Jumat, 02 Januari 2009

Ilmu Padi: Bersyukur dan Mensyukuri

BAGAI nasihat dari mahaguru. Bulan-bulan terakhir, ada-ada saja orang yang menyampaikan kata-kata bijak. Seorang sahabat dan sekaligus guru di Jakarta, mengajari atau tepatnya menyegarkan ingatan saya bahwa hanya ada satu raja yang memerintah di dua benua, lagit dan bumi. Dia lah Tuhan. Allah.

Sembahyang di depan Gua Maria Sendangsono. Umat memanjankat doa, dengan meminta perandataraan Bunda Maria agar mengantarkan doa-doa kepada putranya, Yesus Kristus yang adalah Tuhan dan Juru Selamat. Dalam ritual ini juga, umat memohonkan berkat dari Tuhan agar menjadikan air suci berfaedah seperti untuk keperluan penyembuhan.

Karena Dia raja di lagit dan di bumi, maka saya sebagai makhluk bumi diingatkan tidak mencampuri urusan langit, sebab itu urusan dan prerogatif Tuhan. Untuk urusan langit, misalnya hal-hal di luar kendali manusia, seperti soal peruntungan, dan kehidupan.

Jangan pula mencampuradukkan atau tepatnya mengontaminasi urusan bumi dengan langit. Misalnya, ketika banyak masalah seperti anak-anak jatuh bangun dari sakit, saat bersamaan ketika kondisi perekonomian sedang tidak stabil, dan setumpuk masalah lainnya, seseorang sering bertindak seakan-akan hakim yang mengadili Tuhan. "Mengapa begini Tuhan? mengapa begitu ya Allah?", "kok tidak begini saja, ya Tuhan! (sesuai rencana manusia)"

Nasihat itu saya dapatkan ketika sharing pengalaman pada saat dilanda beberapa persoalan pribadi. nasihat yang menumbuhkan kembali semangat, optimisme dan menggelorakan ulang mental baja, pantang menyerah yang berkali-kali saya serupa pada diri saya sendiri.

Umat mengambil air suci dari pancuran air yang bersumber dari mata air di bawah Gua Maria Sendangsono.

Semangat itulah yang terbukti ampuh mendorong saya lolos atau bangkit dari hal-hal yang semula tak terduga. Namun ada kalanya, semangat dan optimisme tenggelam di bawah alam sadar, terinjak-injak oleh kekuatan setan yang memupuk-tumbuh kembangnya pesismisme, kebencian. Untunglah matahari masih tetap terbit, menyemburatkan secercah harapan nan indah.

***
Akhir bulan lalu, selama tiga hari, 27-29 Desember 2008, saya mengikuti rombongan dari Lingkungan Stefanus, Paroki Santo Markus Depok melakukan ziarah rohani. Kami mengunjungi tiga petilasan umat Katolik di Jawa Tengah, yakni Gua Maria Kerep di Ambarawa, Gua Maria Sendangsono (Muntilan), dan Gua Maria Sriningsih (Klaten).

Serombongan orang, tua muda, laki perempuan, miskin kaya, yang normal dan cacat membaur menjadi satu kelompok yang kompak, rukun dan guyub. Berasal dari beragam kelompok etnis, warna kulit, suku dan bahasa. Sekelompok orang yang saling membantu, tanpa membeda- bedakan satu sama lain.

Melakukan serangkain acara secara marathon, semacam doa Rosario saat memasuki jalan tol Jagorawi, melakukan ibadat di depan Gua Maria Kerep, Misa di Paroki Ambarawa, ziarah ke Sendang Sono, hingga diakhiri litani Jalan Salib dengan 14 kali pemberhentian di bukit nan melelahkan di Sriningsih.

Dari rangkaian itu, selain semakin mengetahui betapa berat dan lelahnya sang nabi, Penebus dan Juru Selamat, Tukang Kayu dari Nazareth, Yesus Kristus, saya pun semakin mengerti kondisi spiritual seseorang. Nasihat yang menyebut tentang ilmu padi, "semakin tua semakin berisi dan semakin berisi semakin menunduk."

Beberapa dari rombongan, dalam hal harta dapat dikatakan melimpah, hartawan. Kaya pengalaman dan prestasi. Namun mereka tetap rendah hati, baik, melayani dan dermawan. Kontras dengan kesan yang dipertontonkan sinetron yang mendominasi layar kaca: orang kaya selalu serakah, durhaka, dan tak kenal belas kasih. Itu satu contoh yang saya akan terus coba gali dan dalami.

Kendati secara materi ada orang kaya, tetapi dalam hal lain, mereka tidak lengkap. Misalnya, ada di antara kami, keluarga mapan dan sudah manula tetapi tidak beroleh keturunan seorang pun. Tidak memiliki anak: putri maupun putra.

Ada pula kasus keluarga yang hidupnya pas-pasan, atau bahkan hitungan miskin, tetapi sang suami etap tidak tahu diri. Dia jatuh (berulangkali) ke dalam nista, misal berjudi dan mabuk- mabukan yang membawanya meringkuk di tahanan untuk kesekian kali.

Pemeblajaran kesekian, di antara kami, ada satu keluarga yang telah kehilangan anak sulungnya selama enam tahun. Ibu dan ayahnya mengaku terus merindukan putri yang memberikan mereka panggilan, namun berbagai upaya dilakukan, tak juga membawa hasil.

Sepulang dari ziarah rohani saya lebih tahu lagi, ternyata sang putri minggat dari rumah kala dia masih kelas 1 SMP, hanya karena ditegur ibunya mengenakan stelan pakaian yang kurang serasi dalam hal warna. Si ayah juga bercerita, putrinya lama berada dalam binaan sang nenek. Sehingga dia merasa anaknya lebih dekat secara emosi kepada nenek, daripada kepada kedua orangtuanya.

Kendati si anak sulung, dan putri lagi, tidak memberi kabar selama enam tahun, ayah dan ibunya masih yakin, yang bersangkutan hidup dan sehat. Tidak ada kekhawatiran, anaknya hilang atau menjadi korban perdagangan manusia. Pun tak ada ketakutan, putrinya menjadi korban kekerasan apalagi pembunuhan sesadis Riyan, si penjagal 'mutilasi' dari Jombang. Keluarga ini tetap tabah, tidak sampai sinting, suatu saat nanti, domba yang hilang akan kembali.

Dari kasus hilangnya anak kesayangan ini saya mendapat dua poin. Pertama, jangan memanjakan anak dengan menyerahkannya pada orang lain, termasuk nenek. Sebab ketika sang nenek/kakek meninggal, urusan jadi repot, karena si anak kehilangan tokoh idola, sedangkan ibu dan ayah adalah 'orang lain'.

Pelajaran kedua, sesulit apa pun beban kita, sekuat tenaga harus dicarikan jalan keluarnya. Harus dicarikan pemecahan masalahnya. Jangan mudah menyerah. Jangan gampang putus asa. Terus dan terus berjuang. If there's a will, there's a way; jika ada ada kemauan, pasti ada jalan.

***
HARI terakhir, dan dalam ritual terakhir, litani Jalan Salib di Sriningsih, saya menemui kuncen, seorang ibu, tinggi kurus yang sangat ramah. Si ibu dengan senyum, memandu saya untuk melakukan ritual di Gua Maria yang masih tampak sangat alami, jauh lebih hening, jauh di perbukitan, sepi dari penghuni. Berada di bawah rerimbun pohon jati.

Entah karena punya penerawangan atau karena mengikuti prosedur, si ibu memberi nasihat, yang menurut saya bukan berasal dari orang biasa. Bukan ucapan seorang yang dangkal spiritual, bahkan sangat bisa, memiliki 'kelebihan'.

Kalau sebelumnya saya minder dalam hal spiritual dibandingkan dengan orang-orang lain, dan minder pula dalam hal materi, maka setelah melewati semua rangkaian ziarah rohani, saya menjadi lebih pede. Saya semakin mengerti makna kata; bersyukur dan mensyukuri.

Apa pun saya adanya, saya harus tetap bersukur dan berteima kasih kepada Sang Pencipta, yang telah memberi rezeki hingga saat ini. Seperti ilmu padi tadi, lebih seringlah menunduk daripada mengongak. Seberapa pun bersahajanya kehidupan keluarga kami, seberapa rendah pun jabatan saya di kantor, betapapun sering digosipkan orang lain, saya harus tetap mengucap syukur sembari berdzikir lebih khusuk lagi meminta berkat melimpah, kesehatan prima dan kebahagiaan tercukupkan untuk bekerja keras meraih kesejahteraan.

Itulah makna yang dapat saya tarik dari perjalanan rohani, akhir tahun 2008, menandai cuti (selama sembilan hari) terpanjang saya dalam kondisi normal selama 10 tahun mengabdi di dunia profesional. Semoga bermanfaat. (Domu Damianus Ambarita)

Tidak ada komentar: