 persen hingga 3,25 persen per bulan.

Dampak selanjutnya, nasabah menerapkan siasat gali lubang tutup lubang. Ajukan kartu kredit baru untuk mendapatkan dana yang digunakan membayar cicilan kepada kartu kredit yang lain. Karena para penerbit kartu kredit bersaing meraih nasabah, mereka jorjoran mengeluarkan kartu dengan syarat yang sangat mudah. Cukup punya kartu kredit, dari penerbit mana pun. Atau dari nasabah baru, yang nyaris tanpa dicek kebenaran identitas dan penghasilan tetapnya.

Agar pengguna kartu kredit tidak terperosok ke lubang yang semakin dalam caranya adalah kemampuan mengendalikan diri mengerem laju konsumsi. Jika pun terpaksa menggunakan kartu kredit, ada satu siasat mengulur cepatnya tagihan datang ke rumah. Manfaatkanlah siklus 45 hari. Ini untuk menghidari tagihan dan beban bunga sebulan pertama. Belanjalah satu atau dua hari setelah tanggal cetak tagihan.

Misalnya, tagihan dicetak tanggal 7 setiap bulan dan jatuh tempo tanggal 22. Gunakanlah kartu kredit sehari setelah itu, tanggal 8. Dengan demikian, Anda akan terhindar dalam pembayaran bulan yang sama. Tagihan baru datang bulan berikutnya, dan jatuh tempo tanggal 22 kemudian. Jadi waktu yang lebih lama menghindari tagihan dan beban bunga, yakni selama 45 hari. (domuara ambarita)

[+/-] Selengkapnya...